F.METABOLISME GALAKTOSA
Galaktosa
berasal dari hidrolisis dalam usus disakarida laktosa,gula,susu.
Dalam hati,gal;aktosa mudah di konfersi
menjadi glukosa.kesanggupan hati menyelesaikan ini diguinakan sebagai tess faal
hati dalam tes toleransi galaktosa.jalan bagaimana galaktosa dikopnfersi
menjadi glukosa dengan mengalami berbagai sebagai berikut:
1) galaktosa difosforilasi dengan bantuan
galaktokinasi,,dfengan menggukan ATP sebagi donor fosfat.produk,galaktosa
1-fosfat,bereaksi dengan urididn difosfat glukosa (UDPG) membentuk urididi
fosfat galaktosa dan glukosa 1-fosfat.
2) transfarase
galaktosa dipindahkan ke suatu posisi pada UDPG yang menggantikan Glukosa.
3) Didalam
reaksi nukleutida yang mengandug galaktosa yang di katalis oleh epimerase.produknya
adalah uridin difosfat glukosa,UDPG.epimirase.mungkin memerlukan oksidasi dan
reduksipada karbon dengan NAD sebagai enzim.
4) Glukosa
di bebaskan dari UDPG sebgai glukosa
1-fosfat,mungkin setelah inkorporasi ke dalam glikogen yang disusul oleh fosforilase.
Reaksi 3 dapat terbalik denagn bebas dengan cara ini glukosa dapat dikonversi
menjadi galaktosa,sehhingga galaktosa yang telahh terbentuk sebelumnya tidak
esensial lagi.
G.FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI METABOLISME KARBOHIDRAT
Pada tiap-tiap
jalur metabolisme karbohidrat, telah dibicarakan faktor-faktor yang
mempe-ngaruhi kerja enzim.
Secara
keseluruhan akan ditinjau dengan singkat, terutama pengaruh keadaan kelaparan,
diabetes melitus dan pada pemberian makanan yang tinggi karbohidrat.
-.Pada keadaan kelaparan.
Pada
keadaan kelaparan, enzim-enzim utama dari glikolisis, HMP shunt dan
glikogenesis aktifitasnya menurun, sebaliknya aktifitas enzim-enzim utama dari
glukoneogenesis dan glikogenolisis meningkat. Diharapkan mahasiswa meninjau
kembali jalur-jalur karbohidrat terutama enzim kunci, enzim-enzim yang
dipengaruhi oleh keadaan nutrisi (dalam hal ini kadar substrat). Perhatikan
gambar-26 ! Tulislah kembali jalur demi jalur kemudian rangkaikan semuanya.
Sebagai petunjuk perhatikan :
-pengaruh glukosa 6-fosfat
-pengaruh fruktosa 1,6-bisfosfat.
-pengaruh macam-macam kofaktor (
ATP, AMP, cAMP dll )
-enzim-enzim kunci pada tiap-tiap
jalur
-hubungan jalur satu dengan lainnya (senyawa tertentu dari satu jalur
mempengaruhi jalur yang lain).
Enzim-enzim utama glikolisis adalah
:
Glukokinase, heksokinase,
fosfofruktokinase (1,2) dan piruvat kinase.
Enzim-enzim utama HMP shunt adalah:
Glukosa 6-fosfat dehidrogenase dan 6
fosfoglukonat dehidrogenase.
Enzim utama glikogenesis adalah
glikogen sintetase.
Enzim utama glikogenolisis adalah
glikogen fosforilase.
Enzim-enzim utama glukoneogenesis
adalah:
Piruvat
karboksilase, fosfoenolpiruvat karboksikinase, fruktosa 1,6 bisfosfatase dan
glukosa 6 fosfatase.
-.Pada keadaan Diabetes Melitus.
Aktifitas
enzim-enzim tersebut di atas mirip dengan keadaan kelaparan.
-Pada pemberian makanan tinggi
karbohidrat.
Pada
keadaan ini terjadi yang sebaliknya, aktifitas enzim-enzim glikolisis, HMP
shunt dan glikogenesis meningkat, sedangkan aktifitas enzim-enzim utama
glukoneogenesis dan glikogenolisis menurun.
H.TOLERANSI
GLUKOSA
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) adalah istilah
yang dipakai untuk menyatakan adanya disglikemi yaitu kenaikan glukosa plasma 2
jam setelah beban 75 gram glukosa pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral
(TTGO) yaitu antara 140 mg/dl sampai dengan 199 mg/dl. Keadaan ini disebut juga
sebagai prediabetes oleh karena risiko untuk mendapat diabetes melitus tipe 2
dan penyakit kardiovaskuler sangat besar.Baik obesitas dan toleransi glukosa
terganggu merupakan faktor risiko utama dari penyakit kardiovaskuler sehingga
keduanya dimasukkan sebagai komponen dari sindroma metabolik. Sindroma
metabolik terdiri 5 komponen dimana dikatakan sindroma metabolik bila ditemukan
sekurang-kurangnya 3 komponen dari 5 komponen. Kriteria ini didasarkan kriteria
National Cholesterol Education Program (NCEP) – Adult Treatment Program III
(ATP III) yang terdiri dari obese sentral dengan lingkar pinggang lebih atau
sama dengan 80 cm, kadar kolesterol-HDL < 40 mg/dl pada laki-laki dan
wanita > 50 cm, trigliserid >150 mg/dl, hipertensi lebih atau sama dengan
130/85 mmHg dan Kadar glukosa plasma puasa lebih atau sama dengan 110 mg/dl.
TOLERANSI
GLUKOSA TERGANGGU (TGT)
Istilah toleransi glukosa terganggu pertama kali diperkenalkan pada tahun 1979 oleh “United Group Diabetes Program” (UGDP) dan pada tahun 1980 WHO memasukkan toleransi glukosa terganggu sebagai bagian dari klasifikasi diabetes melitus (DM) dan gangguan toleransi glukosa.
Dari hasil uji klinis dari beberapa penelitian telah terbukti bahwa toleransi glukosa terganggu merupakan faktor risiko untuk timbulnya diabetes melitus tipe 2. Tercatat 1,5 - 4,0 % pertahun toleransi glukosa terganggu menjadi diabetes melitus. Dasar timbulnya toleransi glukosa terganggu adalah resistensi insulin.
Istilah toleransi glukosa terganggu pertama kali diperkenalkan pada tahun 1979 oleh “United Group Diabetes Program” (UGDP) dan pada tahun 1980 WHO memasukkan toleransi glukosa terganggu sebagai bagian dari klasifikasi diabetes melitus (DM) dan gangguan toleransi glukosa.
Dari hasil uji klinis dari beberapa penelitian telah terbukti bahwa toleransi glukosa terganggu merupakan faktor risiko untuk timbulnya diabetes melitus tipe 2. Tercatat 1,5 - 4,0 % pertahun toleransi glukosa terganggu menjadi diabetes melitus. Dasar timbulnya toleransi glukosa terganggu adalah resistensi insulin.
Toleransi glukosa terganggu banyak menarik perhatian akhir-akhir ini karena disamping mempunyai hubungan dengan diabetes melitus tipe 2 juga pada toleransi glukosa terganggu kejadian penyakit kardiovaskuler (PKV) meningkat, bahkan beberapa peneliti menemukan risiko penyakit kardiovaskuler lebih besar pada subyek toleransi glukosa terganggu dibanding dengan diabetes melitus tipe 2.
Komplikasi penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas dari diabetes melitus tipe 2 dan prognosisnya lebih jelek dibanding dengan non diabetes melitus. Diperkirakan 50-75% pasien meninggal akibat penyakit kardiovaskuler. Penelitian UKPDS 1999 memperlihatkan bahwa dengan pengobatan intensif hiperglikemi pada diabetes melitus memberi efek yang bermakna pada penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler, tetapi menurunkan kadar glukosa darah saja tidak berefek banyak pada risiko penyakit kardiovaskuler. Jadi proses aterosklerosis sudah terjadi jauh sebelum onset diabetes melitus misalnya pada saat toleransi glukosa terganggu. Walaupun kontrol glikemik merupakan salah satu bagian utama mencegah risiko penyakit kardiovaskuler pada diabetes melitus tipe 2, tetapi beberapa faktor risiko lain seperti hipertensi, dislipidemi, dan obesitas sentral yang erat kaitannya dengan resistensi insulin juga memerlukan penanganan untuk mencegah diabetes melitus tipe 2 maupun penyakit kardiovaskuler.
Prevalensi dan kejadian diabetes melitus dari tahun ketahun semakin meningkat, dan ternyata didahului oleh berbagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler lainnya seperti kegemukan, hipertensi, dislipidemi yang pada dasarnya ditandai dengan adanya resistensi insulin (RI). Akibatnya hal ini menjadi pertanyaan apakah toleransi glukosa terganggu secara independent dapat merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler tanpa faktor risiko lainya. Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa kejadian penyakit kardiovaskuler telah terjadi pada kenaikan kadar glukosa plasma tetapi lebih rendah dari kadar glukosa plasma minimal yang memenuhi kriteria diabetes melitus. Keadaan ini dijumpai pada toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu. Bila dibanding dengan diabetes melitus tipe 2, maka prevalensi toleransi glukosa terganggu / glukosa plasma puasa terganggu jauh lebih tinggi sehingga merupakan fenomena gunung es yang mana toleransi glukosa terganggu dan atau glukosa plasma puasa terganggu tidak nampak atau tidak terdiagnosis sedang diabetes melitus tipe 2 merupakan gunung es nya.
Pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang tidak mempunyai riwayat infark miokard, mempunyai risiko untuk mendapat serangan infark miokard sama dengan pasien non diabetes melitus yang sudah pernah mendapat infark miokard. Tidak heran bila diabetes melitus tipe 2 tidak dimasukkan dalam kelompok risiko tinggi akan tetapi dianggap kelompok yang sudah pernah menderita penyakit kardiovaskuler.
PATOGENESIS
TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DAN OBESITAS
Adapun yang mendasari timbulnya toleransi glukosa terganggu dan obesitas yaitu resistensi insulin. Resistensi insulin ditandai dengan penurunan asupan glukosa di otot, lipolisis yang tidak terkendali di jaringan adiposit dan produksi glukosa oleh hati yang meningkat.
Jaringan lemak atau adiposa terdiri dari sel-sel adiposit yang mengandung trigliserid. Dalam keadaan normal otot menggunakan glukosa untuk membentuk energi. Bila kadar asam lemak meningkat, maka “Free Fatty Acid (FFA)” banyak masuk dalam otot.
Pada orang obes atau toleransi glukosa terganggu maka jaringan lemak banyak mengandung sel adiposit yang mengandung selain lemak juga trigliserid. Dari trigliserid dengan bantuan enzim lipoprotein lipase akan diubah menjadi asam lemak bebas, asam lemak tidak jenuh dan gliserol. Asam lemak masuk dalam otot dan hati menyebabkan siklus dari Rendle yang akhirnya menyebabkan hiperinsulinemi yang pada tahap lanjut menyebabkan resistensi insulin.
Jaringan lemak yang sebelumnya hanya dianggap sebagai deposit trigliserid, ternyata mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-alpha, leptin interleukin 6, resistin dan adiponektin. TNF-alpha, interleukin, resistin menyebabkan resistensi insulin sedang adiponektin dan leptin menghambat resistensi insulin.
Berdasarkan atas kedua hal tersebut yaitu siklus dari Rendle yang menyebabkan resistensi insulin serta adanya produksi sitokin yang meningkatkan resistensi insulin maka dapat dikatakan bahwa resistensi insulin dapat dianggap sebagai denominator umum dari sindroma metabolik, walaupun WHO menetapkan bahwa tidak semua komponen metabolik dilatarbelakangi oleh resistensi insulin.
Dengan kelebihan asupan kalori atau menurunnya pengeluaran energi, menyebabkan keseimbangan energi menjadi positif, akumulasi lemak pada adiposit intraabdominal meningkatkan pengeluaran FFA, TNF-alpha, leptin, dan produk dari metabolisme jaringan adiposa. Adiposit visceral menyebabkan proses lipolisis dan inflamasi kronik yang subklinis berhubungan dengan risiko kardiovaskuler dan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan sindroma metabolik. Penelitian epidemiologis mengindikasikan adanya peningkatan nilai prediktif risiko kardiovaskuler dengan meningkatnya hs-CRP, walaupun hs-CRP tidak dimasukkan dalam komponen sindroma metabolik. Sindroma metabolik maupun hs-CRP keduanya merupakan prediktor yang independent untuk serangan penayakit kardiovaskuler yang baru.
Ada 2 kunci yang dianggap sebagai faktor risiko kardiovaskuler pada obesitas: pertama adalah faktor obesitas sentral sebagai faktor penyakit kardiovaskuler dan kedua adalah jaringan lemak yang dianggap sebagai organ endokrin karena mengeluarkan atau mensekresi sejumlah molekul yang mengatur atau memodulasi vaskuler, metabolik, inflamasi dari sistim kardiovaskuler. Oleh karena itu deposisi lemak didaerah abdomen adalah merupakan target intervensi klinik pada individu yang obes.
Resistensi insulin dianggap berperan dalam patofisiologi sindroma metabolik. Namun demikian obesitas dan sindroma metabolik/resistensi insulin tidak selamanya bersama-sama karena subyek yang obes tidak selalu harus mempunyai resistensi insulin, sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada orang kurus.
Adapun yang mendasari timbulnya toleransi glukosa terganggu dan obesitas yaitu resistensi insulin. Resistensi insulin ditandai dengan penurunan asupan glukosa di otot, lipolisis yang tidak terkendali di jaringan adiposit dan produksi glukosa oleh hati yang meningkat.
Jaringan lemak atau adiposa terdiri dari sel-sel adiposit yang mengandung trigliserid. Dalam keadaan normal otot menggunakan glukosa untuk membentuk energi. Bila kadar asam lemak meningkat, maka “Free Fatty Acid (FFA)” banyak masuk dalam otot.
Pada orang obes atau toleransi glukosa terganggu maka jaringan lemak banyak mengandung sel adiposit yang mengandung selain lemak juga trigliserid. Dari trigliserid dengan bantuan enzim lipoprotein lipase akan diubah menjadi asam lemak bebas, asam lemak tidak jenuh dan gliserol. Asam lemak masuk dalam otot dan hati menyebabkan siklus dari Rendle yang akhirnya menyebabkan hiperinsulinemi yang pada tahap lanjut menyebabkan resistensi insulin.
Jaringan lemak yang sebelumnya hanya dianggap sebagai deposit trigliserid, ternyata mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-alpha, leptin interleukin 6, resistin dan adiponektin. TNF-alpha, interleukin, resistin menyebabkan resistensi insulin sedang adiponektin dan leptin menghambat resistensi insulin.
Berdasarkan atas kedua hal tersebut yaitu siklus dari Rendle yang menyebabkan resistensi insulin serta adanya produksi sitokin yang meningkatkan resistensi insulin maka dapat dikatakan bahwa resistensi insulin dapat dianggap sebagai denominator umum dari sindroma metabolik, walaupun WHO menetapkan bahwa tidak semua komponen metabolik dilatarbelakangi oleh resistensi insulin.
Dengan kelebihan asupan kalori atau menurunnya pengeluaran energi, menyebabkan keseimbangan energi menjadi positif, akumulasi lemak pada adiposit intraabdominal meningkatkan pengeluaran FFA, TNF-alpha, leptin, dan produk dari metabolisme jaringan adiposa. Adiposit visceral menyebabkan proses lipolisis dan inflamasi kronik yang subklinis berhubungan dengan risiko kardiovaskuler dan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan sindroma metabolik. Penelitian epidemiologis mengindikasikan adanya peningkatan nilai prediktif risiko kardiovaskuler dengan meningkatnya hs-CRP, walaupun hs-CRP tidak dimasukkan dalam komponen sindroma metabolik. Sindroma metabolik maupun hs-CRP keduanya merupakan prediktor yang independent untuk serangan penayakit kardiovaskuler yang baru.
Ada 2 kunci yang dianggap sebagai faktor risiko kardiovaskuler pada obesitas: pertama adalah faktor obesitas sentral sebagai faktor penyakit kardiovaskuler dan kedua adalah jaringan lemak yang dianggap sebagai organ endokrin karena mengeluarkan atau mensekresi sejumlah molekul yang mengatur atau memodulasi vaskuler, metabolik, inflamasi dari sistim kardiovaskuler. Oleh karena itu deposisi lemak didaerah abdomen adalah merupakan target intervensi klinik pada individu yang obes.
Resistensi insulin dianggap berperan dalam patofisiologi sindroma metabolik. Namun demikian obesitas dan sindroma metabolik/resistensi insulin tidak selamanya bersama-sama karena subyek yang obes tidak selalu harus mempunyai resistensi insulin, sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada orang kurus.
OBESITAS
DAN FAKTOR RISIKO KARDIOVASKULER
Ada dua faktor risiko kardiovaskuler yang berkaitan erat dengan obesitas yaitu hipertensi dan dislipidemi. Hipertensi lebih banyak ditemukan dengan IMT > 30 kg/m2 sedang dislipidemi seperti hipertrigliseridemi, kolesterol-HDL yang rendah dan kolesterol–LDL yang tinggi biasanya menyertai pasien obes. Malahan ditemukan fraksi “ small dense LDL cholesterol“ pada pasien obes meningkat. Dari data prospektif jangka panjang menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko kardiovaskuler yang independent. Makin berat derajat obesitas makin meningkat pula risiko kardiovaskuler dan sebaliknya dengan menurunkan berat badan maka akan diikuti dengan perbaikan pada kadar kolesterol dan tekanan darah. Hal ini dtemukan juga di negara-negara kawasan Asia seperti Jepang menunjukkan kenaikan mortalitas dari penaykit kardiovaskuler pada mereka dengan indeks massa tubuh > 30 kg/m2. Beberapa faktor risiko lain seperti diabetes, hipertensi dan hiperlipidemi juga meningkat pada subyek dengan indeks massa tubuh 25-29,9 kg/m2.
Ada dua faktor risiko kardiovaskuler yang berkaitan erat dengan obesitas yaitu hipertensi dan dislipidemi. Hipertensi lebih banyak ditemukan dengan IMT > 30 kg/m2 sedang dislipidemi seperti hipertrigliseridemi, kolesterol-HDL yang rendah dan kolesterol–LDL yang tinggi biasanya menyertai pasien obes. Malahan ditemukan fraksi “ small dense LDL cholesterol“ pada pasien obes meningkat. Dari data prospektif jangka panjang menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko kardiovaskuler yang independent. Makin berat derajat obesitas makin meningkat pula risiko kardiovaskuler dan sebaliknya dengan menurunkan berat badan maka akan diikuti dengan perbaikan pada kadar kolesterol dan tekanan darah. Hal ini dtemukan juga di negara-negara kawasan Asia seperti Jepang menunjukkan kenaikan mortalitas dari penaykit kardiovaskuler pada mereka dengan indeks massa tubuh > 30 kg/m2. Beberapa faktor risiko lain seperti diabetes, hipertensi dan hiperlipidemi juga meningkat pada subyek dengan indeks massa tubuh 25-29,9 kg/m2.
TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU DAN PENYAKIT KARDIOVASKULER
Ada perbedaan antara toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu yaitu keduanya tidak equivalen secara metabolik. Berbagai penelitian menunjukkan toleransi glukosa terganggu lebih terkait dengan resistensi insulin sedang glukosa plasma puasa terganggu lebih terkait dengan defisit sekresi insulin.
Hal ini menjadi pertanyaan yaitu mana yang lebih baik dalam memprediksi diabetes melitus dimasa mendatang. Pasien dengan glukosa plasma puasa terganggu dan atau toleransi glukosa terganggu relatif berisiko tinggi untuk mendapat diabetes melitus tipe 2. toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu biasanya terkait dengan sindroma metabolik yang terdiri berbagai komponen seperti obesitas, dislipidemi (trigliserid yang meningkat dan atau kolesterol-HDL yang rendah) dan hipertensi yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Toleransi glukosa terganggu atau glukosa plasma puasa terganggu dapat dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler.
Shaw dkk (1999) menyimpulkan dalam penelitiannya adalah bahwa toleransi glukosa terganggu lebih sensitif untuk memprediksi seseorang akan menjadi diabetes melitus atau penyakit kardiovaskuler dibanding dengan glukosa plasma puasa terganggu. Selanjutnya terbukti pula bahwa apabila seseorang toleransi glukosa terganggu juga menderita glukosa plasma puasa terganggu, maka risiko untuk menjadi diabetes melitus lebih besar. Hal ini ditunjang berbagai penelitian baik di Eropa maupun di Jepang semuanya menyimpulkan bahwa toleransi glukosa terganggu lebih berisiko untuk mendapat diabetes melitus / penyakit kardiovaskuler dibanding glukosa plasma puasa terganggu. Demikian pula risiko toleransi glukosa terganggu lebih besar dibanding dengan faktor risiko penykait kardiovaskuler lainnya. Dapat disimpulkan bahwa toleransi glukosa terganggu dapat merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler dan strok dan glukosa plasma puasa terganggu tidak dapat dianggap menggantikan konsep toleransi glukosa terganggu sebagai marker risiko kearah pemburukan menjadi diabetes atau penyakit kardiovaskuler.
Dasar timbulnya toleransi glukosa terganggu adalah resistensi insulin di jaringan perifer. Oleh karena itu subyek dengan toleransi glukosa terganggu selain kadar glukosa plasma meningkat sering disertai dengan beberapa faktor risiko kardiovaskuler lainnya seperti hipertensi, dislipidemi, obesitas, atau status prokoagulasi. Hal ini menyebabkan subyek dengan toleransi glukosa terganggu lebih rentan untuk menderita penyakit kardiovaskuler.
Tiga penelitian besar yang memantau subyek toleransi glukosa terganggu dalam jangka lama adalah “Honololu Heart Program”,The Funagata Diabetes Heart Study” dan The Hisayama Heart Study”. Penelitian “The Honololu Heart Program” meneliti penduduk Hawai keturunan Jepang yang berumur 45-68 tahun yang tidak menderita penyakit jantung koroner atau strok terhadap 7549 penduduk dan diteliti selama 23 tahun. Subyek diperiksa kadar glukosa plasma satu jam setelah 50 gram glukosa. Dari hasil pemeriksaan tersebut, subyek dibagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok normal rendah bila plasma glukosa < 151 mg/dl, normal tinggi, bila glukosa plasma 151-224 mg/dl, hiperglikemi asimptomatik > 225 mg/dl (subyek sebelumnya tidak diketahui menderita diabetes melitus tipe 2 dan tidak mengkomsumsi obat anti hiperglikemi). Kelompok empat adalah kelompok dengan kadar glukosa plasma > 225 mg/dl, yang diketahui diabetes melitus tipe 2 dengan atau tanpa mengkomsumsi obat-obat anti hiperglikemi.
Diteliti jumlah kematian total, kejadian
penyakit kardiovaskuler dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler setiap
tahun. Hasil akhir dari penelitian menunjukkan dengan jelas bahwa makin tinggi
kadar glukosa plasma makin tinggi kejadian serangan penyakit jantung koroner
serta kematian penyakit jantung koroner maupun keajadian kematian total.
Selanjutnya penelitian dari Jepang yaitu “Hisayama Study” yang meneliti 2427 penduduk kota Hisayama yang berumur 40-79 tahun yang tidak menderita infark miokard dan bebas dari strok. Semua subyek yang diteliti diperiksa tes toleransi glukosa oral berdasarkan kriteria WHO 1985. Hasilnya subyek dikelompokkan atas toleransi glukosa normal, toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2. Semua subyek yang berpartisipasi dipantau angka kematian setiap tahunnya selama 5 tahun penelitian. Hasil penelitian menunjukkan angka kematian kardiovaskuler meningkat sesuai dengan perubahan toleransi glukosa. Pada kelompok penderita diabetes melitus tipe 2 maupun toleransi glukosa terganggu lebih banyak yang meninggal akibat infark miokard dan strok dibanding dengan kelompok toleransi glukosa normal. Disimpulkan oleh peneliti bahwa toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 mempunyai risiko lebih besar dan berbeda secara bermakna banding dengan subyek yang mempunyai toleransi glukosa normal.
Penelitian “Diabetes Epidemiologi Collaborative Analysis of Diagnostic Criteria in Europe”(DECODE) adalah penelitian epidemiologis bertujuan melihat hubungan antara kadar glukosa plasma 2 jam setelah beban pada tes toleransi glukosa oral dengan angka kematian serta kejadian kardiovaskuler. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kadar glukosa plasma baik toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 dengan meningkatnya angka kematian termasuk angka kematian kardiovaskuler sedang subyek yang glukosa plasma puasa terganggu tidak berkorelasi.
Penellitian di Jepang yang dikenal dengan “Funagata Diabetes Study memantau subyek toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu selama 7 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit jantung koroner dan strok jauh lebih tinggi pada toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan glukosa plasma puasa terganggu. Angka kematian pada glukosa plasma puasa terganggu malahan tidak berbeda dengan angka kematian pada subyek yang mempunyai toleransi glukosa normal (gambar 1)
Dari hasil uji klinis dan epidemiologis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 mempunyai risiko yang lebih besar untuk mendapat penyakit kardiovaskuler dibanding dengan subyek dengan toleransi glukosa normal atau glukosa plasma puasa terganggu. Hasil uji klinis secara meta analisis menunjukkan bahwa makin banyak komponen faktor risiko yang dimiliki subyek makin besar kemungkinannya menderita diabetes melitus tipe 2. Dari hasil penelitian tersebut mereka yang mempunyai 5 faktor risiko kardiovaskuler yang merupakan komponen sindroma metabolik, risiko untuk menderita diabetes melitus tipe 2 adalah 50%. Sedang mereka yang hanya memliki 1 faktor risiko untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 adalah 10%. Risiko akan lebih rendah bila mereka mempunyai toleransi glukosa normal. Salah satu penelitian melaporkan bahwa tinggi rendahnya kadar glukosa plasma puasa dan 2 jam setelah beban glukosa serta indeks massa tubuh dan usia muda merupakan prediktor yang kuat untuk menjadi diabetes melitus tipe 2 dikemudian hari.
Selanjutnya penelitian dari Jepang yaitu “Hisayama Study” yang meneliti 2427 penduduk kota Hisayama yang berumur 40-79 tahun yang tidak menderita infark miokard dan bebas dari strok. Semua subyek yang diteliti diperiksa tes toleransi glukosa oral berdasarkan kriteria WHO 1985. Hasilnya subyek dikelompokkan atas toleransi glukosa normal, toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2. Semua subyek yang berpartisipasi dipantau angka kematian setiap tahunnya selama 5 tahun penelitian. Hasil penelitian menunjukkan angka kematian kardiovaskuler meningkat sesuai dengan perubahan toleransi glukosa. Pada kelompok penderita diabetes melitus tipe 2 maupun toleransi glukosa terganggu lebih banyak yang meninggal akibat infark miokard dan strok dibanding dengan kelompok toleransi glukosa normal. Disimpulkan oleh peneliti bahwa toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 mempunyai risiko lebih besar dan berbeda secara bermakna banding dengan subyek yang mempunyai toleransi glukosa normal.
Penelitian “Diabetes Epidemiologi Collaborative Analysis of Diagnostic Criteria in Europe”(DECODE) adalah penelitian epidemiologis bertujuan melihat hubungan antara kadar glukosa plasma 2 jam setelah beban pada tes toleransi glukosa oral dengan angka kematian serta kejadian kardiovaskuler. Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara kadar glukosa plasma baik toleransi glukosa terganggu maupun diabetes melitus tipe 2 dengan meningkatnya angka kematian termasuk angka kematian kardiovaskuler sedang subyek yang glukosa plasma puasa terganggu tidak berkorelasi.
Penellitian di Jepang yang dikenal dengan “Funagata Diabetes Study memantau subyek toleransi glukosa terganggu dan glukosa plasma puasa terganggu selama 7 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit jantung koroner dan strok jauh lebih tinggi pada toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan glukosa plasma puasa terganggu. Angka kematian pada glukosa plasma puasa terganggu malahan tidak berbeda dengan angka kematian pada subyek yang mempunyai toleransi glukosa normal (gambar 1)
Dari hasil uji klinis dan epidemiologis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 mempunyai risiko yang lebih besar untuk mendapat penyakit kardiovaskuler dibanding dengan subyek dengan toleransi glukosa normal atau glukosa plasma puasa terganggu. Hasil uji klinis secara meta analisis menunjukkan bahwa makin banyak komponen faktor risiko yang dimiliki subyek makin besar kemungkinannya menderita diabetes melitus tipe 2. Dari hasil penelitian tersebut mereka yang mempunyai 5 faktor risiko kardiovaskuler yang merupakan komponen sindroma metabolik, risiko untuk menderita diabetes melitus tipe 2 adalah 50%. Sedang mereka yang hanya memliki 1 faktor risiko untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 adalah 10%. Risiko akan lebih rendah bila mereka mempunyai toleransi glukosa normal. Salah satu penelitian melaporkan bahwa tinggi rendahnya kadar glukosa plasma puasa dan 2 jam setelah beban glukosa serta indeks massa tubuh dan usia muda merupakan prediktor yang kuat untuk menjadi diabetes melitus tipe 2 dikemudian hari.
Dasar dari meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 pada mereka yang
mempunyai faktor risiko kardiovaskuler adalah resistensi insulin atau obesitas
sentral. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler berkaitan erat dengan
dislipidemi yang berhubungan dengan resistensi insulin atau hiperinsulinemi
(kadar kolesterol–HDL yang rendah, hipertrigliseridemi). Sehingga resistensi
insulin akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien diabetes
melitus tipe 2 maupun non diabetes melitus. Dengan memperbaiki profil lipid
yang berkaitan dengan resistensi insulin akan menurunkan angka kejadian
penyakit kardiovaskuler dan strok.
Dari 38 penelitian prospektif secara meta-analisis, skala besar dan diikuti selama 4-23 tahun menunjukkan bahwa kadar glukosa plasma adalah sebagai marker risiko untuk penyakit kardiovaskuler pada orang-orang sehat tanpa diabetes melitus. Dari penelitian ini jelas mereka yang mepunyai kadar glukosa plasma setelah beban antara 150-194 mg/dl mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler 27% lebih besar dibanding dengan kelompok yang mempunyai kadar glukosa darah antara 69-107 mg/dl.
Telah dilaporkan bahwa diabetes melitus tipe 2 mempunyai kecenderungan 2-4 kali untuk mendapat penyakit kardiovaskuler serta prognosis yang lebih jelek dibanding dengan non diabetes melitus. Hal ini disebabkan oleh karena pada diabetes melitus tipe 2 kadar trigliserid cenderung meningkat dan menurunnya kolesterol-HDL serta meningkatnya tekanan darah akan menyebabkan keadaan menjadi lebih aterogenik.
Pada saat ini toleransi glukosa terganggu maupun glukosa plasma puasa terganggu khususnya yang isolated berhubungan dengan faktor risiko kardiovaskuler dan dimasukkan dalam kelompok sindroma metabolik bersama-sama dengan hipertensi, kegemukan (obes), dislipidemi dan diabetes melitus tipe 2. Beberapa data menunjukkan bahwa toleransi glukosa terganggu sendiri mempunyai hubungan lebih besar dengan hipertensi , dislipidemi daripada glukosa plasma puasa terganggu.
Penelitian Isomaa dkk (2001) menyimpulkan pentingnya identifikasi dari komponen sindroma metabolik oleh karena dengan makin banyaknya komponen maka akan lebih meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Sindroma metabolik (sesuai kriteria WHO) terlihat subyek dengan glukosa toleransi normal meliputi 10%, 50% dengan toleransi glukosa terganggu / glukosa plasma puasa terganggu, dan 80% subyek dengan diabetes melitus tipe 2 .
Toleransi glukosa terganggu dapat dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler karena toleransi glukosa terganggu menyebabkan kenaikan glukosa darah dan insufisiensi insulin yang mengakibatkan meningkatnya stres oksidatif selanjutnya terjadi disfungsi endotel dan proses inflamasi. Selain itu toleransi glukosa terganggu sering bersama-sama dislipidemi, hipertensi dan obesitas; penebalan tunika intima dibanding dengan subyek yang normal.
Dari 38 penelitian prospektif secara meta-analisis, skala besar dan diikuti selama 4-23 tahun menunjukkan bahwa kadar glukosa plasma adalah sebagai marker risiko untuk penyakit kardiovaskuler pada orang-orang sehat tanpa diabetes melitus. Dari penelitian ini jelas mereka yang mepunyai kadar glukosa plasma setelah beban antara 150-194 mg/dl mempunyai risiko penyakit kardiovaskuler 27% lebih besar dibanding dengan kelompok yang mempunyai kadar glukosa darah antara 69-107 mg/dl.
Telah dilaporkan bahwa diabetes melitus tipe 2 mempunyai kecenderungan 2-4 kali untuk mendapat penyakit kardiovaskuler serta prognosis yang lebih jelek dibanding dengan non diabetes melitus. Hal ini disebabkan oleh karena pada diabetes melitus tipe 2 kadar trigliserid cenderung meningkat dan menurunnya kolesterol-HDL serta meningkatnya tekanan darah akan menyebabkan keadaan menjadi lebih aterogenik.
Pada saat ini toleransi glukosa terganggu maupun glukosa plasma puasa terganggu khususnya yang isolated berhubungan dengan faktor risiko kardiovaskuler dan dimasukkan dalam kelompok sindroma metabolik bersama-sama dengan hipertensi, kegemukan (obes), dislipidemi dan diabetes melitus tipe 2. Beberapa data menunjukkan bahwa toleransi glukosa terganggu sendiri mempunyai hubungan lebih besar dengan hipertensi , dislipidemi daripada glukosa plasma puasa terganggu.
Penelitian Isomaa dkk (2001) menyimpulkan pentingnya identifikasi dari komponen sindroma metabolik oleh karena dengan makin banyaknya komponen maka akan lebih meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Sindroma metabolik (sesuai kriteria WHO) terlihat subyek dengan glukosa toleransi normal meliputi 10%, 50% dengan toleransi glukosa terganggu / glukosa plasma puasa terganggu, dan 80% subyek dengan diabetes melitus tipe 2 .
Toleransi glukosa terganggu dapat dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler karena toleransi glukosa terganggu menyebabkan kenaikan glukosa darah dan insufisiensi insulin yang mengakibatkan meningkatnya stres oksidatif selanjutnya terjadi disfungsi endotel dan proses inflamasi. Selain itu toleransi glukosa terganggu sering bersama-sama dislipidemi, hipertensi dan obesitas; penebalan tunika intima dibanding dengan subyek yang normal.
Diantara komponen sindroma metabolik maka toleransi glukosa terganggu mempunyai risiko 4 kali lebih besar (merupakan risiko terbesar) untuk mendapat diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan subyek yang tidak mempunyai faktor risiko kardiovaskuler.
OBESITAS
DAN TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU
Obesitas meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar dari faktor risiko lainnya. Penelitian epidemiologis di Amerika Serikat yang melibatkan lebih 100.000 penduduk menunjukkan bahwa orang dengan indeks massa tubuh >35 kg/m2 mempunyai risiko 30-40 kali mendapat diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan individu dengan indeks massa tubuh < 22kg/m2. Prevalensi berat badan berlebih pada diabetes melitus tipe 2 adalah lebih dari 90%. Demikian pula obesitas merupakan faktor risiko diabetes melitus tipe 2 yang tidak tergantung pada umur, ras dan aktifitas fisik.
Walaupun dari pemeriksaan dan data epidemiologis ada keragu-raguan adanya hubungan kausal antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2, akan tetapi jelas ada suatu keterikatan antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2 dan tampaknya dengan mencegah obesitas akan mencegah pula timbulnya kasus-kasus baru diabetes melitus tipe 2.
Sebagaimana dengan obesitas, sindroma metabolik dihubungkan dengan risiko timbulnya diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Resistensi insulin dianggap berperan dalam patofisiologi sindroma metabolik. Namun demikian obesitas dan sindroma metabolik / resistensi insulin tidak selamanya bersama-sama karena subyek yang obes tidak selalu harus mempunyai resistensi insulin, sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada orang kurus.
Obesitas merupakan faktor pencetus resitensi insulin. Ditemukan sekitar 20% toleransi glukosa terganggu pada anak-anak dan adolesens yang berat badannya berlebihan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa obesitas meningkatkan prevalensi hipertensi.
Adanya obesitas menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemi yang akan menyebabkan diabetes melitus tipe 2, akan tetapi pada orang Asia kemungkinan disebabkan oleh karena insufisiensi insulin akibat penuruna sekresi insulin oleh sel-sel beta pankreas .
Beberapa penelitian prospektif membuktikan ada hubungan erat antara obesitas dan meningkatnya prevalensi angka diabetes melitus tipe 2. Faktor risiko yang paling utama meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 adalah meningkatnya berat badan. Suatu penelitian secara prospektif yang melibatkan 50.000 pria selama 5 tahun penelitian, disimpulkan bahwa kenaikan indeks massa tubuh > 24 kg/m2 risiko diabetes melitus tipe 2 mulai meningkat, sedang bila indeks massa tubuh > 35 kg/m2 frekuensi diabetes melitus tipe 2, 40 kali lebih banyak dibanding dengan mereka yang mempunyai indeks massa tubuh < 23 kg/m2 .
Obesitas meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar dari faktor risiko lainnya. Penelitian epidemiologis di Amerika Serikat yang melibatkan lebih 100.000 penduduk menunjukkan bahwa orang dengan indeks massa tubuh >35 kg/m2 mempunyai risiko 30-40 kali mendapat diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan individu dengan indeks massa tubuh < 22kg/m2. Prevalensi berat badan berlebih pada diabetes melitus tipe 2 adalah lebih dari 90%. Demikian pula obesitas merupakan faktor risiko diabetes melitus tipe 2 yang tidak tergantung pada umur, ras dan aktifitas fisik.
Walaupun dari pemeriksaan dan data epidemiologis ada keragu-raguan adanya hubungan kausal antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2, akan tetapi jelas ada suatu keterikatan antara obesitas dan diabetes melitus tipe 2 dan tampaknya dengan mencegah obesitas akan mencegah pula timbulnya kasus-kasus baru diabetes melitus tipe 2.
Sebagaimana dengan obesitas, sindroma metabolik dihubungkan dengan risiko timbulnya diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Resistensi insulin dianggap berperan dalam patofisiologi sindroma metabolik. Namun demikian obesitas dan sindroma metabolik / resistensi insulin tidak selamanya bersama-sama karena subyek yang obes tidak selalu harus mempunyai resistensi insulin, sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada orang kurus.
Obesitas merupakan faktor pencetus resitensi insulin. Ditemukan sekitar 20% toleransi glukosa terganggu pada anak-anak dan adolesens yang berat badannya berlebihan. Hal yang sama juga menunjukkan bahwa obesitas meningkatkan prevalensi hipertensi.
Adanya obesitas menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemi yang akan menyebabkan diabetes melitus tipe 2, akan tetapi pada orang Asia kemungkinan disebabkan oleh karena insufisiensi insulin akibat penuruna sekresi insulin oleh sel-sel beta pankreas .
Beberapa penelitian prospektif membuktikan ada hubungan erat antara obesitas dan meningkatnya prevalensi angka diabetes melitus tipe 2. Faktor risiko yang paling utama meningkatnya risiko diabetes melitus tipe 2 adalah meningkatnya berat badan. Suatu penelitian secara prospektif yang melibatkan 50.000 pria selama 5 tahun penelitian, disimpulkan bahwa kenaikan indeks massa tubuh > 24 kg/m2 risiko diabetes melitus tipe 2 mulai meningkat, sedang bila indeks massa tubuh > 35 kg/m2 frekuensi diabetes melitus tipe 2, 40 kali lebih banyak dibanding dengan mereka yang mempunyai indeks massa tubuh < 23 kg/m2 .
ConversionConversion EmoticonEmoticon