Salam Sehat dan Harmonis

-----

PENERAPAN MODEL KEPERAWATAN ADAPTASI ROY DALAM PENURUNAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN CA CERVIKS


PENERAPAN  MODEL KEPERAWATAN ADAPTASI ROY DALAM PENURUNAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN CA CERVIKS DI YAYASAN KANKER INDONESIA WILAYAH SURABAYA DAERAH MULYOREJO



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Stress merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya (Han Selye, 1950). Pandangan stress sebagai stimulus menyatakan bahwa stress sebagai suatu stimulus yang menuntut dimana semakin tinggi berat tekanan yang dialami seseorang maka semakin besar pola stress yang dialami. CA Cerviks merupakan sumbber stress yang disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh yang menimbulkan konflik yang terjadi diantara keinginan dan kenyataan yang berbeda, dalam hal ini adalah berbagai permasalahan yang terjadi tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu diatasi pada akhirnya dapat menimbulkan stress.
Berdasarkan data yang ada setiap tahun sekitar 500.000 perempuan di Indonesia di diagnosis terinfeksi CA Cerviks. Dari jumlah tersebut 270.000 penderita meninggal dunia (wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, Titik Kuntari MPH). penderita CA Cerviks mengalami stress yang meliputu rasa takut, cemas, putus asa, marah serta depresi. Perasaan timbul pada diri penderita CA Cerviks akan berdampak negatif, karena kondisi psikologis berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung pada fungsi fisik dan mental. Hal ini terjadi dalam keadaan stress berat badan akan mengeluarkan hormon-hormon kewaspadaan dalam jumlah besar, diantaranya adrenalin. Keberadaan adrenalin menyebabkan tubuh dalam keadaan siaga penuh dengan tekanan darah meningkat, jantung memompa darah lebih kuat dan sel-sel tubuh dalam keadaan siaga serta mengalami ketegangan yang dapat mempengaruhi kondisi fisik. Dalam sebuah pernyataan disebutkan bahwa penyakit sebenarnya disebabkan oleh fikiran-fikiran negative yang berasal dari diri sendiri, seperti kekhawatiran berlebihan, tekanan batin karena kehilangan sesuatu dalam dirinya (Hendranata, 2007 : 114). Hal ini juga dikuatkan oleh pernyataan kusuma bahwa energy negative berkepanjangan akan merusak sehingga tubuh bioplastik kekurangan energy akibatnya badan lemah dan berbagai keluhan timbul mulai dari flu biasa hingga kanker ganas (Hendranata, 2007 : 19). Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika tingkat stress dari pasien CA Cerviks tidak segera diatasi akan semakin memperparah keadaan dan meningkatkan jumlah korban yang disebabkan karena tekanan dari dalam diri sendiri.
Seperti dalam pembahasan sebelumnya tentang stress disebutkan bahwa stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang (Handoko, 1997 : 200). Stress yang terlalu berlebih akan mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Pengertian dari tingkat stress adalah muncul dari kondisi-kondisi suatu masalah yang timbul tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginan dan dimana hasilnya diterima sebagai suatu yang tidak pasti tapi penting (Robins, 2001 : 265-567). Munculnya stress baik yang disebabkan oleh suatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan akan memberikan akibat tertentu pada seseorang.
Dalam penelitian ini saya akan mengaplikasikan model keperawatan adaptasi Roy dalam penurunan tingkat stress pada pasien CA Cerviks. Karena adaptasi merupakan suatu proses yang menyertai individu dalam berespon terhadap perubahan yang ada di lingkungan dan dapat mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis yang akan menghasilkan perilaku adaptif. Sehingga dalam pengaplikasian adaptasi Roy diharapakan dapat menekan atau menurunkan tingkat stress pada pasien CA Cerviks yang kemudian dapat membantu proses penyembuhan dan perbaikan koping dari individu.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Pertanyaan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat diasumsikan permasalahan bahwa dalam penurunan tingkat stress pada pasien CA Cerviks dengan menerapkan adaptasi Roy. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut “Adakah pengaruh penerapan model keperawatan adaptasi Roy dalam penurunan tingkat stress pada pasien Ca Cerviks di Yayasan Kanker Indonesia Wilayah Surabaya Daerah Mulyorejo ”

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menilai penerapan model keperawatan adapatasi Roy dalam penurunan tingkat stress pada pasien CA Cerviks
1.3.2 Tujuan Khusus
1.      Mengidentifikasi atau menilai tingkat stress pada pasien CA Cerviks sebelum penerapan model keperawatan adapatasi Roy
2.      Mengidentifikasi atau menilai tingkat stress pada pasien CA Cerviks sesudah penerapan model keperawatan adaptasi Roy
3.      Membandingkan tingkat stress pada pasien CA Cerviks sebelum dan sesudah penerapan model keperawatan adaptasi Roy

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kerangka dalam mengembangkan ilmu konsep dasar keperawatan yang berhubungan dengan stress-adaptasi.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Peneliti
Meningkatkan atau mengembangkan pengalaman dalam melakukan penelitian khususnya  ilmu konsep dasar keperawatan yang telah diterima untuk diberikan kepada keluarga yang ibunya menderita Ca Cerviks.
1.4.2.2 Bagi Tempat Pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan masukan untuk lebih meningkatkan kegiatan pendidikan kesehatan pada keluarga dan meningkatkan asuhan keperawatan pada wanita yang menderita Ca Cerviks.
1.4.2.3 Bagi Keluarga
Menambah pengetahuan keluarga dalam mengenal masalah-masalah Ca Cerviks, mampu mengatasi kecemasannya, merawat ibu dengan baik, dan keluarga mampu mengambil keputusan dalam menghadapi penyakit Ca Cerviks yang telah dihadapi.
1.4.2.4 Bagi Profesi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan terutama asuhan keperawatan pada penderita Ca Cerviks yang menjalani kemoterapi di Ruang Rawat dan dapat dipakai sebagai pengembangan pembuatan protap dalam melakukan perawatan secara psikologis  pada penderita dan keluarga.























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Model Keperawatan Adaptasi Roy
2.1.1 Pengertian Model  Keperawatan Adaptasi Roy
Model keperawatan adaptasi Roy adalah model keperawatan yang bertujuan membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan hubungan interdependensi selama sehat sakit (Marriner-Tomery, 1994). Teori adaptasi Callista Roy memandang klien sebagai suatu system adaptasi. Model adaptasi Roy menguraikan bahwa bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara memepertahankan perilaku secara adaptif karena menurut Roy, manusia adalah makhluk holistic yang memiliki sistem adaptif yang selalu beradaptasi.
2.1.2 Asumsi Dasar Model Adaptasi Roy
1. Manusia adalah keseluruhan dari biopsikologi dan sosial yang terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan.
2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-perubahan biopsikososial.
3. Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan respon terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif.
4. Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.
5. Sehat dan sakit merupakan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan manusia.
2.1.3 Komponen System dalam Model Adaptasi Roy
System adalah suatu kesatuan yang di hubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. System dalam model adaptasi Roy sebagai berikut ( Roy, 1991 ) :
1.       Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual.
a.         Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi .
b.        Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.
c.         Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang tidak.
2.       Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang merupakan subsistem.
a.       Subsistem regulator.
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen : input-proses dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.
b.      Subsistem kognator.
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang.
3.       Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapt di amati, diukur atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar . Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang tidak mendukung tujuan ini.
2.1.4 Konsep Keperawatan dengan Model Adaptasi Roy
Callista Roy mengemukakan konsep keperawatan dengan model adaptasi yang memiliki beberapa pandangan atau keyakinan serta nilai yang dimilikinya diantaranya:
1.       Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan social yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya.
2.       Untuk mencapai suatu homeostatis atau terintegrasi, seseorang harus beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi.
3.       Terdapat tiga tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan oleh roy, diantaranya:
a.       Focal stimulasi yaitu stimulus yang langsung beradaptasi dengan seseorang dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap seseorang individu.
b.      Kontekstual stimulus, merupakan stimulus lain yang dialami seseorang, dan baik stimulus internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi, kemudian dapat dilakukan observasi, diukur secara subjektif.
c.       Residual stimulus, merupakan stimulus lain yang merupakan cirri tambahan yang ada atau sesuai dengan situasi dalam proses penyesuaian dengan lingkungan yang sukar dilakukan observasi.
4.       System adaptasi memiliki empat mode adaptasi diantaranya:
a.       Fungsi fisiologis, komponen system adaptasi ini yang adaptasi fisiologis diantaranya oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit, indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan fungsi endokrin.
b.      Konsep diri yang mempunyai pengertian bagaimana seseorang mengenal pola-pola interaksi social dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri adalah seluruh keyakinan dan perasaan yang dianut individu dalam satu waktu berbentuk : persepsi, partisipasi, terhadap reaksi orang lain dan tingkah laku langsung. Termasuk pandangan terhadap fisiknya (body image dan sensasi diri) Kepribadian yang menghasilkan konsistensi diri, ideal diri, atau harapan diri, moral dan etika pribadi.
c.       Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi social dalam berhubungan dengan orang lain.
d.      Interdependent merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-pola tentang kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok. Di dalam model ini termasuk bagaimana cara memelihara integritas fisik dengan pemeliharaan dan pengaruh belajar. Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya.
Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan tindakan bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.
5.       Dalam proses penyesuaian diri individu harus meningkatkan energi agar mampu melaksanakan tujuan untuk kelangsungan kehidupan, perkembangan, reproduksi dan keunggulan sehingga proses ini memiliki tujuan meningkatkan respon adaptasi.
2.1.5 Proses Keperawatan Model Adaptasi Roy
Elemen dalam proses keperawatan menurut Roy meliputi pengkajian tahap pertama dan kedua, diagnosa, tujuan, intervensi, dan evaluasi, langkah-langkah tersebut sama dengan proses keperawatan secara umum.
a.       Pengkajian
Roy merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengkajian tahap I dan pengkajian tahap II. Pengkajian pertama meliputi pengumpulan data tentang perilaku klien sebagai suatu system adaptif berhubungan dengan masing-masing mode adaptasi: fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan ketergantungan. Oleh karena itu pengkajian pertama diartikan sebagai pengkajian perilaku,yaitu pengkajian klien terhadap masing-masing mode adaptasi secara sistematik dan holistic. Setelah pengkajian pertama, perawat menganalisa pola perubahan perilaku klien tentang ketidakefektifan respon atau respon adaptif yang memerlukan dukungan perawat. Jika ditemukan ketidakefektifan respon (mal-adaptif), perawat melaksanakan pengkajian tahap kedua. Pada tahap ini, perawat mengumpulkan data tentang stimulus fokal, kontekstual dan residual yang berdampak terhadap klien. Menurut Martinez, factor yang mempengaruhi respon adaptif meliputi: genetic; jenis kelamin, tahap perkembangan, obat-obatan, alcohol, merokok, konsep diri, fungsi peran, ketergantungan, pola interaksi social; mekanisme koping dan gaya, strea fisik dan emosi; budaya;dan lingkungan fisik
b.      Perumusan diagnosa keperawatan
Roy mendefinisikan 3 metode untuk menyusun diagnosa keperawatan:
1)      Menggunakan tipologi diagnosa yang dikembangkan oleh Roy dan berhubungan dengan 4 mode adaptif . dalam mengaplikasikan diagnosa ini, diagnosa pada kasus Tn. Smith adalah “hypoxia”.
2)      Menggunakan diagnosa dengan pernyataan/mengobservasi dari perilaku yang tampak dan berpengaruh tehadap stimulusnya. Dengan menggunakan metode diagnosa ini maka diagnosanya adalah “nyeri dada disebabkan oleh kekurangan oksigen pada otot jantung berhubungan dengan cuaca lingkungan yang panas”.
3)      Menyimpulkan perilaku dari satu atau lebih adaptif mode berhubungan dengan stimulus yang sama, yaitu berhubungan Misalnya jika seorang petani mengalami nyeri dada, dimana ia bekerja di luar pada cuaca yang panas. Pada kasus ini, diagnosa yang sesuai adalah “kegagalan peran berhubungan dengan keterbatasan fisik (myocardial) untuk bekerja di cuaca yang panas”.
c.       Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan merubah ataumemanipulasi stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Pelaksanaannya juga ditujukan kepada kemampuan klien dalam koping secara luas, supaya stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada klien, sehinga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat. Tujuan intervensi keperawatan adalah pencapaian kondisi yang optimal, dengan menggunakan koping yang konstruktif. Tujuan jangka panjang harus dapat menggambarkan penyelesaian masalah adaptif dan ketersediaan energi untuk memenuhi kebutuhan tersebut (mempertahankan, pertumbuhan, reproduksi). Tujuan jangka pendek mengidentifikasi harapan perilaku klien setelah manipulasi stimulus fokal, kontekstual dan residual.
d.       Implementasi
Implementasi keperawatan direncanakan dengan tujuan merubah atau memanipulasi fokal, kontextual dan residual stimuli dan juga memperluas kemampuan koping seseorang pada zona adaptasi sehinga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat.
e.       Evaluasi
Penilaian terakhir dari proses keperawatan berdasarkan tujuan keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dari kriteria hasil yang ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu.
2.2    Stress
2.2.1        Pengertian
Menurut spielberger ( Handoyo 2001 ) menyebutkan stress adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang berbahaya. Stres juga dapat diartikan sebagai tekanan. Sedangkan ( keliat, BA, 2006 ) stress adalah realita kehidupan yang setiap hari tidak dapat dihindari. Stres kerja hanya dapat terjadi dilingkungan kerja, pengertian stress dengan stress kerja sebenarnya hamper sama, hanya ruang lingkup untuk pengertian stress jauh lebih luas karena bias terjadi dan disebabkan oleh lingkungan kerja maupun diluar lingkungan kerja.
2.2.2   Penyebab
Menurut monintja.2005 membagi penyebab stress berdasarkan sifatnya, yaitu :
1.      Penyebab stress yang bersifat fisik
Arwater ( 2005 ) menyebut stress yang disebabkan oleh sumber fisik ini sebagai stress biologis dapat mempengaruhi daya tahan tubuh dan emosi misalnya penyakit leokimia.
2.      Penyebab stress yang bersifat psikososial
Merupakan kejadian penimbul stress yang berasal dari kondisi lingkungan HT. terjadi 4 macam penyebab stresyang bersifat psikososial yaitu :
a.       Teknan, merupakan pengalaman yang menekan, berasal dari dalam diri, luar atau dari keduanya.
b.      Frustasi, merupakan emosi yang timbul akibat terhambatnya / tidak terpuaskannya tujuan atau keinginan individu.
c.       Konflik, merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya dua atau lebih bertentangan, sehingga pemenuhan suatu pilihan akan menghalangi tercapainya pilihan yang lain.
d.      Krisis, yaitu keadaan yang mendesak, yang menimbulkan stress pada individu, misalnya kematian yang disayangi, kecelakaan dan penyakit yang harus dihadapi.
3.      Penyebab stress yang bersifat psikologik
Secara psikologik merupakan permaknaan diri dan lingkungan. Pikiran dapat menginterpretasi dan menterjemahkan pengalaman perubahan dan menentukan kapan menekan timbul panic, bagaimana kita member makna / label pada pengalaman dan antisipasi kedepan bias membuat kita relex / stress.
2.2.3        Gejala-gejala stress
Ada tiga gejala stress yang dapat dideteksi dengan mudah, yaitu :
a.       Gejala fisiologik, antara lain :
Denyut jantung berdenyut cepat, banyak berkeringat (terutama keringat dingin), pernafasan terganggu, otot terasa tegang, sering ingin buang air kecil, sulit tidur dan gangguan lambung.
b.      Gejala psikologik, antara lain :
Cemas, sering merasa binung, sulit berkonsentrasi dan sulit mengambil keputusan, perasaan kwalahan ( exhausted ).
c.       Gejala psikososial, antara lain :
Berbicara cepat sekali, menggigit kuku, menggoyang-goyangkan kaki, gemetar dan berubah nafsu makan.
2.2.4        Dampak akibat stress
Dampak dari stress dibedakan menjadi tiga kategori :
a.       Dampak fisiologik
Secara umum orang yang mengatasai stress akan mengalami gangguan fisik seperti : Mudah masuk angin, mudah panic, kejang otot, mengalami kegemukan / menjadi kurus, juga dapat menderita penyakit yang lebih serius seperti cardiovaskuler, hipertensi, secara rinci diklasifikasikan sbg berikut :
1.      Gangguan organ tubuh
·         Muscle myopati
·         Tekanan darah naik
·         System pencernaan
2.      Gangguan pada system reproduksi
·         Amenorhea
·         Kegagalan ovulasi pada wanita, impoten pada pria, kurangnya produksi semen pada pria.
·         Kehilangan gairah sex pada pria
3.      Gangguan pada system pernafasan : Asthenia, bronkitis
4.      Gangguan lainnya,seperti : pening ( migraine ), tegangan otot dan rasa bosan
b.      Dampak psikologis
1.      Keletihan emosi, jenuh, penghayatan ini merupakan tanda pertama punya peran sental bagi terjadinya “ brunt out “
2.      Terjadinya “ depersonalisasi ” dalam keadaan stress berkepanjangan seiring dengan kewalahan atau kelebihan emosi kita dapat melihat ada kecenderungan yang bersangkutan memperlakukan orang lain sebagai “sesuatu” ketimbang “seseorang”
3.      Pencapaian pribadi yang bersangkutan menurun sehingga berakibat pada menurunnya rasa kompeten dan rasa sukses
c.       Dampak perilaku
1.      Manakala stress menjadi distress prestasi belajar menurun dan sering menjadi tingkah laku yang tidak diterima oleh masyarakat.
2.      Level stress yang cukup tinggi berdampak negative pada kemampuan mengingat informasi, mengambil keputusan, dan mengambil langkah yang tepat.
2.2.5 Klasifikasi stress
Menurut monintja, 2005 menggolongkan stress menjadi 2 golongan, berdasarkan persepsi individu terhadap stress yang dialami :
a.       Stres berat
Situasi ini dapat  berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun. Selye menyebutkan distress merupakan stress yang merusak. Stress dirasakan sebagian suatu keadaan dalam individu mengalami rasa cemas, ketakutan, kekhawatiran / gelisah sehingga individumengalami keadaan psikologis yang maladaptive, menyakitkan dan timbul keadaan untuk menghindarinya.
b.      Stres ringan
Situasi ini biasanya berlangsung beberapa menit / jam. Hanson ( dalam menintja, 2005 ) mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat adaktif yang timbul dari adanya stress. Stress ringan dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi dan performansi individu. Stress ringan juga meringankan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karyavseni.
2.2.6   Tahapan stress
Gejala –gejala stress pada diri seseorang sering tidak sadari karena perjalan tahapan stress timbul secara lambat. Dan baru dirasakan bilamana tahapan gajala sudah lanjut dan menggangu fungsi kehidupan sehari-hari baik dirumah. Ditempat kerja ataupun lingkungan sosialnya. Dr.robert J.Van Amberg ( 2006 ) dalam penelitiannya membagi tahapan-tahapan stress sebagai berikut :
a.       Stress tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stress paling ringan dan biasanya disretai dengan perasaan-perasaan sebagaiberikut :
·         Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting)
·         Penglihatan “ tajam ” tidak seperti biasanya
·         Merasa mampu menyelesaikan pekerjaannya lebih dari biasanya, namun tanpa didasari cadangan energi dihabiskan (all out) disertai rasa gugup yang berlebihan
·         Merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah semangat, namun tidak disadari cadangan energinya semakin menipis.
b.      Stress tahap II
Dalam tahap ini dampak stress yang semula “menyenangkan” sebagaimana yang diuraikan pada tahap I mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energy tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk istirahat. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seorang yang berada pada stress tahap II adalah sebagai berikut :
·         Merasa lebih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya merasa segar
·         Sering mengeluh lambung / perut tidak nyaman
·         Detak jantung lebih keras dari biasanya
·         Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang
·         Tidak bias santai
c.       Stress tahap III
Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stress tahap II diatas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu yaitu :
·         Gangguan usus dan lambung semakin nyata, misalkan “maag” ( gastritis ), buang air besar tidak teratur (diare)
·         Ketegangan otot-otot semakin terasa
·         Perasaan ketidak tenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat
·         Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar masuk fase tidur (early insomnia),atau terbangun ditengah malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau terbangun terlalu pagi / dini hari dan tidak dapat kembali tidur (late insomnia)
·         Koordinasi tubuh terganggu (badan seolah mau pingsan), pada tahap ini orang harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi atau bias saja beban stress hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami deficit.
d.      Stress tahap IV
Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter sehubungan dengan keluhan –keluhan stress tahap III diatas, oleh dokter dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Bila hal ini terjadi yang bersangkutan memaksakan diri untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stress tahap IV akan muncul :
·         Untuk berthan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit
·         Aktifitas yang awalnya menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit
·         Yang semula tanggap akan situasi menjadi kehilangan untuk merespon secara memadai
·         Ketidak mampuan untuk melakukan kegiatan rutinitas sehari-hari
·         Gangguan pola tidur disretai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan
·         Seringkali menolak ajakan (Negatifism) karena tidak semangat
·         Daya konsentrasi dan daya ingat menurun
·         Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.
e.       Stress tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang tersebut akan terjatuh dalam stress tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut :
·         Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam
·         Ketidak mampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana
·         Gangguan system pencernaan
·         Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik
f.       Stress tahap VI
Tahapan ini merupakan klimaks seseorang megalami serangan panic (panic attack) dan perasaan takut mati, tidak jarang orang yang mengalami stress tahap VI ini berulangkali dibawa ke UGD bahkan ke ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stress pada tahap VI ini adalah sebagai berikut :
·         Debaran jantung teramat keras
·         Susah bernafas ( sesak)
·         Sekujur badan terasa gemetar, dingin, kringat dingin
·         Ketidak adaan tenaga untuk hal-hal yang ringan
·         Pingsan atau koleps
Bila dikaji maka keluhan / gejala-gejala sebagaimana digambarkan diatas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan fisiologis organ tubuh sebagai akibat stressor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.
2.2.7   Strategi menangani stress
Strategi pencegahan untuk mencegah seseorang yang mengalami stress, setidaknya ada tiga lapis :
a.       Lapis pertama ( primary prevention )
Dengan cara mengubah cara kita melakukan sesuatu. Untuk keperluan ini kita perlu memiliki skills yang relevan. Masalnya : skills mengatur waktu, skill menyalurkan, skill mendelegasikan, skill mengorganisasikan, menata dsb.  
b.      Lapis kedua ( secondary prevevtion )
Strateginya kita menyiapkan diri menghadapi stressor dengan cara exercise, diet, rekreasi, istirahat, medikasi dsb.
c.       Lapis ketiga ( tertiory prevention )
Strateginya kita menangani dampak stress yang terlanjur ada, kalau diperlukan meminta bantuan jaringan supportive ataupun bantuan professional.
2.3    Ca Cerviks
2.3.1   Definisi Ca Cerviks

2.4  Mekanisme Koping
2.4.1 Definisi Mekanisme Koping
Usaha individu untuk mengatasi keadaan yang menekan, menantang atau mengancam, serta menimbulkan emosi-emosi yang tidak menyenangkan disebut tingkah laku koping (Lazarus, 2005). Menurut Sarafiono, 2006 koping merupakan suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan, (baik tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber daya yang mereka gunakan untuk menghadapi stress.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tingkah laku koping merupakan suatu proses respon individu yang berbentuk tingkah laku koping dan melibatkan proses kognitif yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan eksternal dan internal dimana tujuannya adalah mengatasi, mengurangi, atau menghilangkan situasi yang menekankan dan melebihi sumber daya yang dimiliki.
2.4.2 Proses Terjadinya Mekanisme Koping
        Pada dasarnya manusia melakukan perilaku koping dengan tujuan untuk keluar dari situasi yang tidak menyenangkan. Tingkah laku ini timbul dalam sejumlah tahap, pertama kita menilai sumber stress yang dihadapi serta sumber-sumber yang kita miliki untuk mengatasinya, kemudian bertindak (Potter & McKenzie, 2007). Yang terpenting dari munculnya perilaku koping adalah penilaian dan intrepretasi individu terhadap situasi yang dianggap sebagai masalah. Jadi yang ditekankan pada awal proses koping adalah penilaian atau intrpretasi individu. Penilaian terhadap suatu situasi tidak dapat digeneralisasikan pada semua individu. Setiap individu mempunyai respon yang bereda terhadap sumber stress (termasuk sumber stress yang sama).
                    Setelah memberikan penilaian, kemudian individu mempertimbangkan alternatif-alternatif penyelesaian masalah terhadap reaksinya terhadap stress atau masalah tersebut. Pada tahap ini terjadi juga apa yang disebut dengan perbedaan individual, dimana reaksi dan pemilihan strategi atau mekanisme koping dipengaruhi oleh factor-faktor stress. Beberapa tokoh mengatakan bahwa individu tidak hanya menggunakan satu saja melainkan beberapa strategi yang dinilai tepat dan sesuai dengan dirinya sendiri (Cooper & Payne, 2005). 
                    Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua (Stuart & Sundeen, 2006) yaitu :
1.      Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mndukung integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan maslah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.
2.      Mekanisme Koping Maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan lingkungan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai. Kategorinya adalah makan berlebihan atau tidak makan, bekerja berlebihan atau menghindar.

2.4.3   Jenis Strategi Koping
Koping dapat dikaji melalui beberapa aspek, salah satunya adalah aspek psikososial (Lazarus dan Folkman, 2005) yaitu :
1.      Reaksi Orientasi Tugas
Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari situasi stress secara realities, dapat berupa konstruktif atau destruktif, misalnya :
a.       Perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber-sumber ancaman baik fisik maupun psikologis
b.      Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan, merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang
2.      Mekanisme pertahanan ego, yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental. Adapun mekanisme pertahanan ego adalah sebagai berikut :
a.       Penyangkalan (Denial)
Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas terssebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana dan primitive.
b.      Identifikasi (Identification)
Proses dimana seseorang untuk menjadi seseorang yang ia kagumi berupaya dengan mengambil atau menirukan fikiran-fikiran, perilaku dan selera orang tersebut.
c.       Intelektualisasi (Intelectualization)
Penggunaan logika dan alasan yang berlebihan untuk menghindari pengalaman yang mengganggu perasaannya.
d.      Isolasi
Pemisahan unsure emosional dari suatu fikiran yang mengganggu dapat bersifat sementara atau berjangka lama.
e.       Proyeksi
Pengalihan buah fikiran atau impuls pada diri sendiri kepada orang lain terutama keinginan, perasaan emosional dan motivasi yang tidak dapat ditoleransi.
f.       Rasionalisasi
Menggunakan penjelasan yang tampak logis dan dapat diterima masyarakat untuk menghalalkan atau membenarkan impuls, perasaan, perilaku dan motif yang tidak dapat diterima.
g.      Reaksi Formasi
Pengembangan sikap dan pola perilaku yang ia sadari, yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya ia rasakan atau ingin lakukan.
h.      Regresi
Kemunduran akibat stress terhadap perilaku dan merupakan cirri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
i.        Represi
Pengesampingan secara tidak sadar tentang fikiran, impalas atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, dari kesadran seseorang merupakan pertahanan ego yang primer dan cenderung diperkuat oleh mekanisme lain.
j.        Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi sebenarnya merupakan analog represi yang disadari, pengesampingan yang disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang, kadang-kadang dapat mengarah pada represi yang berikutnya.  































BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual
Penerapan adaptasi Roy
 
                                                       


 


Text Box: Stimulus fokal
- Ca Cerviks


Stimulus kontekstual dan residual
- Keyakinan terhadap Ca CErviks
- Sikap terhadap Ca Cerviks

Tingkat Adaptasi


Text Box: Deficit kebutuhan terhadap Ca Cerviks (cemas, marah, depresi),Text Box: Mekanisme koping,Text Box: Kebutuhan berlebih terhadap Ca Cerviks (usaha untuk melawan Ca Cerviks),Text Box: Respon maladaptif
 
















Keterangan :
Diteliti             :
Tidak diteliti   :
Hubungan       :
Gambar 15 :    Kerangka konseptual penerapan model keperawatan adaptasi Roy dalam penurunan tingkat stress pada pasien Ca Cerviks
Dalam kerangka konsep tersebut menggunakan teori dari Calista Roy yaitu terdiri dari stimulus fokal, stimulus kontekstual dan stimulus residual yang nantinya akan mempengaruhi tingkat stress dari pasien Ca Servik. Pasien yang menderita Ca Servik akan mengalami berbagai jenis stressor, adapun jenis stressor adalah keadaan atau kondisi yang cukup serius, tindakan medis yang seringkali belum pernah diketahui penderita, lingkungan yang asing, pengalaman yang kurang serta hari perawatan yang cukup lama. Semua hal tersebut menyebabkan penderita mengalami stress. Adapun mekanisme koping stress yaitu stress fidiologis dan psikologis. Untuk stress psikologis ada yang adaptif dan maladaptive, maladaptif dapat menimbulkan marah, panic dan frustasi. Dimana nantinya tingkat stress tersebut akan diberikan penerapan adaptasi Roy  yang kemudian diharapkan akan terjadi penurunan tingkat stress sehingga tidak akan memperparah kondisi pasien.
3.2 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian (Alimul, A.2007). Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
“jika adaptasi pasien Ca Cerviks baik, maka tingkat stress yang dialami pasien akan terjadi penurunan”








BAB IV
METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu metode pemilihan dan perumusan masalah serta hipotesis untuk memberikan gambaran mengenai metode dan teknik yang hendak digunakan dalam melakukan suatu penelitian ( Tjokronegoro, 1999 ). Menurut Nursalam dan Pariani ( 2000 ) metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah menurut keilmuan. Dalam bab ini akan diuraikan tentang : (1) desain penelitian, (2) kerangka kerja, (3) desain sampling meliputi populasi, sampel, dan sampling, (4) identifikasi variabel, (5) definisi operasional, (6) pengumpulan data, (7) analisis data, (8) etik penelitian.
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian (Alimul, A.2007). Ada juga yang menguraikan bahwa desain penelitian adalah suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data (Nursalam, 2003).
Penelitian ini adalah jenis eksperimental dan menggunakan design penelitian Pre experimental dengan rancangan pre-post test control design yang mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok control disamping kelompok eksperimental, kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilkukan intervensi (Nursalam, 2008). Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
P                      Oa1                 Xl                    Oa2    
Gambar   skema rancangan penelitian pre eksperimental
Keterangan :
P               : klien
Oal           : observasi tingkat stress sebelum intervensi
Xl             : perlakuan
Oa2          : observasi setelah perlakuan


















4.2 Kerangka Kerja Penelitian


 











                    


 



Analisis data : uji wilcoxon
Mactched Pairs
 
 


 



Gambar 4.2 Kerangka Kerja penelitian Penerapan Model Keperawatan Adaptasi Roy dalam Penurunan Tingkat Stress pada Pasien Ca Cerviks di Yayasan Kanker Indonesia Wilayah Surabaya Daerah Mulyorejo
4.3 Populasi, sampel, dan sampling
4.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Alimul, A.2007). Dalam pengertian lain populasi adalah wilayah yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien Ca Cervik di Yayasan Kanker Indonesia wilayah Surabaya daerah Mulyorejo. Dengan populasi ∑ =  30 orang.
4.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Alimul, A.2007). Sampel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagian pasien Ca Cerviks di Yayasan Kanker Indonesia wilayah Surabaya daerah Mulyorejo.
4.3.3 Besar Sampel
Besar sampel adalah banyaknya anggota yang akan dijadikan sampel (Nursalam, 2000). Besar sampel dalam penelitian ini adalah  responden yang menderita Ca Cerviks. Besar sampel dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan rumus (Notoatmodjo, 2005).
Dalam penelitian ini besar sampel yang digunakan dalam rumus :
                     n =        N. Z2. p. q_   _
                            d2 (N-1) + Z2. p. q
Keterangan :
N = Perkiraan besar populasi
n = Perkiraan jumlah sampel
d = Tingkat signifikasi (ρ) (0,05)
Z = Nilai standart normal α = 0,05 (1,96)
p  = Perkiraan proporsi jika tidak diketahui dianggap 50%
q = 1- p (100% - p)
Berdasarkan rumus di atas, sampel dalam penelitian ini adalah :
 n =        N. Z2. p. q_   _
        d2 (N-1) + Z2. p. q
    =               30 (1,96)2. (0,5). (0,5)
         (0,005)2 . (30-1) + (1,96)2 . (0,5) . (0,5)
    =          30 . 3,84 . 0,25
         0,0025 . 29 + 3,84 . 0,25
    =          28,8
         0,0725 + 0,96
    =      28
         1,0325
    = 28
Jadi sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 28 pasien.
4.3.4 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi proses dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003). Teknik sampling merupakan suatu proses dalam menyeleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili dari keseluruhan populasi yang ada. Salah satu teknik sampling yaitu probability sampling dengan maksud untuk memberikan peluang yang sama dalam pengambilan sampel, yang bertujuan untuk generalisasi, dengan ber azaz probabilitas unit terpilih. Diantara beberapa jenis probability sampling, yang digunakan peneliti adalah simple random sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi. Dengan cara semua populasi didaftar dan diberikan nomer urut kemudian diundi sebanyak jumlah sampel kemudian hasil dari sampling akn diambil untuk mewakili jumlah populasi (Hidayat A. Azis, 2010).
4.4 Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai cirri, sifat atau yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan peneliti tentang sesuatu konsep penelitian tertentu (Notoatmodjo,2002).
4.4.1 Variabel Independen
Variabel independen ini merupakan variable yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel ini juga dikenal dengan nama variabel bebas yang artinya bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Alimul, A.2007). Variabel independen dalam penelitian ini adalah penerapan model keperawatan adaptasi Roy.
4.4.2 Variabel Dependen
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Alimul, A.2007). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat stress pasien Ca Cerviks.

4.5 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena (Alimul, A.2007). Definisi operasional dari variable yang diteliti dapat dilihat pada table berikut :






















Tabel 4.1 : Definisi Operasional penelitian penerapan model keperawatan adaptasi Roy dalam penurunan tingkat stress pada pasien Ca Cerviks
Variabel
Definisi Operasional
Parameter / Indikator
Hasil ukur
Skala
Variabel Independen

Model keperawatan Adaptasi Roy








Variabel Dependen

Stress

model keperawatan yang bertujuan membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan hubungan interdependensi selama sehat sakit
tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang berbahaya
Elemen dalam proses keperawatan menurut Roy meliputi :
1.       pengkajian tahap pertama dan kedua
2.       diagnose
3.        tujuan
4.        intervensi
5.        Evaluasi


HARS (Hamilton Anxietas Rate Scale)
1.      Perasaan cemas
2.      Ketegangan
3.      Ketakutan
4.      Gangguan tidur
5.      Gangguan kecerdasan
6.      Perasaan depresi (murung)
7.      Gejala somatic/fisik (otot)
8.      Gejala somatic/fisik (sensorik)
9.      Gejala kardiovaskular
10.  Gejala respiratori
11.  Gejala gastrointestinal
12.  Gejala urogenital
13.  Gejala autonomi
14.  Tingkah laku pada wawancara










< 6 = tidak ada kecemasan
6-14 = kecemasan ringan
15-27=kecemasan sedang
>27 = kecemasan berat










Ordinal

4.6    Pengumpulan dan Analisis Data
4.6.1 Instrumen
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk mengumpulkan data (Notoatmodjo, 2002). Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah lembar kuesioner HARS yang berisi 14 poin (perasaan cemas, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecemasan, perasaan depresi, gejala somatic/fisik otot, gejala somatic/fisik sensorik, gejala kardiovaskular, gejala respiratorik, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonomy, tingkah laku/sikap) perasaan penderita (Dadang Hawari, 2007).
4.6.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yayasan Kanker Indonesia Wilayah Surabaya daerah Mulyorejo. Waktu penelitian pada bulan Desember 2011.
4.6.3 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan seijin Direktur Yayasan Kanker Indonesia wilayah Surabaya daerah Mulyorejo. Langkah awal peneliti menyeleksi responden kemudian memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian yang akan dilakukan dan meminta persetujuan dari responden penilitian. Responden setuju menandatangani inform consent.
Sebelum intervensi kelompok perlakuan diukur tingkat stress yang dialami sehingga diperoleh skor awal sebelum diintervensi. Kelompok perlakuan akan dikumpulkan dan diberi intervensi penerapan model keperawatan adaptasi Roy sebanyak 2x dalam seminggu dengan durasi 60 menit setiap pertemuan. Peneliti berperan sebagai educator dan fasilitator. Post test dilakukan setelah semua masalah terselesaikan dengan cara memberikan kuesioner yang sama pada saat pre test.
4.6.4 Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan tahap analisa data. Pada analisa data dilakukan ;
1.      Editing, melakuakn pemeriksaan terhadap data yang diperoleh kemudian diteliti apakah ada kekeliruan dalam pengisian, terisi lengkap atau belum.
2.      Coding, peneliti memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data untuk memudahkan dalam melakukan analisa data.
3.      Scoring, pada tahap ini jawaban responden yang sama dikelompokkan dengan teliti dan teratur.
4.6.5 Analisa Data
Setelah data terkumpul dikelompokkan tabulasi data dan kemudian di analisis dengan uji Wilcoxon Matched Pairs karena dalam penelitian ini menerapakan pre dan post test terhadap sampel sebelum dan sesudah perlakuan. Teknik ini dilakukan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk ordinal dengan menentukan taraf nyata (α) 0,05 dengan T table.
Dalam penelitian ini dibandingkan sebelum dan sesudah perlakuan pada penderita Ca Cerviks. Kemudian dilakukan uji normalitas Kolmogorov-smirnov untuk mengetahui distribusinya normal atau tidak. Dilakukan uji statistic wilcoxon sign rank sampel berpasangan untuk data sebelum intervensi dan sesudah intervensi dengan nilai kemaknaan p < 0,05 artinya bila uji statistic menunjukkan niali p < 0,05 maka ada pengaruh bermakna antara variable.
4.7 Masalah Etik
Persetujuan dan kerahasiaan responden merupakan hal utama yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu penelitian ini dimulai dengan melakukan berbagai prosedur yang berhubungan dengan etika penelitian :
4.7.1 Lembar Persetujuan (Informed consent)
Responden ditetapkan setelah terlebih dahulu mendapatkan penjelasan tentang kegiatan penelitian, tujuan penelitian dan setelah responden menyatakan setuju untuk dijadikan responden secara tertulis.
4.7.2 Tanpa Nama (anonimity)
Seluruh responden dalam sampel penelitian tidak akan disebutkan namanya dalam hasil pengukuran maupun dalam laporan penelitian.
4.7.3 Kerahasiaan (confidentiality)
Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian akan dirahasiakan identitas spesifiknya (nama, gambar dan cirri-ciri) dan hanya informasi tertentu saja yang ditampilkan.






4.8 Keterbatasan 
Keterbatasan-keterbatasan dari penelitian ini adalah :
1.      Instrument dengan kuesioner memiliki kelemahan unttuk tidak diisi dengan jujur karena pasien takut dan adanya persepsi yang keliru akan pertanyaan-pertanyaan yang ada
2.      Terbatasnya sarana dan dana sehingga penelitian kurang sempurna dan kurang memuaskan
3.      Tingkat kemampuan dan pengalaman peneliti terbatas
Previous
Next Post »

Translate