KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II
THYPOID
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah
SWT atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang
berjudul “ THYPOID “ sebagai tugas Keperawatan
Medikal Bedah II program studi S1 Keperawatan semester 6 Universitas
Muhammadiyah Surabaya tahun pelajaran 2011/2012.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan membantu dalam
penyelesaian penulisan makalah ini.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan dan penulis bersedia menampung kritik dan saran dari
para pembaca.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.
Surabaya,
Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….
1.1
Latar Belakang………………………………………………………………………
1.2
Rumusan Masalah…………………………………………………………………...
1.3
Tujuan……………………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..
2.1
Pengertian…………………………………………………………………………….
2.2
Etiologi………….……………………………………………………………………
2.3
Patofisiologi…………………………………………………………………………..
2.4
Manifestasi klinis…………………………………………………………………….
2.5
Komplikasi…………………………………………………………………………...
2.6
Pencegahan…… ...……………………………………………………………………
2.7
Penatalaksanaan.……………………………………………………………………..
2.8
Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………………..
2.9
Asuhan Keperawatan pada Pasien Thypoid…………………………………………
BAB III PENUTUP…………..…………………………………………………………
3.1
Kesimpulan……………………..………………………………………………………
3.2
Saran………………….………………………….……………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam
tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever)
merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Menurut T.H.
Rampengan dan I.R. Laurentz diperkirakan insiden demam tifoid pada tahun 1985
di Indonesia adalah sebagai berikut umur 0-4 tahun 25,32 %, umur 5-9 tahun
35,59 % dan umur 10-14 tahun 39,09%. Namun menegakkan diagnosis demam tifoid
pada anak merupakan hal yang tidak mudah mengingat tanda dan gejala klinis yang
tidak khas terutama pada penderita di bawah usia 5 tahun. Insiden penyakit ini
tidak berbeda antara anak laki dan anak perempuan, tergantung pada status gizi
dan status imunologis penderita.
Demam
tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya merangsang
sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Zat
pirogen ini akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di
hipotalamus yang menimbulkan gejala demam.
Sebagai
tenaga kesehatan, kita sebaiknya memberikan penyuluhan kepada masyarakat
terutama pada anak-anak supaya menjaga kebersihan, baik kebersihan lingkungan,
makanan, air minum, dan kebersihan diri sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa Pengertian dari thypoid ?
1.2.2
Apa etiologi atau penyebab terjadinya thypoid ?
1.2.3
Bagaimana patofisiologi sampai terserang thypoid ?
1.2.4
Apa saja manifestasi klinis yang disebabkan karena thypoid ?
1.2.5
Apa saja komplikasi yang terjadi akibat terserang thypoid ?
1.2.6
Bagaimana cara untuk mencegah supaya tidak terkena thypoid ?
1.2.7
Bagaimana penatalaksanaan yang harus dilakukan pada penderita thypoid ?
1.2.8
Apa saja pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan untuk penderita thypoid ?
1.2.9
Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien Thypoid ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui Pengertian dari thypoid
1.3.2
Untuk mengetahui Etiologi thypoid
1.3.3
Untuk mengetahui Patofisiologi hingga
terserang thypoid
1.3.4
Untuk mengetahui Manifestasi klinis yang
disebabkan karena thypoid
1.3.5
Untuk mengetahui Komplikasi yang terjadi
akibat terserang thypoid
1.3.6
Untuk mengetahui cara untuk mencegah supaya tidak terkena thypoid
1.3.7
Untuk mengetahui Penatalaksanaan yang
harus dilakukan pada penderita thypoid
1.3.8
Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang
yang akan dilakukan untu penderita thypoid
1.3.9
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Pasien Thypoid
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Thypoid
Demam
tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever)
merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi
salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah
terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella.
( Bruner and Sudart).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala
sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C.
penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi (Mansoer Orief.M.).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut,
Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh
salmonella type A. B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan
minuman yang terkontaminasi.
2.2
Etiologi
Penyakit
tifus disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella Typhosa, basil gram negatif,
berflagel (bergerak dengan bulu getar), anaerob, dan tidak menghasilkan spora.
Bakteri tersebut memasuki tubuh manusia melalui saluran pencernaan dan manusia
merupakan sumber utama infeksi yang mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit
saat sedang sakit atau dalam pemulihan. Kuman ini dapat hidup dengan baik
sekali pada tubuh manusia maupun pada suhu yang lebih rendah sedikit, namun
mati pada suhu 70°C maupun oleh antiseptik. Demam tifoid adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi A, B atau C (Soedarto, 1996).
Salmonella
Typhosa memiliki tiga macam antigen, yaitu :
a. Antigen
O (Ohne Hauch) : merupakan polisakarida yang sifatnya spesifik untuk grup
Salmonella dan berada pada permukaan organisme dan juga merupakan somatik
antigen yang tidak menyebar
b. Antigen
H : terdapat pada flagella dan bersifat termolabil
c. Antigen
Vi : merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi antigen O
terhadap fagositosis.
2.3 Patofisiologi
Kuman
Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam usus halus
kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (teutama Plak Peyer)
dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan nekrose
setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi bakteremi
primer) menuju ke organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak
difagosit akan berkembang biak dalam hati dan limfa sehingga organ tersebut
membesar disertai nyeri pada perabaan.
Pada
akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman kembali masuk dalam darah (bakteremi
sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus
halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong di atas Plak Peyer. Tukak tersebut
dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Pada masa bakteremi ini,
kuman mengeluarkan endotoksin yang mempunyai peran membantu proses peradangan
lokal dimana kuman ini berkembang.
Demam
tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya merangsang
sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Zat
pirogen ini akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di
hipotalamus yang menimbulkan gejala demam.
WOC
2.4 Manifestasi Klinis
Masa
inkubasi rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi
melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui
minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodroma, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat.
Kemudian gejala klinis yang biasa
ditemukan, yaitu :
a. Demam
lebih dari 7 hari
Pada kasus tertentu, demam
berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak
seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga, suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada
akhir minggu ketiga.
b. Gangguan
saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau
tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden), lidah ditutupi selaput
putih kotor (coated tongue, lidah tifoid), ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen terjadi splenomegali dan hepatomegali dengan
disertai nyeri tekan. Biasanya didapatkan kondisi konstipasi, kadang diare,
mual, muntah, tapi kembung jarang.
c. Gangguan
kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun
walaupun tidak seberapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi
sopor, koma atau gelisah.
d. Pada
punggung terdapat roseola (bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler
kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam).
e. Relaps
(kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit tifus abdominalis, akan tetapi
berlangsung ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu
badan normal kembali, terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan
baik oleh obat zat anti. Mungkin terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi
invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan fibrosis.
f. Epitaksis
g.
Bradikardi
2.5 Komplikasi
Dapat terjadi pada :
a. Di
usus halus
Umumnya jarang terjadi, namun sering
fatal, yaitu :
1. Perdarahan
usus
Diagnosis
dapat ditegakkan dengan :
- penurunan
TD dan suhu tubuh
- denyut
nadi bertambah cepat dan kecil
- kulit
pucat
- penderita
mengeluh nyeri perut dan sangat iritabel
2. Perforasi usus
Timbul
biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian
distal ileum.
3. Peritonitis
Pada umumnya
tanda gejala yang sering didapatkan:
- nyeri perut hebat
- kembung
- dinding abdomen tegang
(defense muskulair)
- nyeri tekan
- TD menurun
- Suara bising usus
melemah dan pekak hati berkurang
Pada
pemeriksaan darah tepi didapatkan peningkatan lekosit dalam waktu singkat.
b. Diluar
usus halus
-
Bronkitis, terjadi pada akhir minggu pertama.
-
Bronkopneumonia, kasus yang berat bilamana disertai infeksi sekunder
-
Kolesistitis
-
Tifoid ensefalopati, gejala : kesadaran menurun, kejang-kejang, muntah, demam tinggi
-
Meningitis, gejala : bayi tidak mau menetek, kejang, letargi, sianosis, panas,
diare, kelainan neurologis.
-
Miokarditis
-
Karier kronik
2.6 Pencegahan
1. Usaha
terhadap lingkungan hidup :
a. Penyediaan
air minum yang memenuhi
b. Pembuangan
kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene
c. Pemberantasan
lalat.
d. Pengawasan
terhadap rumah-rumah dan penjual makanan.
2. Usaha
terhadap manusia.
a. Imunisasi
b. Pendidikan
kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal hygiene. (Soeparman,
1987)
2.7 Penatalaksanaan
a.
Perawatan
1.
Klien
diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi
perdarahan usus.
2.
Mobilisasi
bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada
komplikasi perdarahan.
b.
Diet
1.
Diet yang
sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein
2.
Pada
penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3.
Setelah bebas
demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
4.
Dilanjutkan dengan nasi biasa
setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
c.
Obat-obatan
a. Antimikroba
:
-
Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
-
Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
-
Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv,
dilarutkan dalam 250
ml cairan infus.
-
Ampisilin atau
amoksisilin 100
mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi dalam 3
atau 4 dosis.
Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam.
b. Antipiretik
seperlunya
c. Vitamin
B kompleks dan vitamin C
d. Mobilisasi
bertahap setelah 7
hari bebas demam.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid
adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
a.
Pemeriksaan
leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam
typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya
leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid,
jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan
kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi
sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
b.
Pemeriksaan
SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali
meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c.
Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam
typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan
terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari
beberapa faktor :
1. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan
laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media
biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama
positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada
waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau
dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah
mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil biakan mungkin negatif.
d.
Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik
terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O
(berasal dari tubuh kuman).
2. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H
(berasal dari flagel kuman).
3. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi
(berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O
dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
1.
Faktor yang berhubungan dengan klien :
§
Keadaan umum : gizi
buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
§
Saat pemeriksaan
selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien
sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
§
Penyakit – penyakit
tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak
dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma
lanjut
§
Pengobatan dini
dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
§
Obat-obatan
imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat
terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
§
Vaksinasi dengan
kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer
aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6
bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama
1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah
divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
§
Infeksi klien
dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat
mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah
§
Reaksi anamnesa :
keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi
karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang
pernah tertular salmonella di masa lalu.
2.
Faktor-faktor Teknis
§
Aglutinasi silang :
beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies yang lain.
§
Konsentrasi
suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
§
Strain salmonella
yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya
aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari
suspensi dari strain lain.
2.9
Auhan Keperawatan pada Pasien Thypoid
a. Pengkajian
Pengumpulan data
1. Identitas
klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor
register dan diagnosa medik.
2. Keluhan
utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang
tidak turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare
serta penurunan kesadaran.
3. Riwayat
penyakit sekarang
Peningkatan
suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.
4. Riwayat
penyakit dahulu
Apakah
sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
5. Riwayat
psikososial dan spiritual
Biasanya
klien cemas, bagaimana koping mekanisme yang digunakan. Gangguan dalam beribadat karena klien tirah
baring total dan lemah.
6. Pola-pola
fungsi kesehatan
a) Pola
nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu
makan karena mual dan muntah saat
makan sehingga makan hanya sedikit
bahkan tidak makan sama sekali.
b) Pola
eliminasi
Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena
tirah baring lama. Sedangkan eliminasi
urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi
peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus,
sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
c) Pola
aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena
harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan
klien dibantu.
d) Pola
tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu
sehubungan peningkatan suhu tubuh.
e) Pola
persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap
keadaan penyakitnya dan ketakutan merupakan dampak psikologi klien.
f) Pola
sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan,
pendengaran dan penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak
terdapat suatu waham pad klien.
g) Pola
hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu
sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total.
h) Pola
reproduksi dan seksual
Gangguan
pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah karena harus dirawat di
rumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak mengalami gangguan.
i)
Pola penanggulangan
stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa
sedih karena keadaan sakitnya.
j)
Pola tatanilai dan
kepercayaan
Dalam hal beribadah biasanya terganggu
karena bedrest total dan tidak boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang
dideritanya saat ini.
Pemeriksaan fisik
1. Keadaan
umum
Didapatkan klien
tampak lemah, suhu
tubuh meningkat 38
– 410
C, muka kemerahan.
2. Tingkat
kesadaran dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
3. Sistem
respirasi
Pernafasan
rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran seperti
bronchitis.
4. Sistem
kardiovaskuler
Terjadi
penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
5. Sistem
integumen
Kulit
kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam
6. Sistem
gastrointestinal
Bibir
kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah,
anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik
usus meningkat.
7. Sistem
muskuloskeletal
Klien
lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
8. Sistem
abdomen
Saat
palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri
tekan pada abdomen. Pada perkusi
didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan
darah tepi
Didapatkan
adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas, terjadi gangguan
absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan penghancuran sel darah
merah dalam peredaran darah. Leukopenia
dengan jumlah lekosit antara 3000
– 4000 /mm3 ditemukan pada fase
demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari
darah tepi. Trombositopenia terjadi pada
stadium panas yaitu pada minggu pertama.
Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan
endotoksin. Laju endap darah meningkat.
2. Pemeriksaan
urine
Didapatkan
proteinuria ringan ( < 2
gr/liter) juga didapatkan peningkatan lekosit dalam urine.
3. Pemeriksaan
tinja
Didapatkan
adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
4. Pemeriksaan
bakteriologis
Diagnosa
pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman
salmonella dan biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.
5. Pemeriksaan
serologis
Yaitu
reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman
salmonella adalah antobodi O dan H.
Apabila titer antibodi O adalah 1
: 20 atau lebih
pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif
(lebih dari 4
kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukkan diagnosa positif dari infeksi Salmonella typhi.
6. Pemeriksaan
radiologi
Pemeriksaan
ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam tifoid.
b. Diagnosa
Keperawatan
1. Hipertermi
berhubungan dengan gangguan hipothalamus oleh pirogen endogen.
2. Diare
berhubungan dengan infeksi pada saluran intestinal.
3. Resiko
tinggi kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4. Resiko
tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan adanya salmonella pada tinja
dan urine.
5. Konstipasi
berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa intestinal.
c. Rencana Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan
|
Perencanaan
Keperawatan
|
||
Tujuan dan
criteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1. Hipertermi berhubungan
dengan gangguan hipothalamus oleh pirogen endogen.
|
Suhu tubuh akan
kembali normal, keamanan dan kenyaman pasien dipertahankan selama pengalaman
demam dengan kriteria suhu antara 366-373 0C, RR dan Nadi
dalam batas normal, pakaian dan tempat tidur pasien kering, tidak ada reye
syndrom, kulit dingin dan bebas dari keringat yang berlebihan
|
1. Monitor
tanda-tanda infeksi
2. Monitor
tanda vital tiap 2
jam
3. Kompres
dingin pada daerah yang tinggi aliran darahnya
4. Berikan
suhu lingkungan yang nyaman bagi pasien. Kenakan pakaian tipis pada pasien.
5. Monitor
komplikasi neurologis akibat demam
6. Atur
cairan iv sesuai order atau anjurkan intake cairan yang adekuat.
7. Atur
antipiretik, jangan berikan aspirin
|
1. Infeksi pada umumnya menyebabkan
peningkatan suhu tubuh
2. Deteksi resiko peningkatan suhu
tubuh yang ekstrem, pola yang dihubungkan dengan patogen tertentu, menurun
idhubungkan denga resolusi infeksi
3. Memfasilitasi kehilangan panas
lewat konveksi dan konduksi
4. Kehilangan panas tubuh melalui
konveksi dan evaporasi
5. Febril dan enselopati bisa terjadi
bila suhu tubuh yang meningkat.
6. Menggantikan cairan yang hilang
lewat keringat
7. Aspirin beresiko terjadi perdarahan
GI yang menetap.
|
2. Diare berhubungan
dengan infeksi pada saluran intestinal
|
Pasien akan kembali
normal pola eliminasinya dengan kriteria makan tanpa muntah, mual, tidak
distensi perut, feses lunak, coklat dan berbentuk, tidak nyeri atau kram
perut.
|
1. Ukur
output
2. Kompres
hangat pada abodmen
3. Kumpulkan
tinja untuk pemeriksaan kultur.
4. Cuci
dan bersihkan kulit di sekitar daerah anal yang terbuka.
|
1. Menggantikan cairan yang hilang
agar seimbang
2. Mengurangi kram perut (hindari
antispasmodik)
3. Mendeteksi adanya kuman patogen
4. Mencegah iritasi dan kerusakan
kulit
|
3. Resiko tinggi
infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan adanya salmonella pada tinja dan
urine.
|
Pasien akan bebas
infeksi dan komplikasi dari infeksi salmonella dengan kriteria tanda vital
dalam batas normal, kultur darah, urine dan feses negatif, hitung jenis darah
dalam bataas normal, tidak ada perdarahan.
|
1.
Kumpulkan darah,
urine dan feses untuk pemeriksaan sesuai aturan.
2.
Atur pemberian agen
antiinfeksi sesuai order.
3.
Pertahankan enteric
precaution sampai 3
kali pemeriksaan feses negatif terhadap S. Thypi
4.
Cegah pasien terpapar
dengan pengunjung yang terinfeksi atau petugas, batasi pengunjung
5.
Terlibat dalam
perawatan lanjutan pasien
6.
Ajarkan pasien
mencuci tangan, kebersihan diri, kebutuhan makanan dan minuman, mencuci
tangan setelah BAB atau memegang feses.
|
1. Pengumpulan yang salah bisa merusak
kuman patogen sehingga mempengaruhi diagnosis dan pengobatan
2. Anti infeksi harus segera diberikan
untuk mencegah penyebaran ke pekerja, pasien lain dan kontak pasien.
3. Mencegah transmisi kuman patogen
4. Membatasi terpaparnya pasien pada
kuman patogen lainnya.
5. Meyakinkan bahwa pasien diperiksa
dan diobati.
6. Mencegah infeksi berulang
|
4. Resiko tinggi
kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
|
Keseimbangan cairan
dan elektrolit dipertahankan Kriteria turgor kulit normal, membran mukosa
lembab, urine output normal, kadar darah sodium, kalium, magnesium dan
kalsium dalam batas normal.
|
1.
Kaji tanda-tanda
dehidrasi
2.
Berikan minuman per
oral sesuai toleransi
3.
Atur pemberian cairan
per infus sesuai order.
4.
Ukur semua cairan
output (muntah, diare, urine. Ukur semua intake cairan.
|
1. Intervensi lebih
dini
2. Mempertahankan intake yang adekuat
3. Melakukan
rehidrasi
4.Meyakinkan keseimbangan antara
intake dan ouput
|
5. Konstipasi
berhubungan dengan invasi salmonella pada mukosa intestinal.
|
Pasien bebas dari
konstipasi dengan kriteria feses lunak dan keluar dengan mudah, BAB tidak
lebih dari 3 hari.
|
1.
Observasi feses
2.
Monitor tanda-tanda
perforasi dan perdarahan
3.
Cek dan cegah
terjadinya distensi abdominal
4.
Atur pemberian enema
rendah atau glliserin sesuai order, jangan beri laksatif.
|
1. Mendeteksi adanya darah dalam feses
2. Untuk intervensi medis segera
3. Distensi yang tidak membaik akan
memperburuk perforasi pada intestinal
4. Untuk menghilangkan distensi
|
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Demam
tifoid (Typhus abdominalis, Typhoid fever, enteric fever)
merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
dengan gejala demam selama satu minggu atau lebih dengan disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
Demam
tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya merangsang
sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang meradang. Zat
pirogen ini akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di
hipotalamus yang menimbulkan gejala demam.
3.2
Saran
Sebagai
tenaga kesehatan, kita sebaiknya memberikan penyuluhan kepada masyarakat
terutama pada anak-anak supaya menjaga kebersihan, baik kebersihan lingkungan,
makanan, air minum, dan kebersihan diri sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
- Marylin E Doengoes. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 . EGC. Jakarta. 1999.
- Barbara Engram, 1998 “ Keperawatan Medikal Bedah , EGC Jakarta
- http://ppni.klaten.com/index.php?option=com_content&view=article&id=77:thypoid&catid=38:ppni-ak-category&Itemid=66
- http://contoh-askep.blogspot.com/2008/07/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan.html
ConversionConversion EmoticonEmoticon