ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PASIEN SLE ( SISTEMISC LUPUS
ERYTHEMATOSUS )
Disusun Oleh :
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2011/2012
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Definisi SLE
2.2
Etiologi SLE
2.3
Klasifikasi SLE
2.4
Manifestasi Klinis SLE
2.5
Patofisiologi SLE
2.6
Pemeriksaan Diagnostik SLE
2.7
Penatalaksanaan Medis SLE
2.8
Asuhan Keperawatan SLE
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2
Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Kongres Internasional Lupus Sedunia di New York, awal Mei
lalu, lebih dari 1200 peserta dari seluruh penjuru dunia hadir, baik dari kalangan
medik, perawat, peneliti, maupun mereka yang terkena lupus. Dokter spesialis
yang hadir pun beragam, seperti spesialis penyakit dalam, konsultan hematologi,
rematologi, ginjal, spesialis kulit dan kebidanan. Organisasi ataupun
perhimpunan orang dengan lupus juga hadir dari berbagai negara, dari Indonesia
hadir Ketua Yayasan Lupus Indonesia (YLI) yang merupakan wakil satu-satunya
dari perhimpunan serupa di Asia. Untuk diketahui saat ini, ada lebih dari 5
juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari
100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sebagian
besar pasien lupus ditemukan pada perempuan usia produktif. Jumlah pasien di
Indonesia yang secara tepat tidak diketahui diperkirakan paling tidak sama dengan
jumlah pasien lupus di Amerika, yaitu 1.500.000 orang. Beberapa data
menunjukkan insiden penyakit lupus ras Asia lebih tinggi dibandingkan dengan
ras Kaukasia. Saat ini pasien lupus yang terdaftar sebagai anggota YLI ada 757
orang, sebagian besar berdomisili di Jakarta. Salah satu tujuan proklamasi hari
lupus sedunia adalah meningkatkan kualitas layanan dan mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit
pasien terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter
yang tidak mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan
dampak lupus terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter
untuk mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan
tepat tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen,
dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen. Masalah berikutnya adalah
belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali
meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus
terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan
pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk
pasien maupun keluarganya.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi SLE (
Sistemic Lupus Erythematosus )
SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti
radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit
yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
2.2 Etiologi SLE (
Sistemic Lupus Erythematosus )
Kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan
diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor
genetik, kuman virus, sinaran ultraviolet, dan obat obatan tertentu memainkan
peranan. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di
kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita
mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus
(SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian. Penyakit Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun,
mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap
penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
2.3 Klasifikasi SLE (
Sistemic Lupus Erythematosus )
Ada
3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus
Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang
kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru,
ginjal, hati, otak, dan system saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics
Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah
penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah
pemakaian obat dihentikan. Pengaruh kehamilan terhadap SLE Eksaserbasi terjadi
karena hormone estrogen meningkat selama kehamilan. Jika terjadi SLE, maka
eksaserbasi meningkat 50-60%. Pada T.III eksaserbasi 50%, T.I & T.II
eksaserbasi 15%, postpartum 20%. Pengaruh SLE terhadap kehamilan Prognosis b’dasarkan
remisi sebelum hamil, jika > 6 bulan eksaserbasi 25% dengan prognosis baik,
jika < 6 bulan eksaserbasi 50% dengan prognosis buruk. Abortus meningkat
2-3kali, PE/E, kelahiran prematur, lupus neonatal.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE
adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan
mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente,
2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak
edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat
timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity).
Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah
vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi,
dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya
perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau
mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung
pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi,
kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit
ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE
(Delafuente, 2002).
Gejala lain
yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi pleuritis dan
efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk.
Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang
tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan
(gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia.
Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis,
dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer
berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara
(Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis,
depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat
inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada
pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik.
Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan
terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5%
pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka
pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung
trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus
dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi
antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu
tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk
memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL)
dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah
trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran
berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan
hipoprotombinemia atau trombositopenia,
maka dapat terjadi perdarahan.
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan
(VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah
sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005). Pada wanita dengan SLE
yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran
penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu
juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan
terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga
dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002). Gejala klinik pada
kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya
proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis.
Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan
biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II
(mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse
proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis).
Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas
ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika –
Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap
obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten
(Delafuente, 2002).
2.5 Patofisiologi
SLE
Penyakit SLE terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau
obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks
imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
2.6 Pemeriksaan
Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan
pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik
mencakup demam, keletihan serta penurunan berat badan dan kemungkinan pula
artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia sedang hingga
berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus
yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan
diagnosis.
2.7 Penatalaksanaan
Medis
1. Preparat
NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat
antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
3. Preparat
imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
2.8 ASUHAN KEPERAWATAN
4. Pengkajian
a. Anamnesis
riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah,
nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous
pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis
dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
d. Sistem
Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
e. Sistem
integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam
berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa
pipi atau palatum durum.
f. Sistem
pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem
vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan
lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
h. Sistem
Renal
Edema dan hematuria.
i.
Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan
kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.
5. Masalah
Keperawatan
a. Nyeri
b. Keletihan
c. Gangguan
integritas kulit
d. Kerusakan
mobilitas fisik
e. Gangguan
citra tubuh
6. Intervensi
a. Nyeri
berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat
kennyamanan
Intervensi :
1) Laksanakan
sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin; masase,
perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai; teknik
relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
2) Berikan
preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
3) Sesuaikan
jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan
nyeri.
4) Dorong
pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.
5) Jelaskan
patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri
sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
6) Bantu
dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai
metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
7) Lakukan
penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
b. Keletihan
berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan
sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang diperlukan untuk mengubah.
Intervensi :
1) Beri
penjelasan tentang keletihan :
a) hubungan
antara aktivitas penyakit dan keletihan
b) menjelaskan
tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
c) mengembangkan
dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik
relaksasi yang memudahkan tidur)
d) menjelaskan
pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
e) menjelaskan
cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
f) kenali
faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
2) Fasilitasi
pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
3) Dorong
kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
4) Rujuk
dan dorong program kondisioning.
5) Dorong
nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
c. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot,
rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan
mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
1) Dorong
verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
2) Kaji
kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
a) Menekankan
kisaran gherak pada sendi yang sakit
b) Meningkatkan
pemakaian alat Bantu
c) Menjelaskan
pemakaian alas kaki yang aman.
d) Menggunakan
postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
3) Bantu
pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
4) Dorong
kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.
a) Memberikan
waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
b) Memberikan
kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.
c) Menguatkan
kembali prinsip perlindungan sendi
d. Gangguan
citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi
antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang ditimbulkan
penyakit.
Intervensi :
1) Bantu
pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan
penanganannya.
2) Dorong
verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
a) Membantu
menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
b) Membantu
menganli mekanisme koping pada masa lalu.
c) Membantu
mengenali mekanisme koping yang efektif.
e. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan
kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
1) Lindungi
kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
2) Hilangkan
kelembaban dari kulit
3) Jaga
dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan
kompres hangat yang terlalu panas.
4) Nasehati
pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
5) Kolaborasi
pemberian NSAID dan kortikosteroid.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Daftar Pustaka
ConversionConversion EmoticonEmoticon