Peran
pendidikan dalam mendukung MDGs tahun 2015
Tujuan
atau sasaran dari MDGs ada 8 anyaitu ;
1.
Pengentasan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim
a.
Target untuk 2015: Mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan
kurang dari 1 dolar AS sehari dan mengalami kelaparan.
2.
Pemerataan pendidikan dasar
a.
Target untuk 2015: Memastikan bahwa setiap anak , baik laki-laki dan perempuan
mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar.
3.Mendukung
adanya persaman gender dan pemberdayaan perempuan
a.
Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam
pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua
tingkatan pada tahun 2015.
4.
Mengurangi tingkat kematian anak
a.
Target untuk 2015: Mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di
bawah 5 tahun
5.
Meningkatkan kesehatan ibu
a.
Target untuk 2015: Mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses
melahirkan
6.
Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya
a.
Target untuk 2015: Menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS,
malaria dan penyakit berat lainnya.
7.
Menjamin daya dukung lingkungan hidup
a.
Target:
8.
Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan
setiap negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan
Dari
8 tujuan tersebut terdapat tujuan yang tegas untuk mempromosikan kesetaraan
gender dan pemberdayan perempuan. Kedelapan tujuan MDGs tersebut adalah
(1)
Menghapuskan Kemiskinan dan Kelaparan,
(2)
Mewujudkan Pendidikan Dasar yang berlaku secara universal,
(3)
Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan,
(4)
Menurunkan angka kemtian anak,
(5)
Meningkatkan Kesehatan Ibu,
(6)
Memerangi penyebaran HIV/AIDS, Malarian dan Penyakit menular lainnya,
(7)
Menjamin Pelestarian Lingkungan dan
(8)
Membangun sebuah kemitraan global untuk pembangunan.
Upaya
jangka pendek bisa dilakukan dengan berbagai subsidi, penggusuran dan bisa juga
dengan menambah suatu daerah yang semula dianggap mempunyai jumlah penduduk
miskin yang besar dengan sejumlah besar penduduk yang tidak miskin. Atau sama
sekali merubah dan mengganti suatu daerah yang semula menjadi tempat tinggal
penduduk menjadi tempat tinggal baru dengan penduduk yang tidak miskin. Dengan
pendekatan jangka pendek tersebut kemiskinan di suatu daerah bisa dihilangkan
karena dipindahkan atau digusur, tetapi tidak diselesaikan. Dengan digusur,
rakyat miskin tetap tidak mujur. Penyelesaian yang dilakukan dengan cara
tersebut bersifat semu. Penyelesaian semu mudah dilakukan karena yang
diselesaikan adalah wilayah miskin, bukan penanggulangan atau pemberdayaan
penduduk miskin.
Atau,
dengan membantu sebesar Rp 100.000 setiap bulan, penduduk miskin bisa
memperoleh modal untuk mencari pekerjaan yang akhirnya dapat mengentaskan
mereka dari pendapatan di atas Rp 270.000 setiap bulannya. Atau, karena krisis
ekonomi, pendapatan penduduk menurun, sehingga perlu dipacu dengan bantuan uang
tunai tersebut. Kedua asumsi itu salah, karena yang dimaksud dengan target
tersebut bukan sekadar melengkapi pendapatan seseorang, tapi masyarakat
mendapatkan pekerjaan yang pendapatannya di atas 1 dolar AS setiap harinya.
Tapi
untuk jangka panjangnya hal ini tidak mungkin dilakukan terus menerus, perlu
adanya pemerataan dan perbaikan pendidikan. dengan adanya pemerataan dan
perbaikan pendidikan, maka sumberdaya manusia di Negara ini menjadi lebih baik,
menjadi lebih maju sehingga kedepanya manusia yang telah dibekali pendidikan
yang cukup mampu hidup dan bertahan dalam kehidupanya. mereka akan bisa menjadi
manusia yang aktif dan produktif. tentunya didukung oleh stabilitas politik dan
ekonomi di negara ini, sehingga peluang-peluang untuk mereka berkarya itu tidak
tetutup.
Pemerintah
nampaknya telah sadar bahwa salah satu kendala yang ada di tanah air adalah
kesenjangan dan ketidak adilan karena tidak adanya kesetaraan gender. Ada
baiknya kita tegaskan bahwa pendidikan dan pelatihan terpadu yang
berkelanjutan, dengan materi yang dipilih secara tepat, lebih-lebih secara
tegas memberikan perhatian yang tinggi kepada anak-anak perempuan akan membuka
cakrawala baru yang lebih baik di masa depan. Posisi rendah dan tidak bergerak
tersebut menandakan bahwa pembangunan kesetaraan gender melalui bidang
pendidikan belum banyak memperhatikan pengarusutamaan gender dibandingkan
dengan negara-negara tetangga lainnya. (dikutip dari http://www.haryono.com)
Dari kutipan diatas maka peranan pendidikan dalam tercapainya MDGs tahun 2015
jelas besar.
Peranan
dalam penyetaraan gender dalam pendidikan, dengan adanya penyetaraan gender
maka seluruh warga negara Indonesia yang ada akan menjadi warga yang produktif,
hal ini jelas akan membantu dalam penuntasan kemiskinan yang telah menjadi
problema di Indonesia selama ini.
Namun
perlu diperhatian bahwa anak-anak perempuan dari keluarga yang hidupnya sangat
pas-pasan biasanya sangat diperlukan oleh orang tuanya untuk membantu di rumah
dengan urusan-urusan masak memasak dan menyediakan segala sesuatu untuk seluruh
keluarganya. Kalau keluarga tersebut mempunyai anak balita, biasanya anak
perempuan akan mendapat tugas membantu orang tua memantau adiknya. Apabila
orang tua tersebut tergolong keluarga miskin, hampir pasti anak perempuannya
akan ditugasi untuk membantu orang tuanya bekerja di ladang atau pada bidang
usaha yang dilakukannya. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut anak
perempuan biasanya tertinggal, atau tidak melanjutkan sekolah pada pendidikan
yang lebih tinggi.
Tidak
hanya anak perempuan, dari keluarga miskin para anak laki – laki juga
seringkali hanya memikirkan bagaimana caranya mencari uang semudah mungkin.
Mereka tidak memperhatikan pendidikan tetapi karena mereka berpikir tanpa
pendidikanpun sejatinya mereka bias mecari nafkah. Hal inilah yang harus di
ubah. Bahwa sebenarnya dengan memiliki pendidikan yang cukup mereka bias dan
mampu menjadi lebih baik. Mereka akan menjadi seseorang yang lebih baik dari
mereka yng tanpa pendidikan. Karena pendidikan akan membentuk mereka menjadi
seseorang yang siap menghadapi kondisi apapun yang akan terjadi.
Tetapi
perlu diingat bahwa yang perlu diperhatikan adalah bahwa mutu lulusan yang
dapat diandalkan. Bukan saja mutu akademis agar seorang anak dapat melanjutkan
ke tingkat pendidikan lebih tinggi, tetapi seorang anak, lebih-lebih anak
perempuan, mempunyai ketrampilan praktis yang dapat dimanfaatkan seandainya
yang bersangkutan tidak dapat melanjutkan pada pendidikan tinggi. Andaikan
ketrampilan, dalam jumlah yang memadai dapat diberikan sebagai bagian dari
kegiatan sekolah, lebih-lebih menyambung dengan keadaan masyarakat secara
nyata, diperkirakan partisipasi anak perempuan pada setiap jenjang sekolah yang
dewasa ini kurang mantab, kesetaraan gender yang timpang, akan dengan pelahan
dapat diselesaikan. Pendidikan resmi di sekolah bisa menjadi salah satu upaya
untuk memotong rantai kemiskinan.
Dengan
demikian maka potensi berkembangnya kemiskinan akan menjadi lebih sempit.
Mereka yang juga dibekali ketrampilan akan siap terjun ke lapangan ketika
mereka telah selesai menempuh pendidikan. Maka daripada itu peran guru dalam
tercapainya pendidikan yang lebih baik juga besar. Yaitu peranan guru dalam
mengerti potensi-potensi yang dimiliki siswanya. Sehingga dengan pendidikan
yang tepat dengan potensi individu inilah kemampuan atau mutu dari setiap orang
akan menjadi maksimal.
Pendidikan
lanjutan, atau sekolah yang lebih tinggi, Perguruan Tinggi, dapat menampung
anak-anak muda yang mandiri tersebut dalam lembaga yang dapat diakses oleh anak
keluarga kurang mampu, terutama anak-anak perempuan, secara bertahap pada waktu
mereka makin mampu. Lembaga itu akan mengantar anak-anak muda yang mampu
memotong rantai kemiskinan tersebut melanjutkan pendidikan sampai ke tingkat
yang setinggi-tingginya.
Pendidikan
sangat berpengaruh terhadap 8 tujuan MDGs karena manusia yang memiliki
pendidikan lebih atau cukup akan lebih memperhatikan 8 sasaran MDGs. Oleh
karena itu pendidikan mutlak fungsinya dalam mencapai ke delapan sasaran MDGs
tersebut.
MDGS DAN PEMBANGUNAN
Program
Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakapi oleh 189 negara termasuk
Indonesia pada Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan September 2000, merumuskan ada delapan target
pembangunan yang harus tercapai pada tahun 2015. Adapun target tersebut
meliputi penghapusan kemiskinan, pendidikan untuk semua, persamaan gender,
perlawanan perhadap penyakit, penurunan angka kematian anak, peningkatan
kesehatan ibu, pelestarian lingkungan hidup, dan kerjasama global.
Saat
ini sudah separuh perjalanan (mid point) pelaksanaan MDGs. Tercapainya MDGs
sangat dipengaruhi oleh adanya sinergisitas antara pemerintah (eksekutif dan
legislatif), masyarakat, media, dan kelompok bisnis. Namun dalam kasus
Indonesia sinergisitas ini masih sulit dilakukan, setiap elemen masyarakat
masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini terliahat pada pengalaokasian anggaran
maupun pembuatan kebijakan yang belum searah dan sebangun dengan pelaksanaan
MDGs, selain itu bentuk-bentuk partisipasi yang didakukan oleh masyarakat,
media atau kelompok bisnis dalam penentuan kebijakan entah itu dalam anggaran
maupun peraturan belum banyak diakomodir oleh pemerintah. Salah satu akibat
kurangnya sinergisitas inilah yang membuat arah pembangunan tidak jelas dan
kurang memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainability).
Pembangunan berkelanjutan dalam konteks wilayah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJPMD). Dalam RPJMD Jawa Timur periode 2006-2008 memuat tujuh agenda pokok meliputi; Peningkatan kesalehan sosial beragama; Peningkatan aksesibilitas kualitas pendidikan dan kesehatan; Penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, perbaikan iklim ketenagakerjaan dan memacu kewirausahaan; Percepatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan pembangunan infrastruktur; Optimalisasi pengelolaan sumber daya alam, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup; Peningkatan ketentraman dan ketertiban, supremasi hukum dan HAM; serta Revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah melalui reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik.
Dari
tujuh agenda pembangunan tersebut tiga diantaranya berkaitan langsung dengan
MDGs yakni peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, penangulangan
kemiskinan, serta pelestarian fungsi lingkungan hidup. Namun, sampai saat ini
belum ada keberhasilan yang berarti dari program pembangunan tersebut.
Untuk program peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, sampai saat ini dari berbagai program peningatan akses pendidikan yakni BOS, dan BOS Buku belum mampu meningkatkan taraf pendidikan penduduk Jawa Timur. Sementara itu angka buta huruf penduduk usia 10-44 tahun mencapai 750.000 orang, dengan angka rata-rata lama sekolah mencapai 7,43 tahun (RPJMD) atau setara dengan menempuh pendidikan jenjang SD. Dalam bidang kesehatan, Kualitas pelayanan belum optimal karena belum semua sarana pelayanan kesehatan melaksanakan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Keterjangkauan dan pemerataan pelayanan dapat dilihat dengan rasio jumlah sarana yang ada. Di Jawa Timur terdapat 922 Puskesmas dan 2.134 Puskesmas Pembantu, berarti setiap Puskesmas melayani 38.698 orang atau belum sesuai standar dimana setiap Puskesmas mdlayani 30.000 penduduk.(RPJMD) Sedangkan pada program penanggulangan kemiskinan pemprmv Jatim belum mampu berbuat banyak, hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kemiskinan. Data yang dihimpun oleh BPS Jatim menunjukkan bahwa untuk tahun 2006 jumlah penduduk miskin sampai bulan Mei sebanyak 7,564 juta jiwa atau 19,94 persen dari total penduduk Jatim. Jumlah ini memang menurun dibanding Maret 2 07 yang menunjukkan jumlah penduduk miskin `i Jatim sebanyak 7,128 juta jiwa atau 18,93 persen dari total penduduk. Mamang terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 318.000 jiwa, namun jumlahnya tidak tarlalu signifikan diband)ng dengan banyaknya program pengentasan kemiskinan yang digulirkan pemerintah. Target yang dicanangkan oleh pemprgv Jatim yang tertuang dalam RPJMD bahwa angka kemiskinan tahun 2008 turun mefjadi 15,90 persen kiranya cukup sulit untuk dicapai. Secara mateiatis hal ini sangat jelas terlihat, sebab menurut data BPS tihun 2006 dan 2007 pemprov Jatim setidaknya dalam setahun mampu mengurangi angka kemiskinan sebesar 1 persen, jadi secara matematis angka kemiskinan tahun 2008 masih sebesar 17,93 persen jauh diatas target yang dicanangkan pemprov. Apalagi mehihat kondisi riil di lapangan, dimana pertumbuhan ekonomi di tahun 2007 ini turun menjadi 5,56 persen. Belum lagi ditambah besaran inflasi dan dampak luapan lumpur Lapindo yang telah merusakkan infrastruktur penunjang perekonomian. Meskipun menjadi agenda pokok pembangunan berkelanjutan di Jatim pelestarian lingkungan hidup belum mendapat sentuhan berarti. Padahal lingkungan besar perannya dalam mendukung agenda-agenda pembangunan lainnya. Lebih parah lagi muncul kesan pemprov Jadim telah mengorbankan kelestarian lingkungan demi dan mengatasnamakan pembangunan. Terjadinya bencana alam berupa tanah longsor dan banjir beberapa daerah menjadi bukti nyata kurangnnya perhatian pemprov pada kelestarian lingkungan ini. Seperti terlihat pada longsor dan banjir bandang yang terjadi di Jember dan Trenggalek, Banjir luapan sungai Bengawan Solo di Bojonegoro, serta semakin kritisnya kondisi Waduk karena endapan lumpur dan mengeringnya mata air di sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS). Penanggulangan bencana yang dilakukanpun belum menyentuh akar persoalan. Umumnya pemerintah hanya memberikan bantuan yang sifatnya tanggap darurat seperti bantuan makanan, air bersih, kesehatan dan sandang. Paling bagus pemerintah hanya melakukan relokasi ke tempat yang lebih aman. Padahal akar persoalannya terletak pada rusaknya ekosistem hutan. Hal ini terlihat pada luas lahan kritis di dalam kawasan hutan yang meliputi Hutan Produksi dan Lindung ア 160.000 Ha serta Hutan Konservasi 40.000 Ha, sedangkan di luar kawasan hutan telah mencapai ア 665.000 Ha. (RPJMD) Yang cukup mengherankan untuk menjalankan program-program tersebut pemprov Jatim banyak mengandalkan dari intensifikasi dan ekstensifakasi PAD, melakukan pinjaman daerah serta mengeluarkan obligasi daerah. Untuk intensifikasi dan ekstensifikasi PAD terlihat bahwa sebagaian besar PAD disumbang oleh pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini sama saja dengan membebani masyarakat dengan berbagai macam pungutan. Sedangkan untek pinjaman, dan obligasi daerah sama saja, karena nantinya juga berujung pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal ini tidak lain karena untuk membayar pinjaman dan obligasi daerah, dananya diambilkan dari APBD sehifgga APBD yang seharusnya untuk kesejahteraan masyarakat lebih banyak digunakan untuk membayar hutang dalam bentuk pinjaman dan obligasi daerah. Belum lagi penyerapan dana APBD yang rendah serta banyaknya kebocoran yang terjadi pada dana pembangunan ini. Untuk membiayai pembangunan, seharusnya pemprov Jatim mengoptimalkan kinerja BUMD, dan menggali potensi perekonomian lainnya yang tidak memberatkan masyarakat dengan berbagai macam pungutan, seperti melakukan pemetaan potensi ekonomi tiap wilayah untuk kemudian mensinergikannya atau mengoptimalkan potensi pariwisata yang ada serta pembangunan infrastruktur guna mendukung kegiatan investasi. |
ConversionConversion EmoticonEmoticon