Ringkasan Eksekutif
STRATEGI AKSELERASI PENCAPAIAN TARGET MDGs 2015
Peta Pencapaian MDGs Targets di Indonesia Saat Ini
1)
Pada September 2000, para pemimpin dunia bertemu di New York mendeklarasikan
"Tujuan
Pembangunan Millenium" (Millenium Development Goals) yang terdiri dari 8
tujuan.
Pertama, Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrim. Kedua, mewujudkan
pendidikan
dasar untuk semua. Ketiga, mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan
perempuan. Keempat, menurunkan angka kematian anak. Kelima,
meningkatkan
kesehatan ibu hamil. Keenam, memerangi HIV/AIDs, malaria, dan
penyakit
lainnya. Ketujuh, memastikan kelestarian lingkungan. Dan kedelapan,
mengembangkan
kemitraan global untuk pembangunan. Kedelapan tujuan tersebut
masing
memiliki target, ada yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Dari segi waktu,
perhitungan
perbandingan mulai tahun 1990 dan pencapaian diharapkan terjadi pada
tahun
2015.
2)
Kemiskinan di Indonesia pada tahun 1990 adalah sebesar 15,1%, karena itu
diharapkan
tahun
2015 akan tinggal 7,5%. Kepemimpinan nasional bergantian, namun sampai tahun
2009
ini angka kemiskinan masih jauh dari harapan tersebut, persentase terakhir pada
tahun
2008 adalah sebesar 15,46%, padahal tahun 2015 tinggal 6 tahun lagi. Dalam hal
penetapan
standar kemiskinan, persentase tersebut masih menggunakan derajat
kemiskinan
di bawah pengeluaran 1 dollar AS perhari. Sebenarnya, Indonesia sudah
dikategorikan
sebagai negara “berpenghasilan menengah”. Penghasilan masyarakat
Indonesia
berdasarkan Gross National Index (GNI), yang dihitung dari nilai pasar total
dari
barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu,
penghasilan
per kapita Indonesia tahun 2007 adalah $ 1.420. Karena itu, sebenarnya
ukuran
2 dollar AS adalah yang paling feasible. Dan jika menggunakan standar ini, maka
kurang
lebih 49% penduduk Indonesia masuk dalam garis kemiskinan.
3)
Dalam soal kemiskinan, terkait target lain, yakni mengurangi jumlah anak-anak
kurang
gizi
separuhnya. Pada 1990, angka kekurangan gizi pada anak-anak sekitar 35,5%, jadi
harus
ditekan menjadi sekitar 17,8%. Melihat kecenderungan sejak 1990, tampaknya
tidak
terlalu sulit mencapai target tersebut. Sayangnya, beberapa tahun terakhir
sejak
2000,
angkanya naik kembali. Pada tahun 2004 diperkirakan 5 juta balita menderita
gizi
kurang,
1,4 juta di antaranya menderita gizi buruk. Dari jumlah balita gizi buruk
tersebut,
140 ribu menderita gizi buruk tingkat berat (marasmus). Pada Susenas 2006
dilakukan
penimbangan sejumlah anak sebagai sampel. Hasilnya, mencemaskan, karena
lebih
dari seperempat anak-anak Indonesia kekurangan gizi. Banyak bayi yang tidak
mendapatkan
makanan tepat dalam jumlah yang cukup. Pilihan ideal adalah
memberikan
ASI eksklusif hingga usia bayi sekitar 6 bulan. Sayangnya, di Indonesia,
setelah
sekitar empat bulan, jumlah bayi yang memperoleh ASI eksklusif kurang dari
seperempatnya.
Masih banyak masalah lain, seperti kesehatan ibu. Biasanya, ibu yang
kekurangan
gizi cenderung melahirkan bayi yang juga kekurangan gizi. Penyebabnya,
lebih
karena kurangnya perhatian. Mungkin, juga terkait kemiskinan. Bisa saja ibu
yang
2
miskin
kurang memiliki informasi tentang perawatan anak atau hanya memiliki sedikit
waktu
untuk mengurus bayi.
4)
Terkait dengan pendidikan untuk semua, tercatat angka 94,7% anak laki-laki dan
perempuan
masuk sekolah dasar pada tahun 2007. Kita hampir mewujudkan target
memasukkan
semua anak ke sekolah dasar. Namun, perbedaan antar daerah yang masih
cukup
tinggi, yaitu dari 96,0% untuk Kalimantan Tengah hingga 78,1% untuk Papua.
Dalam
hal angka partisipasi di sekolah kita memang cukup berhasil. Tetapi tujuan
kedua
MDGs
ini bukanlah sekedar semua anak bisa sekolah, tetapi memberikan mereka
pendidikan
dasar yang utuh. Kenyataannya, banyak anak yang tidak bisa bersekolah
dengan
lancar di sekolah dasar. Saat ini, sekitar 9% anak harus mengulang di kelas 1
sekolah
dasar. Sementara pada setiap jenjang kelas, sekitar 5% putus sekolah.
Akibatnya,
sekitar
seperempat anak Indonesia tidak lulus dari sekolah dasar. Pada tahun
2004/2005,
hanya 77% anak yang masuk SD tahun 1999 bersekolah hingga kelas 6 dan
pada
akhir tahun tersebut, hanya 75% yang lulus2. Dan hanya 67% anak yang mendaftar
ke
sekolah lanjutan pertama. Dan seorang anak dari keluarga miskin memiliki
kesempatan
20% lebih kecil untuk melanjutkan ke sekolah lanjutan pertama ketimbang
seorang
anak dari keluarga tidak miskin.
5)
Dalam banyak hal, perempuan di Indonesia telah mencapai kemajuan pesat,
meskipun,
masih
cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs
menunjukkan
hal tersebut dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target: a)
menyangkut
pendidikan, b) lapangan pekerjaan, dan c) keterwakilan dalam parlemen.
Untuk
hal pertama, nampaknya kita cukup berhasil. Pada sekolah dasar jumlah antara
anak
perempuan dan laki-laki terbilang seimbang, di mana rasio yang ditunjukkannya
mendekati
100% sejak 1992. Sekarang di jenjang sekolah lanjutan pertama, garisnya
berada
diatas 100%, artinya terdapat lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak
laki-laki.
Terdapat jumlah yang sama antara anak laki-laki dan perempuan yang
mempelajari
sains.
Namun,
terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan
dalam
parlemen, kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang. Dari
segi
proporsi penduduk dewasa dalam angkatan kerja, misalnya. Pada tahun 2004,
proporsi
laki-laki adalah 86% namun perempuan hanya 49% 10. Sumbangan perempuan
dalam
kerja berupah di sektor non-pertanian masih jauh dari kesetaraan, nilainya saat
ini
hanya 33%. Selain kurang mendapatkan lapangan pekerjaan, perempuan juga
cenderung
mendapatkan pekerjaan tidak sebaik laki-laki. Demikian pula halnya di
pemerintahan.
Perempuan hanya menduduki 14% jabatan tinggi dalam birokrasi
pemerintahan.Hanya
sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen, bupati, dan
gubernur.
Angka rata-rata dunia perempuan parlemen cukup rendah, yaitu sekitar 15%.
Proporsi
Indonesia bahkan lebih rendah, masing-masing 13% (1992), 9% (2003), dan
11,3%
(2005).
6)
Angka kematian balita juga mencakup angka kematian bayi, karena rentangnya
antara
usia
0-5 tahun. MDGs menargetkan pengurangan angka tahun 1990 menjadi dua
pertiganya.
Artinya, kita harus menurunkannya dari 97 kematian menjadi 32. Pada
tahun
2007, Angka Kematian Bayi sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Anak yang
tinggal
di rumah tangga kaya memiliki angka kematian yang rendah (36 kematian per
1.000
kelahiran hidup) dari pada anak di rumah tangga miskin (56 kematian per 1.000
kelahiran
hidup). Angka kematian anak juga menurun seiring dengan meningkatnya
jarak
kelahiran. Sedangkan Angka Kematian Balita sebesar 44 per 1.000 kelahiran
hidup.
Pemerintah memang memberikan imunisasi namun belum untuk semuanya.
Pada
2005, anak-anak yang menerima imunisasi difteri, batuk rejan dan tipus adalah
88%,
meskipun hanya separuh dari mereka yang menerima imunisasi lengkap. Selain itu
82%
anak-anak menerima imunisasi Tubercolosis (TBC), dan 72% imunisasi hepatitis.
Hal
yang mencemaskan adalah turunnya angka imunisasi terhadap polio dan campak
Jerman
(rubella), yaitu dari sekitar 74% beberapa tahun lalu menjadi 70%. Campak juga
3
menjadi
kekhawatiran karena angka imunisasi hanya 72% untuk bayi dan 82% untuk
anak
hingga 23 bulan, sementara target pemerintah adalah 90%. Diperkirakan 30.000
anak
meninggal setiap tahun karena komplikasi campak dan baru-baru ini ada beberapa
KLB
(kejadian luar biasa) polio dimana 303 anak menjadi lumpuh.
7)
Tujuan kelima MDGs adalah menurunkan angka kematian ibu melahirkan hingga 3/4-
nya
dari angka pada tahun 1990. Dengan asumsi bahwa rasio tahun 1990 adalah sekitar
450,
maka target MDGs adalah sekitar 110 pada tahun 2015. Target tersebut tampaknya
masih
sulit dicapai. Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran
hidup.
Angka tersebut bisa jauh lebih tinggi, terutama di daerah-daerah yang lebih
miskin
dan terpencil. Berbagai potensi kematian bisa dicegah apabila para ibu
memperoleh
perawatan yang tepat sewaktu persalinan. Kenyataannya, sekitar 60%
persalinan
di Indonesia berlangsung di rumah. Dan jika pun sang ibu sampai di rumah
sakit,
belum tentu ia akan mendapatkan bantuan yang diperlukan karena banyak rumah
sakit
kabupaten kekurangan staf dan tidak memiliki layanan 24 jam. Karena itu,
diperlukan
upaya memperbaiki perawatan di pusat-pusat kesehatan. Pada tahun 2006
proporsi
persalinan yang dibantu oleh tenaga persalinan terlatih, baik staf rumah sakit,
pusat
kesehatan ataupun bidan desa, baru mencapai 72,4%. Angka ini sangat bervariasi
di
seluruh Indonesia, mulai dari 39% di Gorontalo hingga 98% di Jakarta. Selain
itu,
data
lain juga menunjukkan bahwa saat ini, sekitar seperlima perempuan hamil
kekurangan
gizi dan separuhnya menderita anemia.
8)
Tujuan keenam dalam MDGs menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya,
urutan
teratas adalah HIV/AIDs. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2007 yang
hidup
dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar
adalah
laki-laki. Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi
Penanggulangan
AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 sampai Maret 2007, tercatat 8.988
kasus
AIDS – 1.994 di antaranya telah meninggal. Target MDGs untuk HIV dan AIDS
adalah
menghentikan laju penyebaran serta membalikkan kecenderungannya pada 2015.
Saat
ini, kita belum dapat mengatakan telah melakukan dua hal tersebut karena di
hampir
semua daerah di Indonesia keadaannya tidak terkendalikan. Masalah utama kita
saat
ini adalah rendahnya kesadaran tentang isu-isu HIV dan AIDS serta terbatasnya
layanan
untuk menjalankan tes dan pengobatan. Selain itu, kurangnya pengalaman kita
untuk
menanganinya dan anggapan bahwa ini hanyalah masalah kelompok risiko tinggi
ataupun
mereka yang sudah tertular. Selain HIV/AIDs, kita juga harus menghentikan
dan
mulai membalikkan kecenderungan persebaran malaria dan penyakit-penyakit
utama
lainnya pada 2015. Sampai tahun 2007, tingkat kejadian malaria hingga 18,6 juta
kasus
per tahun. Untuk tuberkulosis (TBC), tingkat prevalensi mencapai 262 per
100.000
atau setara dengan 582.000 kasus setiap tahunnya.
9)
Bagaimana dengan soal kelestarian lingkungan? Menurut Departemen Kehutanan,
kita
memiliki
127 juta hektar “kawasan hutan”, yaitu sekitar dua pertiga luas wilayah kita.
Namun,
selama periode 1997 hingga 2000, kita kehilangan 3,5 juta hektar hutan per
tahun,
atau seluas propinsi Kalimantan Selatan. Ini karena pembangunan di Indonesia
telah
banyak mengorbankan lingkungan alam. Kita menebang pohon, merusak lahan,
membanjiri
sungai-sungai dan jalur air serta atmosfer dengan lebih banyak polutan. Kita
memiliki
banyak sumber daya alam lain yang dengannya penduduk miskin bisa bertahan
hidup,
khususnya lautan yang menjadi lapangan pekerjaan bagi 3 juta orang.
Kenyataannya,
sumber daya kelautan di Indonesia juga telah terkena dampak
penggundulan
hutan.
Tujuan
MDGs ketujuh adalah untuk menghalangi semua kerusakan tersebut. Kita
memiliki
pengelolaan yang buruk dan kesulitan dalam menegakkan peraturan. Kita
harus
berbuat lebih banyak untuk memberantas kejahatan dan korupsi di bidang
kehutanan.
Pemerintah ke depan harus pula memadukan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan
ke dalam kebijakan dan program negara serta mengakhiri kerusakan
sumberdaya
alam. Selain itu, kita juga harus menurunkan separuh proporsi penduduk
yang
tidak memiliki akses yang berkelanjutan terhadap air minum yang aman dan
4
sanitasi
dasar pada 2015. Pada tahun 2006, 52,1% penduduk memiliki akses terhadap air
minum
yang aman dan kita hampir berhasil untuk mencapai target 67%. Untuk sanitasi
kita
nampaknya telah melampaui target 65%, karena telah mencapai cakupan sebesar
69.3%,
meskipun banyak dari pencapaian ini berkualitas rendah.
10)
Salah satu target yang menjadi bagian tujuan ke-8 MDGs adalah ”lebih jauh
mengembangkan
sistem perdagangan dan keuangan yang terbuka, berbasis peraturan,
mudah
diperkirakan, dan tidak disriminatif.” Ini berarti perdagangan yang berkeadilan
dan
WTO adalah tempat di mana masalah-masalah tersebut semestinya ditangani.
Sayangnya,
perundingan putaran terakhir, yang disebut “Putaran Doha (Doha Round)”,
gagal
terutama karena negara-negara maju ingin memberikan proteksi terlalu banyak
pada
petani mereka sendiri.
Sementara
itu, satu masalah besar dalam mencapai MDGs karena pengeluaran
Indonesia
saat ini, terlalu banyak dipakai untuk pembayaran kembali utang, sehingga
tak
cukup anggaran bagi kesehatan atau pendidikan. Utang kita pasca krisis moneter,
terjadi
peningkatan sangat tajam. Pemerintah juga menerbitkan obligasi pemerintah
bernilai
milyaran dolar dan memberikannya kepada bank-bank tersebut untuk
digunakan
sebagai modal. Ini artinya mereka menjadi sehat lagi. Namun kita masih tetap
terjebak
dalam utang dan harus membayar bunga obligasi tersebut kepada bank atau
siapa
pun yang memilikinya. Biaya yang dipikul, terbilang mahal. Saat ini,
’pelunasan’
utang
mencapai sekitar 26% dari pengeluaran pemerintah.
11)
Anggaran untuk menanggulangi kemiskinan menalami kenaikan secara konsisten.
Namun,
naiknya anggaran tersebut tidak berkorelasi signifikan untuk menurunkan
angka
kemiskinan. Pada tahun 2005 pemerintah menganggarkan 23 trilliun dan naik
lebih
tiga kali lipat menjadi 70 trilliun pada tahun 2008. Akan tetapi, kenaikan
tersebut
hanya
berhasil menurunkan angka kemiskinan kurang dari 1%. Karena itu, bukan
semata
jumlah alokasi untuk mengatasi kemiskinan, tetapi perlu political will dan
perubahan
kebijakan yang mengarah pada kemandirian dan melibatkan secara aktif
orang
miskin itu sendiri.
12)
Pemerintah pusat maupun daerah belum memiliki komitmen yang sungguh-sunggu
untuk
menyediakan anggaran bagi penyelenggaraan layanan pendidikan secara
langsung.
Sepanjang tahun anggaran 2005-2009, belanja APBN mengalami peningkatan
yang
signifkan hingga mencapai 83,4 persen dari Rp 565,07 triliun (2005) menjadi Rp
1,037.06
triliun (2009). Namun selama periode 2005-2008, pemerintah sangat lamban
merespon
20 persen anggaran pendidikan. Secara linier, rata-rata alokasi anggaran
fungsi
pendidikan hanya dialokasikan sebesar Rp 49,08 triliun atau berkisar antara 6
persen
hingga 7,5 persen terhadap total belanja Negara (sudah termasuk gaji tenaga
kependidikan
dan pendidikan kedinasan). Dan meskipun dalam APBN 2009 telah
dialokasikan
anggaran pendidikan sebesar Rp 207,41 triliun (20% terhadap total belanja
negara),
formulasi perhitungan anggaran pendidikan dalam APBN 2009 ternyata masih
menyertakan
gaji pendidik. Dan jika dicermati, anggaran tersebut ditempatkan pada 21
pos
pembiayaan yang terdiri dari 16 pos belanja kementrian/lembaga, 1 pos belanja
non-
K/L
(belanja lain-lain) dan 4 pos belanja transfer. Pos terbesar pembiayaan
pendidikan
ditempatkan
di pos dana transfer sekitar 56,8% atau sebesar Rp 117, 86 triliun yang
sebagian
besar digunakan untuk kebutuhan gaji pendidik dan peningkatan kesejahteraan
lainnya.
Sedangkan sisanya sekitar 43,2% atau sebesar Rp 89,55 triliun ditempatkan
pada
pos K/L dan pos belanja lain-lain untuk mendanai program/kegiatan pendidikan
serta
manajemen dan pendidikan kedinasan. Dalam komponen belanja transfer,
pemerintah
juga mengalokasikan anggaran pendidikan melalui Dana Bagi Hasil, yang
selama
ini tidak pernah memasukan komponen dari bagi hasil pendidikan. Padahal Dana
Bagi
Hasil yang masuk ke pendapatan Daerah tersebut tidak menjamin akan
dialokasikan
untuk program pendidikan.
5
13) Pemerintah Setengah Hati
Terhadap Isu Perempuan. Kebijakan yang diberikan oleh
pemerintahan
masa kepemimpinan 2005 – 2009 untuk isu perempuan sangat
menyedihkan.
Terlihat dalam 5 tahun anggaran untuk KPP hanya berputar antara 0,02%
dari
total APBN. Rasanya masih terlalu sulit alokasi dana tersebut diperuntukkan
mengurangi
jumlah kekerasan terhadap perempuan yang mengalami kenaikan, dengan
persentase
terbesar 74% kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga. Rasanya masih
sulit
juga anggaran tersebut dipakai untuk mengatasi lemahnya koordinasi antar
instansi
untuk
melaksanakan pemberdayaan perempuan.
14)
Belanja Fungsi Kesehatan selama tiga tahun 2007-2009 jauh menurun jika
dibandingkan
dengan belanja negara. Persentase belanja fungsi kesehatan pada tahun
2007
sekitar 2,28 persen, turun menjadi 2,01 persen pada tahun 2008, dan terus
merosot
hingga 1,68 persen pada tahun 2009. Jika dilihat secara alokasi, belanja fungsi
kesehatan
juga tidak bergeser dari angka Rp 17,46 triliun pada tahun 2007, turun
menjadi
Rp. 17,27 triliun pada tahun 2008, dan naik sedikit menjadi 17,30 triliun pada
tahun
2009.
15)
Selama 3 tahun terakhir, dana untuk peningkatan kesehatan, peningkatan gizi, dan
imunisasi
untuk bayi/balita dan ibu maternal sangat rendah dan terus turun dari tahun
2007-2009.
Dana kesehatan, peningkatan gizi dan imunisasi untuk ibu dan anak adalah
sebesar
Rp. 1.350,434 milyar pada tahun 2007, turun pada tahun 2008 menjadi Rp.
540,981
milyar, dan turun lagi pada tahun 2009 menjadi hanya Rp. 229,353 milyar.
Dengan
dana dan jumlah penerima manfaat tersebut, maka alokasi dana untuk
kesehatan,
peningkatan gizi, dan imunisasi untuk bayi/balita dan ibu maternal adalah
rata-rata
sebesar Rp. 26.411 per tahun atau 2.200 per bulan pada tahun 2007, pada
tahun
2008 sejumlah Rp. 10.536 per tahun atau Rp. 878 per bulan, dan pada tahun 2009
sebesar
Rp. 4.452 per tahun atau Rp. 371 per bulan. Dengan dana yang demikian kecil,
rasanya
nyaris tidak akan mampu mengubah kondisi kesehatan ibu dan bayi/balita
secara
signifikan.
16)
Kegiatan yang diarahkan pada Pencegahan dan Penanganan Infeksi Menular Seksual
(IMS)
dan HIV/AIDS relatif kabur dan tidak secara jelas dinyatakan. Tidak ditemukan
secara
langsung kegiatan yang diarahkan untuk pencegahan dan penanganan IMS dan
HIV/AIDS.
Kegiatan program tahun 2007 dan 2008 menunjukkan hanya pada
peningkatan
ketersediaan, pemerataan dan mutu obat dan kefarmasian. Ini berbeda
dengan
tahun 2009 yang merencanakan kegiatan penyediaan dan pengelolaan vaksin
dengan
alokasi Rp 479 miliar. Namun, penyediaan tersebut tidak disebutkan obat dan
vaksin
apa dan ditujukan kepada siapa. Dari rincian APBN maupun APBD tahun 2007-
2009
juga tidak nampak detil berapa dana yang dialokasikan kepada lembaga Komisi
Penanggulangan
Aids (KPA) di tingkat nasional dan daerah.
Sumber
Tulisan:
1)
"Evaluasi Kebijakan Anggaran untuk Pencapaian MDGs", Seknas Fitra,
2009
2)
"Kita Suarakan MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia", Bappenas-UNDP,
2007
3)
"Menelusuri Anggaran Kesehatan Reproduksi dalam APBN dan APBD di Dua
Provinsi
dan
Dua Kabupaten/Kota", PKBI Jakarta, 2009
6
10
STRATEGI PENCAPAIAN TARGET MDGs 2015
1.
Membentuk Kelembagaan yang berfungsi mengkoordinasikan
Kementerian/Lembaga
yang terkait langsung dengan pencapaian targettarget
MDGs.
2.
Mengintegrasikan target-target indicator pencapaian MDGS sebagai
indicator
kinerja perencanaan penganggaran di tingkat Nasional dan
daerah.
Target MDGs menjadi program prioritas nasional, sebagai dasar
penyusunan
arah kebijakan fiscal dan nota keuangan.
3.
Menerapkan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah untuk programprogram
pencapaian
MDGs yang meliputi Penanggulangan Kemiskikan,
Pengurangan
Gizi Buruk dan Kurang, Meningkatkan Kesehatan Ibu dan
Bayi,
Penanganan HIV dan Sanitasi.
4.
Meningkatkan Dana Perimbangan khususnya Dana Alokasi Khusus
berdasarkan
target-target pencapaian MDGs. Besarnya DAK dirumuskan
berdasarkan
variable tingkat rendahnya pencapaian target MDGs untuk
mengatasi
kesenjangan pencapaian target MDGs antar daerah.
5.
Memberikan perhatian khusus terhadap 20 daerah-daerah yang pencapaian
target
MDGs-nya dibawah rata-rata Nasional.
6.
Memberikan insentif fiscal bagi daerah-daerah yang mampu mencapai
target
MDGs dan yang berhasil menerapak system jaminan sosial yang
menyeluruh.
7.
Mensinergikan anggaran penanggulangan kemiskinan dan memperbesar
proporsi
dalam bentuk dana perimbangan di daerah. Persoalan utama
anggaran
kemiskinan saat ini adalah efektivitas dan efisiensi alokasi
angaran.
8.
Mengimplementasikan anggaran responsive jender dan pro poor budget
dalam
perencanaan penganggaran di tingkat Nasional dan Daerah.
9.
Meningkatkan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% dari PDB. Saat ini
pengeluaran
kesehatan Indonesia terendah di kawasan Asia Tenggara,
bahkan
hanya 1/3 dari anggaran kesehatan Filiphina yang berada diurutan
kedua
terendah.
10.
Memperbaiki system data base kependudukan sebagai basis data
pencapaian
indicator MDGs dan penggunaan data terpilah berdasarkan
gender.
Indikator MDGs khususnya kematian Ibu dan anak merupakan
data
yang paling tidak up to date memiliki banyak versi.
7
Evaluasi Kebijakan Anggaran untuk
Pencapaian MDGs
A. KEMISKINAN
Berdasarkan data BPS,
garis kemiskinan di Indonesia pada tahun 2003 angka pendapatan
penduduk sebesar Rp
139.000 di
perkotaan dan Rp
107.000 di pedesaan.
Sementara jumlah
penduduk miskin
yang memiliki
pendapatan digaris
kemiskinan sekitar
17,4% atau sekitar
36,5% dari total
penduduk Indonesia.
Untuk mengurangi
jumlah kemiskinan
secara signifikan,
minimal diperlukan
anggaran sekitar 5-9%
dari GDP setiap
tahunnya atau sekitar
Rp 115 – 200
triliun1.
Masih terdapat
sepertiga hingga setengah penduduk Indonesia yang rentan terjerembab ke
bawah garis
kemiskinan. Paling tidak diperlukan paling sedikit Rp 103 triliun setiap
tahunnya
untuk memenuhi hak-hak
dasar orang miskin yang terdiri dari pendidikan, kesehatan, dan
sanitasi serta pangan.
Pengangguran di Indonesia juga masih sangat tinggi. Dari total
penduduk (210 juta)
sebanyak 23,66 juta (11,3% dari total penduduk) adalah pengangguran.
Angka pengangguran
tersebut terdiri dari angka pengangguran tinggi (benar-benar
pengangguran) mencapai
10,25 juta (4,9% dari total penduduk), dan setengah
pengangguran mencapai
13,41 juta (6,4% dari total penduduk)2.
Berdasarkan laporan
terakhir dari SUSENAS BPS 2008, jumlah penduduk miskin sebanyak
34,96 juta jiwa
(15,46%). Jika bercermin pada tahun 2006, target pemerintah dalam
menurunkan angka
kemiskinan dari 15,1% menjadi 13,35% ternyata gagal tercapai. Untuk
tahun 2009, dalam RKP
tingkat kemiskinan ditargetkan akan turun menjadi 12%, namun jika
melihat berbagai
lonjakan harga kebutuhan akibat imbas dari kenaikan harga BBM dapat
1 Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2004 oleh UNDP dan Bappenas
2 Pelita, 13 Desember 2005
8
dipastikan target
pemerintah tersebut akan kembali gagal. Belum lagi diperparah tingginya
tingkat pengangguran
terbuka yang mencapai 9,4 juta orang.
Alokasi Anggaran Tidak Menjawab Persoalan Kemiskinan
Pemerintah mungkin
boleh saja mengklaim bahwa anggaran untuk pengentasan kemiskinan
telah dinaikkan dari
Rp 23 Trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp 66,2 Trilyun pada tahun
2009 untuk membuktikan
bahwa pemerintah memiliki komitmen sungguh-sungguh dalam
pengentasan
kemiskinan. Namun jika dicermati dari prosentase dalam APBN justru
sebaliknya, karena
turun dari 10,2% pada APBN 2005 menjadi hanya 6,4% pada tahun
2009.
Jika dilihat dari
tingkat efektifitas anggaran dan realisasi program, ternyata 5 tahun kinerja
pemerintah dalam
pengentasan kemiskinan sama sekali tidak efektif sehingga peningkatan
alokasi anggaran yang
dilakukan sia-sia.
Tahun 2005 anggaran
kemiskinan baru
mencapai 23 Trilyun
lalu ditingkatkan 3 kali
lipat menjadi Rp 70
Trilyun pada tahun 2008
namun hanya berhasil
menurunkan angka
kemiskinan kurang dari
1 %, dari 15,97%
tahun 2005 menjadi 15%
tahun 2008. Ini
membuktikan,program-program
kemiskinan
yang tersebar di
berbagai
Kementerian/Lembaga
dan tersentralisasi di
Pemerintah Pusat dalam
bentuk dana
dekonsentrasi terbukti
tidak efektif mengatasi
persoalan kemiskinan
karena tidak disertai political will dan
kesungguh-sungguhan dari
pemerintah.
Proporsi Anggaran untuk Malnutrisi Anak
Pada tahun 2004
diperkirakan sekitar 5 juta balita menderita gizi kurang (berat badan
menurut umur), 1,4
juta diantaranya menderita gizi buruk. Dari balita yang menderita gizi
buruk tersebut 140.000
menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut marasmus,
kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor, dan total kasus gizi buruk sebanyak 76.178 balita.
23.000
42.000 51.000 70.000 66.200
10,00%
100,00%
-
200.000
400.000
600.000
800.000
1.000.000
1.200.000
2005
2006 2007 2008 2009
B i ll
i
o n s
Trend
Anggaran Kemiskinan Vs Angka
Kemiskinan
APB
N
Angg
aran
Kemi
skina
n
Angk
a
Kemi
skina
n
9
Pengurangan jumlah
penderita malnutrisi menjadi salah satu target MDGs. Indonesia
berkomitmen untuk
mengurangi hingga setidaknya tinggal 18% penduduk yang mengalami
malnutrisi pada tahun
2015, dimana angka untuk tahun ini masih tercatat 30%. Program
perbaikan gizi
masyarakat dalam 5 tahun berjalan telah masuk dalam program tugas wajib
pemerintah daerah
juga. Namun keseriusan pemerintah untuk menanggapi persoalan gizi
buruk masih jauh dari
harapan, hal ini dapat dilihat dari kebijakan alokasi anggaran untuk
sektor kesehatan dalam
5 tahun berturutturut
hanya berkisar 2 s/d
2,5% dari total
APBN. Pemerintah hanya
mengalokasikan sekitar
Rp 175 miliar
pada tahun 2005
melalui dana
dekonsentrasi, Rp 582
miliar ditambah
Rp112,5 milyar tahun
2006 melalui dana
dekonsentrasi juga
yang digunakan
untuk operasional
Posyandu. Sedangkan
Rp 600 miliar pada
tahun 2007. Dan
menurut hasil analisis
tahun anggaran
2009, alokasi anggaran
untuk perbaikan gizi hanya sebesar Rp 600 miliar dengan jumlah
kasus tercatat 33 juta
balita. Jika dibagi dengan 33 juta balita bergizi buruk hasilnya sangat
menyedihkan setiap
anak penderita gizi buruk hanya mendapatkan Rp 18 ribu per kasus per
tahun.
Jika melihat target
pencapaian malnutrisi anak tahun 2015 sebesar 3,3% gizi buruk dan
18% gizi kurang dapat
diyakini akan sulit tercapai karena sampai saat ini angka pencapaian
masih diposisi tinggi
yaitu 8,8% Gizi buruk dan 28% gizi kurang.
B. PENCAPAIAN PENDIDIKAN DASAR BAGI SEMUA
Pencapaian target MDGs
yang berkaitan dengan sektor pendidikan terdiri dari 3 indikator,
antara lain: 1) Angka
Partisipasi Murni SD/MI, 2) Angka Partisipasi Murni SMP/MTS dan 3)
Angka melek Huruf usia
15-25 tahun. Berdasarkan data tahun 2007, pencapaian APM untuk
jenjang SD/MI baru
mencapai 94,9% dari target 99,6%. Angka 0,2% merupakan capaian
yang relatif sangat
kecil dari APM SD/MI tahun 2006 yang hanya mencapai 94,73%.
Sedangkan APK SMP/MTS
mencapai 92,52% dari target APM pada RPJMD sekitar 98%
dan hanya menunjukkan
kenaikan sebesar 3,84% dari capaian APK tahun sekitar 88,68%3.
3 Sumber data:
Dokumen RKP tahun 2009
0
100
200
300
400
500
600
700
2005 2006 2007 2008 2009
R p
m i l
y
a r
Trend Anggaran untuk
Gizi Buruk
10
Dengan demikian, jika
dilihat dari dua (2) capaian APM SD/MI dan APK SMP/MTS masih
tersisa 4,70% anak
usia 7-12 tahun yang belum memiliki akses untuk menyelesaikan
jenjang sekolah SD/MI
dan masih sekitar 5,48% anak usia 12-15 tahun jenjang SMP/MTs.
Sedangkan untuk
proporsi buta akasara usia 15 tahun keatas dari 15,4 juta (10,2%) tahun
2004 menjadi 12,88
juta (8,44) di tahun 2006, kemudian tahun 2007 menurun lagi menjadi
11,87 juta (7,33), dan
tahun 2008 kembali mengalami menurunan menjadi 10,16 juta
(6,22%). Meskipun
terjadi penurunan pada proporsi buta akasara, namun penurunan
tersebut terkesan
sangat lamban dan kualitas pendidikan perlu perbaikan. Apalagi sekitar
6,6 juta jiwa adalah
perempuan, dan pemerintah pada tahun 2009 menargetkan jumlah
buta aksara paling
tidak tinggal 7,7 juta atau sekitar 5% saja.
Kebijakan anggaran pendidikan dalam pencapaian MDGs
Dua puluh persen anggaran pendidikan dalam APBN 2009 lebih dari
sebuah skenario
atas rendahnya komitmen pemerintah. Sepanjang
tahun anggaran 2005 hingga 2009,
APBN mengalami
peningkatan yang signifkan hingga mencapai 83,4 persen dari Rp 565,07
triliun (2005) menjadi
Rp 1,037.06 triliun (2009). Namun kebijakan tersebut tidak dibarengi
dengan komitmen
keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan dasar rakyat khususnya
terkait sektor
pendidikan. Selama periode
2005-2008, pemerintah
sangat lamban
merespon 20 persen
anggaran pendidikan.
Secara linier,
rata-rata alokasi anggaran
fungsi pendidikan
hanya dialokasikan
sebesar Rp 49,08
triliun atau berkisar
antara 6 persen hingga
7,5 persen terhadap
total belanja Negara (sudah termasuk gaji
tenaga kependidikan dan pendidikan
kedinasan).
Sumber : Seknas FITRA, diolah dari dokumen APBN 2005-2008.
Ketidakadilan
pemerintah dapat dilihat dari perbandingan dengan pembayaran utang luar
negri, yang secara
linier pertahunnya sekitar Rp 135,02 triliun atau mencapai 13 - 22 persen
terhadap total belanja
Negara. Dengan perbandingan 3 banding 1.
11
Meskipun dalam APBN
2009 telah dialokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 207,41
triliun atau setara 20
persen terhadap total belanja Negara, namun keputusan tersebut
masih jauh dari
semangat pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Sebab formulasi perhitungan
anggaran pendidikan
dalam APBN 2009 ternyata masih menyertakan gaji pendidik (baca :
guru) dalam formulasi
perhitungan anggaran pendidikan4. Jauh sebelum putusan
MK,
pemerintah sudah lebih
dulu memasukan pernyataan klausul gaji pendidik dalam penjelasan
simulasi perhitungan
anggaran pendidikan didalam penjelasan UU 18/2006 ttg APBN 2007
dan UU 45/2007 ttg
APBN 2008. Lalu pemerintah menyertakan pula UU 14/2005 ttg Guru
dan Dosen dalam
landasan penyusunan dan penetapan APBN. Terkesan ada skenario
yang dibuat sendiri
oleh pemerintah, untuk memanipulasi pemenuhan 20 persen APBN
untuk pendidikan
dengan memasukkan gaji pendidik dalam formulasi penghitungan.
Padahal jauh sebelum
pemerintahan sekarang, gaji pendidik telah dialokasikan tersendiri
dalam komponen belanja
pegawai pada belanja pemerintah pusat dan dana transfer. Hal ini
sudah merupakan
kewajiban pemerintah untuk memberikan gaji kepada aparaturnya
(pegawai Negara).
Penyebaran Anggaran 20 persen dan
ketidakjelasan penggunaannya untuk
pembangunan pendidikan, Pada UU APBN
2009, Pemerintah
mengklaim telah
mengalokasikan 20%
anggaran pendidikan.
Anggaran pendidikan
ditempatkan pada 21
pos pembiayaan yang
terdiri dari 16 pos
belanja
kementrian/lembaga, 1 pos belanja
non-K/L (belanja
lain-lain) dan 4 pos belanja
transfer. Pos terbesar
pembiayaan pendidikan
ditempatkan di pos
dana transfer sekitar
56,8% atau sebesar Rp
117, 86 triliun yang sebagian besar digunakan untuk kebutuhan gaji
pendidik dan
peningkatan kesejahteraan lainnya. Sedangkan sisanya sekitar 43,2% atau
sebesar Rp 89,55
triliun ditempatkan pada pos K/L dan pos belanja lain-lain untuk mendanai
program/kegiatan
pendidikan serta manajemen dan pendidikan kedinasan. Dalam
komponen belanja
transfer, pemerintah juga mengalokasikan anggaran pendidikan melalui
Dana Bagi Hasil, yang
selama ini tidak pernah memasukan komponen dari bagi hasil
pendidikan. Padahal
Dana Bagi Hasil yang masuk ke pendapatan Daerah tersebut tidak
menjamin akan
dialokasikan untuk program pendidikan.
4 Putusan MK Nomor
13/PUU-VI/2008 tanggal 13 agustus 2008.
12
Rendahnya dukungan APBD untuk pendidikan, Catatan
Seknas FITRA terhadap APBD
2008 di 29
kabupaten/kota
menunjukan kerdilnya
komitmen
pemerintah daerah
untuk
memajukan pendidikan.
Setelah
dikurangi Dana Alokasi
Khusus
Pendidikan (DAK),
rata-rata
pemerintah daerah
hanya
berkomitmen
mengalokasikan
belanja langsung
pendidikan
4,7% dari total
belanja APBD. Anggaran pendidikan hanya dialokasikan antara 1,4% hingga
8,8%.
Kondisi ini tidak jauh
berbeda dengan catatan Seknas FITRA pada APBD tahun 2006 di 7
kabupaten/kota.
Rata-rata hanya mengalokasikan belanja langsung pendidikan sekitar 3%.
Berdasarkan catatan
diatas, maka jelas diketahui bahwa baik pemerintah pusat maupun
daerah belum memiliki
komitmen yang sungguh-sunggu untuk menyediakan anggaran bagi
penyelenggaraan
layanan pendidikan secara langsung. Apalagi dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi
untuk memasukan gaji guru dalam perhitungan 20% anggaran
pendidikan di APBD
maka akan semakin sulit dukungan APBD untuk mendukung agenda
MDGs. Mahalnya biaya
sekolah yang dipungut oleh pihak sekolah, akan berdampak pada
semakin hilangnya
kesempatan orang miskin bersekolah.
C. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
Dalam konstruksi
budaya patriarkhi yang masih kental saat ini, kelompok perempuan masuk
ke dalam kelompok
termiskin dari masyarakat miskin. Selain termiskinkan oleh kebijakan,
mereka juga
termiskinkan oleh stereotip dan kultur yang masih memandang mereka sebagai
subordinat laki-laki
sehingga termarjinalkan dari segala akses sumber daya.
Namun pemerintah belum
peka atas masalah ini. Kebijakan yang berjalan terbukti masih
jauh dari kepekaan
jender, sehingga melahirkan ketidakadilan bagi perempuan. Dampak
dari ketimpangan
jender dapat dilihat dari data BPS tahun 2000, dimana perbedaan
kemampuan membaca
menulis antara laki-laki dan perempuan masih tinggi berbanding
56,9% : 88,1%.
Ketimpangan ini secara tidak langsung telah memberikan konstribusi
terhadap timpangnya
perbandingan laki-laki perempuan yang bekerja pada sektor informal
dengan perbandingan
29,6% : 39,2%.
Partisipasi sejajar
antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik merupakan salah
satu prinsip mendasar
yang diamanatkan di dalam konvensi Penghapusan Segala Bentuk
13
Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW). Data Susenas dalam laporan per 25 agustus
tahun 2005, untuk
jenjang SD/MI rasio Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan terhadap
laki-laki selalu di
sekitar angka
100. Namun rasio APM
perempuan terhadap
laki-laki
untuk jenjang SMP/MTs
tahun
2004 sebesar 103,4.
Adanya rasio
Angka Partisipasi
Kasar (APK)
perempuan terhadap
laki-laki
tampak, partisipasi
perempuan
pada jenjang SMP/MTs
lebih
tinggi dibandingkan
laki-laki
dengan rasio sebesar
103,1 pada
tahun 2003.
Kesenjangan tingkat
melek aksara laki-laki dan perempuan juga semakin kecil, yang
ditunjukkan oleh
meningkatnya rasio angka melek aksara penduduk perempuan terhadap
penduduk laki-laki
usia 15-24 tahun dari 97,9 persen pada tahun 1990 menjadi 99,7 persen
pada tahun 2004.
Apabila kelompok penduduk usia diperluas menjadi 15 tahun ke atas,
maka tingkat
kesenjangan melek aksara penduduk laki-laki dan perempuan menjadi
semakin lebar dengan
rasio melek aksara perempuan terhadap laki-laki sebesar 92,3
persen. Data tahun
2004, menunjukkan rasio melek aksara perempuan terhadap laki-laki
sebesar 99,2 untuk
kelompok termiskin dan sebesar 99,9 untuk kelompok terkaya.
Problem Mendasar Pemberdayaan Perempuan
Pelaksanaan
pengarusutamaan gender masih sulit dilaksanaan walupun telah memiliki
Instruksi Presiden
nomor 9 tahun 2000. Hal ini disebabkan karena kendala struktural dan
persoalan birokrasi
yang dianggap menjadi penghalang besar. Menempatkan isu
perempuan dalam
kementerian khusus adalah bentuk memarjinalkan perempuan yang cara
penyelesaiannya
menjadi parsial. Namun yang menjadi perhatian adalah sejauh mana
pemerintah telah
memberikan kebijakan terhadap kementerian dalam memberikan
kewengan penuh untuk
meningkatkan penanganan lintas bidang dan sektor dengan desain
kebijakan nasional
yang menempatkan isu perempuan sebagai arus utama sehingga
keberadaan kementerian
PP bukan hanya sebagai pelengkap atau hanya sekedar hiasan
saja.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2005 2006 2007 2008 2009
R p
m
i l
ya r
Pening ka tan
Kual it as Hidup dan
Per l indunga n
Perempuan
Peng uat an
Ke lemba ga an PUG
dan Ana k
Kebija kan
Pening ka tan
Kual it as Ana k dan
Perempuan
Pening ka tan
Ke se jahte raan dan
Per l indunga n Ana k
14
Kebijakan untuk
meningkatkan pemberdayaan perempuan setengah hati diimplementasikan,
hal ini terlihat adanya
beberapa problem mendasar yang muncul, antara lain:
Pemerintah Setengah Hati Terhadap Isu Perempuan. Kebijakan
yang diberikan oleh
pemerintahan masa
kepemimpinan 2005 – 2009 untuk isu perempuan sangat menyedihkan.
Terlihat dalam 5 tahun
anggaran untuk KPP hanya berputar antara 0,02% dari total APBN.
Anggaran untuk Kualitas Hidup dan Perlindungan untuk Perempuan.
Berdasarkan temuan
komnas perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan yang
dilaporkan setiap
tahun. Menunjukkan jumlah kasus terakhir adalah 34.665 (2007), dan
mengalami kenaikan
dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan jenisnya, jumlah kekerasan
dalam rumah tangga
adalah 74% kasus (tertinggi, kekerasan dalam komunitas 23%
(termasuk kasus buruh
migran dan trafiking), kekerasan negara 0,1% dan 2% lainnya sulit
dikategorikan
jenisnya. diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Data
tersebut merupaka
komplasi dari 258 lembaga di 32 propinsi dan rata-rata menangani
sekitar 40 hingga 95
kasus kekerasan.
Peran kementerian PP
yang bergerak dalam isu perempuan memang perlu dievaluasi. Jika
dicermati, memang
belum ada keseriusan dari pemerintah khususnya KPP untuk dapat
meningkatkan
perlindungan terhadap perempuan terlihat kebijakan anggaran yang hanya
dialokasikan seputar
160 - 200 miyar, dan itu pun hanya diimplementasikan dalam program
seputar pelatihan dan
sosialisasi bukannya pada sebuah intervensi pada sebuah kebijakan.
1. Koordinasi Instansi Lemah. Disisi lain adalah
lemahnya sistem koordinasi internal
maupun eksternal di
tubuh KPP sehingga memberikan kendala dalam
mengimplementasikan
visi pemberdayaan perempuan, hal ini berdampak terhadap
pelaksanaan program
selama 5 tahun berjalan yang hanya berputar pada tataran
sosialisasi saja.
2. Data Tidak Berbicara. Lemahnya data di
tingkat nasional dan
daerah, sehingga
terdapat duplikasi
program yang berjalan dan
target yang tak
terukur merupakan cermin
kegagalan kinerja KPP
dalam menjalankan
fungsinya
D. Meningkatkan Kesehatan Ibu dan
Menurunkan angka kematian anak
Pada saat ini telah
diperkirakan 228 orang ibu meninggal dalam tiap 1.000 proses
persalinan di
Indonesia. Angka kematian ibu saat melahirkan yang telah ditargetkan dalam
0
0,005
0,01
0,015
0,02
0,025
0,03
2005 2 006 2007 2 008 2009
%
d a r i
T
o t
a l
A P
B
N
15
MDGs pada tahun 2015
adalah 110, dengan kata lain akselerasi sangat dibutuhkan sebab
pencapaian target
tersebut masih cukup jauh. Indonesia dianggap belumm mampu
mengatasi tingginya
angka kematian ibu
yang 307 per 1.000
kelahiran hidup.
Berarti setiap
tahunnya ada 13.778
kematian ibu atau
setiap dua jam ada dua
ibu hamil, bersalin,
nifas yang meninggal
karen berbagai
penyebab.
Kecenderungan
perbandingan pada tahun
1990 yang masih 450
per 1.000 kelahiran
hidup namun target
MDGs yang 125 per
1.000 kelahiran hidup
terasa sangat berat
untuk dicapai tanpa
upaya percepatan.
Berdasarkan data
Susenas tahun 2001,
memperlihatkan bahwa
hanya sebanyak 45,83% kelahiran yang ditolong oleh bidan di
pedesaan. Jumlah bidan
di seluruh Indonesia berdasarkan IBI (Ikatan Bdan Indonsia) sat ini
hanya sekitar 80.000
orang. Namun jumlah bidan di desa terus menyusut dari 62.812 bidan
pada tahun 2000
menjadi 39.906 bidan pada tahun 2003. Dan menurut Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2000,
berkisar 80% penduduk Indonesia bermukim di sekitar 69.061 desa
dan saat ini sekitar
22.906 desa tidak memiliki bidan desa. Penurunan jumlah bidan atau
honor bidan desa
diasumsikan merupakan damapak dari desentralisasi. Karena
pembayaran gaji atau
honor bidan desa yang dahulu ditanggung oleh pemerintah pusat
sekarang dibebankan
kepada pemerintah daerah, dan banyak pemerintah daerah yang
tidak mau atau tidak
mampu membayar gaji atau honor bidan desa tersebut. Akibatnya,
jumlah bidan desa
mengalami penurunan yang sangat drastis.
Aokasi dana untuk
kesehatan selama ini lebih banyak untuk mensubsidi rumah sakit
daripada untuk
memberikan pelayanan kesehatan dasar, dimana kesehatan reproduksi
perempuan menjadi
salah satu bagian dari kategori kesehatan dasar. Begitupun dengan
sedikitnya
ketersediaan tenaga kesehatan yang mudah diakses dengan biaya murah,
terutama di
daerah-daerah terpencil. Kenyataan ini menunjukkan ketidakseriusan
pemerintah dalam
menangani masalah kematian ibu melahirkan.
Angka kematian bayi dan balita di Indonesia masih tertingi di
Asia. Indonesia masih
harus berjuang keras
untuk memperbaiki indikator pembangunan kesehatan, khususnya
tingkat kematian
bayi, karena tren angka kematian bayi selama lima tahun terakhir belum
menurun. Di tingkat
ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia mencapai 35 per 1000
61
50
44
36
17
0
20
40
60
80
K e
m a t i
a
n
b a y i
p e r
1 .
0 0 0
k e l
a
h i
ra
n
h i
d u p
16
2006
2007
2008
2009
-
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000
5,000,000
6,000,000
7,000,000
8,000,000
9,000,000
10,000,000
Millions
Obat dan Perbekalan kesehatan
Upaya Kesehatan perorangan
Promosi Kesehtan & Pemb Masy
Upaya Kesehatan Masy
Pencegahan Pemberantasan
Penyakit
Perbaikan Gizi Masy
Program KB
Kespro Remaja
Pelembagaan Keluarga Kecil
Berkualitas
LitBang Kesehatan
Sumber Daya Kesehatan
Kebijakan Manajemen Pembangunan
Kesehatan
kelahiran hidup
yaitu hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi Malaysia,
hampir 2 kali
dibandingkan dengan
thailand dan 1,3
kali dibandingkan
dengan Philipina.
Sedangkan untuk
menurut data
pemerintah bahwa
angka kematian
balita mengalami
penurunan yang
cukkup tajam dari
82,6 per 1.000
menjadi 46 per 1.000
kelahiran
hidup.Namun
ironisnya, kasus
kematian bayi banyak
terjadi pada
keluarga miskin dan
sebagian besar
penyebab utamanya
adalah
disebabkan oleh akses,
biaya, pengetahuan dan perilaku
Bagaimana Alokasi Anggaran Menjawab Permasalahan
APBN meningkat namun Anggaran Kesehatan Tetap. Dalam kurun
waktu 5 tahun
terakhir, sejak tahun
2005 sampai dengan tahun 2009 anggaran kesehatan tidak mengalami
peningkatan berarti.
Padahal APBN meningkat tajam dari Rp. 226 Trilyun ditahun 2005
menjadi 1,032 Trilyun
di tahun 2009. Namun anggaran kesehatan justru mengalami
penurunan prosentase
dari 3,1%
pada tahun 2005
menjadi 1,67%
tahun 2009.
Lebih Baik Mengobati Dari
Pada Mencegah..
Belanja program
kesehatan
masih difokuskan untuk
mengobati ketimbang
mencegah.
Alokasi terbesar
program
kesehatan dalam 5
tahun
terakhir, dialokasikan
untuk kesehatan yang sifatnya kuratif seperi kesehatan perorangan,
obat dan kesehatan
masyarakat atau Puskesmas. Sementara belanja-belanja kesehatan
yang bersifat
preventif masih belum memadai.
0,0%
0,5%
1,0%
1,5%
2,0%
2,5%
3,0%
3,5%
-
200.
000
400.
000
600.
000
800.
000
1.
000. 000
1.
200. 000
2005
2006 2007 2008 2009
B il li
o n s
Tre nd Angga ra n Ke se hata n
Fungs i
Kesehatan
APB N
Persen
Kesehatan
17
E. Memerangi HIV/AIDS
Perkembangan kasus
HIV/AIDS di Indonesia sendiri sudah sampai pada tingkat yang
mengkawatirkan.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengendlian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI (Ditjen PP & PL), sampai dengan 30
juni 2006 kasus
HIV/AIDS secara kumulatif telah mencapai angka 10.859 kasus dengan
rincian 6.332 jiwa
penderita AIDS dan 4.527 jiwa pengidap HIV5. Sampai
akhir September
2008, Departemen
Kesehatan mencatat 21.151 orang di Indonesia terinfeksi HIV, 15.136
orang dalam fase AIDS,
dan 54,3 persen di antaranya kaum muda berusia 15-29 tahun6.
Ironisnya, prosentase
tertinggi terdapat pada usia produktif (54,12% kelompok usia 20-29
tahun dan sekitar
26,41% pada kelompok usia 30-39 tahun disusul kelompok umur 40-49
tahun sebesar 8,42%)7.
Meskipun data ini
merupakan data resmi dari pemerintah, namun data sesungguhnya tidak
ada yang tahu berapa
persisnya, karena HIV/AIDS seperti fenomena gunung es, apa yang
terlihat hanyalah
puncak yang menyembul di permukaan tanpa diketahui seberapa dalam
dan besar kasus yang
sebenarnya terjadi.
Secara nasional ahli
epidemiologi dalam kajiannya memproyeksikan bila tidak ada
peningkatan upaya
penanggulangan, maka pada 2010 jumlah kasus AIDS akan menjadi
400.000 orang dengan
kematian 100.000 orang pada 2015 menjadi 1.000.000 orang
dengan kematian
350.000 orang. Sedangkan penularan dari ibu ke anak akan mencapai
38.500 kasus8.
Jika melihat laporan
pemerintah, bahwa penanganan kasus HIV dan AIDS masih
memerlukan kerja keras
dalam mengatasi persoalan ini. Target tahun ini saja hanya dapat
dicapai sebesar 0,1%,
padahal target sampai tahun 2015 adalah menekan penyebaran dan
sejauh ini data yang
ada angka HIV dan AIDS mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Yang perlu
dipertanyakan adalah sampai sejauh mana keseriusan pemerintah menekan
angka HIV dan AIDS ,
jika baik dari peraturan dan kebijakan anggaran tidak mendukung hal
itu.
5 Radio Netherlands
Worldwide, Deny Riana, 2006
6 Kompas, 2 Desember 2008
7 Ibid
8 Penanggulangan
HIV/AIDS Butuh Kepedulian Pemimpin, Jones Oroh tahun 2008
18
Kebijakan Alokasi Anggaran HIV dan AIDS
Menurut catatan KPA
Nasional, alokasi anggaran untuk HIV dan AIDS bersumber dari
APBN adalah sebesar Rp
105 miliar pada tahun 2006 dan mengalami peningkatan sebesar
Rp 115 miliar pada
tahun 20079. Sedangkan total APBD Propinsi juga mengalami
peningkatan dari 8
miliar rupiah pada tahun 2004 menjadi 57 milar rupiah tahun 2007. Diikuti
juga dengan KPA di
kabupaten/Kota dari total angaran 3,7 miliar rupaih tahun 2005, 14 milar
tahun 2006 menjadi Rp
19 miliar tahun 2007. Walaupun demikian, jumlah alokasi anggaran
tersebut masih belum
dapat memenuhi kebutuhan program penanggulangan AIDS di
masing-masing daerah,
mengingat jumlah penderita setiap tahunnya selalu meningkat.
Yang lebih menyedihkan
adalah alokasi anggaran untuk HIV dan AIDS tidak dialokasikan
dari dana rupiah
murni, namun lebih banyak dana bersumber dari mitra internasional yang
tersedia hingga
pemutakhiran akhir tahun 2007, antara lain sebagai berikut;
1. USAID: USD 9,887,08
(1 oktober 2007 – n30 september 2008). Dana dialirkan
melalui proyek Aksi
Stop AIDS (ASA) yang dilaksanakan oleh LSM
Internasional:Family
Health International (FHI). Dana yang digunakan tahun 2007
adalah 9,234,395
termasuk proyek Health Policy Initiative.
2. AusAID: AUD 45 juta
selama 5 tahun (maret 2008 – Februari 2013) dengan
kemungkinan
diperpanjang 3 tahun. Dana disalurkan melalui proyek HIV
Cooperation Program
for Indonesia (HCPI)
3. IPF (The Indonesia Partnership
Fund): sejumlah USD 9,255,148 untuk tahun 2008.
Sumber dana IPF hingga
saat ini adalah DFID (Departement for International
Development),
Goverment of United kingdom, yang manajemennya dikontrakkan
melalui UNDP. IPF
dimulai bulan mei 2005 dengan total dana USD 47 juta selama 3
tahun. Pada awal
proyek berlangsung sejumlah dana sudah dialirkan di beberapa
fund sebesar 49,7
juta. Sedangkan dana IPF yang digunakan untuk Sekretariat KPA
Nasional untuk
memperkuat akselerasi di 100 Kabupaten/Kota adalah sebesar USD
14,542,239 pada tahun
2007.
4. Global Fund – ATM
Round 4 Phase 2: USD 27,376,441 untuk Inonesia
Comprehensive Care
Project. Sementara dana GF yang digunakan pada tahun
20076 adalah USD
3,656,642 melalui GF Round 1 Phase 2 dan F Round 4 Phase 1
5. UE: Uero 3,722,825
(Desember 2005 – Januari 20011) dalam proyek Integrated
Management for
Prevention and Control dan Treatment of HIV/AIDS (IMPACT), yang
dilaksanakan di
Bandung, Jawa Barat.
9 Data diperoleh
dari 13 kementerian/lembaga negara
19
F. Memastikan Kelestarian Lingkungan
Salah satu fokus yang
akan dievaluasi adalah sejauh mana pemerintah telah menurunkan
proporsi penduduk
tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan
serta fasilitas
sanitasi dasar sebesar separuhnya pada 2015. Dan salah satu indikatornya
adalah cakupan
pelayanan perusahaan daerah air minum (KK) dan proporsi rumah tangga
dengan akses pada
fasilitas sanitasi yang layak (%).
Pembangunan sektor air
minum dan penyehatan lingkungan belum menjadi agenda utama
para pengambil
keputusan di Indonesia. Sampai saat ini lebih dari 100 juta penduduk yang
tersebar di 30.000
desa masih kesulitan memperoleh akses terhadap air bersih dan fasilitas
sanitsi dasar.
Buruknya pelayanan air minum dan sanitasi merupakan kendala serius dalam
mengurangi tingkat
kemiskinan dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Padahal target
indonesia tahun 2015,
meningkatkan hingga 67% proporsi penduduk yang memiliki akses
terhadap sumber air
minum yang aman dan meningkatkan hingga 69,3% proporsi penduduk
yang memiliki akses
terhadap fasilitas sanitasi dasar.
Berdasarkan data
Direktorat Penyehatan Lingkungan Depkes RI, menyebutkan bahwa air
dan sanitasi yang
buruk berdampak pada meningkatnya jumlah kasus diare 423/1.000 orang
dan angka kematian
tertinggi terjadii pada kelompok usia di bawah 5 tahun, yaitu
75/100.000 orang.
Kemudian 350 sampai 810 orang pada setiap 100.000 orang penduduk
terpapar tifus, dengan
laju kematian 0,6 sampai 5%. Sekitar 35,5% penduduk Indonesia
diperkirakan terpapar
cacingan.
Menurut laporan World
Bank tahun 2008, dampak kesehatan akibat pengelolaan air dan
sanitasi yang buruk
menyebabkan Indonesia kehilangan Rp 56 triliun (2,3% dari PDRB).
Kebijakan Alokasi Anggaran
Dalam APBN tahun 2005,
alokasi untuk lingkungan hidup dianggarkan sebesar 3,1 M.
Namun kegiatan program
untuk penanganan limbah hanya dianggar sebesar Rp 335,9 juta
saja. Alokasi tersebut
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan namun tidak terlalu
signifikan. Data APBN
2009, alokasi untuk Lingkungan hidup sebesar Rp 7,8 M dan diikuti
dengan kenaikan
penanganan limbah sebesar Rp 518,5 juta.
Alokasi tersebut juga
setara dengan alokasi untuk Fasiltas Umum dan Perumahan dalam hal
penyediaan air minum.
Tahun 2005, hanya dialokasikan sebesar Rp 798,8 juta dari total
anggaran Fasilitas
Umum sebesar Rp 2,28 M. Kemudian tahun 2009 mengalami kenaikan
sebesar Rp 3,4 M dari
total anggaran fasilitas umum sebesar Rp 18,4 M.
20
Anggaran untuk
sanitasi tersebut, hanya 1/214 dari anggaran subsidi BBM. Selain lemahnya
visi menyangkut sanitasi,
terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan
sanitasi ini sebagai
investasi, tetapi
masih melihat sebagai
biaya (cost).
Menurut WHO dan
sejumlah lembaga
lain, setiap 1 dollar
AS investasi di
sanitasi, akan
memberikan manfaat
ekonomi sebesar 8
dollar AS dalam
bentuk peningkatan
produktivitas dan
waktu, berkurangnya
angka kasus
penyakit dan kematian.
Tantangan Kedepan Pemerintah
Pemerintah dalam 30
tahun terakhir,
baru bisa memenuhi
anggaran sekitar
10% yaitu sekitar 820
juta dolar AS untuk sanitasi dan hanya Rp 200/orang/tahun untuk
setiap penduduk.
Padahal kebutuhan minimal agar akses terhadap sanitasi memadai
dibutuhkan sekitar Rp
47.000.per/orang/tahun10. Dan menurut versi
Bank Pembangunan
Asia, memerlukan Rp 50
triliun untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5%
penduduk akan
terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.
Untuk sanitasi
tantangan memenuhi target MDG tidak kalah besar. Dimana pemerintah
menghadapi kendala
berupa pendanaan untuk pengembangan baik operasional dan
pemeliharaan. Sampai
saat ini tingkat pelayanan air limbah pemukiman di perkotaan melalui
system perpipaan
mencapai 2,33% dan melalui jamban (pribadi dan fasilitas umum) yang
aman baru mencapai
46,6% (Susenas 2004). Dan jumlah kota di seluruh Indonesia yang
telah memiliki sistem
pengelolaan sistem pengelolaan limbah terpusat baru mencapai 11
kota. Sementara untuk
di pedesaan melalui pengolahan setempat berupa jamban pribadi
dan fasilitas umum
baru mencapai 49,33%.
Dalam pencapaian
target MDGs adalah terlayaninya 50% masyarakat yang belum
mendapat akses air
bersih. Jelas tantangan ini sangat berat apalagi diketahui bahwa
cakupan pelayanan baik
di perkotaan maupun pedesaan masih sangat rendah dan
mengakibatkan
kecenderungan meningkatnya angka penyakit terkait aqir dan menurunnya
kualitas air tanah dan
air permukaan sebagai sumber air baku untuk air minum.
10 Departemen
Kesehatan
Perbandingan Alokasi Anggaran APBN dalam
Penyediaan Air Minum & Manajemen
ConversionConversion EmoticonEmoticon