MAKALAH
DIMENSI
SOSIAL BERAGAMA
(
PLURALISME AGAMA DI INDONESIA )
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita
semua. Berkat karunia-Nya lah kita dapat meneruskan pendidikan yang lebih
tinggi seperti sekarang ini. Alhamdulillah kita dari kelompok enam dapat menyelesaikan
tugas kelompok makalah yang berjudul
Dimensi Sosial Beragama
(Pluralisme Agama di Indonesia). Semoga makalah yang
kita buat dari kelompok enam ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amiiin.
Apabila dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Apabila ada saran dan kritik, kami akan menerimanya
sebagai perbaikan. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb
TEAM
PENYUSUN
DAFTAR
ISI
Kata pengantar…………………………………………………………i
Daftar isi……………………………………………………………….ii
1.
BAB I
1.1
Pendahuluan
1.1.1
Latar
belakang..........................................................
1.1.2 Tujuan dan manfaat...................................................
1.1.3 Rumusan
masalah......................................................
2.
BAB 2
2.1.1
Pembahasan......................................................................
3.
BAB 3
3.1
Penutup
3.1.1
Kesimpulan...............................................................
Daftar
pustaka........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sekarang ini
umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau
konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah
konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia
ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat,
dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari
manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting. Secara tidak
sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara
satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi
di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia
terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya.
Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi pecahnya konflik antar umat
beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir
perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
B.
Tujuan
a.Tujuan umum : Sebagai
media pembelajaran mahasiswa
b.Tujuan khusus : Agar mahasiswa mengerti tentang Dimensi Sosial
Beragama yaitu Pluralisme Agama di
Indonesia serta Pluralisme Agama menurut pandangan Islam.
C. Manfaat
1.Sarana membaca
2.Pelengkap perpustakaan
3.Media pembelajaran
D.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
pengertian Pluralisme Agama ?
2. Bagaimana
Pluralisme Agama di Indonesia ?
3. Bagaimana
Pluralisme Agama menurut pandangan Islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Pluralisme Agama
Kata
“pluralisme agama” berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama” dalam
bahasa Arab diterjemahkan dengan “al-ta’ddudiyah” dan dalam bahsa
Inggris “religius pluralism”. Dalam bahasa Belanda, merupakan gabungan
dari kata plural dan isme. Kata “plural” diartikan
dengan menunjukkan lebih dari satu. Sedangkan isme diartikan dengan
sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Dalam bahasa Inggris disebut
pluralism yang berasal dari kata “plural” yang berarti lebih
dari satu atau banyak. Dalam Kamus The
Contemporary Engglish-Indonesia Dictionary, kata “plural”
diartikan dengan lebih dari satu/jamak dan berkenaan dengan keaneka ragaman. Jadi
pluralisme, adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk, baik dalam
konteks sosial, budaya, politik, maupun agama. Sedangkan kata “agama” dalam
agama Islam diistilahkan dengan “din” secara bahasa berarti tunduk,
patuh, taat, jalan. Pluralisme
agama adalah kondisi hidup bersama antarpenganut agama yang berbeda-beda dalam
satu komonitas dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik ajaran
masing-masing agama.
Dengan
demikian yang dimaksud “pluralisme agama” adalah terdapat lebih dari satu agama
(samawi dan ardhi)
yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama dan saling
berinteraksi antara penganut satu agama dengn penganut agama lainnya, atau
dalam pengertian yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan saja mengakui
keberadan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman.
Dalam prepektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme agama dipahami
sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai yang
bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada manusia.
Pengakuan
terhadap kemajemukan agama tersebut adalah menerima dan meyakini bahwa agama
yang kita peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi
penganut agama lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang
paling benar. Dari kesadaran inlah akan lahir sikap toleran, inklusif, saling
menghormati dan menghargai, serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hal ini sesuai dengan sila
pertama Pncasila “Ketuhanan yang Maha Esa”, dan UUD’45 pasal 29 ayat (2) yang
menjamin kebebasan beragama dan beribadah sesuai menurut agama dan kepercayaan
masing-masing. Pasal 29 ayat (2) UUD’ 45, di samping jaminan kebebasan
beragama, keputusan yang fundamental ini juga merupakaan jaminan tidak ada
diskriminasi agama di Indonesia. Mukti Ali, secara
filosofis mengistilahkan dengan agree in disagreement (setuju dalam
perbedaan).
B. Berbagai Perspektif Pluralisme Agama
Berbicara
tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme
agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda di kalangan
cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu
kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal
beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama
adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti.[1] Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah
atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan,
maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.[2] Berdasarkan
keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam
soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim
misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved
(terlibat) dengan Islam.[3] Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah
masyarakat adalah multi-complex yang
mengandung religious pluralism,
bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita
harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.[4]
Dapat dicermati
bahwa Rasjidi tidak memandang adanya pertemuan
dalam masalah-masalah teologis. Pandangan pluralismenya tidak berarti
adanya pertemuan dalam hal keimanan,
namun hanya merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain. Pandangan
pluralismenya tidak sampai masuk pada perbincangan tentang kebenaran-kebenaran
yang ada di dalam agama lain. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang hal itu.
Namun demikian, ia juga tidak memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis
dari agama lain. Kritiknya terhadap agama lain adalah kritik
sosial, dalam arti bahwa ia mengritik praktek-praktek misi atau zending dari
agama Kristen. Ia mengritik aktivitas misi atau zending tersebut. Ia tidak
mengritik berbagai ajaran teologis yang ada di dalam agama Kristen.
Karena itulah pola yang dipakai Rasjidi adalah pola responsif atas
persoalan yang berkembang, misalnya
tentang kristenisasi, sehingga terkesan defensif. Apa yang dikemukakannya
adalah sebuah pembelaan, sebuah dialog bertahan, bukan menyerang. Pembelaan
Rasjidi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam disampaikan secara
terus-terang dan terbuka, bahkan kadang kalah
tidak dapat menghindari munculnya tuduhan, tudingan dalam dalam hal-hal yang empirik (aktual). Ia tidak
pernah menutupi sesuatu pun, meskipun hal itu terasa pahit dan keras, misalnya
tentang apa yang dilakukan oleh umat Kristen.
Terdapat kesan bahwa pandangan
tentang absolutisme agama didasarkan
oleh kandungan ajaran bahwa pemeluk agama tidak dapat objektif terhadap
kebenaran lain. Bagi umat Islam barangkali didasarkan pada ajaran bahwa “agama
yang paling benar di sisi Allah adalah Islam”.
Pengakuan pluralisme secara
sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali secara sosial tidak
mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi
ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak
bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek)
yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang
berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus
dan Mariam.
Menurutnya, orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi
terhadap Mariam dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang
Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus
tetapi mempercayai kenabiannya sebagaimana
Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak
hanya memandang al-Qur’an tetapi
juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi
persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan
apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang
Islam selalu menolak Wahyu Tuhan yang
diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam
tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini terdiri
dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa
Bibel memuat/mengandung Kalam Tuhan.[5]
Tampak Mukti Ali ingin menegaskan bahwa
masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan.
Islam memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini
oleh umat agama lain, misalnya konsep tentang Nabi Isa. Begitu juga, Kristen
memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh Islam, misalnya konsep tentang
Nabi Muhammad.
Jadi, pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran
sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan
masing-masing. Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing
agama.
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran
diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat
yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception,
yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan
agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama
baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan
demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa
bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis
(campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa
agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan
berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju
dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang
paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang
dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan
agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.[6]
Mukti Ali sendiri setuju dengan jalan “agree in disagreement”. Ia mengakui jalan inilah yang penting ditempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup beragama. Orang yang beragama harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan orang lain juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar.[7]
Wacana pluralisme agama Djohan Effendi berbeda
dengan pluralisme Rasjidi dan Mukti Ali di atas. Pengakuan pluralisme
Djohan Effendi bukan hanya pengakuan secara sosiologis bahwa umat beragama
berbeda, tetapi juga pengakuan tentang titik temu secara teologis di antara
umat beragama. Djohan tidak setuju
dengan absolutisme agama. Ia membedakan antara agama itu sendiri dengan
keberagamaan manusia. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami
secara proporsional. Menurutnya, agama –terutama yang bersumber pada wahyu,
diyakini sebagai bersifat ilahiyah.
Agama memiliki nilai mutlak. Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia,
maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh
manusia, karena manusia sendiri bersifat
nisbi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia –termasuk
kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia—bersifat nisbi, tidak absolut. Yang
absolut adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang
dikatakan oleh manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui
oleh ilmu Tuhan.[8]
Dengan bahasa lain, Greg Barton menyebut bahwa
Djohan Effendi menolak absolutisme agama dan mengakui pluralisme agama.[9]
Djohan mengemukakan:
“Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian
dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama
sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam
ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan
agama, yang ada dalam pikirannya bukan hanya agama sendiri, akan tetapi juga
aliran yang dianutnya, bahkan pengertian dan pemahamannya sendiri. Oleh karena
itu, pengertian dan pemahamannya tentang agama jelas bukan agama itu sendiri
dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak dan a priori menyalahkan
pengertian dan pemahaman orang lain.”[10]
Pemikiran pluralisme Djohan Efendi berangkat dari suatu pemahaman bahwa dakwah
(baik Islam maupun Kristen) adalah sesuatu yang penting, tapi ia kurang setuju
jika keberagamaan seperti itu bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat
mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim
satu kelompok). Dari sinilah, menurut Djohan, dialog merupakan sesuatu yang
esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar tidak mandeg dan statis.[11]
Sekali lagi, Djohan tidak menyetujui absolutisme agama, sehingga paksaan
atau kekerasan apapun tidak boleh mendapat tempat di dalam usaha-usaha dakwah.
Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah
sikap moderat dan liberal terhadap iman lain. Dari situlah, teologi kerukunan
akan bisa terwujud. Djohan mengemukakan:
“Dengan pendekatan
dan pemahaman yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan
manusia, boleh jadi bisa dikembangkan semacam Teologi Kerukunan, yaitu suatu
pandangan keagamaan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan,
suatu pandangan keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai
ajaran kebenaran tidak pernah tertangkap dan terungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa
keagamaan seseorang pada umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya
pengaruh lingkungan.” [12]
Djohan membuat garis pembatas yang tegas antara
agama dan keberagamaan. Kedua hal ini tidak dapat dicampuraduk. Ia tidak setuju
terhadap pandangan keagamaan seseorang –sebagai suatu keberagamaan-- yang
dianggap bersifat absolut. Absolutisme
keberagamaan adalah tidak benar. Berbagai persoalan yang menimpa umat beragama sering kali disebabkan adanya
pandangan bahwa keberagamaan seseorang sebagai satu-satunya yang paling benar,
sementara keberagamaan orang lain salah.
Inilah yang kemudian menumbuhsuburkan adanya misi, zending, dakwah dan
semacamnya.
Menurutnya, Islam secara tegas memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat
al-Qur’an yang menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.”[13] Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja
yang mau beriman atau kufur
terhadap-Nya.[14] Menurutnya, Islam
sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi
agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan
beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran
agama, disamping itu memang merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat
majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan
menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari
kemusliman.[15] Ia merujuk ayat
al-Qur’an yang menyatakan keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan
dengan sikap mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog,
dan masjid.[16]
Hal yang sama juga dikemukan oleh Nurcholis Madjid. Ia
mengemukakan ketidaksetujuannya dengan absolutisme, karena absolutisme adalah
pangkal dari segala permusuhan. Ia mengatakan:
“Petunjuk konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah
tidak dibenarkannya sama sekali suatu kelompok dari kalangan orang-orang
beriman untuk memandang rendah atau kurang menghargai kelompok lainnya, sebab
siapa tahu mereka yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang
memandang rendah. Ini mengajajarkan kita –dalam pergaulan dengan sesama
manusia, khususnya sesama kalangan yang percaya kepada Tuhan—tidak melakukan
absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan.”[17]
Nurcholish menegaskan betapa pentingnya kehidupan
beragama. Ia tidak menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini
adalah agama Islam saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum.
Namun, dengan bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk
agama. Ia mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan
para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang
amat berbahaya.[18]
Nurcholish melihat bahwa peta
tahun 1992 sedang ditandai oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Diakui,
agama memang bukan satu-satunya faktor,[19] tapi jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam
konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peran. Setiap warna
keagamaan dalam suatu konflik seringkali melibatkan agama formal atau agama
terorganisir (organized religion). Ia
menyebut tempat-tempat konflik; Irlandia, sekitar Perancis dan Jerman,
Bosnia-Herzegovina, Cyprus, Palestina, Timur Dekat, Afrika Hitam, Sudan, Perang
Teluk, Pakistan, Srilangka, Burma, Thailang, dan Filipina.[20]
Menanggapi
semboyan yang diperkenalkan oleh futurolog, John Naisbitt dan Patricia
Aburdene, Spiritualiy, Yes; Organized
Religion, No, Nurcholish menyatakan bahwa semboyan itu mengandung makna
prinsipil daripada semboyan yang pernah ia kemukakan 20 tahun sebelumnya
–“Islam, Yes; Partai Islam, No”.
Nurcholish mengaku mengalami kesulitan besar, bahkan kemustahilan, untuk
dapat menerima kebenarannya. Ia juga menegaskan bahwa semboyan Spirituality, Yes; Organized Religion, No,
agaknya tidak memiliki pijakan yang kuat.[21] Artinya,
agama-agama resmi memang masih menjadi fenomena yang banyak memainkan peran
dalam kehidupan manusia.
Merujuk pada Kitab Suci al-Qur’an, Nurcholish menegaskan bahwa
setiap umat atau golongan manusia telah pernah dibangkitkan atau diutus seorang
utusan Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah kepada Tuhan saja
(dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Ia mengutip Surat al-Nahl (16):
36. Berdasarkan firman-firman Allah itu
dikatakan bahwa:
“... semua agama Nabi dan
Rasul yang telah dibangkitkan
dalam setiap umat adalah sama, dan inti dari ajaran semua Nabi dan Rasul itu
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan
tiranik. Dengan perkataan lain, Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan terhadap
tirani adalah titik pertemuan, common
platform atau, dalam bahasa al-Qur’an, kalimatun-sawâ’
(kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab suci.”[22]
Menurut Nurcholish,
kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Ia berargumentasi, semua yang benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah,
Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua Nabi
dan Rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu, adanya perbedaan
itu hanyalah dalam bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada
tuntutan zaman dan tempatnya. Ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah
prinsipil, sedangkan ajaran pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama.
Dalam rangka menjelaskan hal ini, ia mengutip al-Qur’an, yakni dalam Surat
Al-Syûrâ (42):13, al-Nisâ’ (4):163-165,
al-Baqarah (2):136, al-Ankabût (29):46, Al-Syûrâ (42):15, dan al-Mâidah (5):8.
Ayat-ayat yang dikutip itu berkenaan dengan kesamaan antara syariat Muhammad dengan
syariat Nuh, Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Ayyub, Yunus, Harun, Musa,
Sulaiman, Dawud, Isa dan kepada rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada
Muhammad.[23] Ayat-ayat itu
menunjukkan adanya kesinambungan, kesatuan dan persamaan agama-agama
para Nabi dan Rasul Allah. Nurcholish mengritik masyarakat sekarang ini, baik
Muslim maupun yang bukan, karena banyak yang tidak menyadari adanya pandangan
itu.
Menjelasakan tentang titik temu agama-agama, ada empat prinsip yang dikemukakan oleh
Nurcholish. Pertama, Islam
mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus
Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua,
Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang
percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama
yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya,
khususnya yang secara “genealogis”
paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik
dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab).[24] Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada
paksaan dalam agama”.
Menurut Nurcholish, pandangan-pandangan inklusivitas amat
relevan untuk dikembangkan pada zaman sekarang, yaitu zaman globalisasi berkat
teknologi informasi dan transportasi, yang membuat umat manusia hidup dalam
sebuah “desa buwana” (global village). Ia menegaskan:
“Dalam desa buwana itu, seperti telah disinggung, manusia
akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama lain, tetapi sekaligus juga
lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi langsung. Karena itu
sangat diperlukan sikap-sikap saling mengerti dan paham, dengan kemungkinan
mencari dan menemukan titik kesamaan atau kalimatun
sawa’ seperti diperintahkan Allah dalam al-Qur’an. Dengan tegas al-Qur’an
melarang pemaksaan suatu agama kepada orang atau komunitas lain, betapapun
benarnya agama itu, karena akhirnya hanya Allah yang bakal mampu memberi
petunjuk kepada seseorang, secara pribadi. Namun, demi kebahagiaannya sendiri,
manusia harus terbuka kepada setiap ajaran atau pandangan, kemudian bersedia mengikuti mana yang terbaik. Itulah
pertanda adanya hidayah Allah kepada mereka. Dan patut kita camkan benar-benar
pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana dikutip oleh ‘Abdul Hamid
Hakim bahwa pengertian sebagai Ahl
al-kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti
tersebut dengan jelas dalam al-Qur’an serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster)
seperti tersebut dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain
yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.”[25]
Nurcholish
menyinggung tentang bagaimana sikap keberagamaan yang benar. Ia menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyah al-samhah,
agama yang memiliki semangat kebenaran yang lapang dan terbuka. Ia
mengemukakan:
“Sikap mencari
Kebenaran secara tulus dan murni (hanîfiyyah,
kehanifan) adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan
sejati, dan yang tidak bersifat palliative
atau menghibur secara semu dan palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme.
Maka Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyah al-samhah (baca:
“al-hanîfiyyatus-samhah”) yaitu semangat mencari kebenaran yang
lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.”[26]
Oleh
karena itu, umat Islam tidak dilarang
untuk berbuat baik dan adil
kepada siapapun dari kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan,
baik atas nama agama atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat
tinggal dan bentuk penindasan yang lain.[27]
Sementara
itu, Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme bukan dalam pengertian
pluralisme yang dikemukakan oleh Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid di muka. Ia menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan
kebenaran di mana pun juga.[28] Pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme
dalam bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Sikap toleran
tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran
pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku.
Tidak pula harus kaya dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru
pada mereka yang tidak pintar juga
tidak kaya, yang biasanya disebut “orang-orang terbaik’.[29] Gus Dur memberi
contoh sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Iskandar, dengan cara bergaul
secara berbaur dalam masyarakat.
Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.[30] Apa yang disampaikan oleh Gus Dur sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.
Berkenaan dengan makna salah satu ayat al-Qur’an Surat Al-Fath (48) ayat 9 yang berbunyi “Asyiddâ-u âlâ al-Kuffârm ruhamâ-u bayna hum, ia memahami bahwa ada perbedaan antara orang non-Muslim sekarang dengan kaum kafir yang memerangi agama Islam (dalam konteks ayat itu adalah kaum kafir Mekkah). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengembangkan sikap permusuhan kepada mereka selama tidak memerangi agama Islam. Selain itu, menurutnya, esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bisa saling mengoreksi sesama orang Islam. Nabi pernah mencontohkan, bahwa jika Fatimah (putri beliau) melakukan pencurian maka ia tetap harus dihukum. Jadi, sikap santun tidak boleh dengan standar ganda atau tidak boleh mengabaikan keadilan kepada siapa pun, termasuk orang berlainan agama.[31]
Kemudian, berkenaan dengan bunyi ayat al-Qur’an
dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 120 (Wahai
Muhammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu
sampai kamu ikuti agama mereka, Gus Dur memandang bahwa ayat ini sering digunakan
untuk membenarkan sikap dan tindakan anti-toleransi, karena kata “tidak rela”
di sini dianggap melawan atau memusuhi,
lalu dikaitkan dengan pembuatan gereja-gereja, penginjilan atau pekabaran
Injil, dan sebagainya. Menurutnya, kata “tidak rela” harus didudukkan secara
proporsional. Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar.
Tentu saja, ini tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Tidak menerima konsep
dasar bukan berarti mesti mengembangkan
sikap permusuhan atau perlawanan. Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep
dasar Islam adalah sudah pasti. Begitu juga sebaliknya, Islam juga tidak bisa
menerima konsep dasar agama Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, menurutnya,
kita tidak akan goyang dari konsep Tauhid, tapi kita menghargai pendapat orang lain. [32] Pendapat orang lain ini tentu saja
berarti keyakinan orang lain.
Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen
penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya
untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud
dengan pluralisme adalah (1) tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama
adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak
agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. (2) pluralisme harus dibedakan dengan
kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka
ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi
positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun
ada. (3) konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena,
konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus
dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”. Oleh karena itu, seorang relativis
tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku
untuk semua dan sepanjang masa. Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur
relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas
suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain.
Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang
menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. (4) pluralisme agama bukanlah
sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu
atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian
integral dari agama baru tersebut.[33]
Satu hal yang ditegaskan oleh Alwi adalah apabila konsep
pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan
komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam
berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri,
belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya.
Hal ini untuk menghindari relativisme agama. Ia menekankan perlunya
membudayakan sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan
agama, dibarengi loyalitas komitmen terhadap agama masing-masing. [34]
Alwi menegaskan, Islam sejak semula menganjurkan dialog
dengan umat lain. Dikatakan, terhadap pengikut Isa a.s. dan Musa a.s.,
al-Qur’an menggunakan kata ahl al-kitab
(yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl,
yang berarti keluarga, menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan.[35]
Dari berbagai pandangan tentang pluralisme di atas
Penulis dapat mengklasifikasi ada tiga model pluralisme. Pertama, pandangan pluralisme yang masih menyisakan adanya
absolutisme agama. Pandangan ini dikemukakan Rasjidi dan Natsir. Kedua, pandangan pluralisme liberal. Ini
dikemukakan oleh Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid. Ketiga,
pandangan pluralisme yang menempati posisi antara absolutisme agama dan
pluralisme liberal. Pandangan ini masih memegang adanya hal-hal yang bersifat
absolut yang tidak dapat dipertemukan atau disamakan, tetapi juga mengakui
bahwa pluralisme itu tidak hanya sekedar ada namun juga harus diwujudkan dalam
keterlibatan aktif dalam memahami perbedaan dan persamaan. Ada sikap terbuka,
menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama, tetapi ada loyalitas
komitmen terhadap agama masing-masing. Konsep yang dikemukaan Mukti Ali “agree in disagreement” kiranya dapat
mewakili pandangan yang terakhir ini. Begitu juga
pandangan Alwi Shihab.
C. Dialog dan Tantangan Umat Beragama
Sekarang ini
umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau
konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah
konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat
manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel
P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama,
adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah
identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan
penting.[36] Secara tidak sadar, manusia terkelompok
ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi
di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia
terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya.
Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi pecahnya konflik antar umat
beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir
perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya untuk menjembatani
bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan,
misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup
beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya
standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar
universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas
internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi,
keadilan dan perdamaian. Hal-hal
ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.[37]
Standar
universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis
yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai
nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia
tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak
dari stadar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah
kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik
secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan
memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan
muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi moralitas
yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai oleh semua
orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama secara
sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus
vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi
manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan
etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak
dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah
al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan sikap pluralisme serta perlunya memahami
pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa
hidup damai dan harmonis.
Selanjutnya,
suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak,
memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama,
adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau mendengarkan semua pihak secara
proporsional, adil dan setara. Dialog
bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai
“agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.[38]
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan
memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada
yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari
salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam
memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.[39]
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala
kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata
lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri
atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang
sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan
pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa
berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat
beragama sendiri.[40]
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan
sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu
yang diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap
pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari
beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada
organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”,
semuanya harus sama.[41]
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama
dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus
mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di
permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam
(batin). Dari situlah bisa ditemukan
dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia
ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri.[42]
Namun demikian,
penulis melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat
dialog antar umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi penghambat itu
adalah sebagai berikut: (1) kurang
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan
seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang
berlainan. Hal ini akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan
mengakibatkan adanya truth claim.[43] (2) Faktor-faktor sosial politik dan
trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik
antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3) Munculnya
sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran
kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras,
etnis dan golongan tertentu.[44] (5) Masih adanya kecurigaan dan
ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada
hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang
konfrontatif. (9) Ketegangan politik
yang melibatkan kelompok agama.[45]
D.
Pandangan Islam Terhadap Pluralisme Agama
Agama Islam
adalah agama damai yang sangat mengahargai, toleran
dan membuka diri terhadap pluralisme agama. Isyarat-isyarat tentang pluralisme
agama sanagat banyak ditemukan di dalam al-qur’an antara lain Firman Allah “Untukmu
agamamu dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 109/6). Pluarlisme agama
adalah merupakan perwujudan dari kehenddak Allah swt. Allah tidak menginginkan
hanya ada satu agama walaupun sebenarnya Allah punya kemampuan untuk hal itu
bila Ia kehendaki. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan
manusia umat yang satu.” (QS. Hud: 11/118). Dalam al-qur’an berulang-ulang
Allah manyatakan bahwa perbedaan di antara umat manusia, baik dalam warna
kulit, bentuk rupa, kekayaan, ras, budaya dan bahasa adalah wajar, Allah bahkan
melukiskan pluralisme ideologi dan agama sebagai rahmat. Allah menganugrahkan
nikmat akal kepada manusia, kemudian dengan akal tersebut Allah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih agama yang ia yakini kebenarannya tanpa
ada paksaan dan intervensi dari Allah. Sebagaimana Firmannya “Tidak ada
paksaan dalam agama”. (QS. Al Baqarah: 2/256). Manusia adalah makhluk yang
punya kebebasan untuk memilih dan inilah salah satu keistimewaan manusia dari
makhluk lainnya, namun tentunya kebebasa itu adalah kebabsan yang harus
dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah swt. Pluralisme agama mengajak
keterlibatan aktif dengan orang yang berbeda agama (the religious other)
tidak sekedar toleransi, tetapi jauh dari itu memahami akan substansi
ajaran agama orang lain. Pluralisme agama dapat berfungsi sebagai paradigma
yang efektif bagi pluralisme sosial demokratis di mana kelompok-kelompok
manusia dengan latar belakang yang berbeda bersedia membangun sebuah komonitas
global. Salah satu persyaratan terwujudnya masyarakat modern yang demokratis
adalah terwujudnya masyarakat yang mengharagai kemajemukan (pluralitas)
masyarakat dan bangsa serta mewujudkan sebagai suatu keniscayaan.
Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk
agama lain adalah mutlak untuk dijalankan(Pluralitas). Namun bukan berarti
beranggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme), artinya tidak
menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menentang
paham pluralisme dalam agama Islam. Namun demikian, paham pluralisme ini
banyak dijalankan dan kian disebarkan oleh kalangan Muslim itu sendiri.
Solusi Islam terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan
dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi
solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan
sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada.
Belakangan,
muncul fatwa dari MUI yang melarang
pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya itu. Dalam
fatwa tersebut, MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek
persoalan yang ditanggapi) dalam arti "suatu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan
berdampingan di surga". Kalau pengertian pluralisme agama semacam
itu, maka paham tersebut difatwakan MUI sebagai bertentangan dengan ajaran
agama Islam.
Ummat Islam di
Indonesia sepakat dengan memberi fatwa faham Pluralisme agama adalah haram.Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan dengan Islamdan haram bagi umat Islam untuk memeluknya. (Fatwa MUI, 2005).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Salah satu
persyaratan terwujudnya masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya
masyarakat yang mengharagai kemajemukan (pluralitas) masyarakat.
Dengan
demikian yang dimaksud “pluralisme agama” adalah terdapat lebih dari satu agama
yang mempunyai eksistensi hidup berdampingan, saling bekerja sama dan saling
berinteraksi antara penganut satu agama dengan penganut agama lainnya, atau
dalam pengertian yang lain, setiap penganut agama dituntut bukan saja mengakui
keberadan dan menghormati hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman.
Dalam prepektif sosiologi agama, secara terminology, pluralisme agama dipahami
sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai yang
bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada manusia.
Dalam pandangan
Islam, sikap menghargai dan toleransi kepada pemeluk agama lain adalah mutlak
untuk dijalankan(Pluralitas). Namun bukan berarti beranggapan bahwa semua agama
adalah sama (pluralisme), artinya tidak menganggap bahwa Tuhan yang kami sembah
adalah Tuhan yang kalian sembah.
Solusi Islam
terhadap adanya pluralisme agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas
agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Sehingga solusi paham
pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik.
3.2 PENUTUP
Demikian
pembahasan makalah Dimensi Sosial Beragama ( Pluralisme Agama di Indonesia )
ini kami buat. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Kurang lebihnya kami mohon
maaf. Wassalamualaikum Wr.Wb
DAFTAR PUSTAKA
Anank.wordpress.com/.../pluralisme-agama
menurut-hasyim-muzadi
id.wikipedia.org/wiki/pluralisme
agama
www.islam
house.com>indonesia>makala
www.syarikat.org / content / tentang.makala-pluralisme-agama
[1] Argumen ini dikemukakan
oleh Prof. Rasjidi dalam satu tulisannya yang disampaikan dalam Pidato Sambutan Musyawarah Antar Agama, 30 November 1967 di
Jakarta. Penulis mendapati tulisan ini dari dua sumber, yakni di dalam Majalah Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968-
Tahun ke VIII dan buku karangan Umar
Hasyim Toleransi dan Kemerdekaan Beragama
dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Dalam konteks ini, penulis
memfokuskan diri dari sumber yang pertama.
[4] Ibid.
[5]Mukti Ali, “Dialog
between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems” dalam Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI
Djuli 1970, hlm. 55.
[6]A. Mukti Ali, “Ilmu
Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman
Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan
Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.
[8]Djohan
Effendi, “Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan?”, dalam Majalah
Prisma 5, Juni 1978, hlm. 16. Lihat juga Djohan Effendi, “Kemusliman
dan Kemajemukan Agama” dalam Th.
Sumarthana dkk. (ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama,
hlm. 54-58.
[9]Lihat
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish
Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, pent. Nanang Tahqiq (Jakarta : Paramadina,
1999), cet. I, hlm. 237.
[10]Djohan
Effendi, “Dialog Antar Agama”, hlm. 16. Paragraf ini juga pernah dikutip oleh
Greg Barton. Lihat
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal,
hlm. 239.
[11]Djohan Effendi, “Dialog
Antar Agama”, hlm. 17.
[12]Ibid. Paragraf ini juga pernah
dikutip oleh Greg Barton. Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal,
hlm. 243.
[13]Q.S.
Al-Baqarah (2) : 156.
[14]Q.S.
Al-Kahfi (18) : 29.
[15]Djohan
Effendi, “Kemusliman dan Kemajemukan”, hlm. 54-55.
[16]Q.S.
Al-Hajj (22) : 40.
[17]Paragraf
itu merupakan komentar Nurcholish Madjid yang dicantumkan dalam buku Atas
Nama Agama. Lihat Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog
“Bebas” Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259.
[18]Tulisan
Nurcholish Madjid yang penuh dengan nuansa dialog ini disampaikan di Taman
Ismail Marzuki 21 Oktober 1992, Beberapa
Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Pengamatan
terhadap realitas pluralitas umat menjadi perhatian serius. Sebagaimana
judulnya, ia mengupas bagaimana generasi mendatang menjalankan kehidupan
beragama. Kata generasi mendatang
adalah kata yang masih umum yang tidak perlu dikotak hanya dalam generasi
Islam. Dalam tulisannya itu, Nurcholish ingin melaksanakan kandungan hadis yang
menyatakan “agama adalah pesan” (al-dîn al-nashîhah). Lihat Nurcholish Madjid,
“Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam
Jurnal
Ulumul Qur’an, No.1 Vol.IV, Th. 1993, hlm. 4 dan 6.
[19]Faktor-faktor selain
agama, misalnya, adalah faktor kebangsaan, kesukuan, kebahasaan, kesenjangan
ekonomi, kesejarahan, kekuasaan teritorial, dan sebagainya.
[20]Nurcholish Madjid,
“Beberapa Renungan”, hlm. 7-8.
[21] Ibid., hlm. 8.
[24]Lihat Nurcholish Madjid,
“Hubungan Antar Umat Beragama : Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L.
Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), (
Jakarta : INIS, 1990), jilid VII, hlm. 108-109.
[25]Nurcholish Madjid,
“Beberapa Renungan”, hlm. 16.
[27]Q.S. Al-Mumtahanah (60) :
8. Lihat Nurcholish Madjid, “Hubungan Antar Umat Beragama”, hlm. 111.
[28]Abdurrahman Wahid, Muslim
di Tengah Pergumulan, (Jakarta : Lappenas, 1981), hlm. 3.
[29] Lihat Greg Barton, Gagasan
Islam Liberal, hlm. 398.
[30]Abdurrahman Wahid,
“Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan
Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 52.
[33]Alwi Shihab, Islam
Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999),
cet. VII, hlm. 41-43.
[36]Samuel P. Huntington,
“Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia?” dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993, hlm. 12.
[37]Lihat Bassam Tibi,
“Moralitas Internasional sebagai Landasan Lintas Budaya”, dalam M. Nasir Tamara
dan Elza Pelda Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban
(Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 163. Lihat juga Parliament of the
World’s Religions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t.), hlm. 5.
Lihat juga Zainul Abas, “Dialog Agama, Pluralitas Budaya dan Visi Perdamaian”,
dalam Kompas, No. 213 Tahun Ke-32, 31 Januari 1997.
[39]Lihat Tarmizi Thaher,
“Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-Agama di Indonesia” dalam
Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan
Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI,
1998/1999), hlm. 2-3. Lihat juga Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi
Studi Agama-Agama” dalam Mursyid Ali (ed.), Studi Agama-Agama, hlm.
35-36.
[40] Lihat
Komaruddin Hidayat, “Lingkup dan Metodologi Studi Agama-Agama”, hlm. 42.
[41]Ismail
Raji al-Faruqi (ed.), Trialog Tiga Agama Besar: Yahudi, Kristen,
Islam, alih bahasa Joko Susilo Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Cet. I (Surabaya : Pustaka
Progressif, 1994), hlm. 12.
[42]Lihat St. Sunardi,
“Dialog:Cara Baru Beragama”, hlm. 76.
[43] Hal ini adalah antitesis
dari prasyarat dialog yang mengharuskan adanya saling pemahaman terhadap
berbagai macam agama. Jika masing-masing tidak memahami secara benar terhadap
agama orang lain maka ini akan menjadi
penghambat dialog, karena akan muncul kecurigaan-kecurigaan.
[44]Poin 3 dan 4 lihat A.
Ligoy, CP, “Gereja Indonesia”, hlm. 131.
[45]Umar
Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju
Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.), hlm.
350-351.
ConversionConversion EmoticonEmoticon