BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
adalah suatu penyakit yang ditimbulkan sebagai dampak berkembang biaknya virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus) didalam tubuh manusia, yang mana virus ini
menyerang sel darah putih (sel CD4) sehingga mengakibatkan rusaknya sistem
kekebalan tubuh. Hilangnya atau berkurangnya daya tahan tubuh membuat si
penderita mudah sekali terjangkit berbagai macam penyakit termasuk penyakit
ringan sekalipun.
Virus HIV menyerang sel putih dan menjadikannya
tempat berkembang biaknya Virus. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem
kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang
penyakit, Tubuh kita lemah dan tidak mampu melawan penyakit yang datang dan
akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa
Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka
tidaklah langsung menyebabkan atau menderita penyakit AIDS, melainkan
diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk menyebabkan
AIDS atau HIV positif yang mematikan.
HIV, virus penyebab AIDS, dapat menular dari ibu
yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen
bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral load
tinggi lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya. Namun tidak ada jumlah
viral load yang cukup rendah untuk dianggap "aman". Infeksi dapat
terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat
sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses
persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan
darah ibunya. Meminum air susu dari ibu yang terinfeksi dapat juga
mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak memberi
ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi ketika sang ayah yang
HIV-positif, banyak pasangan yang menggunakan pencucian sperma dan inseminasi
buatan.
Seseorang yang
terinfeksi HIV perlu waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk menderita
AIDS. Ibu hamil bisa tertular HIV melalui hubungan seksual dengan
pasangan/suami pengidap HIV, dapat juga melalui transfusi darah yang terinfeksi
HIV, atau penggunaan obat-obat terlarang melalui jarum suntik. Ibu hamil yang
terinfeksi HIV dapat menularkannya pada bayi yang dikandungnya melalui plasenta
pada masa kehamilan, pada saat proses persalinan, serta melalui ASI
pascapersalinan.
Secara keseluruhan,
20-30% penularan terjadi selama periode kehamilan, dan hampir 80% terjadi pada
saat persalinan, dengan cara transfusi darah ibu ke bayi melewati plasenta pada
saat kontraksi persalinan atau dari hasil paparan darah dan cairan ketuban atau
serviks dan vagina ibu yang telah terifeksi HIV. Pemberian ASI adalah mekanisme
penularan utama pada periode pascapersalinan. Risiko penularan vertikal dari
ibu ke janin berbanding lurus dengan konsentrasi virus dalam darah ibu
(maternal viral load).
2.2 Patofisiologi
AIDS
adalah kompleks, seperti halnya dengan semua sindrom. Pada akhirnya, HIV
menyebabkan AIDS dengan berkurangnya CD4 + limfosit T pembantu. Hal ini
melemahkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan infeksi oportunistik.
Limfosit T sangat penting untuk respon kekebalan tubuh dan tanpa mereka, tubuh
tidak dapat melawan infeksi atau membunuh sel kanker. Mekanisme penurunan CD4 T + berbeda di fase akut dan kronis.
Selama
fase akut, HIV-diinduksi lisis sel dan membunuh sel yang terinfeksi oleh sel
sitotoksik akun T untuk CD4 + T deplesi sel, walaupun apoptosis juga
dapat menjadi faktor. Selama fase kronis, konsekuensi dari aktivasi kekebalan
umum ditambah dengan hilangnya bertahap kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk
menghasilkan sel baru T muncul untuk menjelaskan penurunan lamban dalam jumlah
CD4 + T sel.
Meskipun
gejala defisiensi imun karakteristik AIDS tidak muncul selama bertahun-tahun
setelah seseorang terinfeksi, sebagian besar CD4 + T hilangnya sel terjadi selama minggu
pertama infeksi, terutama di mukosa usus, pelabuhan yang mayoritas limfosit
ditemukan dalam tubuh. Alasan hilangnya preferensial CD4 + T sel mukosa adalah bahwa mayoritas
CD4 + T sel mukosa mengungkapkan coreceptor
CCR5, sedangkan sebagian kecil CD4 + sel T dalam aliran darah melakukannya.
HIV
mencari dan menghancurkan CD4 + sel CCR5 mengekspresikan selama
infeksi akut. Sebuah respon imun yang kuat akhirnya kontrol infeksi dan inisiat
fase laten klinis. Namun, CD4 + T sel dalam jaringan mukosa tetap
habis seluruh infeksi, meskipun cukup tetap awalnya menangkal infeksi yang
mengancam jiwa.
Replikasi
HIV terus-menerus menghasilkan keadaan aktivasi kekebalan umum bertahan selama
fase kronis. Aktivasi kekebalan tubuh, yang tercermin oleh negara aktivasi
peningkatan sel kekebalan dan pelepasan sitokin pro inflamasi, hasil dari
aktivitas beberapa produk gen HIV dan respon kebal terhadap replikasi HIV
terus-menerus. Penyebab lainnya adalah kerusakan pada sistem surveilans
kekebalan penghalang mukosa yang disebabkan oleh penipisan mukosa CD4 + sel T selama fase akut dari penyakit.
Hal
ini mengakibatkan pemaparan sistemik dari sistem kekebalan tubuh untuk komponen
mikroba flora normal usus, yang pada orang sehat adalah disimpan di cek oleh
sistem imun mukosa. Aktivasi dan proliferasi sel T yang hasil dari aktivasi
kekebalan memberikan target segar untuk infeksi HIV. Namun, pembunuhan langsung
dengan HIV saja tidak dapat menjelaskan menipisnya diamati CD4 +sel T karena hanya
0,01-0,10% dari CD4 + T sel dalam darah yang terinfeksi.
Penyebab
utama hilangnya CD4 T + muncul hasil dari kerentanan mereka
untuk apoptosis meningkat ketika sistem kekebalan tubuh tetap diaktifkan.
Meskipun baru sel T terus diproduksi oleh timus untuk menggantikan yang hilang,
kapasitas regeneratif timus secara perlahan dihancurkan oleh infeksi langsung
thymocytes dengan HIV. Akhirnya, jumlah minimal CD4 + sel T yang diperlukan untuk menjaga
respon imun yang cukup hilang, yang mengarah ke AIDS.
Pada saat seseorang terkena infeksi
virus AIDS maka diperlukan waktu 5-10 tahun untuk sampai ke tahap yang disebut
sebagai AIDS. Setelah virus masuk kedalam tubuh manusia, maka selama 2-4 bulan
keberadaan virus tersebut belum bisa terdeteksi dengan pemeriksaan darah
meskipun virusnya sendiri sudah ada dalam tubuh manusia. Tahap ini disebut
sebagai periode jendela. Sebelum masuk pada tahap AIDS, orang tersebut dinamai
HIV positif karena dalam darahnya terdapat HIV. Pada tahap HIV+ ini maka
keadaan fisik ybs tidak mempunyai kelainan khas ataupun keluhan apapun, dan
bahkan bisa tetap bekerja seperti biasa. Dari segi penularan, maka dalam
kondisi ini yang sudah aktif menularkan virusnya ke orang lain jika dia
mengadakan hubungan seks atau menjadi donor darah. Sejak masuknya virus dalam
tubuh manusia maka virus ini akan menggerogoti sel darah putih (yang berperan
dalam sistim kekebalan tubuh) dan setelah 5-10 tahun maka kekebalan tubuh akan
hancur dan penderita masuk dalam tahap AIDS dimana terjadi berbagai infeksi
seperti misalnya infeksi jamur, virus-virus lain, kanker dsb. Penderita akan
meninggal dalam waktu 1-2 tahun kemudian karena infeksi tersebut.
Di negara industri, seorang dewasa
yang terinfeksi HIV akan menjadi AIDS dalam kurun waktu 12 tahun, sedangkan di
negara berkembang kurun waktunya lebih pendek yaitu 7 tahun.Setelah menjadi
AIDS, survival rate di negara industri telah bisa diperpanjang menjadi 3 tahun,
sedangkan di negara berkembang masih kurang dari 1 tahun. Survival rate ini
berhubungan erat dengan penggunaan obat antiretroviral, pengobatan terhadap
infeksi oportunistik dan kwalitas pelayanan yang lebih baik.
2.3 Tanda
dan Gejala
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS
diantaranya adalah seperti dibawah ini :
v Saluran pernafasan. Penderita mengalami
nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seprti terserang
infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal
penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
v Saluran Pencernaan.
Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya nafsu
makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan
kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.
v Berat badan tubuh.
Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu
kehilangan berat badan tubuh hingga 10%
dibawah normal karena gangguan pada sistem protein dan energy didalam tubuh
seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan
absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea
kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.
v System Persyarafan.
Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang ingatan,
sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon
anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan
menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon
yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
v System Integument
(Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex)
atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan
rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan
rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar
retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.
v Saluran
kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit jamur
pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran
kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih
banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS
wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai
istilah ‘pelvic inflammatory disease (PID)’ dan mengalami masa haid yang tidak
teratur (abnormal).
2.4 komplikasi dengan
kehamilan lanjut
2.5 Efek Samping Pada Kehamilan
Adapun infeksi pada kehamilan
antara lain :
·
Abortus
·
Prematuritas
·
IUGR (intra uteri growth restriction)
·
IUFD (Intra uteri fetal death)
·
Penularan pada janin
·
Dan meningkatnya angkja kematian ibu
2.6 Efek Samping Pada
Persalinan
Efek samping pada
persalinan antara lain :
·
Partus lama
·
Intervensi saat amniotomi dan episiotomy
2.7. Dampak kehamilan
dan persalinan dengan infeksi HIV AIDS
Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi
HIV. Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi
HIV masih merupakan tanda tanya. Transmisi vertical virus AIDS dari ibu
kepada janinnya telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui kapan
transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di AS dab Eropa
menunjukkan bahwa risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah
20-40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses
persalinan, atau melalui ASI. Walaupun demikian, WHO menganjurkan agar
ibu dengna HIV positif tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang
cukup besar dibandingkan dengan risiko penularan HIV.
Bila telah terdiagnosis adanya AIDS
perlu dilakukan pemeriksaan apakah ada infeksi PHS lainnya, sepeerti gonorrhea,
chlamydia, hepatitis, herpes, ataupun infeksi toksoplasmik, CMV, TBC dan
lain-lain. Penderita AIDS mempunyai gejal awal yang tidak spesifik seperti
fatique, anoreksia, BB menurun, atau mungkin menderita candidiasis orofaring
maupun vagina. Kematian pada ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan
disebabkan oleh penyakit oportunisyik yang menyetainya, terutama pneumocystis
carinii pneumonia.
Sampai saat ini belum ada
pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian AZT (Zidovudine) dapat
memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta beratnya infeksi
oportunistik. Pengobatan infeksi HIV dan penyakit oportunisyiknya dalam
kehamilan merupakan masalah, karena banyak obat belum diketahui dampak buruknya
dalam kehamilan. Dengan demikian, pencegahan menjadi sangat penting
peranannya, yaitu hubungan seksual yang sehat, menggunakan alat kontrasepsi,
dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
SC bukan merupakan indikasi untuk
menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan. Penularan kepada
penolong persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure.
Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap
penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
1.
Gunakan pakaian, sarung tangan
dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan
2.
Gunakan sarung tangan saat
menolong bayi
3.
Cucilah tangan setelah selesai
menolong penderita AIDS
4.
Gunakan pelindung mata
(kacamata)
5.
Peganglah plasenta dengan
sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius
6.
Jangan menggunakan penghisap
lendir bayi melalui mulut
7.
Bila dicurigai adanya kontaminasi,
lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis.
Perawatan
pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui pembalut
wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC. Untuk perawatan bayi,
sebaiknya dilakukan oleh dokter anak yang khusus untuk menangani kasus
ini. Perawatan ibu dan bayi tidak perlu dipisah, harus diusahakan agar
pada bayi tidak dilakukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak perlu
betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi. Perawatan tali pusat harus
dijalankan dengan cermat. Imunisasi yang menggunakan virus hidup
sebaiknya ditunda sampai terbukti bahwa bayi tersebut tidak menderita virus
HIV. Antibodi yang didapatkan pasif dari ibu akan dapat bertahan sampai
15 bulan. Jadi diperlukan pemeriksaan ulang berkala untuk menentukan
adanya perubahan ke arah negatif atau tidak. Infeksi pada bayi mungkin
baru tampak pada usia 12-18 bulan.
2.8 Dampak dan
penatalaksanaan pada bayi dari Ibu yang
terinfeksi HIV AIDS
HIV, virus penyebab
AIDS, dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya
pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi
tertular juga.
Selama persalinan,
bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu dari ibu yang
terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang HIV-positif
sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi
ketika sang ayah yang HIV-positif, Banyak pasangan yang menggunakan pencucian
sperma dan inseminasi buatan.
Bagaimana penularan
HIV dari ibu-ke-bayi dapat dicegah? Ibu HIV-positif dapat mengurangi risiko
bayinya tertular dengan:mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV) menjaga proses
kelahiran tetap singkat waktunya hindari menyusui Penggunaan ARV: Risiko
penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya
1–2 persen bila ibu memakai ART. Angka ini kurang-lebih 4 persen bila ibu
memakai AZT selama enam bulan terahkir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT
selama enam minggu pertama hidupnya.
Namun jika ibu tidak
memakai ARV sebelum dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat
mengurangi separuh penularan ini. AZT dan 3TC dipakai selama waktu persalinan,
dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir.Satu tablet nevirapine
pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi
2–3 hari setelah lahir.Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan
mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap
nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu
tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian
oleh ibu. Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui.
Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara
berkembang. Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya: Semakin lama
proses kelahiran, semakin besar risiko penularan. Bila si ibu memakai AZT dan
mempunyai viral load di bawah 1000, risiko hampir nol. Ibu dengan viral load
tinggi dapat mengurangi risiko dengan memakai bedah Sesar.Menghindari menyusui.
Kurang-lebih 14
persen bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat
dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula).Namun jika
PASI tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin
tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih, atau masalah biaya
menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak cukup, lebih baik bayi
disusui.Yang terburuk adalah campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling cocok
untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak
campur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula
secara eksklusif (tidak campur dengan ASI).
Bagaimana kita tahu
jika bayi terinfeksi? Jika dites HIV, sebagian besar bayi yang dilahirkan oleh
ibu HIV-positif menunjukkan hasil positif. Ini berarti ada antibodi terhadap
HIV dalam darahnya. Namun bayi menerima antibodi dari ibunya, agar
melindunginya sehingga sistem kekebalan tubuhnya terbentuk penuh. Jadi hasil
tes positif pada awal hidup bukan berarti si bayi terinfeksi. Jika bayi
ternyata terinfeksi, sistem kekebalan tubuhnya akan membentuk antibodi terhadap
HIV, dan tes HIV akan terus-menerus menunjukkan hasil positif. Jika bayi tidak
terinfeksi, antibodi dari ibu akan hilang sehingga hasil tes menjadi negatif
setelah kurang-lebih 6-12 bulan.Sebuah tes lain, serupa dengan tes viral load
dapat dipakai untuk menentukan apakah bayi terinfeksi, biasanya beberapa minggu
setelah lahir. Tes ini, yang mencari virus bukan antibodi, saat ini hanya
tersedia di Jakarta, dan harganya cukup mahal. Bagaimana mengenai kesehatan
ibu?Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil tidak
menjadi lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil
tidak mempengaruhi kesehatan perempuan HIV-positif.
Namun, terapi jangka
pendek untuk mencegah penularan pada bayi bukan pilihan terbaik untuk kesehatan
ibu. ART adalah pengobatan baku. Jika seorang perempuan hamil hanya memakai
obat waktu persalinan, kemungkinan virus dalam tubuhnya akan menjadi resistan
terhadap obat tersebut. Hal ini dapat menyebabkan masalah untuk pengobatan
lanjutannya.
Seorang ibu hamil
sebaiknya mempertimbangkan semua masalah yang mungkin terjadi terkait ART: Jangan
memakai ddI bersama dengan d4T dalam ART-nya karena kombinasi ini dapat
menimbulkan asidosis laktik dengan angka tinggi. Jangan memakai efavirenz atau
indinavir selama kehamilan.Bila CD4-nya lebih dari 250, jangan mulai memakai
nevirapine.Beberapa dokter mengusulkan perempuan berhenti pengobatannya pada
triwulan pertama kehamilan. Ada dua alasan:Risiko dosis dilewatkan akibat mual
dan muntah selama awal kehamilan, dengan risiko mengembangkan resistansi
terhadap obat yang dipakai.Risiko obat mengakibatkan anak cacat lahir, yang
tertinggi pada triwulan pertama. Tidak ada bukti terjadi cacat lahir, selain
dengan efavirenz. Para ahli tidak sepakat apakah penggunaan ART menimbulkan
risiko lebih tinggi terhadp lahir dini atau bayi lahir dengan berat badan
rendah.
BAB
III
TINJAUAN
KASUS
ASUHAN KEBIDANAN
PADA Ny “W” GIP00000 28
minggu dengan infeksi HIV/AIDS
Di Rs. Sakinah
I. SUBYEKTIF
Pada tanggal :11-04-2010 Oleh
:Mahasiswa pukul :14.00
No register :…………..
1. Identitas
Nama ibu : Ny.W Nama ayah :
Tn.S
Umur : 28 tahun Umur : 35 th
Agama : Islam Agama
: islam
Suku / bangsa : Indonesia Suku / bangsa :
indonesia
Pendidikan : SMA Pendidikan
: SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pekerjaan : swasta
Alamat : Purwokerto
- Keluhan Utama
·
Berat
badan menurun, diare yang tidak kunjung sembuh sudah 1 minggu dengan frekwensi
5-6X/hari, demam yang hilang timbul sudah 5 hari yang lalu,
3. Riwayat aMenstruasi
Menarche : 14 Tahun
Warna : Merah kehitaman
Siklus : 28 hari
Jumlah : 2 kali ganti pembalut perhari
Lamanya : 7 hari
Dismenorhoe :
tidak ada
HPHT : 18-09-2010
HPL : 25-06-2011
Usia Kehamilan
: 28 minggu
4. Riwayat
obstetrik yang lalu
No
|
Kehamilan
|
Persalinan
|
Anak
|
nfs
|
lak
|
||||||||
Suami
|
Uk
|
Pylt
|
TT
|
Pnlg
|
Jns
|
pylt
|
JK
|
Bb/tb
|
Hdp/mt
|
usia
|
|||
1
|
![]() |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5. Riwayat
Kehamilan Sekarang
a. keluhan
·
Trimester
I : mual dan muntah
·
Trimester
II : tidak ada keluhan
·
Trimester
III : tidak ada keluhan
b. pergerakan
anak pertama kali : 4 bulan
c. frekuensi pergerakan dalam jam terakhir: 7 kali
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Nutrisi
Makan : 3x
sehari
Pagi :
nasi,lauk, secangkir teh manis
Siang :
sepiring nasi,ikan,semakuk sayur dan buah
Malam :
sepiring nasi,tempe dan semangkuk sayur
Minum : 8-10 gelas
perhari
b. Pola
istirahat dan Aktivitas
Tidur /
Istirahat malam : ± 6-7 jam / hari
Tidur /
istirahat siang : ± 1-2 jam / hari
Aktivitas :
pekerjaan rumah tangga
c. Pola
Eliminasi
BAB
- Frekuensi :
5-6 x sehari
- Konsistensi :
lembek/ encer
- Warna :
kuning kecoklatan
- Penyulit : diare
BAK
- Frekuensi :
5-7x perhari
- Konsistensi :
cair
- Penyulit :
tidak ada
- Warna :
kuning jernih
d. Personal
Hygiene
Mandi : 2x
sehari
Gosok gigi : 2x
sehari
Ganti pakaian dalam : 2x dan apabila lembab
7. Ibu tidak pernah sakit jantung, ginjal, asma,
TBC, hepatitis, DM, hipertensi, TORCH
II. OBJEKTIF
1. Pemeriksaan
umum
·
Keadaan
Umum : kurang baik
·
Kesadaran
: compos mentis
·
Tinggi
Badan : 163 cm
·
Berat
Badan : 48 kg sebelum hamil 60 kg
·
Lila
: 24 cm
·
Tanda-tanda
vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu : 38,5°C
Pulse : 85 X/menit
RR : 20 X/menit
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Kulit
kepala bersih, tidak ada ketombe, tidak rontok, distribusi merata dan warna
hitam.
b.
Wajah
Bentuk oval, tampak
kesakitan dan tidak ada cloasma gravidarum
c.
Mata
Tidak
ada oedema, conjungtiva anemis, warna sklera putih terdapat gambaran tipis
pembuluh darah.
d.
hidung
Pernafasan spontan, tidak ada sianosis, mukosa lembab,
tidak ada sekret dan polip.
e.
mulut
Bibir lembab
berwarna kecoklatan, mukosa bibir
kering. Gigi tidak ada caries, lidah lembab.
f.
leher
Tidak ada
bendungan vena jugularis, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan limfe.
g.
Dada
Bentuk bulat datar, pernafasan vesiculer,
tidak ada tarikan intercoste.
h. Payudara
Bentuk simetris, ada
hiperpigmentasi areola mamae dan papila mamae, putting susu keluar, tidak ada
benjolan abnormal yang mencurigakan,
konsistensinya lunak, dan kolostrum belum keluar.
i.
Abdomen
Leopold 1 : Teraba bagian lunak, tidak bundar,dan tidak melenting,
TFU 24 cm, bawah px
Leopold II : Kanan : teraba tahanan besar, memanjang seperti papan
yaitu punggung
Kiri : Teraba
bagian kecil, yaitu ekstremitas janin.
Leopold III : Teraba bagian bulat, keras dan melenting
Leopold IV : konvergen
TBJ : (24-13)x 155=1705 gr
DJJ :130 x / menit.
j.
Genetalia
eksterna :
oedema : tidak
ada
Varises : tidak
ada
Pengeluaran :
tidak ada.
k.
Ekstremitas
Atas : tidak
ada kelainan
Bawah : tidak
ada varices
Refkleks
patella : +
l.
Pemeriksaan Dalam
m. Pemeriksaan Penunjang
·
Test bDNA dan CD4 menurun menunjukkan hasil 100 sel/m³
·
Darah (+) HIV
·
Hb 10 gr%
·
Protein urine (-)
·
Glukosa
(-)
III. INTERPRETASI DATA
Diagnosa :Ny.W
umur 21 tahun G1P0AO hamil 28 minggu dengan penyakit infeksi HIV janin tunggal
hidup intra uteri, presentasi kepala
IV. ANTISIPASI DIAGNOSA DAN MASALAH
POTENSIAL
Potensial
masalah pada ibu HIV(+) stadium III, dan AIDS
Potensial
masalah pada janin, janin dapat tertular HIV (+) dan BBLR
V. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN AKAN TINDAKAN
SEGERA ATAU KOLABORASI
Kolaborasi dengan
dokter spesialis kandungan
VI. MERENCANAKAN ASUHAN YANG MENYELURUH
1. Beritahu keadaan ibu dan janin
2. Observasi keadaan ibu dan janin.
3. Anjurkan ibu untuk banyak-banyak minum air putih.
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi sesuai advis
dokter
VII. PENATALAKSANAAN
1. Anamnesa.
·
Kehamilan dengan HIV.
·
Hasil anamnesa
penderita perlu diperhatikan sebagai dasar permulaan.
2. Hasil pemeriksaan
Hasil
pemeriksaan dapat dijumpai:
a) Berat
badan ibu mendatar atau menurun
b) Diare
yang tak kunjung sembuh
c) Demam
yang timbul sejak 5 hari yang lalu
3. Bagaimana
sikap bidan
Menghadapi keadaan demikian bidan dapat bersikap :
a) Melakukan
konsultasi dengan dokter
b) Menganjurkan
untuk melakukan persalinan di rumah sakit
Penderita
dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan yang adekuat
ConversionConversion EmoticonEmoticon