Salam Sehat dan Harmonis

-----

komunikasi terapeutik


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari kegiatan  komunikasi. Kenyataannya  memang komunikasi secara mutlak merupakan bagian integral dari kehidupan kita, tidak terkecuali perawat yang tugasnya sehari–hari selalu berhubungan dengan orang lain, entah itu dengan pasien, sesama teman, dengan atasan, dokter dan sebagainya, maka komunikasi adalah sarana yang sangat efektif dan memudahkan perawat untuk melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik.(Kariyoso, 1994 )
Penggunaan komunikasi therapeutik merupakan hal yang perlu mendapat perhatian perawat karena proses komunikasi yang baik dapat membantu pasien mengatasi masalah atau persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan. Sedangkan pada tahap preventif kegunaan komunikasi adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri pasien. (Heri purwanto, 1994 )
Keadaan stress dan cemas yang dialami klien selama dirumah sakit salah satunya berhubungan dengan sikap dan cara berkomunikasi dari petugas rumah sakit, khususnya perawat. Beberapa situasi yang menyebabkan stress dan cemas yang tinggi adalah tidaj diberiytahu keadaan penyakit, pernyataan yang disepelekan, tidak mengetahui alasan dari salah satunya prosedur atau pengobatan, suasana serta sibuk dan tergesa-gesa. Situasi tersebut dapat di atasi dengan meningkatkan komunikasi antara perawat dan klien. Perawat perlu menyadari diri sendiri termasuk caranya berkomunikasi sebelum melakukan komunikasi dengan klien. Dalam berkomunikasi therapeutik untuk membantu dan bekerjasama sikap dan dengan klien dalam memecahkan dan mengatasi masalah kesehatan klien.


Bila melakukan tindakan keperawatan terhadap pasien tanpa mendapat penjelasan terlebih dahulu, maka upaya penyembuhan akan kurang berhasil. Hal ini dapat terjadi bila perawat tidak mengetahui pendapat pasien atau pasien menyembunyikan perasaannya. Karena pemberian informasi merupakan usaha perawat yang berdampak terhadap masalah psikologis klien, maka masalah kesehatan diharapkan tidak terjadi. Dengan demikian dalam memberikan tindakan keperawatan, perawat perlu memberikan informasi yang jelas tentang prosedur yang akan dilaksanakan. Pada kenyataannya komunikasi therapeutik ini terkadang dilupakan, sehingga pasien kadang-kadang melakukan hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan. mengatur klien infus sendiri, menarik selang infus, menindih lokasi terpasangnya infus dan lain-lain, bahkan ada yang tidak mau bekerja sama sampai menolaj untuk di berikan tindakan keperawatan meskipun frekuensi kejadiannya sangat kecil.

1.2 Rumusan Masalah

Dari beberapa alasan yang telah tercantum dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1.     Bagaimana tingkat pengetahuan perawat tentang komunikasi therapeutik pada waktu pemasangan infus?
2.     Bagaimana sikap perawat dalam menggunakan komunikasi therapeutik pada waktu pemasangan infus?
3.     Bagaimana ketrampilan perawat dalam menggunakan komunikasi therapeutik  pada waktu pemasangan infus?

1.3  Tujuan Penelitian

1.    Tujuan Umum
Memahami dan mengetahui penggunaan komunikasi therapeutik  oleh perawat pada waktu pemasangan infus di Rumah Sakit Siti Khodijah, sepanjang.


2.    Tujuan Khusus
1.    Mengidentifikasi karakteristik perawat dalam pemasangan infus.
2.    Mengetahui tingkat pengetahuan perawat tentang komunikasi therapeutik  yang perlu diberikan pada waktu pemasangan infus
3.    Mengetahui sikap perawat dalam menggunakan komunikasi therapeutik  pada waktu pemasangan infus
4.    Mengetahui ketrampilan perawat dalam melaksanakan komunikasi therapeutik  pada waktu pemasangan infus.

1.4  Manfaat Penelitian

1.    Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebaai bahan informasi bagi perawat tentang komunikasi therapeutik  yang perlu diberikan pada waktu pemasangan infus.
2.    Merupakan awal penelitian dari sekian banyak tugas atau kewajiban perawat dalam memberikan komunikasi therapeutik  dalam meningkatkan kwalitas keperawatan.
1.5 Relevansi
Pelaksanaan pemasangan infus pada klien yang belum pernah dinfus akan menyebabkan terjadinya kecemasan pada klien tersebut. Dan kecemasan semakin meningkat apabila prosedural pemasangan infus dan tujuan pemasangan infus tidak dijelaskan oleh perawat kepada klien secara komunikasi therapeutik. Dan sebaliknya apabila pelaksanaan pemasangan infus dilaksanakan dengan prosedural dan menjelaskan tujuan pemasangan infus secara komunikasi therapeutik, hal ini akan mempengaruhi sikap penerimaan klien terhadap tindakan keperawatan tersebut.




BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA



Dalam Bab ini akan diuraikan tentang konsep dasar yang mendasari penelitian yaitu :1) Konsep Dasar Komunikasi Therapetik  2) Konsep Dasar Pengetahuan  3) Konsep Dasar Sikap 4) Konsep Keterampilan 5) Pemasangan Infus 6) Kerangka Konseptual.
2.1 Konsep Dasar Komunikasi Therapeutik
2.1.1 Pengertian komunikasi therapeutik
Komunikasi adalah hubungan, hubungan perawat klien yang therapeutik tidak mungkin dicapai tanpa komunikasi. (Budi Anna keliat ,1996 )
Komunikasi therapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Heri Purwanto,1996 )  
2.1.2 Proses Komunikasi
Cultp dan Center mengatakan bahwa komunikasi yang efektif harus melalui         4 tahap :
1.      Fact Finding : adalah mengumpulkan data dan informasi tentang kebutuhan sasaran, tentang pesan yang akan disampaikan.
2.      Planning : Perlu disusun rencana berkaitan dengan anggaran yang diperlukan, pesan yang akan diberikan, media yang akan digunakan, menentukan sasaran penyuluhan kesehatan.
3.      Communication : Bila rencana telah disusun dengan sebaik-baiknya sebagai hasil pemikiran yang mantap, baru dilanjutkan dengan pelaksanaan komunikasi terhadap sasaran.
4.      Evaluasi       : adalah menilai kegiatan komunikasi yang telah dilaksanakan, apakah telah mencapai sasaran atau belum (nasrul efendy 1998)
2.1.3 Kegunaan komunikasi therapeutik
Kegunaan komunikasi therapeutik adalah untuk mendorong dan mengajarkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat klien. Proses komunikasi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku pasien dan membantu pasien dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi.
2.1.4 Tujuan Komunikasi Therapeutik
Tujuan komunikasi therapeutik  adalah sebagai berikut :
1.       Membantu pasien untuk menjelaskan dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan.
2.       Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3.       Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Komunikasi therapeutik merupakan keterampilan dasar untuk melakukan wawancara dan penyuluhan dalam praktek keperawatan, wawancara digunakan untuk berbagai tujuan misalnya : pengkajian, memberi penyuluhan kesehatan dan perencanaan perawatan serta sebagai media therapeutik.(Heri purwanto, 1994 )
2.1.5 Kekacauan-kecauan Yang Terjadi Dalam Komunikasi Therapeutik
Proses komunikasi antara perawat dengan klien, tidak selamanya berjalan dengan mulus dan berfungsi secara optimal, tetapi mungkin akan terjadi kekacauan yang disebut dengan istilah distorsi.
Terjadinya distorsi dalam proses komunikasi antara perawat dengan klien dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu :
1.      Pasien kurang tepat mempersiapkan pesan, bimbingan, dorongan yang diberikan oleh perawat. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1)        Pasien merasa cemas karena penyakit yang dideritanya
2)        Pikiran pasien dipengaruhi oleh faktor luar misalnya memikirkan keadaan keluarga, rumah dan lain-lain.
3)        Hubungan antara perawat dengan klien kurang bersahabat.
2.      Kekurangan yang dimiliki oleh perawat dalam mengadakan komunikasi dengan pasien yang disebabkan karena :
1)        Kurang pandai mengemukan buah pikiran
2)        Bicaranya kurang jelas atau terlalu cepat
3)        Bahasa yang digunakan tidak dapat dimengerti oleh pasien
3.      Kebisingan (Noise)
Kebisingan dapat menggau komunikasi, kebisingan mungkin muncul pada saat seorang perawat berkomunikasi dengan pasien dalam bentuk
1)        Rintihan atau  tangis pasien
2)        Suara air gemerincik di Wastafel atau kamar mandi
3)        Suara brancara untuk mendorong pasien
4)        Suara antara pasien yang sedang bergurau
5)        Dan lain sebagainya
2.1.6 Teknik Komunikasi Therapeutik
Dalam menanggapi pesan yang disampaikan klien. Perawat dapat menggunakan teknik komunikasi therapeutik  sebagai berikut (stuart dan Sundeen, 1987)
1.      Mendengar (Listening)
Merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar, perawat mengetahui perasaan klien, beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara perawat harus menjadi pendengar yang aktif.
2.      Pertanyaan Terbuka (Broad Opening)
Memberi kesempatan untuk memilih, contoh : apakah yang sedang saudara pikirkan ? apa yang kita bicarakan  hari ini ? beri dorongan dengan cara mendengar atau mengatakan, saya mengerti, atau ya….


3.      Mengulang (restating)
Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien.
4.      Klarifikasi
Dilakukan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau klien malu mengemukan informasi yang diperoleh tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah contoh : dapatkah anda jelas kembali tentang …… gunanya untuk kejelasan atau kesamaan ide perasaan dan persepsi perawat dan klien.
5.      Refleksi
Refleksi dapat berupa : refleksi isi, memvalidasi apa yang didengar klarifikasi ide yang diekspresikan klien dengan pengertian perawat, dan refleksi perasaan, memberi respon pada perasaan klien terhadap pemberitaan, agar klien mengetahui dan menerima perasaan, gunaya untuk mengetahui dan menerima ide dan perasaannya, mengoreksi, memberi keterangan lebih jelas, ruginya ialah mengulang terlalu sering dan sama, dapat menimbulkan marah, iritasi dan frustasi.
6.      Memfokuskan
Membantu klien bicara pada topik yang telah dipilih dan yang penting, dan menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yaitu lebih spesifik, lebih jelas dan terfokus pada realitas, contoh :
Klien            : Wanita sering jadi bulan-bulanan
Perawat        : Coba ceritakan bagaimana perasaan anda sebagai wanita.
7.      Membagi Persepsi
Meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan dan pikirkan, dengan cara ini perawat dapat meminta umpan balik dan memberi informasi. Contoh : anda tertawa, tetapi saya rasa anda marah pada saya.
8.      Identifikasi Tema
Latar belakang masalah yang dialami klien yang muncul selama percakapan gunanya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi masalah yang penting. Misalnya : saya lihat dari semua keterangan yang anda jelaskan, anda telah disakiti. Apakah ini latar belakang masalahnya ?
9.      Diam (Silence)
Cara yang sukar, biasanya dilakukan setelah mengajukan pertanyaan, tujuan memberi kesempatan berfikir dan bermotifasi klien untuk bicara. Pada klien yang menarik diri, teknik diam berarti perawat menerima klien.
10.  Informing
Memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan
11.  Saran
Memberi alternatif ide untuk memecahkan masalah, tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.
Perawat perlu menganalisa teknik yang tepat pada setiap komunikasi dengan klien, melalui komunikasi verbal dapat disampaikan informasi yang akurat, namun aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan seluruhnya melalui verbal.
Dengan mengerti proses komunikasi dan mempunyai berbagai keterampilan berkomunikasi, diharapkan perawat dapat memakai dirinya secara utuh (verbal dan non verbal)
2.2    Konsep dasar pengetahuan
2.2.1 Pengertian pengetahuan  ( Knowledge )           
Pengetahuan adalah merupakan hasil ” tahu “ dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan , pendengaran,  penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Blum dan kawan- kawan berpendapat bahawa tujuan pendidikan atau pengajaran dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) ranah  yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor (Notoatmodjo, 1993).
Ranah kognitif berkenaan dengan perilaku yang berhubungan dengan berpikir, mengetahui, dan memecahkan masalah. Ranah ini memiliki  6 (enam) tingkatan yang bergerak dari yang sederhana sampai kepada yang tinggi dan kompleks.
1)      Tahu  (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya . Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “ tahu “ merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2)      Memahami (comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
3)      Aplikasi (application )
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
4)      Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam “komponen “ tetapi masih   didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.  
5)      Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian- bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain suatu kemampuan  untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.


6)      Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian–penilaian itu berdasarkan suatu kriteria  yang ditentukan sendiri atau menggunakan  kriteria-kriteria yang telah ada.
2.2.2        Faktor – Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1)      Umur
Masa pubertas akhir atau adolesensi terjadi suatu proses kematangan yang berlangsung lambat dan teratur, masa ini merupakan kunci perkembangan. Menurut ahli jiwa batas waktu adolesensi ialah umur 17 – 22 tahun, perkembangan biologis menimbulkan terjadinya perubahan–perubahan tertentu  baik kualitatif ataupun kuantitatif  yang bersifat fisiologis atau psikologis oleh perkembangan baru akan dihadapkan banyak masalah baru dan kesulitan yang sangat rumit dan kompleks. Pada usia ini dibutuhkan adanya pendidik dari orang tua yang berkepribadian sederhana dan jujur serta tidak terlampau menuntut kepadanya serta membiarkan tumbuh dan berkembang dengan kodratnya sendiri dalam menghayati pengalaman– pengalaman sendiri dan kemudian menemukan arti dari nilai–nilai tertentu untuk menetapkan sikap dan tujuan hidup sendiri  (Notoatmodjo 1993).
2)      Tingkat pendidikan
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok dan masyarakat. Kegiatan atu proses belajar apabila didalamnya terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerjakan menjadi dapat mengerjakan sesuatu, namun demikian tidak semua perubahan itu terjadi karena belajar saja tetapi karena proses kematangan dari perkembangan dirinya. Didalam kegiatan belajar terdapat 3 (tiga) persoalan pokok yaitu persoalan masukan (input), persoalan proses,, persoalan   keluaran (output). Persoalan masukan adalah yang menyangkut sasaran belajar, persoalan proses adalah mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan (perilaku) pada diri subyek belajar sedangkan persoalan keluaran adalah merupakan hasil belajar itu sendiri yaitu perubahan kemampuan atau perilaku subyek belajar (Notoatmodjo, 1997).
Pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan formal, jadi pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan dengan adnya pendidikan maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak diperoleh dipendidikan formal akan tetapi non formal juga dapat diperoleh. Pengetahuan tentang subyek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek inilah pada akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap objek terutama semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui maka akan menimbulkan  sikap makin positif terhadap objek tertentu. 
3)        Pekerjaan
Kerja merupakan suatu yang dibutuhkan oleh manusia, kebutuhan ini bermacam–macam, berkembang dan berubah bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya tersebut, berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawa kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya. Apabila definisi kerja dikaitkan dengan imbalan atau pembayaran maka para ibu rumah tangga yang juga berkerja keras tentulah tidak akan tercakup dalam pengertian kerja. Tetapi bila definisi itu dihubungkan dengan pilihan maka bagi semua orang diantara permainan atau keisengan sesungguhnya sama saja artinya dengan bekerja. Melalui pekerjaan dapat diperoleh pengalaman (Notoatmodjo, 1997).   
4)        Sumber Informasi
Informasi itu sebenarnya ada dimana–mana antara lain dirumah, dipasar, disekolah lembaga organisasi media cetak, televisi, tempat pelayanan kesehatan dan masih banyak lagi. Dimana suatu benda atau peristiwa berada bisa timbul informasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan informasi tetapi juga sekaligus menghasilkan informasi. Sebagai konsekwensi dari perkembangan pengetahuan yang sangat cepat, informasi terjadi berkembang sangat cepat pula sehingga orang sering mengatakan bahwa adanya ledakan pengatahuan menimbulkan sebagai akibat perkembangan dalam ilmu dan penelitian (ilmiah), maka makin banyak pengetahuan baru bermunculan. Dengan memberikan informasi tentang mencapai cara–cara hidup sehat dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat. Selanjutnya dengan pengetahuan akan menumbuhkan kesadaran dan pada akhirnya akan menyebabkan orang berprilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hasil atau perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari pada kesadaran mereka sendiri dan bukan paksaan (Notoatmodjo, 1997).
2.3    Konsep dasar sikap
2.3.1   Pengertian sikap
Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif, ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. (Bimo walgito, 2001).
2.3.2   Tingkatan Sikap
1.    Menerima (receiving)
Pada tingkat ini, individu ingin dan memperhatikan rangsangan (stimulus) yang diberikan.

2.    Merespons (responding)
Pada tingkat ini, sikap individu dapat memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.
3.    Menghargai (valuing)
Pada tingkat ini, sikap individu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
4.    Bertanggung jawab (responsible)
Pada tingkat ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap menanggung segala resiko atas segala sesuatu yang dipilihnya.
2.3.3   Faktor Penentu Sikap Individu
1.    Faktor fisiologis
Faktor yang penting adalah umur dan kesehatan, yang menentukan sikap individu.
2.    Faktor pengalaman langsung terhadap objek sikap
Pengalaman langsung yang dialami individu terhadap objek sikap, berpengaruh terhadap sikap individu terhadap objek sikap tersebut.
3.    Faktor kerangka acuan
Kerangka acuan yang tidak sesuai dengan objek sikap, akan menimbulkan sikap yang negatif terhadap objek sikap tersebut.
4.    Faktor komunikasi sosial
Informasi yang diterima individu akan dapat menyebabkan perubahan sikap pada diri individu tersebut.
2.3.4   Pembentukan dan Perubahan Sikap
1.    Adopsi
adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui kejadian yang terjadi berulang dan terus menerus. Sehingga lama-kelamaan secara bertahap hal tersebut akan diserap oleh individu, dan akan mempengaruhi pembentukan serta perubahan terhadap individu.
2.    Diferensiasi
Adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap karena sudah dimilikinya pengetahuan, pengalaman, intelegensi, dan bertambahnya umur. Oleh karena itu hal-hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri dan lepas dari jenis sehingga membentuk sikap tersendiri.
3.    Integrasi
Adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap yang terjadi secra tahap demi tahap. Diawali dari macam-macam pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan objek sikap tertentu sehingga pada akhirnya akan terbentuk sikap terhadap objek tersebut.
4.    Trauma
Adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui suatu kejadian secara tiba-tiba dan mengejutkan sehingga meninggalkan kesan mendalam dalam diri individu tersebut. Kejadian tersebut akan membentuk dan mengubah sikap individu terhadap keadaan sejenis.
5.    Generalisasi
Adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap karena pengalaman traumatik pada diri individu terhadap hal tertentu, dapat menimbulkan sikap negatif terhadap semua hal yang sejenis atau sebaliknya (Sarwono, 2000)
2.3.5   Sikap Perawat Dalam Merawat Pasien
Sikap yang perlu dimiliki oleh seorang perawat dalam merawat pasien agar dapat memberikan pelayanan keperawatan yang sesuai dengan harapan pasien, antara lain :
a.    Setiap perawat harus memiliki sikap yang ramah terhadap semua orang, terlebih terhadap pasien.
b.    Setiap perawat harus memiliki sikap menaruh kasih sayang terhadap sesama, terlebih bagi yang membutuhkan.
c.    Setiap perawat harus memiliki sikap yang dapat memberikan rasa aman pada pasien, bukan menimbulkan kecemasan, kegelisahan, dan takut.
d.   Setiap perawat harus memiliki sikap menaruh perhatian terhadap kebutuhan kebutuhan yang diperlukan pasien.
e.    Setiap perawat harus memiliki sikap yang dicirikan dengan suara lembut dan murah senyum. Dengan suara lembut dan murah senyum, paling tidak pasien yang sedang sakit akan merasa senang, simpati, dan tidak menilai judes terhadap perawat.
f.     Setiap perawat harus memiliki sikap yang dapat dipercaya karena dengan kepercayaanlah harga diri dan kepribadian orang dapat dinilai.
g.    Setiap perawat harus memiliki sikap percaya diri, jangan minder. Oleh karena itu, perlu banyak belajar, menambah, dan meningkatkan pengetahuan, serta keterampilan keperawatan.
h.    Setiap perawat harus memiliki sikap dapat menahan diri jangan sampai menyalahkan, mengkritik, menyudutkan, dan mempermalukan pasien maupun keluarganya yang dapat menambah berat penyakitnya.
i.      Setiap perawat harus memiliki sikap agar pasien tidak ketergantungan pada perawat.
j.      Setiap perawat harus memiliki sikap untuk dapat menghindari ucapan yang dapat menyinggung perasaan pasien.
k.    Setiap perawat harus memiliki sikap penuh pengertian dan pengabdian.
l.      Setiap perawat harus memiliki sikap riang gembira, tidak cemberut dimuka pasien.
m.  Setiap perawat harus memiliki sikap yang kooperatif atau mudah diajak kerja sama dengan pasien maupun tim kesehatan lain.
n.    Setiap perawat harus memiliki sikap yang memungkinkan dapat membantu dalam mengatasi kesulitan pasien maupun keluarganya.
o.    Setiap perawat harus memiliki sikap humoris sesuai situasi dan kondisi pasien, untuk sekedar menghibur.
2.4    Konsep keterampilan
2.4.1. Pengertian Keterampilan
Keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan pergerakan otot atau tubuh yang diperlukan untuk tindakan yang efisien dan efektif, dalam hal kecepatan dan keakuratan.
Keterampilan sifatnya relatif : definisinya terhadap suatu tugas ditentukan olah sifat tugas tersebut dan keadaan dalam situasi tugas berlangsung. Ada tiga klasifikasi keterampilan :
1.         Keterampilan motorik lembut : koordinasi otak melibatkan tugas-tugas yang berorientasi pada ketetapan. Keterampilan keperawatan mencakup : injeksi, manipulasi pembuluh arteri, pembalutan bedah yang membutuhkan instrumentasi.
2.         Keterampilan manual : tugas-tugas manipulatif yang agak berulang dan biasanya melibatkan kerja mata-lengan. Keterampilan keperawatan meliputi :: pengkajian fisik, higiene tubuh, drainase dada, sentuhan.
3.         Keterampilan motorik kasar : melibatkan otot-otot besar dan pergerakan tubuh. Keterampilan keperawatan mencakup : resusitasi jantung paru (RJP), ambulasi, rentang pergerakan, pengaturan posisi pasien.
2.4.2. Karakteristik Orang yang Terampil
1.    Kinerja agak konsisten mengenyampingkan keberadaan faktor yang mungkin menyebabkan “rata-rata kinerja orang” berfluktuasi.
2.         Kinerja disamakan dengan derajat ketepatan ruang dan waktu yang tinggi.
3.         Respon terhadap stimulus dalam rangkaian urutan yang tepat.
4.         Kinerja dilakukan dalam batasan waktu tertentu.
5.    Kemampuan untuk mengantisipasi secara cepat diperlihatkan dan tersedia waktu yang lebih banyak untuk bereaksi.
6.    Variabilitas kinerja sedikit karena tidak adanya kebutuhan untuk merespon setiap petunjuk potensial didalam lingkungan.
7.    Kemampuan untuk menerima informasi maksimum dari jumlah petunjuk minimum yang dapat diidentifikasi telah dikembangkan.
2.5    Pemasangan Infus
Dalam komunikasi perawat dengan klien terutama dalam pemasangan infus, perawat perlu memberi informasi yang jelas tentang prosedur yang akan dilaksanakan, agar pasien dapat menerima dan membantu selama prosedur dilaksanakan
Adapun waktu-waktu yang diperlukan disampaikan oleh perawat kepada pasien pada waktu pemasangan infus antara lain.
  1. Pengertian pemberian infus
Pemberian infus adalah memasukkan cairan, obat langsung kedalam pembuluh darah vena dalam jumlah banyak dan waktu lama dengan menggunakan infus set (Dep. Kes . Ri : 1981 )
  1. Tujuan pemberian infus
Adapun tujuan dari pemberian infus antara lain :
1.    Sebagai pengobatan
2.    Mencukupi kebutuhan tubuh cairan dan elektrolit
3.    Memberi zat makanan kapada pasien yang tidak dapat atau tidak boleh makan melalui mulut
  1. Prosedur pemasangan infus
Prosedur pemasangan infus perlu di informasikan kepada klien secara gratis biasanya sebuah pipa plastik yang lunak seukurnya dengan jarum di masukkan ke dalam pembuluh darah vena biasanya di lengan dan di tangan anda kemudian jarum tersebut di hubungkan dengan selang dan botol cairan berfungsi sebagai jalan untuk memberikan obat atau cairan.

  1. Hal yang di rasakan pasien pada waktu penusukan jarum infus
Pada waktu infus mulai di pasang pasien akan merasakan penusukan jarum untuk memasukkan jarum ke dalam vena karena larutan infus memasuki vena pasien ini menimbulkan rasa sakit selama beberapa menit tetapi berlangsung hanya sebentar dan bila infus telah di pasang difiksasi hal itu akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
  1. Waktu atau lamanya pemasangan infus
Pemasangan infus mungkin berlangsung hanya beberapa jam sampai beberapa hari tergantung intruksi dokter.
  1. Tata cara jika pasien di ijinkan turun dari tempat tidur sambil di infus
Jika pasien di ijinkan turun dari tenpat tidur pasien dapat berjalan sanbil mendapat terapi infus ketika sedang berdiri atau berjalan tiang infus harus di dorong pelan-pelan dengan lengan pasien mempertahankan lengan pasien yang di pasang infus lebih rendah dari jantung mencegah darah mengalir balik keselang dan mempertahankan infus menglir dengan kecepatan yang benar jangan sekali-kali menurunkan dari botol cairan dari tiang infus.
  1. Melapor masalah-masalah selama pemasangan infus
Kebanyakan pasien mampu mengatasi masalah-masalah yang di temui selama terapi infus jika di berikan informasi yang perlu identifikasi maslah secara dini mengurangi keparahan akibat-akibat yang merugikan adapun masalah yamg umum terjadi selama pemasangan infusi infiltrasi plebis, infus terlalu cepat, infus lambat, selang terlepas, darah mengalir balik ke selang dan jalur infus tersumbat.
  1. Sasaran Yang diberikan
Dengan mengamati tindakan pencegahan berikut ini akan membantu prosedur infus pasien dapat berjalan dengan lancar, adapun saran yang perlu diberikan kepada pasien antara lain :
1).       Dengan menyentuh klien pada selang infus, minta perawat untuk melakukan pengaturan tetesan.
2).       Jangan memindahkan botol cairan dari tiang infus
3).       Hati-hati jangan sampai menarik selang infus
4).       Batasi pergerakan lengan, terutama pada persendian yang paling dekat pada tempat jarum pemasangan infus.
5).       Jangan mengangkat lengan terlalu tinggi, tempat terpasangnya jarum harus lebih rendah dari botol cairan infus agar mengalir dengan tepat.
6).       Jangan menindih lengan atau bagian tubuh yang terpasang jarum infus
7).       Hindari menindih selang atau membiarkannya kusut di tempat tidur
8).       Mintalah bantuan kepada perawat, karena kegiatan menjadi sulit dilakukan akibat terpasangnya infus.
2.6   
-        Keterampilan
-        Sikap
-        Pengetahuan

 
Kerangka Konsep





















Komunikasi Therapeutik dalam pemasangan infus

 

Perawat
 








 








Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti



BAB 3
METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan diuraikan beberapa metode yang mendasari penelitian, yaitu 1) Desain Penelitian 2). Populasi, sampel dan sampling 3) Identifikasi variabel dan definisi operasional 4) Pengumpulan dan analisa data 5) Keterbatasan penelitian 6) Etika penelitian.
3.1  Desain Penelitian
Desain penelitian adalah sesuatu yang vital dalam penelitian yang memungkinkan memaksimalkan suatu kontrol beberapa struktur yang bisa mempengaruhi validity suatu hasil. Desain penelitian dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencaai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan (Nursalam dan Siti Pariani, 2001)
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang melakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran dan deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif (Nota Admojo, 2002)
Sedangkan rancangan penelitian Cross sectional merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) (A. AZIZ ALIMUL H. 2002)
3.2  Populasi, Sampel, dan Sampling
3.2.1 Populasi
populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Soekidjo Notoatmojo, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat pelaksana yang bekerja di Rumah Sakit Siti Khodijah Sepanjang.



3.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan “Sampling” tertentu untuk bisa memenuhi atau mewakili populasi (Nursalam dan Siti Pariani, 2001)
Sampel dari penelitian ini adalah semua perawat pelaksana yang ada di Rumah sakit, yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1)  Kriteria inklusi
(1)  Perawat pelaksana
(2)  Perawat dengan tingkat pendidikan Akper dan SPK
(3)  Perawat yang bersedia menjadi responden
2)  Kriteria eksklusi
(1)  Bukan perawat pelaksana
(2)  Perawat dengan tingkat pendidikan bukan Akper dan SPK
(3)  Perawat yang tidak bersedia menjadi responden
3.2.3  Sampling
Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada dan menggunakan teknik sampling (Aziz Alimul H, 2003). Teknik sampling yang diteliti adalah “Purposive sampling” yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Soekidjo Notoatmodjo; 2002)
3.3  Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
3.3.1  Variabel Penelitian
Yang menjadi variabel penelitian ini adalah :
1.      Pengetahuan perawat tentang komunikasi therapeutik  pada waktu pemasangan infus.
2.      Sikap perawat dalam melaksanakan komunikasi therapeutik  pada waktu pemasangan infus.
3.      Keterampilan perawat dalam melaksanakan komunikasi therapeutik  pada waktu pemasangan infus.
3.3.2  Definisi Operasional
1.      Pengetahuan
Yang dimaksud pengetahuan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman perawat tentang komunikasi therapeutik  pada pasien yang dipasang infus. Variabel ini diukur dengan menggunakan 10 pertanyaan kepada perawat dalam bentuk pertanyaan berstruktur dengan katagori sebagai berikut :
(1)  76  - 100  %                = Baik
(2)  56  -  75  %                 = Cukup
(3)  40  -  57  %                 = Kurang baik
(4)  <   40  %                     = Tidak baik
(Suharsimi Arikunto, 1998)
2.      Sikap
Yang dimaksud sikap dalam penelitian adalah sikap perawat dalam melaksanakan komunikasi therapeutik  dengan pasien, yaitu sikap ramah, sopan, penuh perhatian, dan rendah hati. Variabel ini diukur dengan cara observasi, dalam bentuk format observasi dengan pernyataan sebanyak 4 buah dengan katagori sebagai berikut :
(1)  76  - 100  %                = Baik
(2)  56  -  75  %                 = Cukup
(3)  40  -  57  %                 = Kurang baik
(4)  <   40  %                     = Tidak baik
(Suharsimi Arikunto, 1998)
3.      Keterampilan
Yang dimaksud keterampilan dalam penelitian ini adalah kemampuan menyampaikan informasi yang diperlukan terutama pada waktu pemasangan infus kepada pasien dan menguasai cara-cara menyampaikan informasi. Variabel ini diukur dengan cara observasi dalam bentuk format observasi dengan pernyataan sebanyak 5 buah dengan katagori sebagai berikut :
(1)  76  - 100  %                = Baik
(2)  56  -  75  %                 = Cukup
(3)  40  -  57  %                 = Kurang baik
(4)  <   40  %                     = Tidak baik
(Suharsimi Arikunto, 1998)
3.4 Pengumpulan data dan Analisa data
3.4.1  Pengumpulan Data
 Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengadakan pendekatan kepada perawat pelaksana yang ada di rumah sakit dan menggunakan kuesioner yang telah dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada kepustakaan yang terdiri dari beberapa pertanyaan. Dan peneliti juga menggunakan teknik observasi dalam pengumpulan data ini untuk melihat apakah dalam melakukan tindakan, perawat melaksanakan komunikasi therapeutik  dengan pasien dan bagaimana sikap serta ketrampilan dalam melaksanakan komunikasi tersebut. Tujuan digunakannya observasi adalah untuk menilai kebenaran atau validitas dari hasil pemberian kuesioner sehingga unsur subjektifitas dapat ditekan seminimal mungkin.
3.4.2  Analisa Data
Setelah data terkumpul, data tersebut kemudian dianalisa secara deskriptif, yaitu menggambarkan dan meringkas data dalam bentuk tabel dengan ketentuan atau cara perhitungan sebagai berikut :
                           Jumlah Skor
Nilai akhir  =                                          x 100 %
                                    Jumlah total skor
Kemudian hasilnya dimasukkan dalam kriteria standar penilaian dan dikategorikan dengan komunikasi therapeutik  yang baik, cukup, kurang baik, tidak baik, penggolongan :

(1)  76  - 100  %                = Baik
(2)  56  -  75  %                 = Cukup
(3)  40  -  57  %                 = Kurang baik
(4)  <   40  %                     = Tidak baik
(Suharsimi Arikunto, 1998)
3.5  Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan peneliti adalah bagian dari riset keperawatan yang menjelaskan keterbatasan dalam penulisan riset (A. Aziz Alimul H. 2002)
Dalam hal ini keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti adalah :
1. Jumlah sampel terbatas
2. Terbatasnya waktu penelitian yang tersedia
3. Penelitian hanya dilakukan pada satu rumah sakit.
3.6  Etika Penelitian
Sebelum penelitian dilakukan pada responden, peneliti perlu menekankan pada permasalahan etika, yaitu :
1.        Informed Consent atau lembar persetujuan menjadi responden
Lembar persetujuan ini disertakan pada angket yang diisi oleh responden. Tujuannya adalah agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian.
2.        Anonimity (tanpa nama)
Nama responden tidak perlu dicantumkan pada lembar pengumpulan data, untuk mengetahui keikutsertaannya. Peneliti cukup menuliskan nomor kode pada masing-masing lembar pengumpulan data.
3.        Kerahasiaan
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin kerahasiaannya oleh peniliti.


Previous
Next Post »

1 komentar:

Click here for komentar
Unknown
admin
1 October 2015 at 00:44 ×

Congrats bro Unknown you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar

Translate