Salam Sehat dan Harmonis

-----

KETUBAN PECAH DINI


Ketuban Pecah Dini
Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.

Kejadian KPD berkisar 5-10% dari semua kelahiran, dan KPD preterm terjadi 1% dari semua kehamilan. 70% kasus KPD terjadi pada kehamilan cukup bulan. KPD merupakan penyebab kelahiran prematur sebanyak 30%.


Gambar 1. Ketuban Pecah

Penyebab

Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang disebutkan memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan perdarahan selama kehamilan. Beberapa faktor risiko dari KPD :
Inkompetensi serviks (leher rahim)
Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
Riwayat KPD sebelumya
Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
Kehamilan kembar
Trauma
Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu
Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis


Gambar 2. Inkompetensi leher Rahim
Tanda dan Gejala

Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.  Aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara.

Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan secara langsung cairan yang merembes tersebut dapat dilakukan dengan kertas nitrazine, kertas ini mengukur pH (asam-basa). pH normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni. Pemeriksaan melalui ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi jumlah air ketuban yang terdapat di dalam rahim.

Komplikasi KPD

Komplikasi paling sering terjadi pada KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi meningkat pada kejadian KPD. Semua ibu hamil dengan KPD prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada KPD.

Risiko kecacatan dan kematian janin meningkat pada KPD preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada KPD preterm.  Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila KPD preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.

Gambar 3. Keluarnya Tali Pusar

  • Penanganan Ketuban Pecah di Rumah
  • Apabila terdapat rembesan atau aliran cairan dari vagina, segera hubungi dokter atau petugas kesehatan dan bersiaplah untuk ke Rumah Sakit
  • Gunakan pembalut wanita (jangan tampon) untuk penyerapan air yang keluar
  • Daerah vagina sebaiknya sebersih mungkin untuk mencegah infeksi, jangan berhubungan seksual atau mandi berendam
  • Selalu membersihkan dari arah depan ke belakang untuk menghindari infeksi dari dubur
  • Jangan coba melakukan pemeriksaan dalam sendiri



Terapi

Apabila terjadi pecah ketuban, maka segeralah pergi ke rumah sakit. Dokter kandungan akan mendiskusikan rencana terapi yang akan dilakukan, dan hal tersebut tergantung dari berapa usia kehamilan dan tanda-tanda infeksi yang terjadi. Risiko  kelahiran bayi prematur adalah risiko terbesar kedua setelah infeksi akibat ketuban pecah dini. Pemeriksaan mengenai kematangan dari paru janin sebaiknya dilakukan terutama pada usia kehamilan 32-34 minggu. Hasil akhir dari kemampuan janin untuk hidup sangat menentukan langkah yang akan diambil.

Kontraksi akan terjadi dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah apabila kehamilan sudah memasuki fase akhir. Semakin dini ketuban pecah terjadi maka semakin lama jarak antara ketuban pecah dengan kontraksi. Jika tanggal persalinan sebenarnya belum tiba, dokter biasanya akan menginduksi persalinan dengan pemberian oksitosin (perangsang kontraksi) dalam 6 hingga 24 jam setelah pecahnya ketuban. Tetapi jika memang sudah masuk tanggal persalinan dokter tak akan menunggu selama itu untuk memberi induksi pada ibu, karena menunda induksi bisa meningkatkan resiko infeksi.

Apabila paru bayi belum matang dan tidak terdapat infeksi setelah kejadian KPD, maka istirahat dan penundaan kelahiran (bila belum waktunya melahirkan) menggunakan magnesium sulfat dan obat tokolitik. Apabila paru janin sudah matang atau terdapat infeksi setelah kejadian KPD, maka induksi untuk melahirkan mungkin diperlukan.

Penggunaan steroid untuk pematangan paru janin masih merupakan kontroversi dalam KPD. Penelitan terbaru menemukan keuntungan serta tidak adanya risiko peningkatan terjadinya infeksi pada ibu dan janin.  Steroid berguna untuk mematangkan paru janin, mengurangi risiko sindrom distress pernapasan pada janin, serta perdarahan pada otak.

Penggunaan antibiotik pada kasus KPD memiliki 2 alasan. Yang pertama adalah penggunaan antibiotik untuk mencegah infeksi setelah kejadian KPD preterm. Dan yang kedua adalah berdasarkan hipotesis bahwa KPD dapat disebabkan oleh infeksi dan sebaliknya KPD preterm dapat menyebabkan infeksi. Keuntungan didapatkan pada wanita hamil dengan KPD yang mendapatkan antibiotik yaitu, proses kelahiran diperlambat hingga 7 hari, berkurangnya kejadian korioamnionitis serta sepsis neonatal (infeksi pada bayi baru lahir).

Pencegahan

Beberapa pencegahan dapat dilakukan namun belum ada yang terbukti cukup efektif. Mengurangi aktivitas atau istirahat pada akhir triwulan kedua atau awal triwulan ketiga dianjurkan.

sumber :www.klikdokter.com

DIarsipkan di bawah: BIDAN, asuhan kebidanan | Komentar Dimatikan
MANDUL-PENYEBAB DAN PENANGANANNYA
Posted on Desember 25, 2009 by ayurai

PENDAHULUAN
Kesehatan reproduksi adalah kesejahtraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.

Agar dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat, tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis traktus reproduksi baik pada pria maupun wanita, landasan psikis yang memadai, terbebas dari kelainan/penyakit baik langsung maupun tidak langsung mengenai organ reproduksinya, dan wanita yang hamil memerlukan jaminan bahwa ia dapat melewati masa tersebut dengan aman. Gangguan fungsi reproduksi khususnya infertilitas (ketidak suburan) cukup banyak frekuensinya. Dilaporkan bahwa 10 – 15 % pasangan usia subur mengalami gangguan ini (Dubin & Amelar,1971; Glass,1986).

Infertilitas adalah kegagalan menjadi hamil dan melahirkan anak hidup pasangan suami istri setelah melakukan hubungan seksual secara teratur selama 12 bulan tanpa menggunakan alat kontrasepsi.

Untuk terjadinya kehamilan diperlukan sel spermatozoa milik pria yang berkualitas baik serta jumlahnya cukup dan sel telur milik wanita yang berkualitas baik melalui sistem seksual dan reproduksi yang normal (Glass,1986).
Sperma disebut normal (Normozoospermia) bila hasil pemeriksaan variabel sperma memenuhi batasan-batasan yang telah ditentukan yakni : volume sperma 2 ml atau lebih; pH 7,2- 8,00; konsentrasi spermatozoa 20 juta/ml atau lebih; motilitas 50% atau lebih bergerak cepat lurus kedepan atau lebih; morfologi normal spermatozoa 30 % atau lebih (Subratha,1999; WHO,1999). Sperma dengan kualitas dan kuantitas dibawah normal mempunyai kemampuan membuahi sel telur lebih kecil dibandingkan dengan yang normal, sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan juga lebih kecil.

ETIMOLOGI
Infertilitas dapat disebabkan oleh gangguan pada pihak suami (40 %), gangguan pada pihak istri (40%), gangguan pada kedua pihak (10%) dan tidak diketahui (10%) (Glass,1986).

Beberapa penyebab infertilitas pada pihak pria antara lain : anomali kongenital saluran reproduksi, kegagalan testis primer & sekunder, varikokel, infeksi antara lain penyakit menular seksual (PMS), keracunan bahan kimia, bahan fisik, obat-obatan, gangguan kromosom, beberapa penyakit kronis (hati, ginjal), gangguan imunologis. Adanya penurunan fungsi spermatozoa antara lain jumlah spermatozoa per ejakulat yang berkurang, penurunan motilitas progresif spermatozoa, berkurangnya persentase bentuk normal spermatozoa, berkurangnya waktu hidup spermatozoa, dan adanya kelainan integritas membran spermatozoa akan mengakibatkan terjadinya kegagalan spermatozoa membuahi sel telur (Hafez,1980; Pangkahila,1985; Overstreet & Davis,1995; Ohl & Menge,1996; Speroff et al,1999).

Pada wanita penyebab infertilitas antara lain kegagalan ovulasi (40%), adanya gangguan pada tuba & panggul (40%) , kelainan anatomi traktus reproduksi dan kelainan thyroid (10%) (Samsulhadi,1997).

PENANGANAN
Penanganan infertilitas harus ditujukan pada pihak pria (suami) dan wanita (istri) sebagai suatu pasangan. Melalui pemeriksaan yang benar dan lengkap diharapkan dapat diketahui penyebab infertilitas pasangan tersebut. Dengan demikian dapat ditentukan pengobatan atau tindakan yang tepat untuk memperbaiki keadaan kesuburan baik pada suami ataupun istri sehingga diharapkan terjadinya kehamilan yang diharapkan.Dalam tatalaksana penanganan infertilitas pria pemeriksaan analisis sperma mutlak harus dilakukan, karena hasil analisis sperma merupakan titik tolak pemeriksaan dan tindakan andrologis berikutnya dalam penanganan infertilitas pria.

Tahapan pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut : pemeriksaan analisis sperma rutin, pemeriksaan analisis sperma lanjutan, pemeriksaan hormonal, pemeriksaan genetika medis, pemeriksaan radiologi, biopsi testis , pemeriksaan darah lengkap, urine lengkap dan pemeriksaan mikrobiologis (kultur sperma & tes sensitivitas) (Dalton,1985; Bernstein,1994).

Pada pemeriksaan analisis sperma diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar hasil pemeriksaan dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi kaidah-kaidah yang sudah dibakukan.

Beberapa persyaratan antara lain : penderita melakukan abstinensi seksualis (pantang seksual) minimal 48 jam serta tidak boleh lebih dari 7 hari, untuk evaluasi awal dilakukan pada 2 sampel sperma, cara memperoleh sperma dengan masturbasi, tempat (wadah) sperma harus terbuat dari gelas dan bermulut lebar, pemeriksaan sperma dilakukan 15-20 menit dari saat ejakulasi dan tidak boleh lebih dari satu jam. Pemeriksaan sperma meliputi pemeriksaan makroskopis dan pemeriksaan mikroskopis.

Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan likuefaksi sperma, penampakan dan warna sperma, bau, volume sperma, konsistensi dan pH sperma. Pemeriksaan mikroskopis meliputi pemerisaan motilitas spermatozoa, sel-sel selain spermatozoa (lekosit &sel-sel spermatogenik), aglutinasi spermatozoa, benda-benda khusus sperma, konsentrasi spermatozoa, dan morfologi normal spermatozoa Subratha,1999; WHO,1999).

Dari hasil pemeriksaan sperma didapatkan istilah /nomenklature sebagai berikut: normozoospermia, oligozoospermia, ekstrim oligozoospermia, asthenozoospermia, teratozoospermia, oligoasthenozoospermia, oligoasthenoteratozoospermia, polizoospermia, azoospermia, nekrozoospermia ,kriptozoospermia dan aspermia. Dari hasil pemeriksaan sperma diatas hanya normozoospermia yang tidak perlu penanganan pada pihak prianya kecuali kalau ada faktor imunologis dan infeksi. Dari hasil pemeriksaan sperma ini akan ditentukan pemeriksaan lanjutan atau tindakan andrologis selanjutnya untuk memperbaiki kesuburannya (Dalton,1985; Pangkahila,1985).

Dalam penanganan infertilitas pihak wanita beberapa pemeriksaan dilakukan antara lain : uji pascasanggama (untuk uji fungsi spermatozoa, evaluasi lendir serviks dan faktor imunologis) untuk melihat faktor serviks, mikrokuret &biopsi endometrium, partubasi, histerosalfingografi , laparaskopi diagnostik dan pemeriksaan hormonal untuk melihat faktor ovarium (Samsulhadi,1997).

Penanganan dan terapi masalah infertilitas ditujukan kepada faktor penyebabnya baik pada pihak pria maupun pada pihak wanitanya. Konseling memegang peranan penting dalam menangani masalah infertilitas. Penderita harus benar-benar siap mengetahui kenyataan bila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang menjadi penyebab masalah itu. Tidak sedikit laki-laki yang menjadi cemas dan merasa kehilangan kejantanannya karena tidak dapat menghamili istrinya. Hal ini dapat dihindarkan dengan penjelasan yang benar. Penjelasan yang benar seringkali telah dapat mengatasi masalah infertilitas yakni penjelasan tentang kehidupan seksual pasangan tersebut yang meliputi frekuensi dan posisi hubungan seks, ejakulasi dan pascaejakulasi. Frekuensi hubungan seks sering kali dilakukan berkali-kali pada masa subur dan bila tidak masa subur pasangan tersebut melakukan pantang seksual. Pada hal yang benar adalah hubungan seks harus dilakukan secara teratur sesuai dengan periode pematangan spermatozoa (2-3 hari) dengan demikian akan diperoleh spermatozoa yang sehat dan berkualitas. Juga masalah posisi dan pascaejakulasi yang benar adalah pihak wanita tidur terlentang (bila perlu diberi bantal dibawah pantat) dan istirahat 1-2 jam, setelah itu baru bisa membersihkan diri. Hal ini untuk memberi kesempatan pada spermatozoa pada forniks posterior vagina untuk melakukan penetrasi ke dalam kanalis servikalis.

Tujuan pengobatan pada pihak pria ialah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas spermatozoa dan pengobatan seyogyanya ditujukan pada penyebab infertilitas, seperti berikut :
Bahan-bahan toksik harus dihindari, bila ada infeksi diberikan obat antiinfeksi dan dipilih obat-obat yang dapat terkonsentrasi di dalam sistem reproduksi pria misalnya trimetoprim sulfametoksasol, doksisiklin, ampisilin dan eritromisin.

Bila terjadi defisiensi hormon gonadotropin, misalnya pada hipogonadotropik hipogonadisme diberikan hormon gonadotropin misalnya human chorion gonadotropin (HCG) dan human menopausal gonadotropin (HMG) memberikan hasil yang cukup memuaskan (Rosenberg,1976).

Bila didapatkan adanya varikokel harus dilakukan vasoligasi. Pada penderita varikokel mula-mula yang terganggu adalah motilitas spermatozoa , menurut Mc Leod motilitas spermatozoa yang menurun ini ditemukan pada 90 % pria dengan varikokel, sekalipun hormon testosteron dan gonadotropinnya normal. Dubin & Amelar mendapatkan bahwa kira-kira dua per tiga pria dengan varikokel yang dilakukan tindakan pembedahan akan mengalami perbaikan motilitas spermatozoanya.

Adanya sumbatan saluran sperma (vas) pada pria akan menunjukkan azoospermia, kadar hormonal dalam batas-batas normal (FSH, LH, Testosteron) dan volume testis normal (16-30 ml), dapat dilakukan tindakan pembedahan mikro (vasoepididimostomi) dapat membantu dengan 90% ejakulatnya mengandung spermatozoa , akan tetapi angka kehamilannya berkisar antara 5- 30 %.

Pada penderita dengan gangguan spermatogenesis yang penyebabnya idiopatik, beberapa pengobatan telah diberikan dan ternyata memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Beberapa diantaranya adalah: Androgen seperti mesterolon dan fluoksimestron yang diberikan peroral, Klomifen sitrat, Gonadotropin (HCG, HMG, HCG+HMG), Fosfolipid esensial, seng (Zn), dan vitamin E (Dalton, 1985). Inseminasi buatan suami (AIH), inseminasi buatan dengan menggunakan sperma suami dapat dilakukan pada keadaan-keadaan: Gangguan transpor sperma ke dalam vagina seperti pada impotensi, ejakulasi retrogrid, hipospadia/epispadia; Kualitas dan kuantitas spermatozoa terganggu; Gangguan penetrasi spermatozoa ke kanalis servikalis (Hughes et al,1987; Hinting,1999).

Beberapa cara inseminasi buatan yang umum dilakukan ialah : paraservikal, intraservikal dan intrauteri. Ternyata cara pengobatan infertilitas konvensional yang telah disebutkan di atas tidak terlalu menggembirakan, karena keberhasilannya tidak memuaskan 100 persen dalam memperbaiki kesuburan. Perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang reproduksi telah memberikan harapan baru bagi pasangan infertil untuk mewujudkan keinginannya mempunyai anak. Tenologi kedokteran yang membantu pasangan infertil untuk berhasil hamil dan melahirkan anak, secara umum disebut Teknologi Reproduksi Dibantu (Assisted Reproductive Technology = ART). Pada dasarnya teknologi ini tidak memperbaiki kesuburan, teknologi ini langsung menerobos menuju pada masalah keinginan menjadi hamil dan mempunyai anak, tanpa mencoba memperbaiki kesuburan yang terganggu.

Beberapa cara ART telah dicoba dan diterapkan untuk menangani kasus infertilitas, yaitu In vitro fertilization – Embryo Transfer (IVF-ET), yang secara populer disebut bayi tabung. Ternyata keberhasilan cara-cara tersebut juga belum memuaskan, khususnya pada kasus-kasus OligoAsthenoTeratozoospermia berat (Hinting,1999).

Dalam perkembangannya kemudian, didapatkan cara yang lebih canggih yaitu cara fertilisasi dengan bantuan manipulasi secara mikro ialah cara Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI) yang baru pada tahun 1992 dipublikasikan kehamilan pertamanya. Teknik ICSI hanya menggunakan satu spermatozoa untuk membuahi satu oosit untuk menghasilkan fertilisasi dan kehamilan. Cara ICSI telah memungkinkan terjadinya kehamilan walaupun sperma dalam keadaan Oligoastenoteratozoospermia yang berat , bahkan dalam keadaan azoospermia obstruktif. Dalam keadaan azoospermia (obstruktif), maka sel spermatozoa diambil dari epididimis atau testis. Pengambilan sel spermatozoa dari epididimis atau testis dapat dilakukan dengan cara Percutaneus Epididymal Sperm Aspiration (PESA) atau Microsurgical Epididymal Sperm Aspiration (MESA), sedangkan spermatozoa dari testis diambil dengan cara Testicular Sperm Extraction (TESE) (Soebadi,1999).

Dengan cara ICSI nampaknya merupakan harapan terbaru bagi pasangan infertil, khususnya yang disebabkan karena gangguan reproduksi berat di pihak pria. Sayangnya biaya yang diperlukan cukup tinggi, sehingga tidak semua pasangan infertil yang gangguan reproduksinya berat bisa menjangkau cara penanganan ICSI ini.

Ternyata kehadiran anak saja belum cukup memuaskan bagi banyak pasangan keluarga tersebut. Banyak keluarga merasa tidak lengkap bila hanya mempunyai anak dengan jenis kelamin tertentu baik anak pria ataupun anak wanita. Maka banyak pasangan yang mengingikan hamil lagi dengan harapan mendapatkan jenis kelamin anak yang belum ada pada pasangan tersebut. Keinginan ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari nilai sosial budaya masyarakat yang masih menempatkan anak pria atau anak wanita yang lebih istimewa ,yang antara lain tampak pada hukum adat dibeberapa daerah dalam hal warisan yang hanya diberikan kepada anak prianya atau anak wanitanya. Kalau saja keinginan mempunyai anak dengan jenis kelamin tertentu dapat direncanakan, maka tujuan Keluarga Berencana untuk menciptakan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) akan sangat didukung.

Sesunguhnya sudah sejak lama pasangan keluarga berkeinginan merencanakan jenis kelamin anak yang akan dilahirkan. Beberapa upaya telah dilakukan, yang ternyata tidak ilmiah dan hanya berdasarkan mitos saja. Teori kiri dan kanan, wanita dianjurkan berbaring pada sisi kanan selama berhubungan seksual bila menginginkan anak pria, sebaliknya berbaring pada sisi kiri selama berhubungan seksual bila menginginkan akan wanita. Masih banyak mitos-mitos lain yang beredar di masyarakat dalam mewujudkan jenis kelamin anak yang diinginkan.

Kehamilan terjadi kalau ada pertemuan antara sel spermatozoa dan sel telur serta terjadi pembuahan. Setelah terjadi pembuahan akan terjadi penentuan seks (jenis kelamin) zigot secara genetis, yang ditentukan oleh sepasang kromosom seks yaitu kromosom X dan Y yang dibawa oleh sel spermatozoa, dan sel telur hanya membawa kromosom seks X. Bila yang membuahi sel telur spermatozoa X akan menghasilkan embrio wanita (XX), dan bila yang membuahi spermatozoa Y akan menghasilkan embrio laki-laki (XY).

Ternyata terdapat beberapa karakteristik antara spermatozoa X dan Y. Spermatozoa X memiliki kepala yang lebih besar dengan bentuk oval , sedangkan spermatozoa Y memiliki kepala yang lebih kecil dengan bentuk bulat. Gerak maju spermatozoa X relatif lebih lambat dibandingkan dengan spermatozoa Y, tetapi spermatozoa X memiliki masa hidup yang lebih lama. Disamping itu spermatozoa X lebih tahan terhadap suasana yang bersifat asam, sedang spermatozoa Y lebih tahan terhadap suasana yang bersifat basa (Dmoski et al,1979).

Berdasarkan pada perbedaan-perbedaan spermatozoa X dan Y tersebut, ada beberapa metoda untuk merencanakan jenis kelamin bayi sesuai dengan keinginan. Pertama cara konvensional dengan pengaturan diit, pengaturan waktu hubungan seksual. Kedua, dengan memisahkan spermatozoa X dan Y dengan bahan tertentu, kemudian spermatozoa yang telah terpisah digunakan untuk tindakan inseminasi buatan.

Cara konvensional adalah sebagai berikut : kalau mengharapkan bayi laki-laki , lakukan hubungan seksual tepat pada saat ovulasi , istri harus mencapai orgasme sebelum atau bersama-sama dengan suaminya dan sebelum berhubungan seksual istri mencuci vaginanya dengan cairan yang bersifat basa atau memakan makanan yang membuat tubuh dalam suasana basa. Kalau menginginkan bayi perempuan, lakukan hubungan seksual sebelum ovulasi, orgasme istri tidak diperlukan dan sebelum berhubungan seksual istri harus mencuci dengan larutan yang bersifat asam atau memakan makanan yang membuat tubuh dalam suasana asam. Cara konvensional ini tidaklah mudah melaksanakannya, oleh karena itu sering hasilnya tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan (Adimoelja, 1984)..

Pemisahan spermatozoa X dan Y telah banyak dilakukan dengan menggunakan bahan tertentu. Salah satu cara ialah pemisahan dengan menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA) untuk menyeleksi spermatozoa Y, karena mempunyai kemampuan lebih besar dan lebih cepat menembus bahan tersebut. Spermatozoa Y yang dikumpulkan setelah terpisah dari yang X. Kemudian spermatozoa Y tersebut dilakukan inseminasi buatan. Diharapkan nantinya bayi yang dilahirkan adalah bayi laki-laki (Dmoski et al,1979).

Bahan lain yang digunakan untuk memisahkan spermatozoa X dan Y ialah Sephadex gel 50. Sperma yang dilewatkan ke dalam bahan ini ternyata mengalami filtrasi. Spermatozoa X lolos dan berhasil dikumpulkan, yang selanjutnya digunakan untuk inseminasi buatan. Disini diharapkan lahir bayi perempuan (Adimoelja,1984).
Previous
Next Post »

Translate