A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Struktur
urethra adalah penyempitan atau konstriksi dari lumen urethra akibat adanya
obstruksi (long,1996).
Striktur
urethra adalah penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik
(jaringan parut) pada urethra atau daerah urethra. (UPF Ilmu Bedah, 1994)
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya
masalah
v infeksi,
v trauma
internal maupun eksternal pada urethra
v kelainan
bawaan dari lahir
2
Anatomi fisiologi
Uretra
Uretra
merupakan tabung yang menyalurkan urine
keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.
Uretra
ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh
sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan
uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat
diperintah sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa ±
23-25 cm.
Secara
anatomis uetra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh
spingter uretra eksternal.
Uretra
posterior pada pria terdiri atas uretra
pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan
uretra pars membranasea. Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat
suatu tonjolan verumontanum, dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum
ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus
ejakulatorius terdapat dipinggir kanan dan kiri verumontanum, sedangkan sekresi
kelenjar prostat bermuara didalam duktus prostatiks yang tersebar di uretra
prostatika.
Uretra
anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis.
Uretra anterior terdiri atas: 1. Pars bulbosa, 2. Pars pendularis, 3. Fossa
navikulare, dan 4. Meatus uretra eksterna. Didalam lumen uretra anterior
terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu
kelenjar Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars
bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di
uretra pars pendularis.
3
Etiologi
Berdasarkan
penyebab/etiologinya striktur dibagi menjadi 3 jenis :
a.
Striktur
urethra kongenital
Striktur
ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat
striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan
dengan anomalia sakuran kemih yang lain
b.
Striktur
urethra traumatik
Trauma
ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen, infeksi,
spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur sambungan atau
oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada daerah kemaluan
dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik dalam waktu 1
bulan. Striktur akibat trauma lebih progresif daripada striktur akibat infeksi.
Pada ruftur ini ditemukan adanya hematuria gross
c.
Struktur
akibat infeksi
Struktur
ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih lambat daripada
striktur traumatik
4
Patofisiologi
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
|
5
Gejala
Klinik
Keluhan
berupa kesukaran dalam kencing, Pancaran air kencing kecil, lemah, bercabang serat menetes dan
sering di sertai dengan mengejan, biasanya karena ada retensio urin timbul
gejala-gejala sistitis, gejala –gejala ini timbul perlahan-perlan selama
beberapa bulan atau bertahun-tahun apabila sehari keadaannya normal kemudian
satu hari timbul tiba-tiba pancaran kecil dan lemah tidak dipikirkan striktur
urethra tapi dipikirkan kearah batu buli-buli yang turun keurethra.
Dapat
terjadinya pembengkakan dan getah/nanah daridaerah perineum,scrotom dan
kadang-kadang dapat juga didapat adanya bercak-bercak darah dicalana dalam,
dicurigai adanya infeksi sistemik.
6
Pemeriksaan
Diagnostik
a.
Anamnesis yang
lengkap
Dengan
anamnesis yang baik, diagnosis striktur urethra mudah ditegakkan, apabila ada
riwayat infeksi “veneral atau straddle injury” seperti uretritis, trauma dengan
kerusakan pada pinggul straddle injury, instrumentasi pada urethra, pemasangan
kateter, dan kelainan sejak lahir
b.
Inspeksi :
meatus,
ekstermus yang sempit, pembengkakan serta fistula (e) didaerah penis, skrotum,
perineum dan suprapubik
c.
Palpasi :
teraba
jaringan parut sepanjang perjalalanan urethra, anterior pada bagian ventral
dari penis, muara fistula (e) bila dipijat mengeluarkan getah/nanah
d.
Colok dubur
e.
Kalibari dengan
kateter lunak (lateks) akanditemukan adanya hambatan
f.
Untuk Kepastian
diagnosis dapat ditegakkan dan dipastikan dengan uretrosistografi, uretoskopi
kedalam lumen urethra dimasukkan dimana kedalam urethra dimasukkan dengan
kontras kemudian difoto sehingga dapat terlihat seluruh saluran urethra dan
buli-buli . dan dari ftotersebut dapat ditentukan :
§ lokalisasi
striktur : apakah terletak pada proksimal atau distal dari sfingter sebab ini
penting untuk tindakan operasi
§ besarnya
kecilnya striktur
§ panjangnya
striktura dan
§ jenis
struktur
g. bila
sudah dilakukan sistomi : bipolar-sistografi dapat ditunjang dengan flowmetri
h. dan
pad kasus-kasus tertentu dapat dilakukan IVP, USG, (pada striktura yang lama
dapat terjadi perubahan sekunder pada kelenjar prostat,/batu/perkapuran/abses
prostat, efididimis/fibrosis diefididimis.
7.
Penatalaksanaan
Tergantung
pada :
§ lokalisasi,
§ panjang
pendeknya striktur
§ Keadaan
darurat
a.
Dilatasi
urethra periodik
Dilakukan
dengan halus dan hati-hati (perlu pengalaman dan dituntut ketekunan seta
kesabaran kalauperlu dimulai dengan(bougie filiform) danseterusnya
Kontraindikasi
: pada anak kecil, bila gagal (bougie terlalu sering/jarak 2-3 bulan,nyeri,
perdarahan, ekstravasasi, infeksi dipertimbangkan uretrotomia interna
Uretrotimia
interna
o Visual
: sachse
o Blind : Otis
Selalu
dicoba urethromia interna dahulu terlebih dahulu kecualiterdapat fistula
urethro kutan atau abses perurethra.
Kateter
(plastik,silikon, atau lateks) dipasang 5-7 hari bila terjadi striktur dapat
dicoba lagi.
Follow up :
Dilatasi urethra hidroalik
Self catheterization
Dicek ; pancaran urin visual
Kalau mungkin uroflowmetri
Penyulit dari
1 dan 2
§ Perdarahan
§ False
passage terjadi hemaatom, infiltrat urin,
§ Infeksi
§ Re
strukture
b.
Bila
dilatasi akut urethrotomi interna gagal atau terdapat abses / fistula dilakukan
tindakan pembedahan
§ Plastik
urethra satu tahap denga tanpa ”graft ”kulit (syaraf tak ada infeksi dilakukan
tindakan pembedahan
§ Plastik
urethra satu tahao dengan/tanpa “graft “ kulit / syaraf : tak ada infeksi
dilakukan tindakan pembedahan
§ Pastik
urethra satu tahap dengan /tanpa “graft kulit (syaraftidak ada infeksi
§ Bila
terjadi penyulit akses /fistula (e) operasi dalam 2 tahap
1)
Eksisi semua jaringan
patologis dan marsuapialisali urethra ke kulit /”graft inlay”
2)
Rekonstruksi urethra
§ Bila
strikture akibat trauma yang mengenai urethra posterior, dilakukan operasi
melalui perineum (dengan alat-alat dari turner warwich) atau transpubik dengan
melakukan pubektomi
§ Pada
kasus-kasus yang tidaak mugkin dilakukan rekonstruksi urethra
1)
Urethra perineostomi
permanen
2)
Sistostomi permanen
3)
Pengalihan aliran
urin (diversion)
c.
Pemakaian
antibiotik (lihat standar dilab I.
Bedah)
1) Bila
terdapat infeksi saluran air kemih : diberikan antibiotik yang sesuai hasil
test kepekaan
2) Bila
kultur urin steril : profilaksis dengan : anamnesa, pemeriksaan fisik, coba
kateterisasi/ kateter karet (lateks)
3) Retensi
urin : sistostomi, kemudian dirujuk
4) Ifiltrat
urin : sistostomi, insisi multipel,kemudian dirujuk bila proses infeksi
3. Dampak Masalah .
Pada
klien striktura urethra akan timbul beberapa masalah, dengan gejala yang telah
diuraikan pada sub bab patofisiologi . Masalah ini dapat berdampak pada pola pola fungsi
kesehatan klien.Dimana klien sebagai mahluk
bio, psiko, sosial, spiritual. Dampak masalah yang muncul dapat di bagi
menjadi 2 yaitu dampak masalah pre operasi dan post operasi Sachse
Dampak masalah pre operasi Sachse adalah :
1.
Pola eleminasi .
Tanda
tanda dan gejala yang berhubungan dengan striktura urethra akibat penyempitan
urethra yang berdampak pada penyumbatan parsial atau sepenuhnya pada saluran
kemih bagian bawah. Keluhan klien antaralain adalah nokturia, frekuensi, hesistency, disuria, inkontinensia dan rasa
tidak lampias sehabis miksi . Dapat pula
muncul hernia inguinalis dan hemoroid .
2.
Pola persepsi dan
konsepsi diri.
Kebanyakan
klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Ketidak pastian
tentang prosedur pembedahan, nyeri
setelah operasi, insisi dan immobilisasi dapat menimbulkan rasa cemas. Klien
juga cemas akan ada perubahan pada dirinya setelah operasi.
3.
Pola tidur dan
istirahat.
Tanda
dan gejala striktur urethra antara lain
nokturi dan frekuensi . Bila keluhan ini muncul pada klien maka tidur
klien akan terganggu. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang
tidak lengkap pada setiap miksi sehingga interfal antara miksi lebih pendek.
Akibatnya klien akan sering terbangun pada malam hari untuk miksi dan waktu tidur akan berkurang.
Dampak
masalah post operasi Sachse adalah:
1. Pola
eliminasi
Klien post operasi Sachse dapat mengalami
perubahan eliminasi. Hal ini terjadi bila terdapat bekuan darah yang menyumbat
kateter, edema dan prosedur pembedahan .
Perdarahan dapat terjadi pada klien post operasi Sachse karena fiksasi
dari traksi yang kurang tepat. Infeksi karena pemasangan kateter yang kurang
tepat atau perawatan kateter kurang atau tidak aseptik dapat juga terjadi.
Pada klien post Sachse dapat mengalami gangguan tidur karena klien merasakan nyeri pada lika operasi atau spasme dari
kandung kemih. Karena gangguan ini maka lama/ waktu tidur klien berkurang.
3
. Pola aktifitas.
Klien
post Sachse aktifitasnya akan berkurang dari aktifitas biasa. Klien cenderung
mengurangi aktifitas karena nyeri yang dirasakan akibat dari Sachse nya. Klien
akan banyak memilih di tempat tidur dari pada beraktifitas pada hari pertama dan hari yang kedua post Sachse
Sedangkan kebutuhan klien dibantu.
4
Pola reproduksi dan
seksual.
Klien
post Sachse dapat mengalami disfungsi seksual. Hal ini di sebabkan karena
situasi krisis ( inkontinensia,
kebocoran urine setelah pengangkatan kateter ). Dengan terjadinya disfungsi
seksual maka dapat terjadi ancaman terhadap konsep diri karena perubahan status
kesehatan.
5.
Pola persepsi dan
tatalaksana hidup sehat.
Perubahan
penatalaksanaan dan pemeliharaan kesehatan dirumah dapat menimbulkan masalah
dalam perawatan diri selanjutnya. Sehingga klien perlu informasi tentang perawatan selanjutnya khususnya saat dirumah
supaya tidak terjadi perdarahan atau tanda tanda infeksi.
B.
Asuhan Keperawatan
Perawat melakukan asuhan keperawatan dengan
menggunakan proses keperawatan. Dengan proses keperawatan, perawat memakai
latar belakang, pengetahuan yang komprehensif untuk mengkaji status kesehatan
klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa merencanakan intervensi,
mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi intervensi keperawatan.
1. PENGKAJIAN
Pengkajian
merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. pengumpulan data yang
akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola
pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta
merumuskan diagnosis keperawatan.
Pengkajian
dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi Sachse dan pengkajian post
operasi Sachse
a)
Pengkajian pre
operasi Sachse
Pengkajian
ini dilakukan sejak klien ini MRS sampai saat operasinya, yang meliputi :
Pengkajian
fokus :
Inspeksi :
·
Memeriksa uretra dari
bagian meatus dan jaringan sekitarnya
·
Observasi adanya
penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan purulent ( nanah )
·
Observasi kulit dan
mukosa membran disekitar jaringan
·
Perhatikan adanya
lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada penis, scrotom, labia dan
orifisium Vagina.
·
Iritasi pada uretra
ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak nyamanan pada saat akan mixi.
Pengkajian Psikososial :
·
Respon emosional pada
penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik diri, cemas, kelemahan, gelisah,
dan kesakitan.
·
Respon emosi pada
pada perubahan masalah pada gambaran diri, takut dan kemampuan seks menurun dan
takut akan kematian.
Pengkajian Diagnostik
·
Sedimen urine untuk
mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel, eritrosit, leukosit, bakteria,
kristal, dan protein.
1. Identitas klien
Meliputi
nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis.
2
. Riwayat penyakit sekarang
Pada
klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis miksi,
hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi
retensio urine.
3
. Riwayat penyakit dahulu .
Adanya
penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang
berulang. Penyakit kronis yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi .
4
Riwayat penyakit
keluarga .
adanya
riwayat keturunan dari salah satu
anggota keluarga yang menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang
menderita DM, asma, atau hipertensi.
5. Riwayat
psikososial
a.
Intra personal
Kebanyakan
klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan. Kecemasan ini muncul
karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat
dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
b.
Inter personal
Meliputi
peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat.
6.
Pola fungsi kesehatan
a.
Pola persepsi dan
tatalaksana hidup sehat
Klien
ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau, penggunaan obat-obatan,
penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan
kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat )
b.
Pola nutrisi dan
metabolisme
Klien
ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap
hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau
keadaan yang mengganggu nutrisi seperti
nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak
mengalami gangguan atau masalah.
c.
Pola eliminasi
Klien
ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, jumlah kecil dan tidak lancar
menetes - netes, kekuatan system perkemihan. Klien juga ditanya apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran
kemih. Klien ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi
akibat dari p[enyempitan urethra kedalam rectum.
d.
Pola tidur dan
istirahat .
Klien
ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi
yang sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan tidur memekai bantal atau
situasi lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan
tidur.
e.
Pola aktifitas .
Klien
ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang,
kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit.
Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien masih mampu memenuhi
kebutuhan sehari – hari sendiri.
f.
Pola hubungan dan
peran
Klien
ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien lain, perawat
atau dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat berperan
sebagai mana seharusnya.
g.
Pola persepsi dan
konsep diri
Meliputi
informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan klien sebelum
pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu acara operasinya.
Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping klien dalam
menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak berdaya.
h.
Pola sensori dan
kognitif
Pola
sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran dari klien.
Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan
waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
i.
Pola reproduksi
seksual
Klien
ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya, pengetahuannya tantangsek
sualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah
seksual yang dialami sekarang (masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan
pola perilaku seksual.
j.
Pola penanggulangan
stress
Menanyakan
apa klien merasakan stress, apa penyebab stress, mekanisme penanggulangan
terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya dilakukan klien
bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif.
k.
Pola tata nilai dan
kepercayaan
Klien
menganut agama apa, bagaimana dengan aktifitas keagamaannya. Kebiasaan klien
dalam menjalankan ibadah.
7.
Pemeriksaan fisik
a.
Status kesehatan umum
Keadaan
penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan darah,
suhu tubuh, nadi.
b.
Kulit
Apakah
tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi, bagaimana
keadaan rambut dan kuku klien ,
c.
Kepala
Bentuk
bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau trauma
pada kepala.
d.
Muka
Bentuk
simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana keadaannya, begitu pula
bagaimana otot mukanya.
e.
Mata
Bagainama
keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi
dan perdarahan. Slera tampak ikterus atau tidak.
f.
Telinga
Ada
atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa
ada gangguan pendengaran.
g.
Hidung
Bentuknya
bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip, apakah
hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
h.
Mulut dan faring
Adakah
caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau ulkus. Lidah
tremor ,parese atau tidak. Adakah
pembesaran tonsil.
i.
Leher
Bentuknya
bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
j.
Thoraks
Betuknya
bagaimana, adakah gynecomasti.
k.
Paru
Bentuk
bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan. Pergerakan bagaimana, suara
nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi , wheezing atau
egofoni.
l.
Jantung
Bagaimana
pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau getarannya.
m.
Abdomen
Bagaimana
bentuk abdomen. Pada klien dengan
keluhan retensi umumnya ada penonjolan
kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana.
Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba
atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat.
n.
Genitalia dan anus
Pada
klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat
rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter,
Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o.
Ekstrimitas dan
tulang belakang
Apakah
ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada infus
pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti
merah atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.
8.
Pemeriksaan
diagnostik
Untuk
pemeriksaan diagnostik sudah dijabarkan penulis pada konsep dasar.
b)
Pengkajian post
operasi Sachse
Pengkajian
ini dilakukan setelah klien menjalani
operasi, yang meliputi:
1.
Keluhan utama
Keluhan
pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang lain. Kemungkinan
keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi Sachse adalah keluhan rasa
tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya bekas insisi
pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan ungkapan
dari klien sendiri.
2.
Keadaan umum
Kesadaran,
GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.
3.
Sistem respirasi
Bagaimana
pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau tidak. Apakah perlu
dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan
ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung,
gerakan dada dan perut. Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.
4.
Sistem sirkulasi
Yang
dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu tubuh,
monitor jantung ( EKG ).
5.
Sistem
gastrointestinal
Hal
yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi / obstipasi,
bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada mual dan
muntah.
6.
Sistem neurology
Hal
yang dikaji: keadaan atau kesan umum, GCS, adanya nyeri kepala.
7.
Sistem
muskuloskleletal
Bagaimana
aktifitas klien sehari – hari setelah operasi. Bagaimana memenuhi kebutuhannya.
Apakah terpasang infus dan dibagian mana
dipasang serta keadaan disekitar daerah yang terpasang infus. Keadaan
ekstrimitas.
8.
Sistem eliminasi
Apa
ada ketidaknyamanan pada supra pubik,
kandung kemih penuh . Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji
apakah ada tanda – tanda perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis apa.
Irigasi kandung kemih. Warna urine dan jumlah produksi urine tiap hari.
Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter.
9.
Terapi yang diberikan
setelah operasi
Infus
yang terpasang, obat – obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi
kandung kemih.
c.
Analisa data
Data
yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan masalah klien.
Analisa merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan mentabulasi,
menyeleksi, mengklasifikasi data, mengelompokkan, mengkaitkan, menentukan
kesenjangan informasi, membandingkan dengan standart, menginterpretasikan serta
akhirnya membuat kesimpulan. Penulis membagi analisa menjadi 2, yaitu analisa
sebelum operasi dan analisa setelah operasi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Tahap akhir
dari pengkajian adalah merumuskan diagnosa keperawatan yang merupakan penilaian
atau kesimpulan yang diambil dari pengkajian keoerawatan. Dari analisa data
diatas dapat dirumuskan suatu diagnosis keperawatan yang dibagi menjadi 2, yaitu diagnosa sebelum operasi dan
diagnosa setelah operasi.
1.
Diagnosa sebelum
operasi
a.
Perubahan eliminasi
urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi, nokturia atau
perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik :
pembesaran prostat.
b.
Nyeri sehubungan
dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap struktur urethra
c.
Cemas sehubungan
dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan tantang aktifitas
rutin dan aktifitas post operasi
d.
Gangguan tidur dan
istirahat sehubungan dengan sering terbangun sekunder terhadap kerusakan
eliminasi: retensi disuria, frekuensi,
nokturia.
2.
Diagnosa setelah
operasi
a.
Nyeri sehubungan
dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada Sachse
b.
Perubahan eliminasi
urine sehubungandengan obstruksi sekunder dari Sachse bekuan darah odema
c.
Potensial infeksi
sehubungan dengan prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter,
d.
Potensial untuk
menderita cedera: perdarahan sehubungan dengan tindakan
e.
Potensial disfungsi
seksual sehubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari Sachse
f.
Kurang pengetahuan:
tentang Sachse sehubungan dengan kurang informasi .
g.
Gangguan tidur dan istirahat sehubungan dengan
nyeri.
3. PERENCANAAN .
Setelah
merumuskan diagnosis keperawatan, maka intervensi dan aktifitas keperawatan
perlu di tetapkan untuk untuk
mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Tahap ini
disebut sebagai perencanaan keperawatan
yang terdiri dari: menentukan prioritas diagnosa keperawatan, menetapkan sasaran
( goal ), dan tujuan (obyektif ), menetapkan kriteria evaluasi, merumuskan
intervensi dan aktivitas keperawatan. (5) Selanjutnya dibuat perencanaan dari masing – masing
diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1
. Sebelum operasi
a
. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, resistancy, inkontinensi,
retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan
obtruksi mekanik: striktur urethra
Tujuan:
Pola eliminasi normal .
Kriteria
hasil :
§ Klien
dapat berkemih dalam jumlah normal, tidak teraba distensi kandung kemih
§ Residu
pasca berkemih kurang dari 50 ml
§ Klien
dapat berkemih volunter
§ Urinalisa
dan kultur hasilnya negatif
§ Hasil
laboratorium fungsi ginjal normal
Rencana
tindakan :
1. Jelaskan
pada klien tentang perubahan dari pola eliminasi .
2. Dorong
klien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam dan bila dirasakan .
3. Anjurkan
klien minum sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung bila diindikasikan
4. Perkusi /
palpasi area supra pubik
5. Observasi
aliran dan kekuatan urine, ukur residu urine pasca berkemih. Jika volume residu
urine lebih besar dari 100 cc maka jadwalkan program kateterisasi intermiten.
6. monitor
laboratorium: urinalisa dan kultur, BUN,
kreatinin.
7. Kolaborasi
dengan dokter untuk pemberian obat: antagonis
Alfa - adrenergik (prazosin)
Rasional
:
1
. Meningkatkan pengetahuan klien
sehingga klien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
2
. Meminimalkan retensi urine, distensi yang berlebihan pada kandung kemih
3
. Peningkatan aliran cairan, mempertahankan perfusi ginjal dan membersihkan
ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
4.
Distensi kandung
kemih dapat dirasakan di area supra
pubik.
5.
- Observasi aliran
dan kekuatan urine untuk
mengevaluasi adanya obstruksi
-
Mengukur residu urine untuk mencegah urine statis karena dapat beresiko infeksi
6.
Statis urinarias potensial untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko ISK.
Pembesaran prostat dapat menyebabkan dilatasi saluran kemih atas (ureter dan ginjal), potensial merusak fungsi
ginjal dan menimbulkan uremia.
7.
Mengurangi obstruksi pada buli-buli, relaksasi didaerah prostat sehingga
gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
b.
Nyeri sehubungan
dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap striktur urethra
Tujuan
: Klien menunjukan bebas dari
ketidaknyamanan
Kriteria
hasil :
- Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol
- Ekspresi wajah klien rileks
- Klien mampu untuk istirahat dengan cukup
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
Rencana
tindakan :
1.
Kaji nyeri,
perhatikan lokasi, intensitas ( skala 1-10 ), dan lamanya.
2.
Beri tindakan
kenyamanan, contoh: membantu klien melakukan posisi yang nyaman, mendorong
penggunaan relaksasi / latihan nafas dalam.
3.
Beri kateter jika
diinstruksikan untuk retensi urine yang akut : mengeluh ingin kencing tapi
tidak bisa.
4.
Observasi tanda –
tanda vital.
5.
Kolaborasi dengan
dokter untuk memberi obat sesuai indikasi, contoh: kaltrofen ( Dumerol )
Rasional
:
1.
Memberi informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan Intervensi
2. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali
perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
3 Retensi urine menyebabkan infeksi saluran
kemih, hidro ureter dan hidro nefrosis
4. Mengetahui perkembangan lebih lanjut
5. Untuk menghilangkan nyeri hebat / berat,
memberikan relaksasi mental dan fisik.
c.
cemas sehubungan
dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang pengetahuan tentang aktifitas
rutin dan aktifitas post operasi.
Tujuan:
Cemas berkurang / hilang sehingga klien
mau kooperatif dalam tindakan perawatan.
Kriteria
hasil :
§ Klien
melaporkan cemas menurun / berkurang.
§ Klien
memahami dan mau mendiskusikan rasa cemas.
§ Klien dapat menunjukan dan mengidentifikasi
cara yang sehat dalam menghadapi cemas.
§ Klien
tampak rileks dan dapat beristirahat yang cukup.
§ Tanda
– tanda vital dalam batas normal
Rencana
tindakan :
1.
Bina hubungan saling
percaya dengan klien atau keluarga.
2. Dorong klien atau keluarga untuk menyatakan perasaan / masalah.
3.
Beri informasi
tentang prosedur / tindakan yang akan dilakukan, contoh: kateter, urine
berdarah, iritasi kandung kemih. Ketahui seberapa banyak informasi yang
diinginkan klien.
4. Jelaskan pentingnya peningkatan asupan
cairan.
5. Jelaskan pembatasan aktifitas yang
diharapkan :
a.
tirah baring untuk hari pertama post operasi
b.ambulasi progresif yang dimulai hari pertama
post operasi
c.hindari aktifitas yang mengencangkan daerah kandung kemih
6. Observasi tanda - tanda vital.
Rasional
:
1.
Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu. Membantu dalam mendiskusikan
tentang subyek sensitif.
2.
Mengidentifikasi masalah, memberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan,
memperjelas kesalahan konsep dan solusi pemecahan masalah.
3. Membantu
klien memahami tujuan dari apa yang
dilakukan dan mengurangi masalah karena
ketidaktahuan.
4. Urine
yang encer dapat menghambat pembentukkan klot.
5. Pemahaman klien dapat membantu mengurangi cemas
yang berhubungan dengan kecemasan akibat ketidaktahuan.
6.
Perubahan tanda –
tanda vital mungkin menunjukkan tingkat kecemasan yang dialami klien.
d.
Gangguan tidur dan
istirahat sehubungan dengan sering
terbangun sekunder terhadap kerusakan
eliminasi: retensi, disuria, frekuensi, nokturia.
Tujuan:
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria
hasil:
§ Klien
mampu istirahat / tidur dengan waktu yang cukup.
§ Klien
mengungkapkan sudah bisa tidur.
§ Klien
mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.
Rencana
tindakan:
1.
Jelaskan pada klien
dan keluarga penyebab gangguan tidur / istirahat dan kemungkinan cara untuk
menghindarinya.
2.
Ciptakan suasana yang mendukung dengan mengurangi kebisingan.
3.
Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
4. Batasi
masukan cairan waktu malam hari dan berkemihsebelum tidur.
5. Batasi masukan minuman yang mengandung
kafein.
Rasional
:
1.
Meningkatkan
pengetahuan klien sehingga klien mau kooperatif terhadap tindakan keperawatan.
2.
Suasana yang tenang
akan mendukung istirahat klien.
3. Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.
4. Mengurangi
frekuensi berkemih malam hari.
5. Kafein
dapat merangsang untuk sering berkemih.
2.
Sesudah operasi
a.
Nyeri sehubungan
dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada Sachse
Tujuan:
Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria
hasil :
§ Klien
mengatakan nyeri berkurang / hilang.
§ Ekspresi
wajah klien tenang.
§ Klien
akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
§ Klien
akan tidur / istirahat dengan tepat.
§ Tanda
– tanda vital dalam batas normal.
§ Keluarnya
urine melalui sekitar kateter sedikit.
Rencana
tindakan :
1.
Jelaskan pada klien
tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan
klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala
dini dari spasmus kandung kemih.
3. Jelaskan
pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48
jam.
4. Beri
penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
5. Anjurkan
pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
6. Ajarkan
penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
7. Jagalah
selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada
kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.
8.
Observasi tanda –
tanda vital
9.
Kolaborasi dengan
dokter untuk memberi obat – obatan ( analgesik atau anti spasmodik )
lRasional
:
1.
Kien dapat mendeteksi
gajala dini spasmus kandung kemih.
2.
Menentukan
terdapatnya spasmus sehingga obat –
obatan bisa diberikan.
3.
Meberitahu klien
bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4.
Mengurang kemungkinan
spasmus.
5. Mengurangi tekanan pada luka insisi
6. Menurunkan
tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan
koping.
7. Sumbatan
pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih
dengan peningkatan spasme.
8. Mengetahui
perkembangan lebih lanjut.
9. Menghilangkan
nyeri dan mencegah spasmus kandung
kemih.
b.
Perubahan pola
eliminasi urine sehubungan dengan obstruksi sekunder dari Sachse: bekuan darah,
edema.
Tujuan:
Eliminasi urine normal dan tidak terjadi retensi urine.
Kriteria
hasil:
§ Klien
akan berkemih dalam jumlah normal tanpa retensi.
§ Klien
akan menunjukan perilaku yang meningkatkan kontrol kandung kemih.
§ Tidak
terdapat bekuan darah sehingga urine lancar lewat kateter.
Rencana
tindakan:
1. Kaji output urine dan karakteristiknya
3. Pertahankan
irigasi kandung kemih yang konstan selama 24 jam pertama
4. Pertahankan
posisi dower kateter dan irigasi kateter.
5. Anjurkan
intake cairan 2500-3000 ml sesuai toleransi.
6. Setalah
kateter diangkat, pantau waktu, jumlah urine dan ukuran aliran. Perhatikan
keluhan rasa penuh kandung kemih, ketidakmampuan berkemih, urgensi atau gejala
– gejala retensi.
Rasional:
1.
Mencegah retensi pada
saat dini.
2.
Mencegah bekuan darah
karena dapat menghambat aliran urine.
3.
Mencegah bekuan darah
menyumbat aliran urine.
4.
Melancarkan aliran
urine.
5.
Mendeteksi dini
gangguan miksi.
c.
Potensial infeksi sehubungan
dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter,
Tujuan:
Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria
hasil:
§ Klien
tidak mengalami infeksi.
§ Dapat
mencapai waktu penyembuhan.
§ Tanda
– tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana
tindakan:
1.
Pertahankan sistem
kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
2.
Anjurkan intake
cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
3.
Pertahankan posisi
urobag dibawah.
4.
Observasi tanda –
tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
5.
Observasi urine:
warna, jumlah, bau.
6.
Kolaborasi dengan
dokter untuk memberi obat antibiotik.
Rasional:
1.
Mencegah pemasukan
bakteri dan infeksi .
2.
Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal.
3. Menghindari refleks balik urine yang dapat
memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4.
Mencegah sebelum
terjadi shock.
5. Mengidentifikasi adanya infeksi.
6.
Untuk mencegah
infeksi dan membantu proses penyembuhan
.
d.
Potensial untuk menderita cidera: perdarahan sehubungan dengan tindakan
pembedahan .
Tujuan:
Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria
hasil:
§ Klien
tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
§ Tanda
– tanda vital dalam batas normal .
§ Urine
lancar lewat kateter .
Rencana
tindakan:
1.
Jelaskan pada klien
tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda
perdarahan .
2.
Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
.
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan
memberi obat untuk memudahkan defekasi .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal,
pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
5.
Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi
dilepas .
6.
Observasi:
-
Tanda – tanda vital tiap 4 jam
-
Masukan dan haluaran
-
Warna urine
Rasional
:
1. Menurunkan
kecemasan klien dan mengetahui tanda –
tanda perdarahan .
2. Gumpalan
dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan kandung
kemih
3. Dengan
peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan
.
4. Dapat
menimbulkan perdarahan prostat .
5. Traksi
kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan
perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .
6. Deteksi
awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan
jaringan yang permanen .
e. Potensial disfungsi seksual sehubungan dengan
ketakutan akan impoten akibat dari
Sachse
Tujuan:
Fungsi seksual dapat dipertahankan
Kriteria
hasil:
§ Klien
tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
§ Klien
menyatakan pemahaman situasi individual .
§ Klien
menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
§ Klien
mengerti tentang pengaruh sachse pada seksual.
Rencana
tindakan :
1
. Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P
terhadap seksual .
2
. Jelaskan tentang :
a
. Kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula .
b
. Kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
3
. Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu
setelah operasi .
4
. Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan
kunjungan lanjutan .
Rasional
:
1
. Untuk mengetahui masalah klien .
2
. Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual.
3
. Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4
. Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan
memberikan akses kepada penjelasan yang spesifik.
f
. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P sehubungan dengan kurang informasi
Tujuan:
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .
Kriteria
hasil:
§ Klien
akan melakukan perubahan perilaku.
§ Klien
berpartisipasi dalam program pengobatan.
§ Klien
akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat
lanjutan .
Rencana
tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas
berat selama 3-4 minggu .
2.
Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan
memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000
ml/hari.
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada
dokter.
5.
Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
Rasional:
1.
Dapat menimbulkan perdarahan .
2.
Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan
mengedan pada waktu BAB .
3. Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan
darah .
4.
Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5.
Untuk membantu proses penyembuhan .
g
. Gangguan tidur sehubungan dengan
nyeri
Tujuan:
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
Kriteria
hasil:
§ Klien
mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
§ Klien
mengungkapan sudah bisa tidur .
§ Klien
mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana
tindakan:
1.
Jelaskan pada klien
dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
2.
Ciptakan suasana yang
mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .
3.
Beri kesempatan klien
untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
4.
Kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
Rasional:
1.
meningkatkan
pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan
2.
Suasana tenang akan
mendukung istirahat .
3.
Menentukan rencana
mengatasi gangguan .
4.
Mengurangi nyeri
sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .
4. PELAKSANAAN ( 12 )
Pelaksanaan
adalah realisasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien, baik
sebelum operasi dan sesudah operasi. Beberapa petunjuk pada implementasi adalah
sebagai berikut: 1 ) Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah
divalidasi; 2 ) Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal, dilakukan
dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat; 3 ) Keamanan fisik dan
psikologis dilindungi; 4 ) Dokumentasi intervensi dan respon klien.
5. EVALUASI
Evaluasi
adalah bagian akhir dari proses keperawatan . Semua tahap proses keperawatan (
diagnosis, tujuan, intervensi ) harus dievaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk
apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan
pengkajian ulang .( 12 )
Ada
tiga alternatif yang dapat dipakai perawat dalam memutuskan, sejauh mana tujuan
yang telah ditetapkan itu tercapai, yaitu tujuan tercapai, tujuan tercapai
sebagian dan tujuan tidak tercapai. Untuk dapat menilai maka dilihat dari
perilaku klien sebagai berikut: ( 13 )
1.
Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan perilaku pada waktu atau tanggal
yang telah ditentukan, sesuai dengan pernyataan tujuan.
2.
Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan perilaku, tetapi
tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan .
3.
Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali
menunjukkan perilaku yang diharapkan, sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Carpenito, Lynda
Juall. 1998. Buku Saku Diagnosa
Keperawatan, edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
2.
Carpenito, Lynda
Juall. 1998. Rencana Asuhan dan
Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, edisi 2.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC
3.
Doenges, Marilyn E.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran, EGC
4.
Lab UPF Ilmu Bedah,
1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
5.
Long, Barbara C.
1996. Pendekatan Medikal Bedah 3, Suatu
pendekatan proses keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan Padjajaran.
6.
Sjamsuhidayat, R ( et
al ). 1997. Buku Ajar Bedah. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran, EGC.
7.
Purnawan Junadi,
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 2. Media
Aeskulapius, FKUI 1982.
ConversionConversion EmoticonEmoticon