BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Penyakit TB Paru adalah penyakit infeksi
dan menular yang menyerang paru-paru yang disebabkan oleh kuman Micobacterium
Tuberkulosis.
Saat ini secara epidemilogi menurut WHO
terdapat 10 – 12 juta penderita TB Paru dan mempunyai kemampuan untuk menular,
dengan angka kematian 3 juta penderita tiap tahun, dan keadaan tersesebut 75 %
terdapat di Negara yang sedang berkembang dengan sosial ekonomi rendah seperti
Indonesia. Di Indonesia penyakit TB Paru merupakan penyakit rakyat nomor satu
dan penyebab kematian nomor tiga.Prevalensi BTA positif adalah 0,3 %
(1982).Prevalensi pasien di dunia saat ini adalah sekitar 20 juta orang dan
terdapat 3 juta pasien yang meninggal setiap tahunnya karena TB Paru, dan pada
survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Depkes RI 1986TB Paru menduduki urutan 10
morbiditas dan urutan ke-4 mortalitas. Pada SKRT tahun 1992 mortalitas ini
meningkat ke urutan ke-2.
Berdasarkan
informasi dari WHO tahun 1998, program TB Paru di Indonesia masih menempati
rangking ke-3 di dunia setelah India dan RRC. Hal ini bisa dilihat dari angka
kematian yang masih cukup tinggi yaitu sekitar 2,2 per-1000 penduduk. Dari
angka tersebut setiap tahun di Indonesia muncul sejumlah kasus baru sekitar
436.000 kasus. Sedangkan menurut laporan stratifikasi puskesmas Ngagel Rejo
Kodya Surabaya, jumlah klien TB Paru positif
yang ditemukan dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 tercatat 94
penderita TB Paru positif serta telah mendapat pengobatan program
sedangkan tersangka TB Paru berdasarkan klinis sejumlah 217
orang, hingga saat ini belum dilakukan pemeriksaan Mikroskopis maupun
Radiologis.
Jika hal ini
tidak mendapat perhatian dan penanganan yang tepat,cepat,segera dan intensif,
maka prevalensi penyakit ini akan terus
meningkat serta resiko penularan pun semakin tinggi. Permasalahan yang sering
timbul pada klien TB Paru pada kasus keluarga adalah terjadinya penularan pada
anggota keluarga yang lain, droup out obat, terjadi gangguan peran, dan
hubungan dalam keluarga maupun masyarakat karena proses penyakit, koping
individu serta koping keluarga yang tidak efektif.
Untuk mengatasi
permasalahan tesebut, maka diharapkan perawat dapat membantu keluarga agar mampu melaksanakan tugas-tugas
kesehatan keluarga, sehingga peran - peran perawat adalah sebagai berikut :
1.
Memberi asuhan keperawatan
kepada keluarga yang sakit.
2.
Pengenal, pengamat masalah dan
kebutuhan kesehatan keluarga.
3.
Koordinator pelayanan kesehatan
dan keperawatan kesehatan keluarga.
4.
Fasilitator, menjadikan pelayanan
kesehatan itu mudah dijangkau dan perawat dengan mudah dapat menampung
permasalahan yang dihadapi keluarga dan membantu mencarikan jalan pemecahannya.
5.
Pendidik kesehatan, perawat
dapat berperan sebagai pendidik untuk merubah perilaku keluarga dari perilaku
tidak sehat menjadi perilaku sehat.
6.
Penyuluh dan konsultasi,
perawat dapat berperan dalam memberikan petunjuk tentang asuhan keperawatan
dasar terhadap keluarga disamping menjadi penasehat dalam mengatasi
masalah-masalah kesehatan keluarga ( Drs. Nasrul Efendy, 1995 ).
B.
Batasan masalah.
Mengingat
keterbatasan waktu, tenaga dan kemampuan serta kompleksnya permasalahan yang
ada pada keluarga yang menderita TB Paru
maka penulis membatasi ruang lingkup pembicaraan yaitu “ Asuhan
keperawatan keluargadengan salah satu anggotanya menderita TB Paru melalui
pendekatan proses keperawatan.
C.
Tujuan penulisan
1.
Tujuan umum.
Untuk megetahui
asuhan keperawatan tuan X yang salah satu anggota keluarganya menderita TB Paru
di wilayah kerja puskesmas Ngagel Rejo Kodya Surabaya.
2.
Tujuan khusus.
Mengetahui pendekatan proses keperawatan :
a.
Pengumpulan data.
b.
Analisa data yang diperoleh.
c.
Merumuskan masalah kesehatan
keluarga.
d.
Memprioritaskan masalah dengan
system scoring.
e.
Menentukan diagnosa
keperawatan.
f.
Menyusun rencana.
g.
Melaksanakan tindakan
keperawatan yang telah dibuat.
h.
Mengevaluasi hasil asuhan
keperawatan yang telah dilaksanakan.
D.
Metodologi.
1.
Metode penulisan.
Adapun metode yang
digunakan dalam penulisan karlis ini adalah sebagai berikut :
a.
Metode Deskriptif.
Adalah metode yang digunakan
untuk mengungkapkan peristiwa dan bertujuan
pada pemecahan masalah yang terjadi di masa kini dan hasil digunakan
pada saat sekarang.
b.
Studi kepustakaan.
Mencari
informasi melalui beberapa buku atau literature yang ada di perpustakaan dan
dijadikan landasan teori dalam memberikan suatu pelayanan keperawatan maupun
dalam penyusunan karlis.
c.
Studi kasus
Memberi aasuhan keperawatan pada kelurga tuan X untuk memperoleh
gambaran kondisi yang sebenarnya tentang pelaksanaan asuhan keperawatan dengan
metode pendekatan proses keperawatan .
2.
Lokasi dan waktu.
a.
Lokasi
Dalam meberikan asuhan
keperawtan pada kelarga X yang salah satu
anggota keluarganya mendeita TB Paru, maka lokasi yang dipilih adalah Puskesmas Ngagel Rejo
Kecamatan Wonokromo Kodya Surabaya.
b.Waktu.
c. Tehnik pengumpulan data.
1.
Observasi
2.
Wawancara
3.
Pemeriksaan fisik
4.
Pemeriksaan penunjang:
-
Laboratorium
-
Radiologi
d. Sumber data
1.
Data primer
2.
Data sekunder:
-
Informasi petugas PHN
-
Family folder
-
Catatan medik puskesmas
-
Hasil pemeriksaan
-
Laporan stratifikasi
d.
Tehnik sampling
Pemilihan
keluarga yang akan diasuh berdasarkan
petunjuk dari puskesmas.
E.
Sistimatika penulisan.
Dalam upaya
pembuatan karlis ini, penulis menggunakan sistimatika sebagai berikut :
1.
Bab pertama : pendahuluan yang
menguraikan tentang latar belakang masalah, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistimatika penulisan.
2.
Bab kedua : tinjauan pustaka
yang menguraikan tentang konsep dasar terdiri dari : pengertian, asuhan
keperawatan, dampak masalah, factor-faktor yang mempengaruhi kesehatan keluarga
kemudian dilanjutkan dengan asuhan keperawatan yang terdiri dari : pengkajian,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
3.
Bab ketiga tinjauan kasus :
menguraiakn tentang asuhan keperawatann keluarga secara nyata yang meliputi
pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
4.
Bab keempat pembahasan yang
menguraikan kesenjangan antara bab dua dan bab tiga dengan mengacu pada tujuan
penulisan.
5.
Bab kelima penutup yang
menguraikan kesimpulan dan saran sebagai jawaban terhadap tujuan penulisan
kemudian dilanjutkan dengan daftar pustaka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Dasar
1.
Keperawatan kesehatan
keluarga.
a.
Pengertian.
1.
Keluarga
Banyak ahli menguraikan pengertian tentang keluarga sesuai
dengan perkembangan social masyarakat . Berikut akan diuraikan
pengertian keluarga.
1.1.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan. ( Drs.
Nasrul Efendy ).
1.2. Keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga beserta beberapa orang anggotanya
yang terkumpul dan tinggal dalam satu tempat karena pertalian darah, ikatan
perkawinan, atau adopsi yang satu sama lainnya saling tergantung dan
beriteraksi. ( Dep.Kes. RI 1988 ).
1.3. Keluarga adalah dua atau lebih dari dua
individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau
pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama
lain dan di dalam peranannya masing- masing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu kebudayaan. (
Salvicion G Bailon dan Aracelis Maglaya 1989 ).
1.4. Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan,
kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya,
dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta social dari tiap
anggota keluarga ( Duvall dan Logan 1986 ).
1.5. Keluarga adalah kelompok dua orang atau lebih yerhubungan
karena kelahiran dari perkawinan, adopsi atau tinggal bersama dalam suatu rumah
tangga ( National Center For Health Statistics 1990 ).
Secara tradisional keluarga
didefinisikan sebagai hubungan nuklir
keluarga ( ibu, ayah, dan anak-anak muda ) dimana orang tuanya tetap
bersama keluarga selama siklus penghidupan. Pola keluarga tradisional ditandai
dengan legalisasi sepanjang masa, perkawinan eksklusif diantara seorang wanita
dan seorang laki-laki dengan anak-anak di mana si pria merupakan pencari nafkah
dan pejabat yang tertinggi ( Mackin, 1987 ).
Dari beberapa
pengertian tentang keluarga tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah :
1.
Terdiri dari dua atau lebih
individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi.
2.
Anggota keluarga biasanya hidup
bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.
3.
Anggota keluarga berinteraksi
satu sama lain dan masing- masing mempunyai peran social : suami, istri, anak,
kakak dan adik.
4.
Mempunyai tujuan; menciptakan
dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan
social keluarga.
2. Perawatan kesehatan keluarga.
Perawatan
kesehatan keluarga menurut Salvian G. Bailon dan Aracelis Maglaya, 1978 adalah
tingkat perawatan kesehatan masyarakat yang ditujukan atau dipusatkan pada
keluarga sebagai unit atau satu kesatuan yang dirawat dengan sehat sebagai
tujuan dan melalui perawatan sebagai sasaran.
b.
Type-type keluarga :
b.1. Keluarga inti ( Nuclear
family ) yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.
b.2. Keluarga besar (
Exstended family ) yaitu keluarga inti ditambah dengan
sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman,
bibi dan sebagainya.
b.3. Keluarga berantai ( serial family ) yaitu
keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali
dan merupakan satu keluarga inti.
b.4. Keluarga duda/janda ( single family ) yaitu
keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian.
b.5. Keluarga berkomposisi ( Composite ) yaitu keluarga yang
perkawinannya berpoligami dan hidup
secara bersama.
b.6. Keluarga kabitas (
Cahabitation ) yaitu dua orang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk
suatu keluarga.
c.
Fungsi keluarga.
Friedman ( 1986
) mengidentifikasikan lima fungsi dasar keluarga, yaitu:
c.1. Fungsi afektif.
Fungsi afektif
berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga, yang merupakan basis kekuatan
keluarga. Fungsi afektif berguna untuk
pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan fungsi afektif
tampak pada kebahagiaan dan kegembiraan dari seluruh anggota keluarga. Tiap
anggota keluarga saling mempertahankan iklim yang positif. Dengan demikian
keluarga yang berhasil melaksanakan fungsi afektif, seluruh anggota keluarga
dapat mengembangkan konsep diri yang positif. Komponen yang perlu dipenuhi oleh
keluarga dalam melaksanakan fungsi afektif adalah ; saling mengasuh, cinta
kasih, kehangatan, saling menrima, saling mendukung, saling menghargai, dan
ikatan antar anggota keluarga dikembangkan melalui proses identifikasi dan
penyesuaian pada berbagai aspek kehidupan anggota keluarga.
Kesimpulan bahwa
fungsi afek merupakan sumber energi yang menentukan kebahagiaan keluarga.
Keretakan keluarga, kenakalan anak atau masalah keluarga timbul karena fungsi
afektif yang tidak terpenuhi.
c.2. Fungsi social.
Sosialisasi
adalah proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu, yang menghasilkan interaksi social
dan belajar berperan dalam lingkungan social ( Friedman, 1986 ). Keberhasilan
perkembangan individu dan keluarga dicapai melalui interaksi atau hubungan
antar anggota keluarga yang diujudkan dalam sosialisasi. Anggota keluarga
belajar disiplin, belajar norma – norma, budaya dan perilaku melalui hubungan
dan interaksi dalam keluarga.
c.3. Fungsi Reproduksi.
Keluarga
berfungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya
manusia. Dengan adanya program keluarga berencana maka fugsi ini sedikit
terkontrol.
c.4. Fungsi Ekonomi.
Fungsi ekonomi
merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarg,
seperti kebutuhan akan makan, pakaian, dan tempat untuk berlindung ( rumah ).
c.5. Fungsi Perawatan
Kesehatan.
Keluarga juga
berfungsi untuk melaksanakan praktek asuhan kesehatan yaitu untuk mencegah
terjadinya gangguan kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan
keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan mempengaruhai status kesehatan
keluarga. Kesanggupan keluarga dalam melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat
dilihat dari tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat
melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan
keluarga. Adapun tugas kesehatan keluarga
(Friedman, 1998) adalah ;
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat,
memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit, mempertahankan atau
menciptakan suasana rumah yang sehat dan mempertahankan hubungan dengan
(menggunakan ) fasilitas kesehatan masyarakat.
2.
Penyakit Tubercolusis
Paru.
A. Definisi.
Tuberkolosis
paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru- paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis
B. Etiologi.
Jenis kuman
yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 mm dan tebal antara 0,3 – 0,6 mm. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman ini tahan
terhadap asam dan lebih tahan terhadap fisik dan kimiawi. Sifat lain dari kuman
ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih
menyenangi daerah yang tinggi kandungan oksigennya yaitu daerah apikal paru,
daerah ini menjadi prediksi pada penyakit paru.
C. Pathofisiologi.
Tempat masuk
kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka
terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui
udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil
tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis
adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel
efektorya adalah makrofag, sedangkan limfosit ( biasanya sel T ) adalah sel
imunoresponsifnya. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya
diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil ;
gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar
bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus,
basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear
tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh
organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia
akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada
sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus
difagosit atau berkembang-biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah
bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan
infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel
tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan
waktu 10 – 20 hari .
Nekrosis bagian
sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa.
Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa
dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan
fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru
dinamakan fokus Ghon dan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat
terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam
bronkhus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari
dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini
dapat terulang kembali di bagian lain di paru-paru, atau basil dapat terbawa
sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga
serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi
ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang
kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut
fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan tertutup
oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan
perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung
sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi
berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu
lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan
aktif.
Penyakit dapat
menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos melalui
kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang
kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran
ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri.
Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan
tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah
sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke
organ-organ tubuh.
D. Komplikasi.
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem
pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain
menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem
pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus, meningitis serosa, dan tuberkulosis
milier.
E. Tanda dan gejala.
Pada stadium dini penyakit TBC biasanya tidak tampak adanya tanda
dan gejala yang khas. Biasanya keluhan
yang muncul adalah :
1.
Demam : sub fibril, fibril ( 40
– 410C ) hilang timbul.
2.
Batuk : terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus; batuk ini membuang / mengeluarkan produksi radang,
dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent ( menghasilkan sputum ).
3.
Sesak nafas : terjadi bila
sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
4.
Nyeri dada : ini jarang
ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis.
5.
Malaise : ditemukan berupa
anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan keringat di waktu
di malam hari.
F. Pemeriksaan Diagnostik
dan Pengobatan TB Paru .
a.
Pemeriksaan Diagnostik.
1.
Kultur sputum
Positif jika
ditemukan mikobakterium tuberkulosis dalam stadium aktif pada perjalanan penyakit.
2.
Ziehl-Neelsen (pewarnaan
terhadap sputum)
Positif jika ditemukan bakteri tahan asam.
3.
Skin test (PPD, Mantoux, Tine,
Vollmer patch)
Reaksi positif
(area indurasi > 10 mm timbul 48 – 72 jam setelah injeksi antigen
intra kutan) menunjukkan telah terjadinya infeksi dan dikeluarkannya antibodi
tetapi tidak menunjukkan aktifnya penyakit.
4.
Elisa/Western Blot
Dapat menunjukkan adanya virus HIV.
5.
Rontgen dada
Menunjukkan
adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan kalsium dari lesi
primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang menunjukkan perkembangan
tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
6.
Pemeriksaan histologi/kultur
jaringan
Positif bila
terdapat mikobakterium tuberkulosis.
7.
Biopsi jaringan paru
Menampakkan
adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan
terjadinya nekrosis.
8.
Pemeriksaan elektrolit
Mungkin
abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, misalnya hipernatremia yang
disebabkan retensi air mungkin ditemukan pada penyakit tuberkulosis kronis.
9.
Analisa gas darah (BGA)
Mungkin
abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan jaringan paru.
10. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang rugi, meningkatnya
rasio residu udara pada kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen
sebagai akibat infiltrasi parenkim/fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan
kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis kronis).
b.
Pengobatan.
Sejak
ditemukannya obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi, kemudian
mulai timbul masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan
secara paduan beberapa obat ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang
tinggi dan memperkecil jumlah kekambuhan.
Paduan obat
jangka pendek 6 – 9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan dianjurkan
juga oleh WHO adalah 2 RHZ/4RH dan variasi lain adalah 2 RHE/4RH, 2 RHS/4RH, 2
RHZ/4R3H3/ 2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB paru yang berat ( milier ) dan TB Ekstra Paru, therapi tahap
lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni 2RHZ/7RH. Departemen Kesehatan RI
selama ini menjalankan program pemberantasan TB Paru dengan panduan 1RHE/5R2H2.
Bila pasien
alergi/hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka panjang 12 –
18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.
Beberapa obat
anti TB yang dipakai saat ini adalah :
1.
Obat anti TB tingkat satu
Rifampisin ( R
), Isoniazid ( I ), Pirazinamid ( P ), Etambutol ( E ), Sterptomisin ( S ).
2.
Obat anti TB tingkat dua
Kanamisin ( K
), Para-Amino-Salicylic Acid ( P ),Tiasetazon ( T ), Etionamide, Sikloserin,
Kapreomisin, Viomisin, Amikasin, Ofloksasin, Sifrofloksasin, Norfloksasin,
Klofazimin dan lain-lainl. Obat anti TB tingkat dua ini daya terapeutiknya
tidak sekuat yang tingkat satu dan beberapa macam yang teakhir yaitu golongan
aminoglikosid dan quinolon masih dalam tahap eksperimental.
Belakangan ini WHO menyadari bahwa pengobatan jangka pendek tersebut
baru berhasil bila obat-obat yang relatif mahal ( R & Z ) tersedia sampai
akhi masa pengobatan. Di beberapa negara berkembang, pengobatan jangka pendek
ini banyak yang gagal mencapai angka kesembuhan yang ( cure rate ) ditargetkan
yakni 85 % karena :
-
Program pemberantasan kurang
baik
-
Buruknya kepatuhan berobat
Hal ini
menyebabkan :
-
Populasi TB semakin meluas
-
Timbulnya resistensi terhadap
bermacam obat
Adanya epidemi
AIDS akan lebih mengobarkan kembali aktifnya TB.
Menyadari
bahaya tersebut di atas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan pernyataan baru dalam
pengobatan TB Paru sebagai berikut :
Pengobatan
tetap dibagi dalam dua tahap yakni
1.
Tahap intensif ( initial ), dengan
memberikan 4 – 5 macam obat anti TB per hari dengan tujuan :
-
Mendapatkan konversi sputum
dengan cepat ( efek bakterisidal )
-
Menghilangkan keluhan dan
mencegah efek penyakit lebih lanjut
-
Mencegah timbulnya resistensi
obat
2.
Tahap lanjutan ( continuation phase
), denga hanya memberikan 2 macam obat per hari atau secara intermitten dengan
tujuan :
-
Menghilangkan bakteri yang
tersisa (efek sterilisasi )
-
Mencegah kekambuhan
Pemberian dosis
diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan lebih
dari 50 kg.
Pengobatan
dibagi atas 4 katagori yakni :
1.
Katagori I
Ditujukan terhadap :
-
Kasus baru dengan sputum
negatif
-
Kasus baru dengan bentuk TB berat seperti
meningitis, TB diseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis
dengan gangguan neurologis, kelainan paru yang luas dengan BTA negatif, TB
usus, TB genito urinarius.
Pengobatan
tahap intensif adalah dengan paduan 2RHZS ( E ). Bila setelah dua bulan BTA
menjadi negatif, diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah dua bulan masih
positif, tahap intensif diperpanjang lagi selama 2 – 4 minggu dengan 4 macam
obat. Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah pada tahap
intensif cukup diberikan 3 macam obat yakni RHZ.
Pengobatan
tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4R3H3. Pasien dengan TB berat (
meningitis, TB diseminata, spondilitis dengan kelainan neurologis ), R dan H
harus diberikan setiap hari selama 6 – 7 bulan. Paduan obat alternatif adalah 6
HE ( T ).
2.
Kategori II
Ditujukan terhadap :
-
Kasus kambuh
-
Kasus gagal dengan sputum BTA
positif
Pengobatan
tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE/1RHZE. Bila setelah tahap intensif
BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3
bulan tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut
diperpanjang lagi 1 bulan dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga
positif pengobatan dihentikan selama 2 – 3 hari, lalu diperiksa biakan dan
resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila
pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih sensitif
terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap
lanjutan harus diawasi dengan ketat di RS rujukan. Kemungkinan konversi sputum
masih cukup besar. Bila data menunjukkan resiten terhadap R dan H, maka
kemungkinan keberhasilan menjadi kecil.
Pengobatan tahap lanjutan
adalah dengan paduan 5 RHE atau paduan 5
R3H3E3 yang perlu diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih tetap positif
setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu diobati lagi.
3.
Kategori III
Ditujukan terhadap :
-
Kasus BTA negatif dengan
kelainan paru yang tidak luas.
-
Kasus TBC ekstra paru selain
yang disebut dalam kategori I
Pengobatan
tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3
Pengobatan tahap
lanjutan dengan panduan 2RH atau 2 R3H3. Bila kelainan paru lebih luas dari 10
cm2 atau pada TB ekstra paru yang belum remisi sempurna, maka tahap lanjutan
diperpanjang lagi dengan H saja selama empat bulan lagi. Paduan obat alternatif
adalah 6 HE ( T )
4.
Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus TB kronik.
Prioritas
pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat anti TB
(sedikitnya R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu
dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat anti TB tingkat dua yang kurang
begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis.
Di negara yang
maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental sesuai dengan
sensitivitasnya, sedangkan di negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H
seumur hidup dengan harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan.
Departemen Kesehatan RI dalam program baru pemberantasan TB paru
telah mulai dengan paduan obat : 2 RHZE/4 R3HE ( kategori I ), 2 RHZSE/1 RHZE/5
R3H3E3 ( kategori II ), 2 RHZ/2 R3H3 ( kategori IV ).
7. Evaluasi Pengobatan.
Kemajuan
pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis ( hilangnya keluhan, nafsu
makan meningkat, berat badan naik dan lain-lain ), berkurangnya kelainan
radiologis paru dan konversi sputum menjadi negatif.
Kontrol terhadap
sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang
memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan
8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan.
Pmeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi pasien yang mendapat pengobatan
ulang ( retreatment ).
Kontrol terhadap
pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan dalam evaluasi pengobatan.
Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai
dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh.
Untuk mengetahui
efek samping obat ( yang terbanyak hepatitis ), perlu pemeriksaan darah
terhadap enzim hati, bilirubin, kreatinin/ureum, darah perifer. Asam urat darah
perlu diperiksa bagi yang memakai obat Z. bila terdapat hepatitis karena obat (
kebanyakan karena R dan H ), maka obat yang hepatotoksis diganti dengan yang
non-hepatotoksis. Pemberian steroid dapat dipertimbangkan. R atau H kemudian
dapat diberikan kembali secara desensitisasi. Tes mata untuk warna perlu bagi
yang memakai E, sedangkan tes audiometri perlu bagi yang memakai S.
Resistensi obat
sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1 – 2 bulan pengobatan tahap intensif tidak
terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap
obat anti TB makin meningkat dan sudah mencapai 9 %. Di negara yang sedang
berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah
resisten terhadapobat anti TB saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara
PCR-SSCP ( Single Stranded Confirmation Polymorphism ) dalam waktu satu hari.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 99% BTA yang resisten terhadap R, 70% terhadap
H, dan 60% terhadap S.
3.
Dampak masalah.
a.
Terhadap individu.
1.
Biologis.
Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk
yang terus menerus, sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang panas yang tinggi.
2.
Psikologis.
Biasanya klien mudah tersinggung , marah,
putus asa oleh karena batuk yang terus menerus sehingga keadaan sehari-hari
yang kurang menyenangkan.
3.
Sosial.
Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu
dengan keadaan penyakitnya sehingga klien selalu mengisolasi dirinya.
4.
Spiritual.
Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan
tuhan karena penyakitnya yang tidak sembuh-sembuh juga menganggap penyakitnya
yang manakutkan
( Bailon Maglaya, 1989 ).
5.
Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.
b. Terhadap keluarga.
3.
Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena
kurang pengetahuan dari keluarga
terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan penatalaksanaan pengobatan
dan upaya pencegahan penularan penyakit.
4.
Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala keluarga yang
berperan sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan menghambat biaya hidup
sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan.
5.
Psikologis.
Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh
keluarga yang lain.
6.
Sosial.
Keluarga merasa malu dan
mengisolasi diri karena sebagian besar
masyarakat belum tahu pasti tentang penyakit TB Paru ( Lismidar,1990 )
c. Terhadap masyarakat.
Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta pengobatan
Penderita TB Paru positif tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko
penularan pada masyarakat luas akan terjadi oleh karena cara penularan penyakit
TB Paru
ConversionConversion EmoticonEmoticon