Salam Sehat dan Harmonis

-----

Penyakit serebro vaskuler (CVA)


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penyakit serebro vaskuler (CVA) atau stroke yang menyerang kelompok usia diatas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah otak. Perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan visikositas maupun kualitas darah sendiri perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif atau sekunder akibat proses lain, seperti peradangan, arteri sklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus. Karena itu penyebab stroke sangat kompleks (Yusuf Misbach, 1999).
Menurut WHO angka kecacatan akibat stroke sekitar 50-60% dari prevalensi stroke. Seperlima sampai separuh penderita stroke dapat melaksanakan aktivitas hidup seharian tanpa bantuan, tapi seperempat sampai dua pertiga dari mereka menyandang cacat permanen (Soewarno, B, Veno Sri, L, 1984).
Pada konferensi framingham USA dijelaskan bahwa setiap tahun 20 tahun tindak lanjut dari stroke yang hidup terus pada kelompok umur 45 sampai 74 tahun, ditemukan bahwa 31% memerlukan bantuan untuk perawatan diri, 20% memerlukan pertolongan dengan cara ambulasi, 71% mengalami gangguan bicara, dan 16% mengalami kecacatan sementara atau permanen. Sedangkan di negara industri seperti Inggris stroke merupakan penyebab kematian nomer ketiga setelah kanker dan jantung. Insiden 150 per 100.000 penduduk. Laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita (1,3:1), sekitar 85% klien stroke berumur diatas 65 tahun (1,4) angka kematian pada stroke sekitar 30% (Lumbantobing M, S, 2000). Sedangkan di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya total stroke pada tahun 2001 mencapai 0,6% yang menyerang pada usia 15-24 tahun, 11,4% menyerang pada usia 25-44 tahun, 49,3% menyerang pada usia 45-64 tahun, 39,1% menyerang pada usia 65 tahun. Dan pada tahun 2002 mencapai 5,8% yang menyerang pada usia 25-44 tahun, 60,8% pada usia 45-64 tahun, 33,3% menyerang pada usia 65 tahun. Stroke merupakan penyebab kematian pertama setelah jantung dan sepsis, serta menduduki urutan keempat dari 10 macam penyakit yang ada di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.
Mobilisasi dini pada pasien pasca stroke dapat mempercepat kepulihan kekuatan otot, tapi itu semua harus didukung dari perilaku pasien tersebut. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dalam melaksanakan mobilisasi dini adalah: pengetahuan, sikap, keterampilan, fasilitas kesehatan, perilaku dari petugas kesehatan itu sendiri (Notoatmodjo, 1993). Dalam pencegahan terjadinya komplikasi adalah tugas kita bersama antara dokter, perawat dan petugas fisiotherapi. Para ahli neurologi telah memprogram mobilisasi dini pasca stroke karena diharapkan dapat mempercepat pemulihan kekuatan otot, tulang dan persyarafan. Program ambulasi dan latihan mobilisasi dini sudah dilakukan sedini mungkin tapi masih sering menunjukkan komplikasi yang merugikan penderita (Rochani, 1993).
Pada kenyataannya penanganan mobilisasi dini dan pasif yang dilakukan oleh petugas fisiotherapi pada pagi hari dan jam kerja hanya 15 menit dirasakan sangat kurang, waktu selebihnya mobilisasi dini dilakukan oleh tenaga perawat. Hal inilah yang menurut penulis kemungkinan yang menyebabkan pelaksanaan mobilisasi dini dan pasif tidak bisa dilakukan secara maksimal. Untuk itu penulis ingin meneliti bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan pada latar belakang dan kenyataan yang ada maka penulis merumuskan masalah keperawatan sebagai berikut:
1.       Adakah hubungan antara tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya ?
2.       Adakah hubungan antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya ?

1.3  Tujuan Penelitian
1.3.1   Tujuan Umum
Mengidentifikasi hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke.
1.3.2   Tujuan Khusus
1.      Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.
2.      Menganalisis hubungan antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.

1.4  Manfaat Penelitian
1.      Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan tentang manfaat mobilisasi dini pasif dan aktif pada pasien pasca stroke.
2.      Bagi Penderita
Dengan intervensi pelaksanaan mobilisasi dini yang tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi sehingga lebih memperpendek hari rawat inap.
3.      Bagi Perawat
1).    Meningkatkan kemampuan perawat dalam mobilisasi dini pasif dan aktif.
2).    Masukan bagi ilmu keperawatan tentang manfaat mobilisasi dini pasif dan aktif.
4.      Bagi Rumah Sakit
Petugas kesehatan dapat lebih meningkatkan frekuensi latihan gerak pada pasien pasca stroke supaya dapat meminimalkan penyulit-penyulit yang akan timbul akibat kurang latihan gerak.

1.5  Relevansi
Keadaan kesehatan pasien dengan kelumpuhan darah extremitas merupakan hal yang sangat penting dalam proses pemulihan. Salah satu upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penyulit-penyulit yang akan timbul adalah dengan melaksanakan latihan gerak atau ambulasi. Manfaat mobilisasi diantaranya adalah mencegah kelemahan dan atropi otot, kontraktur sendi dan ulkus dekubitus. Pentingnya manfaat mobilisasi dini tersebut maka dapat memberikan motivasi bagi dunia keperawatan untuk lebih meningkatkan pelayanan khususnya pada pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien dengan pasca stroke. Karena salah satu indikator utama keberhasilan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan adalah penurunan angka kesakitan. Tentang perawat sebagai care giver sangat membantu untuk menyembuhkan pasien dengan membantu melakukan mobilisasi.





BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1   Gambaran Tentang CVA atau Stroke
2.1.1   Definisi
Stroke adalah suatu gangguan fungsi neurologis yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah yang dapat timbul secara mendadak atau dalam beberapa detik dan secara cepat atau dalam beberapa jam.
Gejala-gejala dan tanda-tanda sesuai dengan daerah foka di otak yang terganggu yang tidak termasuk dalam definisi ini adalah syncope, baik yang disebabkan oleh gangguan fungsi jantung maupun yang non jantung karena tidak adanya gangguan atau gejala-gejala fokal dari otak.

2.1.2   Patogenesis
Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah infark otak. Pecahnya pembuluh darah diotak dibedakan menurut anatominya atas perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Pada perdarahan intraserebral, pembuluh yang pecah terdapat didalam otak atau pada massa otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, pembuluh yang pecah terdapat di ruang subarakhnoid, di sekitar sirkulus arteriosus willisi.
Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh kerusakan dindingnya arterosklerosis atau karena kelainan kongenital misalnya informasi arteri-vena, infeksi sifilis, dan trauma.

1.      Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroneurisma akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi didaerah subkortikal, serebelum, pons dan batang otak. Perdarahan di daerah korteks lebih sering disebabkan oleh sebab lain misalnya tumor otak yang berdarah, malformasi pembuluh darah otak yang pecah, atau penyakit pada dinding pembuluh darah otak primer misalnya congophilie angiopathy, tetapi dapat juga akibat hipertensi maligna dengan frekuensi lebih kecil daripada perdarahan subkortikal.
2.      Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan terjadi biasanya akibat pecahnya aneurisma kongenital yang sering terjadi di arteri komunikans anterior, arteri serebri media atau dekat pangkalnya. Arteri serebri anterior dan arteri komunikans posterior, gejala timbul sangat mendadak berupa sakit kepala hebat dan muntah-muntah. Darah yang masuk keruang subarakhnoid dapat menyebabkan komplikasi hidrosefalus karena gangguan absorbsi cairan otak di granulatio pacchioni.

2.1.3   Gejala Klinik
Manifestasi klinik stroke sangat tergantung kepada daerah otak yang terganggu aliran darahnya dan fungsi daerah otak yang menderita iskemia tersebut. Karena itu pengetahuan dasar dari anatomi dan fisiologi aliran darah otak sangat penting untuk mengenal gejala-gejala klinik pada stroke, berdasarkan vaskularisasi otak, maka gejala klinik stroke dapat dibagi atas 2 golongan besar yaitu:
1.      Stroke pada sistem karotis atau stroke hemisferik.
2.      Stroke pada sistem vertebro-basilar atau stroke fossa posterior
Salah satu ciri stroke adalah timbulnya gejala sangat mendadak dan jarang didahului oleh gejala pendahuluan atau warning signs seperti sakit kepala, mual, muntah dan sebagainya.
Gejala pendahuluan yang jelas berhubungan dengan stroke adalah serangan iskemia sepintas dan ini diketahui melalui anamnesis yang baik pada stroke akut. Selain gejala-gejala yang timbul mendadak dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam dan mulai serangan sampai mencapai maksimal. Tidak pernah terjadi dalam beberapa hari atau apalagi dalam 1-2 minggu. Kalau terjadi demikian, bukan disebabkan stroke tetapi oleh sindroma stroke karena tumor, primer maupun metastatik, trauma, peradangan dan lain-lain (Chandra B, 1994).

2.1.4   Faktor Resiko
1.      Hipertensi arteri
Baik hipertensi sistolik atau diastolik maupun kombinasi sistolik dan diastolik adalah merupakan resiko baik iskemik maupun hemoragik stroke.
2.      Diabetes mellitus atau kencing manis
Hingga kini belum dapat dibuktikan bahwa diabetes yang terkontrol dapat mengurangi insiden stroke. Yang pasti adalah bahwa mencegah hiperglikemia dapat mengurangi meluasnya kerusakan otak pada fase akut stroke.
3.      Penyakit Jantung
Penyakit jantung seperti rheumatic, coronary heart disease, IMA merupakan resiko stroke.
4.      Obesitas atau kegemukan
5.      Merokok
6.      Alkohol
7.      Genetika
8.      Infeksi
9.      Kadar lipid yang meningkat

2.1.5   Komplikasi
Pada penderita gangguan kesadaran dibidang bedah saraf sering mengalami hemiplegi akibat ketidaksadaran dan hemiplegi tersebut menyebabkan penderita CVA mengalami tirah baring yang lama. Hal ini mengakibatkan beberapa masalah pada sistem kulit, tulang dan pernafasan sebagai berikut:
1.      Ulkus Dekubitus
Definisi adalah suatu daerah yang mati jaringan disebabkan karena kurangnya peredaran darah di daerah tertentu (Poerwadi T, 1990).
Penyebab:
a.       Karakteristik: tekanan, panas, baik oleh karena febris maupun karena exposure dengan panas, kebasahan (urine, keringat, hygiene yang jelek)
b.      Nutrisi: defisiensi nutrisi
c.       Anemia
d.      Infeksi
e.       Mobilisasi yang lama
2.      Kontraktur sendi
Adalah keterbatasan luas gerak sendi yang disebabkan oleh pemendekan jaringan lunak sekitar sendi (Poerwadi T, 1990).
a.       Penyebab:
Imobilisasi lama, mempertahankan posisi yang salah atau tertentu. Sendi tidak digerakkan pada seluruh luar gerak sendinya.
b.      Gejala klinis
Luas gerak sendi terbatas, nyeri bila digerakkan, sendi terasa kaku.
3.      Atropi otot
Cicilia menjelaskan bahwa atropi terjadi apabila tidak melakukan aktifitas secara penuh dengan menggunakan kekuatan dari otot, maka kekuatannya akan berkurang kira-kira 50% setelah 2 minggu. Hal ini tentunya amat mengganggu program ambulasi dini.
4.      Orthustatic pneumonia
Adalah suatu keadaan infeksi pada saluran pernapasan yang menimbulkan penumpukan sputum disebabkan oleh karena tirah baring lama (Rochani, 1993). Penyebab pasien tidak sadar, tirah baring terlalu lama, keadaan umum yang lemah.

2.2   Mobilisasi Dini
2.2.1   Konsep Dasar
1.      Pengertian
Mobilisasi adalah keadaan yang membuat tubuh bergerak dengan bebas tanpa batasan tertentu dari suatu tempat ke tempat lain yang merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia dan semua manusia yang normal memerlukan kemampuan untuk bergerak (Barbara Kozier, 1997).


2.      Tujuan Mobilisasi
1).    Memenuhi kebutuhan dasar manusia
2).    Mencegah terjadinya trauma
3).    Mempertahankan interaksi sosial dan peran sehari-hari
4).    Mencegah hilangnya kemampuan fungsi tubuh
3.      Manfaat Mobilisasi
Manfaat dilakukannya mobilisasi adalah untuk mencegah cacat berat atau ringan sehingga fungsi optimal dari kaki serta tangan yang lumpuh dapat normal kembali.
4.      Mobilisasi dini penuh
Menunjukkan saraf motorik volunter dan sensori dalam mengontrol seluruh kekuatan penuh. Mobilisasi dini penuh mempunyai keuntungan baik bagi kesehatan. Kesehatan fisiologis dan psikologis juga mempertahankan interaksi sosial dan peran sehari-hari.
5.      Mobilisasi dini sebagian
Umumnya pasien yang mengalami gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuh,. Mobilisasi dini dapat dibedakan menjadi mobilisasi dini sebagian temporer adalah disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem suskulusketel contoh: dislokasi tulang sendi. Mobilisasi dini permanen disebabkan oleh rusaknya sistem syaraf yang reversibel, seperti himeplegi karena injuri tulang belakang.



6.      Imobilisasi
Imobilisasi terjadi ketika pasien tidak dapat secara bebas bergerak karena beberapa kondisi yang mengganggu pergerakan. Area mobilisasi meliputi fisik, intelektual, emosi dan sosial.
1).    Imobilisasi fisik
Fisik in aktif adalah seperti bedrest ditandai berkurangnya pergerakan tubuh, perbatasan gerak fisik seperti perubahan posisi tubuh yang terbatas, susahnya pergerakan hilangnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap perubahan yang ada.
2).    Imobilisasi intelektual
Imobilisasi ini dapat ditemukan pada pasien yang kurang pengetahuan tentang bagaimana berfungsi sebagai orang yang dapat berbuat dan bergerak.
3).    Imobilisasi emosi
Pasien dengan stress berat, dapat disebabkan oleh operasi seperti amputasi, mastektomi, sehingga merasa kehilangan bagian tubuh. Hal ini menyebabkan perubahan dalam penyesuaian diri.
4).    Imobilisasi sosial
Disebabkan dalam perubahan interaksi sosial yang kadang-kadang menyertai akibat dari penyakit pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami kurang interaksi sosial, karena belum pernah dipisahkan dari keluarga.



2.2.2   Penatalaksanaan
Menurut Enny Mulyatsih (1994) pada prinsipnya latihan diberikan meliputi:
1.       Mobilisasi Aktif
Pada mobilisasi aktif klien diharuskan melakukan gerakan atau latihan sendiri dengan terlebih dahulu diberikan pembelajaran mobilisasi. instruktur harus merangsang semangat klien tidak boleh membentak-bentak klien apabila mengecewakan pada hari-hari pertama latihan semangat dan gairah klien harus ditingkatkan atau dikembangkan. Instruktur harus dapat mengatasi keengganan klien dalam berlatih secara aktif dengan menyediakan waktu yang cukup dan penuh kesabaran. Sehingga tidak perlu bertindak dengan tergesa-gesa. Untuk terlaksananya mobilisasi dengan baik bukan hanya tergantung dari instruktur atau tenaga kesehatan tapi juga tergantung dari keinginan hasrat kebulatan tekad dari klien untuk berperan aktif.
2.       Mobilisasi Pasif
Dalam mobilisasi pasif yang menggerakkan bagian-bagian lengan dan tungkai adalah orang lain. Mobilisasi pasif dilakukan dengan perlahan-lahan jangan terlalu keras atau terlalu memaksakan gerakan bagian-bagian lengan atau tungkai tanpa menyakiti klien. Mulailah dengan gerakan yang minimal untuk secara berangsur ditingkatkan sehingga gerakan maksimal tercapai.
3.       Mobilisasi Aktif-assitive
Melakukan suatu kegiatan dengan menggunakan beberapa bantuan misal dari tenaga fisioterapi. Klien dianjurkan memindahkan bagian tubuh sejauh yang bisa dijangkau dan kemudian fisioterapi atau perawat hanya mengevaluasi melalui ROM atau rentang gerak.
4.       Mobilisasi Isometrik atau Mobilisasi Statik
Suatu bentuk mobilisasi yang mempunyai kriteria sebagai berikut ada kontraksi otot, tidak ada gerakan sendi atau statis. Dikatakan cukup berkontraksi optimal selama 6 detik selama 1 kali sehari. Hati-hati pada klien dengan kelainan jantung seperti penyakit jantung koroner dan penyakit hipertensi.
5.       Mobilisasi Resistive atau Beratahan
Latihan untuk memperkuat otot-otot dengan mendorong atau menahan sesuatu dengan mengangkat berat. Latihan ini dilaksanakan dengan menekan alat pergerakan yang lemah atau lumpuh sedang klien mencoba untuk melawannya atau mengangkatnya.

2.2.3   Pelaksanaan Mobilisasi Dini Pasif bagi Perawat
Menurut Purwadi T (1990) mobilisasi dini pasif bagi perawat ada 9 pelaksanaan sebagai berikut:
1.      Sikap tidur I
Pasien berbaring terlentang dalam sikap lurus, kepala dan leher tidak menekuk dalam hal ini gunakanlah bantal tipis. Kedua ujung bahu sama tinggi, demikian juga posisi kedua panggul. Kedua kaki disandarkan pada papan. Sehingga kedua ibu jari kaki menunjukkan keatas. Kedua betis berada diatas tepi kasur sehingga kedua tumit tergantung bebas agar jangan terjadi dekubitus.


2.      Sikap tidur II
Kasur atau bantal tipis diselipkan dibawah bokong sisi yang lumpuh atau lemah. Kasur ini menghalangi tungkai yang lumpuh terbalik ke samping.
3.      Sikap tidur III
Sebuah bantal lain ditempatkan disamping badan bagian atas pada sisi yang lumpuh, dan tangan yang lumpuh memegang gulungan kain supaya jari-jari tangan yang lumpuh berada dalam posisi mengepal kening.
4.      Sikap tidur IV
Tangan yang lumpuh diselipkan dibawah bantal dengan tangan terbuka (jari-jari diluruskan).
5.      Sikap tidur V
Klien ditengkurapkan, sebuah bantal kecil diselipkan dibawah perut pada sisi yang lumpuh. Kedua kaki tergantung bebas. Lengan yang lumpuh mengepal gulungan kain. Diletakkan dalam posisi setengah lurus disamping kepala.
6.      Sikap tidur VI
Apabial kedua kaki tidak dapat bergantung dengan bebas, maka sebuah bantal dapat digunakan sebagai alas tungkai bawah. Dalam posisi demikian kedua kaki  dapat bergantung bebas.
7.      Sikap tidur VII
Klien yang ditengkurapkan tanpa bantal kepala. Sebuah guling mengganjal belahan tubuh yang lumpuh. Lengan yang lumpuh berada dalam posisi memeluk guling.


8.      Sikap tidur VIII
Klien dimiringkan pada posisi yang sehat. Kepala ditempatkan pada posisi bantal lengan yang lumpuhditekukan pada sendi siku yang diletakkan dalam posisi merangkul guling. Tungkai yang lumpuh ditempatkan diatas bantal dalam posisi setengah menekuk
9.      Sikap tidur IX
Klien ditidurkan setengah miring pada posisi yang sehat dengan kepala diatas bantal. Lengan yang lumpuh pada posisi setengah lurus diletakkan pada belahan badan yang lumpuh. Tungkai yang lumpuh ditempatkan dalam posisi setengah menekuk diatas bantal.

2.3   Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Mobilisasi
Lauren L Green (1980) menyatakan bahwa perilaku merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti Pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap. Gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor lain diantaranya pengalaman, keterampilan, keyakinan, fasilitas dan sosial budaya.
2.3.1   Faktor Predisposising (Predisposising Factor)
1).    Pengetahuan
Merupakan bentuk operasional dari perilaku sesorang yakni yang bersifat pasif. Adanya pengetahuan yang tinggi mengenai mobilisasi khususnya moral mobilisasi. Diharapkan akan membentuk sikap yang positif terhadap mobilisasi, selanjutnya dengan timbulnya sikap positif tersebut akan menimbulkan perilaku yang baik (Lauren L Green, 1980).
2).    Sikap
Adalah suatu tingkatan afek (Perasaan) baik posistif maupun negatif dalam hubungan dengan obyek atau sikap adalah kesediaan bereaksi terhadap suatu hal (W.A Gerungan dalam buku Pengantar Komunikasi, Kariyoso,1994)
Soekidjo Notoatmojo dan Sarwono mengatakan bahwa sikap sulit diobservasi dan diukur. Sikap itu timbul karena adanya stimulus atau rangsangan. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap obyek. Sikap seseorang diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap klien stroke sudah positif terhadap mibilisasi aktif tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata, hal ini disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya:
(1).  Sikap untuk terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu. Seorang penderita stroke ingin sekali melakukan mobilisasi tetapi karena waktu itu otot-otot extremitas belum mampu untuk digunakan maka ia gagal melakukan mobilisasi.
(2).  Sikap akan diikuti atau tidak pada suatu tindakan mengacu pula pada pengalaman orang lain. Seseorang dikatakan stroke tidak melakukan mobilisasi, walaupun ia mempunyai sikap positif terhadap mobilisasi sebab ia masih teringat bahwa ada salah satu pasien stroke mengalami patah tulang akibat jatuh dari tempat tidur.
3).    Ketrampilan
Keterampilan dalam melakukan sesuatu akan berhasil apabila didukung oleh pengetahuan dan sikap yang baik, sering penderita stroke dalam melakukan ketrampilan mobilisasi akan berhasil juga apabila didukung oleh pemberian informasi, dengan memberikan informasi tentang cara-cara melakukan mobilisasi dini dengan baik akan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya melakukan mobilisasi dini

2.3.2   Faktor pemungkin (Enabling Factor)
Faktor pemungkin yang mempunyai perilaku pasien adalah adanya fasilitas kesehatan menurut penelitian-penelitian yang seksama mobilisasi dini tidak mempunyai pengaruh yang buruk, namun mobilisasi disini tentu tidak dibenarkan pada pasien dengan penyakit misal: anemia, penyakit jantung, penyakit paru, demam, dan lain-lain).

2.3.3   Faktor Pendorong (Reinforcing Factor)
Faktor pendorong yang mempengaruhi perilaku pasien dalam mobilisasi adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Sering pasien yang baru pertama kali mobilisasi dini akan berada dalam posisi yang rentan dan memerlukan dukungan. Dorongan serta bantuan dari orang yang sudah berpengalaman.
Bantuan seorang petugas kesehatan sangat dibutuhkan antara lain: membantu pasien mengembangkan praktek dalam mobilisasi dini dengan benar. Disamping itu memberikan keyakinan dan dorongan kepada pasien yang sering diganggu oleh segala macam bentuk kecemasan dan gangguan kesukaran dalam mobilisasi juga merupakan tugas dari perawat untuk menimbulkan perilaku mobilisasi yang baik.


2.4  
Faktor-faktor yang mempengaruhi:
-          Pengetahuan
-          Sikap
 
Kerangka Konseptual



 







Keterangan:
                        : yang diteliti
                        : yang tidak diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Hubungan Antara tingkat Pengetahuan dan Sikap dalam melakukan perilaku Mobilisasi Dini.

2.5 Hipotesis Penelitian
1.      Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke.
2.      Ada hubungan antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke.


 

ådi2  : Jumlah selisih (Rank x dengan Rank y)
(Siegel, 1986:256).

Masalah EtikaBAB 3

METODE PENELITIAN

3.1       Desain Penelitian
Dalam penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional dimana peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel sesaat. Artinya subyek diobservasi satu kali saja dan pengukuran variabel independen dan dependen dilakukan pada saat pemeriksaan atau pengkajian data (Sastroasmoro dan Ismail, 1985).

3.2       Populasi, Sampel dan Sampling Penelitian
3.2.1   Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan dari obyek penelitian atau obyek yang akan diteliti (Nursalam, 2001).
Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah pasien pasca stroke yang dirawat inap di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya.

3.2.2   Sampel Penelitian
Sampel adalah keseluruhan dari obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Nursalam, 2001), kriteria sampel sebagai berikut:
a.       Kriteria Inklusi
1).  Pasien dengan pasca stroke yang bersedia diteliti
2).  Pasien dengan pasca stroke yang sudah diberi pembelajaran tentang mobilisasi.
3).  Pasien dengan pasca stroke dalam keadaan sadar.
b.      Kriteria Eksklusi
1).  Pasien dengan pasca stroke yang tidak bersedia diteliti
2).  Pasien dengan pasca stroke yang belum mendapat pembelajaran tentang mobilisasi.
3).  Pasien dengan pasca stroke yang tidak sadar.
c.       Besar sampel adalah banyaknya anggota yang akan dijadikan sampel (Chandra, 1995).
Sehubungan dengan keterbatasan biaya dan waktu yang dimiliki peneliti, sehingga tidak memungkinkan mengambil populasi terjangkau oleh karena itu kami mengambil sampel. Dalam peneliti ini sebanyak 10 orang yang memenuhi kriteria inklusi.

3.2.3   Teknik Pengambilan Sampel
Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nurslaam dan Siti Pariani, 2001). Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu: setiap sampel yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro dan Ismail, 1995).

3.3       Lokasi dan Waktu Penelitian
1.      Lokasi penelitian
Lokasi penelitian di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya.
2.      Waktu penelitian
Waktu penelitian bulan 17 – 26 Juli 2003.
3.4       Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu ukuran atau cita-cita yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain (Notoatmodjo S, 1993).
Pada penelitian ini variabel dibedakan menjadi:
1.      Variabel independen atau variabel bebas
Variabel bebas adalah faktor yang diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel dependen (Srikandi, 1997). Variabel bebas pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan, sikap.
2.      Variabel dependen atau variabel tergantung
Variabel tergantung adalah variabel yang berubah akibat perubahan variabel bebas (Notoatmodjo S, 1993). Variabel tergantung pada penelitian ini adalah mobilisasi dini.

3.5       Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan batasan yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberi arti, menspesifikasikan kegiatan, ataupun memberikan suatu gambaran tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk mengukur variabel yang telah didefinisikan (Notoatmodjo S, 1993).
1.      Mobilisasi dini
Adalah kemampuan pasien untuk bergerak secara bebas, sangat penting untuk mempertahankan kesehatannya.
Kriteria:
a. Baik, skor 3     :  apabila pasien melakukan latihan gerak tangan, jari-jari, bahu, siku, lutut tiap < 3-5 jam sekali.
b. Cukup, skor 2  :  apabila pasien melakukan latihan gerak tangan jari-jari, bahu, siku, lutut tiap 6-8 jam sekali.
c. Kurang, skor 1 :  apabila pasien melakukan latihan gerak tangan, jari-jari, bahu, siku, lutut tiap 9-12 jam sekali.
2.      Pengetahuan
Adalah kemampuan seseorang untuk mengingat fakta, simbol, prosedur tehnik dan teori (Notoatmodjo, 1994).
Kriteria:
Skor 3 : kategori baik   :  apabila pasien dapat menjawab dengan benar 7-10 pertanyaan
Skor 2 : kategori cukup:  apabila pasien dapat menjawab dengan benar 1-6 pertanyaan
Skor 1 : kategori kurang: apabila tidak ada jawaban pasien yang benar.
Skala pengukuran: ordinal.
3.      Sikap
Adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap dari obyek tadi (Notoatmodjo, 1994).
Kriteria:
Skor 3  :  kategori baik : apabila pasien menjawab setuju 4-5 pertanyaan.
Skor 2  :  kategori cukup : apabila pasien menjawab setuju 1-3 pertanyaan.
Skor 1  :  kategori kurang : apabila pasien tidak menjawab setuju pada semua pertanyaan
Skala pengukuran: ordinal.

3.6       Alat atau Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini digunakan data primer yang diambil dengan menggunakan kuesioner atau wawancara. Sedangkan data sekunder, diambil dengan memanfaatkan data yang tersedia dengan melihat catatan rekam medis pasien yang tersedia di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya.

3.7       Pengelompokan Data
Data-data yang sudah dikumpulkan, selanjutnya dicatat dan dikelompokkan untuk masing-masing variabel sesuai dengan tujuan penelitian. Kemudian data diolah dengan bantuan komputer yaitu SPSS.
Pengolahan data dengan cara bertahap mulai dari editing, coding sampai dengan tahap tabulating.

3.8       Tehnik Analisa Data
Analisa dapat digunakan metode deskriptif untuk menggambarkan populasi dan metode analitik untuk melihat hubungan antara variabel yang diteliti dengan menggunakan:
1.      Frekuensi distribusi
Analisa prosentase menggunakan frekuensi distribusi relatif artinya data dibagi dalam beberapa kelompok dan dinyatakan dalam prosentase. Dengan cara ini dapat mengetahui kelompok mana yang paling banyak jumlahnya dengan ukuran prosentase (Suparmoko, 1997).
2.      Tabulasi silang
Yaitu menyajikan saling berpengaruh variabel yang satu dengan variabel yang lain.
3.      Menggunakan uji statistik “Rank Spearman” dengan menggunakan nilai bermakna a = 0,05 atau 5% dengan r tabel 0,648 yang artinya apabila r hitung > r tabel maka Ho ditolak yang menunjukkan adanya hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Sedangkan apabila r hitung < r tabel maka Ho diterima artinya tidak ada hubungan antara variabel-variabel tersebut:
Rumus yang digunakan untuk menghitung korelasi:
dimana
keterangan :
r5       : r hitung : Koefisien Korelasi Rank Spearman
3.9       n  : Jumlah responden
Dalam melakukan penelitian, peneliti mendapatkan rekomendasi dari Akademi Perawatan Rumah Sakit Dr. Soetomodan mengajukan permohonan ijin kepada Direktur Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya untuk mendapatkan persetujuan, kemudian kuesioner dikirim ke subyek yang diteliti dengan menekankan pada masalah etika yang meliputi:

1.       Lembar permintaan menjadi responden
Subyek yang memenuhi kriteria inklusi diberikan lembar pertanyaan peneliti disertai identitas peneliti, judul penelitian dan manfaat penelitian.
2.      Lembar persetujuan menjadi responden
Setelah diberikan lembar permintaan menjadi responden. Responden harus mencantumkan tanda tangan persetujuan menjadi responden, dengan lebih dahulu diberikan, membaca isi lembaran tersebut. Jika subyek menolak maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-hak subyek.
3.      Anonimity
Untuk menjaga kerahasiaan subyek, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data atau kuesioner, tetapi lembar tersebut diberi inisial.
4.      Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari subyek dijamin oleh peneliti data tersebut hanya akan disajikan atau dilaporkan kepada yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.10   Keterbatasan
1.      Sampel yang digunakan terbatas jumlahnya sehingga kurang representatif untuk mewakili pasien pasca stroke dalam melakukan perilaku mobilisasi dini.
2.      Peneliti menggunakan kuesioner yang belum diuji coba sehingga pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner belum terjamin kevaliditasannya.
3.      Keterbatasan waktu yang disediakan peneliti cukup terbatas sehingga peneliti kesulitan untuk memnuhi jumlah responden yang dikehendaki.
BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1  Gambaran Lokasi

Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya terletak di jalan A.Yani no. 2-4 Surabaya memiliki luas tanah seluruhnya 8,607 m2. Orbitalisasi Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya dengan lingkungan sekitarnya berbatasan dengan pendidikan Khodijah sebelah utara, berbatasan dengan SLB sebelah selatan, berbatasan dengan pendidikan SMEA 1 sebelah barat dan berbatasan dengan jalan A.Yani sebelah timur. Merupakan rumah sakit type C yang mempunyai fungsi sebagai rumah sakit pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian. Pelayanan kesehatan Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya terdiri dari unit rawat jalan, unit rawat inap, UGD, laboratorium dan radiology seperti halnya rumah sakit yang lain. Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya memiliki visi, motto dan tujuan yaitu:
Visi      : Mewujudkan Rumah Sakit Dr. Soetomoyang dapat dibanggakan untuk menjawab tantangan globalisasi.
Misi     :  Senantiasa berupaya memberikan pelayanan kesehatan yang Islami, profesionalis dan globalisasi.
Motto  :  Kesembuhan datang dari Allah, kepuasan pasien kewajiban kami.
Tujuan :  Mewujudkan RSI Surabaya yang representatif dan dapat dibanggakan dengan memberikan upaya promotif, prefentif, kuratif, edukatif dan Rehabilitatif demi tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi seluruh masyarakat.
28
 
 
5.2    Gambaran Umum Responden
Responden pada penelitian ini sebanyak 10 responden yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
1.      Tingkat Pengetahuan
Dari hasil pengumpulan data ditemukan karakteristik responden menurut tingkat pengetahuan didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya tahun 2003.
 No
Pengetahuan
Skor
Frekuensi
Presentasi
Total skor
1
2
3
Baik
Cukup
Kurang
3
2
1
1
6
3
10%
60%
30%
3
12
3
Jumlah
10
100%
18
Sumber : data primer di ruang rawat Inap RSI Sby 2003
Pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari 10 responden mempunyai pengetahuan yang cukup yaitu 6 responden (60%).
2.      Sikap
Dari hasil pengumpulan data ditemukan karakteristik responden., menurut sikap didapatkan data sebabagi berikut :
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan sikap pasien pasca stroke di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya tahun 2003
No
Sikap
Skor
Frekuensi
Presentasi
Total skor
1
2
3
Baik
Cukup
Kurang
3
2
1
2
6
2
20%
60%
20%
9
12
2
Jumlah
10
100%
22
Sumber : data primer di ruang rawat Inap RSI Sby 2003
Pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari 10 responden mempunyai sikap yang cukup yaitu 6 responden (60%).


3.      Mobilisasi Dini
Dari hasil pengumpulan data ditemukan karakteristik responden menurut mobilisasi dini didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan mobilisasi dini di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya tahun 2003
No
Mobilisasi
Skor
Frekuensi
Presentasi
Total skor
1



2



3
Pasien melakukan latihan gerak tangan, jari-jari, bahu, siku, lutut tiap < 3-5 jam sekali
Pasien melakukan latihan gerak tangan, jari-jari, bahu, siku, lutut tiap 6-8 jam sekali
Pasien melakuka latihan gerak tangan, jari-jari, bahu, siku, lutut tiap 9 - 12 jam sekali
3



2



1
2



6



2
20%



60%



20%
9



12



2
Jumlah
10
100%
22
Sumber : data primer di ruang rawat Inap RSI Sby 2003
Pada tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dari 10 responden melakukan latihan gerak tiap 6-8 jam sekali yaitu 6 responden (60%).









5.3    Hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini
1.      Hubungan antara tingkat pengetahuan dalam melakukan mobilsasi dini

Tabel 5.4    Tabulasi silang antara tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya tahun 2003
No
Pengetahuan
Mobilisasi
Total
Lat.Gerak < 3-5 jam sekali
Lat.Gerak  6-8 jam sekali
Lat.Gerak  9-12 jam sekali
N
%
1
2
3
Baik
Cukup
Kurang
1
1
-
-
5
1
-
-
2
1
6
3
10%
60%
30%
Total
20%
60%
20%
10
100%
Sumber : data primer di ruang rawat Inap RSI Sby 2003                                      Spearman r Hitung : 0,787
Dari tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 10 responden sebagian besar mempunyai tingkat pengetahuan yang cukup yaitu 6 responden (60%) dengan rincian 1 responden melakukan latihan gerak < dari 3-5 jam sekali. Sedangkan 5 responden melakukan latihan gerak tiap 6-8 jam sekali. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini.
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan r hitung : 0,787 > dari r Tabel 0,648 berarti H0 ditolak atau ada hubungan antara tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini.





2. Hubungan Antara Sikap Dalam Melakukan Perilaku Mobilisasi Dini.
Tabel 5.5 Tabulasi silang antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini di Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya tahun 2003
No
Sikap
Mobilisasi
Total
Lat.Gerak < 3-5 jam sekali
Lat.Gerak  6-8 jam sekali
Lat.Gerak  9-12 jam sekali
N
%
1
2
3
Baik
Cukup
Kurang
1
1

1
5

-
-
2
2
6
2
20%
60%
20%
Total
20%
60%
20%
10
100%
Sumber : data primer di R.rawat Inap RSI Sby 2003                                             Spearman r Hitung : 0,75
Dari table 5.5 menunjukkan bahwa dari 10 responden sebagian besar mempunyai sikap yang cukup yaitu 6 responden (60%) dengan rincian 1 responden melakukan latihan gerak tiap < dari 3-5 jam sekali. Sedangkan 5 responden melakukan latihan gerak tiap 6-8 jam sekali. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini.
Hasil uji korelasi Rank Spearman r hitung : 0,75 > dari r tabel = 0,648 berarti H0 ditolak atau ada hubungan antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini.








BAB 6
PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan memberikan ulasan tentang penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap pasien pasca stroke di ruang rawat inap Rumah Sakit Dr. SoetomoSurabaya. Penelitian yang dilakukan adalah untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan, sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini pada pasien pasca stroke.

6.1 Hubungan antara tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini
Dari hasil uji korelasi spearman r hitung : 0,787 > dari r tabel : 0,648 berarti H0 ditolak atau ada hubungan antara tingkat pengetahuan  dengan mobilisasi dini.
Dari hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini bahwa 60 % responden dengan pasca stroke mempunyai pengetahuan yang cukup. Hal ini disebabkan oleh pemberian informasi akan pentingnya mobilisasi dini oleh petugas kesehatan dapat diterima dengan baik. Pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal.
33
 
Notoatmodjo (1993) berpendapat bahwa pengetahuan adalah merupakan bentuk operasional dari perilaku seseorang yaitu yang bersifat pasif. Adanya pengetahuan yang tinggi mengenai pentingnya mobilisasi pasca stroke, diharapkan akan membentuk sikap yang positif terhadap mobilisasi, selanjutnya dengan timbulnya sikap positif tersebut akan menimbulkan perilaku yang baik.
Poedjawijatna (1998) mengatakan bahwa pengetahuan menjadi milik manusia berlandaskan pengalamannya sendiri atau pengalaman orang lain. Hal ini menandakan bahwa dalam menerima pengetahuan baru responden akan membandingkan pengetahuan itu dengan pengalamannya, lingkungannya serta tradisi atau kepercayaan dimasyarakatnya. Pengetahuan responden juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik responden meliputi umur, pendidikan, intelegensia dan sosial ekonomi, maka bisa diprediksikan disini bahwa pengetahuan yang cukup tentang mobilisasi dini itu bisa dipengaruhi satu atau lebih karakteristik responden yang tidak mendukung untuk membentuk pengetahuan baru Latipun (2000).
Pengetahuan merupakan salah satu unsur yang mendorong individu untuk berperilaku sesuai yang diperoleh, dengan demikian tingkat pengetahuan tentang mobilisasi perlu ditingkatkan baik dengan metode ceramah maupun membaca agar timbul suatu kesadaran atau dorongan dari dalam untuk melakukan mobilisasi dini (Wahyu Sumijo, 1990).

6.2 Hubungan antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini
Dari hasil uji korelasi Spearman r hitung = 0,75 > r  tabel = 0,648 berarti Ho ditolak atau ada hubungan antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini.
Dari hasil penelitian mengenai sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini bahwa 50% responden dengan pasca stroke mempunyai sikap yang cukup, hal ini dikarenakan dukungan pengetahuan yang cukup dan kemampuan petugas kesehatan dalam menggunakan berbagai metode pembelajaran serta tersedianya waktu yang cukup.
W.A Gerungan dalam buku pengantar Komunikasi, Karyoso (1994), mengemukakan bahwa sikap seseorang akan mempengaruhi tingkah laku yaitu tingkatan afek atau perasaan baik posistif atau negatif dalam hubungan dengan obyek. Tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek sehingga dari teori tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa sikap negatif yang ditunjukkan oleh responden disebabkan oleh kurangnya pengalaman responden dan masih banyak faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi sikap tersebut (Azwar, 2000).
Sikap sulit diobservasi dan diukur. Sikap itu timbul karena adanya stimulus atau rangsangan. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap obyek, sikap seseorang diperolah dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain yang paling dekat. Sikap pasien pasca stroke sudah positif terhadap mobilisasi dini tidak selaku terwujud dalam tindakan nyata (Notoatmodjo, 1993).
Wahyu Soemidjo (1990) juga menambahkan bahwa sikap merupakan salah satu dari dalam individu yang mempengaruhi individu berperilaku. Dalam membentuk sikap klien terhadap mobilisasi dini banyak faktor yang mempengaruhi, sikap itu tumbuh karena adanya stimulus atau rangsangan, sikap responden juga bisa tumbuh terhadap mobilisasi dini dengan cara berlatih secara bertahap dan menerima informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan baik melalui ceramah, membaca. Dalam hal ini keluarga dan petugas kesehatan harus melatih pasien dengan sabar, jangan memarahi, ramah, sikap saling menerima perasaan dan libatkanlah pasien dalam kegiatan sehari-hari maupun dengan melakukan program latihan yang terencana. Selanjutnya dengan adanya dorongan dari keluarga dan petugas kesehatan maka pasien akan bersifat positif dan bersemangat karena merasa diperhatikan, untuk mempertahankan semangat pasien didalam melakukan suatu mobilisasi dini perlu diberi pujian sebagai penguatan terhadap kemajuan yang dicapai sehingga dapat meningkatkan frekuensi dan kemandirian pasien dalam melakukan perilaku mobilisasi dini yang pada akhirnya dapat mengurangi dari immobilisasi yang lama.

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta keterangan pada Bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran-saran.
1.       Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dalam melakukan perilaku mobilisasi dini.
2.       Ada hubungan antara sikap dalam melakukan perilaku mobilisasi dini.

7.2 Saran
1.       Pemberian informasi oleh petugas kesehatan bukan hanya tentang cara mobilisasi, tetapi juga lebih ditekankan pada manfaat dan tujuan mobilisasi, serta akibat yang timbul akibat  kurang latihan gerak seperti atropi, kontraktur sendi. Disamping itu dalam memberikan informasi sebaiknya menggunakan berbagai macam metode bukan hanya menggunakan metode ceramah saja tetapi juga memberikan gambar-gambar yang berhubungan dengan mobilisasi.
2.      
37
 
Dalam  membentuk sikap klien terhadap mobilisasi dini banyak faktor yang mempengaruhi. Sikap itu tumbuh karena ada stimulus atau rangsangan, keluarga sangat penting peranannya. Dalam hal ini keluarga dan petugas kesehatan melatih pasien dengan sabar, jangan memarahi, ramah, sikap saling menerima perasaan dan libatkanlah pasien dalam kegiatan sehari-hari maupun dengan melakukan program latihan yang terencana.
3.       Rumah sakit dapat meminimalkan angka kejadian kecacatan pasien pasca stroke dengan cara lebih meningkatkan frekuensi latihan gerak.
Previous
Next Post »

Translate