Mengadopsi Tri Nilai Spiritual yang Utama
Dari semua nilai spiritual ada tiga nilai yang teramat vital bagi kehidupan manusia. Ketiga nilai itu ialah nilai ikhlas, nilai syukur, dan nilai pasrah. Untuk menghadapi semua kejadian di masa lampau manusia memerlukan nilai ikhlas. Terutama bila di masa lampau terjadi hal-hal yang menyakitkan hati atau menyebabkan dia harus menderita. Ia harus dapat menerima kepahitan-kepahitan tersebut sebagai apa adanya. Ia harus bisa mengampuni siapa saja yang telah menyebabkan sakit, penderitaan, musibah atau bahkan malapetaka terhadap dirinya atau orang-orang di sekitarnya. Terutama bila mereka itu orang-orang yang dikasihinya. Ia tidak boleh menyalahkan orang lain, menyalahkan situasi, menyalahkan masyarakat bahkan mungkin tergoda untuk menggugat Tuhan sendiri yang telah mengizinkan ia sedemikian menderita sebagai suatu teodisia .
Terhadap kejadian apapun di masa sekarang ia perlu mengadopsi nilai syukur. Entah itu hal-hal yang menyenangkan tetapi terutama bila kurang menyenangkan, merugikan atau malah menyakitkan dan membawa penderitaan. Mengapa ia harus senantiasa bersyukur? Karena peristiwa yang dialami seseorang maka kondisi tersebut merupakan kondisi optimal yang diizinkan Tuhan terjadi terhadap dirinya. Kalau ia sedang bersukacita atau beruntung tentu saja otomatis ia akan bersyukur. Yang menjadi masalah ialah bila mendapat percobaan yang menyakitkan dirinya. Bila dipahami bahwa walaupun ia sedang menderita namun derita tersebut bukanlah kondisi yang paling parah. Dapat saja ia menderita lebih parah lagi tetapi hal tersebut bukankah tidak terjadi pada dirinya. Justru karena fakta seperti itulah maka ia sepantasnya bersyukur kepada Tuhan. Ia diizinkan oleh Tuhan untuk tidak perlu menderita lebih parah lagi dari kondisinya yang sekarang. Manusia memang tidak selalu harus melongok ke atas melihat kepada orang-orang yang lebih beruntung nasibnya. Memang kalau orang selalu melongok kepada yang jauh lebih beruntung dengan sendirinya terasa bahwa dirinya sendiri bernasib
Untuk menghadapi masa depan yang semakin tak menentu perlu diadopsi nilai pasrah. Mengapa demikian? Karena manusia tidak pernah mampu sepenuhnya menentukan nasibnya sendiri. Apalagi menentukan nasib anak-anak mereka. Kepasrahan adalah bagian penting daripada iman. Orang bisa saja mengaku atau merasa dirinya sebagai orang beriman. Tidak ada orang yang tahu bagaimana iman seseorang kecuali dari perilaku eksternal yang dapat diamati. Orang yang mengeluh terus dan stress berat karena memikirkan bagaimana nasibnya di waktu yang akan datang saat dirinya semakin tidak berdaya secara fisik maupun mental, itu menandakan bahwa orang tersebut kurang memiliki nilai kepasrahan. Dengan perkataan lainnya ia mempunyai masalah dalam soal iman praksisnya. Ia nyata-nyata mengidap nilai-nilai kepasraha.
Dari
Makna hakekat adalah esensi atau nilai-nilai yang sujatinya Pancasila itu ujud, baik sejak di abad di mana satu hidup dan kehidupan itu hadir di muka bumi dalam kurun waktu yang tidak sama ujud kehidupannya dengan manusia-manusia yang “mengaku” modern saat ini sampai dengan kurun waktu yang diberikan oleh penguasa hidup dan kehidupan yang sejati. Dengan kalimat yang lainnya adalah jiwa atau ruh Pancasila sujatinya yang tidak akan dipandang sebagai bentuk atau cara pandang “kebanyakan” manusia modern saat ini. Sejatinya bersumber dari diri wujud kehidupan di alam semesta ini. Semua bentuk atau ujud ciptaan yang maha kuasa yang berwarna-warni sepatutnya menjadi hidup dan kehidupan yang harmonis. Dan semua itu baru akan harmonis saat nilai-nilai itu dipahami dan disadari sebagai salah satu pilihan yang akan memberi nafas kehidupan bagi hidup dan kehidupan bersama di muka bumi ini. Manusia memiliki jiwa dan raga. Saat jiwa manusia diambil oleh penguasa hidup, maka raga pun tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jiwa tanpa raga, maka tidak akan bisa mewujudkan dalam tataran hidup dan kehidupan di muka bumi ini. Maka, keduanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan, selama setiap diri yang diberi kesempatan hadir di muka bumi ini menjalankan wujud hidup dan kehidupannya. Itulah ada dikenal saat kelahiran dan saat kematian.
Apa yang bisa digambarkan secara singkat di atas merupakan sesuatu hal yang dipandang oleh manusia modern saat ini, sebagai nilai-nilai spiritual. Adanya gerakan manusia yang juga digerakkan oleh jiwanya. Yang perlu menjadi kajian adalah apa yang menjadi ISI nilai-nilai spiritual itu sendiri? Di sinilah manusia selama berabad-abad “menteorikannya”. Oleh manusia modern saat ini, banyak tokoh yang mewarnai ISI nilai-nilai spiritual, antara lain Socrates, Plato, Aristoteles, Ibn Khaldun, Ahmad Gozali, dan sederet nama-nama yang terkenal di kalangan literatur kehidupan saat ini. Mereka membicarakan atau menawarkan berbagai bentuk “nilai-nilai spiritual” yang banyak dipahami dan diikuti oleh kebanyakan manusia lainnya dalam mengisi JIWA hidup dan kehidupannya. Dan dengan itu semua, manusia “digerakkan” untuk mebangun apa yang disebut dengan budaya. Dan itulah nafas kehidupan budaya dan dengan itu pula kehidupan berputar.
Dalam pemahaman dan konteks di atas, maka manusia bodoh ini akan sedikit memaparkan nilai-nilai spiritual Pancasila. Sebagai mana yang dipahami bahwa ada lima sila di dalam Pancasila, yang memiliki nilai-nilai Ketuhanan, Adil dan Beradab, Persatuan, Musyawarah, serta Berkeadilan dalam Kemakmuran. Yang menarik dari setiap kajian atau pun paparan yang selama ini manusia bodoh jalankan dan buktikan, masih cenderung atau lebih banyak kajian yang menyudutkan Pancasila. Antara lain, Pancasila hanyalah jargon dalam politik, Pancasila tidak mungkin lah tegak atau wujud, Pancasila
enggan mengkaji isi Pancasila lebih mendalam, ada keinginan mengganti jiwa Pancasila dengan jiwa yang bukan sepatutnya, dan yang paling sering nyatalebih banyak manusia menjadi pengekor dari satu nafas budaya yang ada tanpa mengasah dalam situasi yang saling mengasihi dan mengasuh. Lebih banyak mendebat dalam posisi salah dan benar. Padahal, semua nafas budaya diawali dengan keyakinan itu sendiri. Di mana keyakinan merupakan hasil dari perjalanan kemanusiaan dalam kurun waktu yang tidak sebentar, bahkan usia manusianya saja tidak sampai melihat apakah memang keyakinannya itu wujud di kemudian hari atau tidak.
memahami ISI
atau jiwa Pancasila. Maka, sujatinya pemahaman terhadap nilai-nilai
Pancasila hanya dipahami berdasarkan literatur kehidupan nafas budaya modern
saat ini, kenyataan hidup saat ini.
Nilai yang maha tinggi
Sesungguhnya
mengetahui asma Allah yang husna dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan kemahasempurnaan Allah yang mutlak
dari segala sisi, merupakan bab ilmu yang paling agung. Dengannya
keimanan akan bertambah. Memfokuskan diri mempelajari dan memahaminya serta
membahasnya secara tuntas merangkum beberapa faidah yang sangat banyak dan
agung, diantaranya:
1- Ilmu
tauhid asma dan sifat merupakan ilmu yang sangat mulia dan sangat luhur. Memfokuskan diri untuk memahaminya dan
membahasnya merupakan pekerjaan yang paling tinggi dan memperolehnya merupakan
anugerah yang paling mulia.
2- Mengenal
Allah akan mendorong seseorang untuk mencintai-Nya, takut kepada-Nya, berharap
kepada-Nya dan mengikhlaskan amal untuk-Nya. Dan ini merupakan hakikat
kebahagiaan seorang hamba. Dan tidak ada jalan untuk mengenal Allah kecuali
dengan mengenal asma dan sifat-Nya serta tafaqquh untuk memahami
makna-maknanya.
3-
Sesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk agar mereka mengenali-Nya dan
beribadah kepada-Nya. Itulah tujuan yang diinginkan dari mereka. Memfokuskan
diri kepadanya berarti telah memfokuskan diri kepada tujuan diciptakannya
manusia. Sebaliknya, mengabaikan dan melalaikannya berarti mengabaikan tujuan diciptakannya
manusia. Dan sungguh sangat buruk bagi seorang hamba yang terus mendapat
kucuran nikmat dan karunia Allah dari berbagai sisi lalu ia jahil terhadap-Nya
dan tidak mau m ya.
4-
Sesungguhnya salah satu rukun iman, bahkan rukun yang paling utama dan paling
dasar adalah iman kepada Allah. Iman yang dimaksud bukanlah sekedar mengucapkan
‘aku beriman kepada Allah’ tanpa mengenali-Nya. Namun hakikat iman kepada-Nya
adalah dengan mengenali Rabb yang diimaninya dan mengerahkan segala upaya untuk
mengenali asma dan sifat-Nya sehingga ia mencapai derajat yakin. Derajat
keimanannya bergantung kepada kadar ma’rifatnya terhadap Rabbnya. Semakin
bertambah kadar ma’rifatnya maka semakin bertambah pula keimanannya. Semakin
berkurang kadar ma’rifatnya maka semakin berkurang pula keimanannya. Jalan
paling pintas yang menyampaikannya kepada hal itu adalah menghayati
sifat-sifat-Nya dan asma’-asma’-Nya Subhanahu wa Ta’ala.
5- Pengetahuan tentang Allah adalah inti segala sesuatu.
Bahkan orang yang tahu tentang Allah dengan sebenar-benar pengetahuan, akan
mengambil petunjuk dari sifat dan perbuatan Allah yang diketahuinya atas apa
yang dilakukan-Nya dan hukum-hukum yang disyariatkan-Nya. Karena Dia pasti
berbuat sesuai dengan tuntutan asma’ dan sifat-Nya. Perbuatan-Nya pasti
berkaitan dengan keadilan, karunia dan hikmah. Oleh karena itu hukum-hukum yang
disyariatkan-Nya pasti sejalan dengan konsekuensi pujian, hikmah, karunia dan
keadilan-Nya. Khabar-khabar dari-Nya seluruhnya adalah haq dan benar. Perintah
dan larangan-Nya pastilah adil dan mengandung hikmah.
apabila
seorang hamba mengilmui tentang keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam hal menolak mudharat dan mendatangkan manfaat, dalam hal memberi dan
menahan, dalam hal menciptakan dan memberi rezeki, dalam hal menghidupkan dan
mematikan, maka itu akan membuahkan ubudiyah tawakkal kepada-Nya semata secara
batin, dan konsekuensi tawakkal dan buahnya secara lahiriyah.
Apabila ia
telah mengilmui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mendengar, Maha
Melihat, Maha Mengetahui, tiada satupun yang tersembunyi atas-Nya walau sebesar
biji dzarrah di langit maupun di bumi, bahwa Dialah yang mengetahui yang tampak
dan yang rahasia. Dialah yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan
rahasia yang tersembunyi di dalam hati. Maka semua itu akan membuahkan
penjagaan lisan dan anggota badan serta bisikan hati dari segala perkara yang
tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan mengaitkan seluruh
aktifitas anggota tubuh tersebut kepada apa-apa yang disukai dan diridhai Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila ia
mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Kaya lagi Maha Mulia,
Maha santun lagi Maha Penyayang, Maha luas kebaikan-Nya, maka hal itu akan
menguatkan harapannya, dan pengharapan ini akan membuahkan berbagai jenis
ubudiyah yang lahir maupun yang batin sesuai kadar ma’rifat dan ilmunya.
Apabila ia telah mengenali kesempurnaan Allah dan
keindahan-Nya, maka itu akan menumbuhkan cinta khusus dan kerinduan yang sangat
besar untuk bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selanjutnya hal
itu akan membuahkan berbagai jenis ibadah-ibadah lainnya.
Apabila
seorang hamba mengenal Rabbnya dengan sebenar-benar pengenalan, seperti yang
dituntut dan diinginkan, selamat dari tata cara ahli bid’ah dalam masalah
ma’rifatullah ini, yang dibangun atas penyelewengan makna asma dan sifat atau
penafiannya atau penetapan kaifiyatnya atau penyamaannya dengan sifat-sifat
makhluk. Barangsiapa selamat dari metodologi filsafat batil seperti ini –yang
pada hakikatnya adalah sebab terbesar yang menghalangi seorang hamba dari
mengenali Rabbnya dan sebab terbesar yang dapat mengurangi keimanan dan
melemahkannya- dan mengenal Rabbnya melalui Asma-Nya yang husna dan sifat-Nya
yang Maha Tinggi yang melalui asma dan sifat itulah Dia memperkenalkan diri
kepada makhluk-makhluk-Nya yang telah Dia sebutkan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, lalu memahaminya menurut manhaj Salafus Shalih, berarti ia telah
diberi taufik kepada faktor utama yang dapat menambah keimanan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon