Dalam
berbagai penelitian dilaporkan bahwa 5-10% penyebab anemia berat pada neonatus
adalah perdarahan. Sedangkan kejadian anemia pada bangsal rawat intensif
neonatus tercatat sebesar 25%, yang dinyatakan dengan merendahnya volume sel
darah merah. Angka tersebut merupakan kejadian diluar negeri yang fasilitas
perawatannya sudah memadai. Meskipun belum ada data, tetapi dengan
memperhatikan masih tingginya pertolongan persalinan oleh dukun (70-80%) serta
fasilitas pelayanan yang untuk sebagian besar belum memadai, dapat diperkirakan
bahwa di Indonesia kejadian perdarahan pada neonatus akan memperlihatkan angka
yang jauh lebih tinggi, setidak-tidaknya 2 kali lipat dibandingkan dengan
kejadian di negara maju.(1)
II.1.
DEFINISI
Perdarahan
ialah keluarnya darah dari salurannya yang normal (arteri, vena atau kapiler)
ke dalam ruangan ekstravaskulus oleh karena hilangnya kontinuitas pembuluh
darah (2). Sedangkan perdarahan dapat berhenti melalui 3 mekanisme, yaitu
:
1. Kontraksi pembuluh darah
2. Pembentukan gumpalan trombosit (platelet
plug)
3. Pembentukan trombin dan fibrin yang
memperkuat gumpalan trombosit tersebut.
Umumnya
peranan ketiga mekanisme tersebut bergantung kepada besarnya kerusakan pembuluh
darah yang terkena. Perdarahan akibat luka kecil pada pembuluh darah yang kecil
dapat diatasi oleh kontraksi arteriola atau venula dan pembentukan gumpalan
trombosit, tetapi perdarahan yang diakibatkan oleh luka yang mengenai pembuluh
darah besar tidak cukup diatasi oleh kontraksi pembuluh darah dan gumpalan
trombosit. Dalam hal ini pembentukan trombin dan akhirnya fibrin penting untuk
memperkuat gumpalan trombosit tadi. Disamping untuk menjaga agar darah tetap
didalam salurannya diperlukan pembuluh darah yang berkualitas baik. Bila
terdapat gangguan atau kelainan pada salah satu atau lebih dari ketiga
mekanisme tersebut, terjadilah perdarahan yang abnormal yang sering kali tidak
dapat berhenti sendiri.(2)
II.2.
ETIOLOGI
Berdasarkan etiologi dan waktu kejadiannya,
perdarahan pada neonatus dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori utama yaitu :
1. Perdarahan in utero
2. Perdarahan obstetrik
3. Perdarahan post natal
4. Perdarahan iatrogenik
Dalam
kenyataannya sukar membedakan kejadian perdarahan karena tindakan obstetrik dan
perdarahan postnatal, misalnya robekan dengan perdarahan hepar akibat tindakan
pada persalinan yang sulit baru akan mengakibatkan gejalanya beberapa hari
kemudian dalam masa postnatal. Dalam hal demikian, untuk penggolongannya lebih
diutamakan faktor waktu dan bukan faktor penyebabnya, jadi contoh jenis
perdarahan tersebut diklasifikasikan ke dalam golongan perdarahan postnatal.(3)
Dalam
penanganannya perlu dilakukan tindakan yang cepat dan tepat, karena perdarahan
akut sebanyak 30-50 ml telah dapat menyebabkan anemia dan renjatan. Pengobatan
yang berdasarkan diagnosis dini sangat diperlukan untuk mencegah dilakukannya
tindakan yang lebih invasif, yang mungkin akan merugikan tumbuh-kembang
neonatus dengan perjalanan hidupnya yang masih jauh akan ditempuhnya. Pemberian
tranfusi komponen darah dapat merupakan rangsang awal untuk terjadinya reaksi
imunologik pada usia lanjut.(3)
II.3.
PERDARAHAN IN UTERO
A. Perdarahan Feto-plasenta
Pada
jenis perdarahan ini darah janin tercurah ke dalam jaringan plasenta atau
terkumpul menjadi hematoma retroplasental. Sebagai akibat perdarahan ini akan
lahir bayi dengan anemia.(3)
Etiologi
Penyebab
tersering adalah umbilikus yang kaku dan tindakan selama seksio sesarea. Dalam
keadaan ini aliran darah ke janin melalui vena akan berkurang, sedangkan aliran
darah yang keluar dari janin ke plasenta melalui arteri berlangsung terus,
sehingga volume darah janin akan berkurang. Kekurangan tersebut dapat mencapai
jumlah 20% dari volume darah janin. Pada seksio sesarea bila posisi bayi ada
diatas umbilikus, maka aliran darah dari bayi ke plasenta melalui A.
umbilikalis akan menetap, sedangkan aliran balik dari plasenta ke bayi melalui
V. umbilikalis akan terhambat karena tekanan hidrostatik. Keadaan inipun
mengakibatkan berkurangnya volume darah bayi.(3)
B. Perdarahan Feto-maternal
Dalam
kepustakaan dilaporkan bahwa jenis perdarahan ini terjadi pada 50% kehamilan
biasa, mulai dari derajat ringan sampai derajat yang berat. Walaupun pada
sebagian besar kasus perdarahan yang terjadi umumnya ringan, namun perdarahan
feto-maternal dapat mengakibatkan gawat janin atau kejadian lahir mati, serta
merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya anemia pada bayi baru lahir.(3)
Etiologi
Penyebab
yang sering dikemukakan adalah tindakan amniosentesis, tindakan pertolongan
persalinan (seperti tekanan pada fundus, versi kepala, pengeluaran plasenta
secara manual, pemakaian oksitosin), toksemia gravidarum, eritroblastosis
fetalis, dan tumor plasenta (korioangioma dan koriokarsinoma). (3)
Manifestasi
klinis
Dibedakan
antara perdarahan menahun dan akut. Pada jenis menahun, perdarahan terjadi
secara lambat selama kehamilan, sehingga janin masih berkesempatan untuk
mengadakan kompensasi hemodinamik. Waktu lahir, bayi hanya tampak agak pucat
dengan keadaan umum cukup baik, aktif, dan tidak terlihat sakit. Berlainan
halnya dengan perdarahan akut, bayi lahir dengan keadaan umum yang lemah,
pucat, pernafasan tidak teratur, bahkan mungkin disertai dengan renjatan.
Gejala klinis dan laboratorium kedua jenis perdarahan ini dapat dibedakan. (3)
Pemeriksaan
Laboratorium
Nilai
Hb dapat bervariasi antara 3,0-12,0 g/dl. Pada perdarahan menahun, gejala
anemia terdeteksi ketika bayi lahir, sedangkan kadar Hb yang nyata merendah
pada perdarahan akut baru terlihat beberapa jam setelah lahir. Dengan demikian
kadar Hb pada waktu lahir tidak berkaitan dengan jenis dan beratnya perdarahan.
Sediaan apus darah tepi menunjukkan gambaran normokromik-mikrositik pada
perdarahan akut atau gambaran hipokromik-mikrositik pada perdarahan menahun;
normoblas dapat ditemukan pada kedua jenis perdarahan. Kadar bilirubun serum
biasanya normal dan uji Coombs direk memberikan hasil negatif. Karena
perdarahan menahun sering mengakibatkan defisiensi besi, maka pada jenis
perdarahan ini dapat dijumpai kadar besi dan feritin serum yang rendah.(3)
Pemeriksaan
laboratorium terpenting pada perdarahan ibu-janin adalah pemeriksaan untuk
membuktikan adanya eritrosit janin dalam sirkulasi darah ibu, yang biasanya
dikerjakan dengan cara elusi asam menurut Kleihauer atau cara denaturasi alkali
menurut Singer. (3)
Diagnosis
Terjadinya
perdarahan feto-maternal harus dicurigai pada neonatus yang lahir dengan anemia
tanpa riwayat kehilangan darah sebelumnya dan tanpa adanya tanda isoimunisasi.
Diagnosis ditegakkan dengan mendeteksi adanya eritrosit janin pada sirkulasi
darah ibu, yang biasanya dikerjakan dengan cara Kleihauer. Pada
inkompatibilitas ABO, eritrosit janin yang masuk ke dalam sirkulasi ibu akan
dihancurkan oleh anti-A atau anti-B; atas dasar ini pemeriksaan kleihauer harus
dikerjakan dalam waktu beberapa jam postnatal. Dengan memperhatikan
ciri-cirinya dapat dibedakan antara perdarahan akut dan menahun. Diagnosis duga
perlu difikirkan dengan terdapatnya eritrofagositosis pada sediaan apus buffy coat darah ibu atau
meningkatnya titer anti-A atau anti-B imun dalam serum ibu menjelang kelahiran.
Dengan melakukan pemeriksaan golongan darah ABO/Rh pada ibu dan bayi, kadar Hb
F, dan uji Coombs dapat dibuat diagnosis banding dengan sindrom talasemia,
hemoglobinopati, atau eritroblastosis fetalis. (3)
Pengobatan
Pada
perdarahan akut dapat diberikan carian intravena atau transfusi darah atas
indikasi yang tepat. Karena dapat terjadi renjatan dan gawat janin, mungkin
diperlukan perawatan intensif; pemberian preparat besi biasanya ditangguhkan.
Jenis perdarahan mena
hun umumnya tidak memerlukan transfusi darah; dalam kasus ini senyawa besi dapat langsung diberikan. (3)
hun umumnya tidak memerlukan transfusi darah; dalam kasus ini senyawa besi dapat langsung diberikan. (3)
C. Perdarahan Feto-fetal
Jenis
perdarahan ini dicurigai untuk pertama kalinya pada tahun 1942 ketika ditemukan
adanya anemia pada satu kembar dan polisitemia pada kembar lainnya. Sejak itu
jumlah kasus dilaporkan dalam kepustakaan, yang kemudian kejadiannya pada
kembar monokrionik diperkirakan sebanyak 15-33%. Perdarahan feto-fetal akan
menimbulkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas, baik pada kembar donor
maupun pada kembar resipien.(3)
Terdapat
2 faktor yang berperan pada perdarahan feto-fetal : (1) jenis plasenta, dan (2)
jenis anastomosis. Pada kehamilan kembar terdapat 4 macam plasenta, yaitu : (a)
diamniotik-dikorionik terpisah, (b) diamniotik-dikorionik tergabung, (c)
diamniotik-monokoriotik tergabung, dan (d) monoamniotik-monokoriotik tergabung.
Dibedakan 3 jenis anastomosis pembuluh darah fetus dalam plasenta : (1) arteri
ke artei, (2) vena ke vena, dan (3) arteri ke vena. Dengan memperhatikan kedua
faktor tersebut, perdarahan feto-fetal sering terjadi pada kembar dengan
plasenta monokorionik dan anastomosis arteri ke vena.(3)
Manifestasi
klinis
Sebagai
akibat transfusi feto-fetal yang paling sering adalah lahir mati atau kematian
neonatal dini. Pada jenis perdarahan inipun dibedakan perdarahan menahun dan
akut. Gejala yang ditemukan pada kembar donor adalah pucat, lemah, dan mungkin
disertai tanda renjatan. Sering ditemukan pula tanda kompensasi sistem
eritropoetik, berupa adanya normoblas pada darah tepi atau kenaikan
retikulosit. Meskipun tidak selalu, umumnya berat badan bayi donor lebih rendah
dari bayi resipien. Kaitan perbedaan berat badan dengan jenis perdarahan
dikemukakan sebagai berikut. Bila perbedaan berat badan antara bayi kembar
melebihi 20% berat badan bayi kembar yang besar, maka : (1) jenis perdarahan
yang terjadi berupa perdarahan menahun, dan (2) bayi kembar dengan berat badan
rendah ialah kembar donor. Keadaan ini dapat dikonfirmasikan dengan kenaikan
jumlah retikulosit pada kembar kecil sebagai akibat telah terjadinya perdarahan
menahun.(3)
Lebih
parah lagi gejala yang ditemukan pada kembar resipien sebagai akibat terjadinya
polisitemia. Seandainya lahir hidup, gejala akibat polisitemia dapat berupa
bayi pletorik, polihidramnion dengan disertai dekompensasi jantung, kesulitan
pernafasan, trombosis, hiperbulirubinemia dan kernikterus.(3)
Pemeriksaan
Laboratorium
Pada
kembar identik (monokorionik) dugaan terjadinya transfusi feto-fetal
dimungkinkan bila terdapat adanya perbedaan kadar Hb antara kedua kembar yang
melebihi 5 g/dl. Nilai Hb hendaknya ditetapkan dengan pengambilan darah vena.
Pada kembar donor ditemukan anemia dengan nilai Hb yang berkisar antara
3,7-18,0 g/dl, jumlah retikulosit meningkat, normoblas pada darah tepi, dan
mungkin trombositopenia pada keadaan yang berat. Tanda yang ditemukan pada
kembar resipien adalah polisitemia dengan nilai Hb berkisar antara 20-30 g/dl,
hematokrit dapat mencapai nilai 82%, dan hiperbilirubunemia yang dapat melebihi
nilai 20 mg/dl.(3)
Pemeriksaan
makroskopis plasenta dapat pula membantu diagnosis, seandainya ditemukan
hidramnion pada kantong amnion yang satu dan oligohidramnion pada kantong
amnion lainnya. Pada autopsi dapat dideteksi perbedaan yang nyata pada ukuran
dan berat badan bayi maupun organ tubuh, seperti hati, jantung, ginjal, dan
timus. (3)
Pengobatan
Penanganan
bayi kembar dengan sindrom transfusi feto-fetal memerlukan tindakan cepat dan
tepat, serupa dengan tindakan gawat darurat. Bayi kembar donor yang mungkin
dalam keadaan gawat memerlukan parawatan intensif yang umum, seperti pembebasan
jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian cairan intravena atau darah,
pengelolaan keseimbangan asam-basa dan parameter hematologik lainnya. Bila
terdapat gejala payah jantung, dapat diberikan digitalisasi dengan pemberian
digoksin 0,03-0,05 mg/kg.BB/hari secara parenteral, yang mungkin perlu disertai
degnan pemberian furosemid 0,5-1,0 mg/kg.BB/kali secara intramuskular, dan
dapat diulang setelah 2 jam. (3)
Bayi
kembar donor dengan keadaan umum cukup baik dan hanya menunjukkan gejala anemia
ringan cukup diberi senyawa besi oral, misal sulfas ferosus 5-10 mg/kg BB/hari
selama labih kurang 3 bulan. Baik bayi kembar donor maupun resipien pemantauan
kadar Hb diperlukan dalam masa 3 bulan postnatal, tanpa menghiraukan pernah
atau tidaknya pemberian transfusi darah. Hal ini diperlukan karena seringnya
terjadi anemia defisiensi besi pasca transfusi biasa maupun pasca transfusi
ganti. Setelah 3 bulan biasanya cadangan besi terpenuhi dan keseimbangan besi
tubuh cukup memadai. (3)
II.4.
PERDARAHAN OBSTETRIK DAN KELAINAN PLASENTA
Robekan
umbilikus
Komplikasi
persalinan ini masih dijumpai sebagai akibat masih terjadinya partus
presipitatus dan tarikan berlebih pada lilitan atau pendeknya tali pusat pada
partus normal. Pada partus presipitatus selain perdarahan dari umbilikus
mungkin ditemukan gejala perdarahan intrakranial akibat tidak tertangkapnya
bayi saat melahirkan dan kemudian jatuh ke lantai. (9)
Robekan
umbilikus mungkin pula terjadi karena kelalaian tersayatnya dinding
unbilikus/plasenta sewaktu seksio sesarea. Robekan tali pusat disebabkan pula
karena pecahnya hepatoma, varises dan aneurisma pembuluh darah, tetapi pada
sebagian kasus tanpa penyebab yang jelas. Kadang-kadang secara sepintas tidak
tampak adanya perdarahan eksternal, karena darah yang keluar langsung masuk
kedalam jaringan plasenta. Perdarahan karena pecahnya hematoma dapat
mengakibatkan perdarahan masif, bahkan kematian bayi. (9)
Pada
kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya
difikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah, seperti pembuluh
aberan, insersi velamentosa tali pusat, atau plasenta multilobularis. Pembuluh
darah aberan mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan
jelly Wharton pada insersi velamentosa, pecahnya pembuluh darah terjadi pada
tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam plasenta,
karena didaerah tersebut tidak ada proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi
ini sering terdapat pada kehamilan ganda atau multipel. Demikian pula pada
plasenta multilobularis pembuluh darah yang menghubungkan masing-masing lobus
dengan jaringan plasenta sangat rapuh dan mudah pecah. (9)
Perdarahan
akibat plasenta previa atau abrupsio plasenta dapat membahayakan bayi. Dalam
kepustakaan dilaporkan terjadinya anemia pada 10 bayi baru lahir yang disertai
dengan plasenta previa. Abrupsio plasenta lebih sering mengakibatkan kematian
intrauterine karena anoksia ketimbang anemia pada bayi baru lahir; diantara
bayi dengan abrupsio plasenta yang tertolong hidup, kejadian anemia tercatat
hanya sebesar 4%. Pengamatan plasenta untuk menentukan adanya perdarahan
hendaknya dilakukan pada bayi yang dilahirkan dengan kelainan plasenta atau
dengan seksio sesarea; bila diperlukan pada bayi demikian dapat dilakukan
pemeriksaan hemoglobin secara berkala. (9)
II.5.
PERDARAHAN POSTNATAL
A. Perdarahan intrakranial
Trauma
lahir intrakranial pada neonatus umumnya berupa perdarahan intrakranial.
Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat terjadi akibat trauma mekanis,
trauma hipoksik, atau gabungan keduanya. Dengan kemajuan bidang obstetri,
trauma lahir mekanis umumnya dapat dihindari atau dikurangi, tetapi trauma
hipoksik sering lebih sukar untuk dihindari. Trauma hipoksik yang terjadi pada
bayi kurang bulan atau bayi prematur sering menimbulkan terjadinya perdarahan
intrakranial. Hal ini disebabkan masih imaturnya susunan saraf pusat, sistem
sirkulasi serebral, dan sistem autoregulasi bayi kurang bulan. Pada waktu ini
perdarahan intrakranial pada neonatus lebih sering dijumpai pada bayi kurang
bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Lokasi
perdarahan intrakranial dapat terjadi ekstraserebral seperti perdarahan dalam rongga subdural atau rongga subaraknoid. Selain itu dapat pula ditemukan di parenkim serebrum atau serebelum, atau masuk ke dalam ventrikel yang berasal dari perdarahan di matriks germinal subependimal atau pleksus koroid.(6)
perdarahan intrakranial dapat terjadi ekstraserebral seperti perdarahan dalam rongga subdural atau rongga subaraknoid. Selain itu dapat pula ditemukan di parenkim serebrum atau serebelum, atau masuk ke dalam ventrikel yang berasal dari perdarahan di matriks germinal subependimal atau pleksus koroid.(6)
Klasifikasi perdarahan intrakranial pada
neonatus menurut Volpe, dalam garis besarnya secara klinis dibagi dalam empat
jenis, yaitu : (1) Perdarahan subdural, pada bayi cukup bulan lebih sering
dijumpai dibandingkan dengan bayi kurang bulan, umumnya faktor penyebabnya
berupa trauma. (2) Perdarahan subaraknoid primer, pada bayi kurang bulan lebih
sering dijumpai dibandingkan bayi cukup bulan, umumnya faktor penyebabnya
berupa trauma atau faktor hipoksia. (3) Perdarahan intraserebelar, umumnya
dijumpai pada bayi kurang bulan yang disebabkan oleh faktor hipoksia atau
mungkin oleh faktor trauma. (4) Perdarahan periventrikular-intraventrikular,
dijumpai pada bayi kurang bulan, umumnya disebabkan faktor hipoksia.
1. Perdarahan Subdural
Perdarahan
subdural hampir selalu disebabkan trauma kepala pada BBL cukup bulan. Beberapa
faktor merupakan predisposisi terjadinya trauma yaitu ukuran kepala yang
relatif besar dibandingkan jalan lahir, rigiditas jalan lahir, persalinan
terlalu cepat atau terlalu lama, dan persalinan sulit misalnya letak sungsang
atau ekstraksi forseps. (6)
Gejala
klinis
Gejala
klinis perdarahan subdural menggambarkan adanya gejala kehilangan darah seperti
pucat, gawat nafas, ikterus akibat hemolisis atau menunjukkan gejala peninggian
tekanan intrakranial seperti iritabel, kejang, letargi, tangis melengking,
hipotonia, ubun-ubun menonjol, atau sutura melebar. (6)
Diagnosis
Diagnosis
perdarahan subdural didasarkan pada riwayat kelahiran bayi disertai gambaran
klinis yang ditemukan. Bila dalam riwayat kelahiran ditemukan adanya kesukaran
lahir dan pada bayi ditemukan kejang fokal, kelemahan otot fokal, ubun-ubun
menonjol, sutura melebar, maka mungkin sekali bayi mengalami perdarahan subdural. (6)
2. Perdarahan subaraknoid primer
Perdarahan
subaraknoid primer sebagian besar terjadi akibat trauma lahir, sebagian lain
diduga terjadi akibat proses hipoksia janin. Perdarahan ini umumnya ditemukan
pada bayi prematur. Perdarahan subaraknoid primer merupakan perdarahan dalam
rongga subaraknoid yang bukan merupakan akibat sekunder dari perluasan
perdarahan subdural, intraventrikular, atau intraserebelar. Perdarahan umumnya
terjadi akibat ruptur pada jembatan vena dalam rongga subaraknoid atau akibat
ruptur pembuluh darah kecil di daerah leptomeningeal. Timbunan darah umumnya
terkumpul di lekukan serebral bagian posterior dan fosa posterior. (6)
Gejala
klinis
Gejala
klinis berupa tanda kehilangan darah dan gangguan fungsi neurologik. Gambaran
yang timbul berupa perdarahan yang umumnya kecil saja dan tidak sampai
menimbulkan keadaan yang buruk, sedangkan gejala neurologik berupa iritabilitas
dan kejang. (6)
Diagnosis
Didasarkan
pada riwayat kelahiran yang sukar, dengan ditemukan adanya riwayat kejang.
Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan adanya perdarahan dan
kenaikan kadar protein. Pemeriksaan ultrasonografi kurang peka untuk menegakkan
diagnosis perdarahan subaraknoid. Darah yang terlihat di rongga subaraknoid
mungkin saja berasal dari sumber perdarahan intrakranial lain. (6)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
perdarahan subaraknoid umumnya bersifat simptomatik, misalnya pengobatan
terhadap kejang atau gangguan nafas. Selanjutnya perlu dilakukan observasi
terhadap kadar darah tepi dan sistem kardiovaskular serta kemungkinan
terjadinya hiperbilirubinemia. Selain itu perlu diawasi terhadap kemungkinan
terjadinya komplikasi hidrosefalus. (6)
3. Pedarahan intraserebelar
Perdarahan
intraserebelar relatif jarang terjadi, lebih sering dijumpai pada bayi kurang
bulan dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Secara klinis perdarahan ini sukar
ditemukan, walaupun dengan sarana penunjang alat penatahan kepala, umumnya
ditemukan pada pemeriksan autopsi. Angka kejadian pada bayi kurang bulan dengan
masa gestasi kurang dari 32 minggu atau berat lahir kurang dari 1500 g berkisar
antara 15-25%. Angka kejadian pada pemeriksaan autopsi ini terlihat lebih
tinggi bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan klinis dengan penatahan
kepala. (6)
Diagnosis
Diagnosis
perdarahan ini berdasarkan gambaran klinis serta riwayat kesukaran pada
kelahiran letak sungsang, tarikan forsep, atau keduanya, dan adanya riwayat
hipoksia. Gejala dapat timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir,
bahkan setelah umur tiga minggu. Gejala neurologik yang dijumpai umumnya berupa
gejala kompresi batang otak, terutama serangan apnea atau iregularitas
pernapasan. Kadang disertai bradikardi, obstruksi aliran cairan serebrospinal
disertai kenaikan tekanan intrakranial, ubun-ubun menonjol, dan sutura melebar.
Pada pemeriksaan USG kepada terlihat pembesaran ventrikel. (6)
Penatalaksanaan
Kesukaran
dalam penatalaksanaan umumnya disebabkan karena sulitnya menegakkan diagnosis
dini perdarahan intraserebelar. Tindakan intervensi bedah hanya dilakukan pada
bayi cukup bulan bila dengan pengobatan konservatif keadaan neurologik bayi
tetap tidak menunjukkan perbaikan. Pada bayi kurang bulan tindakan bedah akan
menghadapi masalah lebih sulit.(6)
4. Perdarahan periventrikular-intraventrikular
(PPV-IV)
Jenis
perdarahan ini merupakan salah satu perdarahan intrakranial yang sering
ditemukan pada bayi kurang bulan. Kejadian PPV-IV pada bayi cukup bulan lebih
jarang terjadi bila dibandingkan dengan bayi prematur atau kurang bulan. Pada
bayi cukup bulan, perdarahan yang terjadi sebagian besar berasal dari
perdarahan pleksus koroid, hanya sebagian kecil berasal dari matriks germinal
subependimal.(8)
Faktor
resiko
Menurut Volpe (1987) pada dasarnya terdapat
tiga kelompok faktor penting penyebab PPV-IV yaitu :
1.
Faktor intravaskular, terdiri atas fluktuasi aliran darah
serebral, peningkatan aliran darah serebral, peninggian tekanan vena serebral,
penurunan aliran darah serebral yang diikuti perfusi, kelainan sistem
pembekuan, dan kelainan trombosit.
2.
Faktor vaskular, terdiri atas kelemahan integritas vaskular dan
kerentanan kapiler matriks terhadap trauma hipoksik-iskemik.
3.
Faktor ekstravaskuler terdiri atas kelemahan sistem penyangga
vaskular, aktifitas fibrinolitik pada bayi premature, dan penurunan tekanan
jaringan ekstravaskular.
Gejala
klinis
Tergantung dari berat ringannya perdarahan,
gejala klinis PPV-IV yang timbul dapat dibagi dalam tiga kumpulan gejala atau
sindrom, yaitu :
1.
Sindrom perburukan katastrofik, pada keadaan ini terlihat
perburukan terjadi cepat yang ditandai antara lain dengan penurunan kesadaran
menjadi sopor atau koma, gangguan respirasi, kejang tonik umum, posisi
deserebrasi, refleks cahaya negatif, reflek vestibular negatif, ubun-ubun besar
menonjol, hipotensi, bradikardia, asidosis metabolic dan kelainan homeostasis.
2.
Sindrom perburukan saltatorik, terlihat gejala penurunan
kesadaran, gerakan berkurang, hipotonia, perubahan gerak dan bola mata serta
dapat disertai gangguan nafas. Perburukan klinis dapat bertahap dalam beberapa
hari.
3.
Gambaran klinis tenang, pada kejadian ini secara klinis tidak
dijumpai kelainan neurologik yang berarti walaupun gambaran
radiologik-ultrasonografi menunjukkan adanya PPV-IV.
Diagnosis
Diagnosis
berdasarkan kemampuan untuk mengenal kemungkinana terjadinya PPV-IV, yaitu
dengan cara mengenal kasus risiko untuk timbulnya perdarahan. Risiko tersebut
antara lain adalah bayi kurang bulan, bayi dengan berat lahir kurang dari 1500
g, persalinan sulit, dan nilai Apgar rendah. Bila tidak ada sarana USG, maka
dapat dilakukan pungsi lum
bal yang menunjukkan cairan serebrospinal yang berwarna xantokrom. Pemeriksaan USG secara serial akan dapat mengetahui awal terjadinya perdarahan, sekaligus untuk memantau perkembangan proses perdarahan.(8)
bal yang menunjukkan cairan serebrospinal yang berwarna xantokrom. Pemeriksaan USG secara serial akan dapat mengetahui awal terjadinya perdarahan, sekaligus untuk memantau perkembangan proses perdarahan.(8)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPV-IV pada dasarnya terdiri
tiga tahap yaitu tindakan pencegahan, pengobatan awal atau pada masa akut, dan
penatalaksanaan dilatasi ventrikel posthemoragik.
B. Defisiensi Vitamin K
Perdarahan
karena defisiensi vitamin K telah lama dikenal dan Townsend (1894) memberikan
istilah Haemorrhagic disease of the newborn untuk membedakannya dari perdarahan
yang disebabkan oleh penyakit lain. Oleh the Committee on Nutrition of the
American Academy of pediatrics (1961) penggunaan istilah tadi hanya dikhususkan
bagi perdarahan yang terjadi beberapa hari pertama kelahiran akibat kekurangan
vitamin K dan ditandai dengan defisiensi protombin, prokonvertin, dan mungkin
faktor pembekuan lain. Kejadiannya sering ditemukan pada prematuritas, bayi
cukup bulan yang hanya mendapat ASI, bayi yang mendapat makanan parenteral,
sering diare, sering mendapat antibiotik, dan pada bayi yang dilahirkan dari
seorang ibu dalam pengobatan luminal, hidantoin, salisilat, atau kumarin.
Diperkirakan kejadian perdarahan pada neonatus yang berkaitan dengan fungsi vitamin
K adalah 1 di antara 200-400 kelahiran.(7)
Telah
dibuktikan bahwa vitamin K tidak diperlukan langsung untuk pembentukan faktor
pembekuan II (protombin), VII, IX, dan X, tetapi berperan secara langsung dalam
proses konversi prekursor protein pembekuan menjadi protein pembekuan aktif.
Peran vitamin K dalam proses biokimiawi tersebut dalam reaksi karboksilase atom
C pada gama-metilen senyawa asam glutamat tertentu yang terdapat pada bahan
prekursor protein pembekuan. Teori karboksilase ini tidak hanya berlaku bagi
faktor II, tetapi juga untuk faktor pembekuan lain yang tergantung vitamin K,
seperti faktor VII, IX dan X.(7)
Manifestasi
klinis
Perdarahan
yang timbul dapat bervariasi dari yang ringan berupa ekimosis sampai yang
bersifat fatal berupa perdarahan intrakranial atau perdarahan internal. Gejala
tersebut akan bermanifestasi dalam bentuk perdarahan umbilikus, ekimosis,
epstaksis, perdarahan gastrointestinal, adrenal, dan intrakranial dengan
berbagai akibatnya. Tidak jarang gejala yang tampak berupa perdarahan yang
timbul setelah 4 minggu, biasanya terdapat pada bayi yang mendapat ASI tanpa
pemberian vitamin K, bayi dengan diare berulang, hepatitis, atau atresia
biliaris. (7)
Penatalaksanaan
Oleh
American Academy of Pediatrics untuk pencegahan dianjurkan pemberian vitamin K
0,5-1,0 mg sebagai dosis parenteral tunggal atau 1,0-2,0 mg sebagai dosis oral
tunggal. Pemberian dengan dosis serupa dapat diulang untuk keperluan
pengobatan, atau dosisnya dapat diperbesar bila diberikan kepada bayi yang
dilahirkan dari ibu dalam pengobatan antikonvulsan. Selain itu dianjurkan pula
pemberian vitamin k dengan dosis 0,5 mg setiap minggu secara teratur kepada
bayi baru lahir yang mendapat makanan parenteral, menderita diare berulang dan
menahun, atresia biliaris, hepatitis neonatal, abetalipoproteinemia, atau
menderita fibrokistik pankreas. Dalam keadaan tertentu mungkin diperlukan
pemberian plasma (beku) segar untuk menangani perdarahan yang mungkin bersifat
serius dan fatal. (7)
C. Koagulasi intravaskular diseminata (KID)
KID
adalah suatu keadaan patofisiologik pembekuan intravaskular yang menyeluruh
dengan akibat terbentuknya mikrotrombus dan timbulnya perdarahan karena
terpakai habisnya semua faktor pembekuan dan trombosit. Keadaan terpakai
habisnya faktor pembekuan dan trombosit akan menyebabkan mudahnya terjadi
perdarahan. Selanjutnya pembentukan trombus dalam kapiler akan mengakibatkan
kerusakan mekanis terhadap eritrosit sehingga terdapat bentuk eritrosit yang
terpecah-pecah dan eritrosit yang mengeriput dengan dinding yang tidak treratur
rata. KID merupakan keadaan yang sering dijumpai dan menjadi penyebab utama
perdarahan pada neonatus yang menderita kelainan patologik.(2)
Etiologi
KID
merupakan penyakit tersendiri, tetapi timbul sebagai respons terhadap berbagai
rangsangan patologik. Keadaan patologik yang dapat menjadi pemacu KID,
khususnya pada neonatus adalah anoksia, hipotensi, sepsis, sindrom gawat paru,
dan prematuritas. Rangsangan tersebut akan mempermudah proses koagulasi melalui
berbagai kelainan dalam pembuluh darah sebagai berikut : (1) Kerusakan sel
endotel, (2) Kerusakan jaringan, (3) Kerusakan eritrosit dan trombosit, (4)
kerusakan sistem retikuloendotelial. Keadaan ini khususnya ditemukan pada
prematuritas.(2)
Manifestasi
klinis
Gejala
yang timbul sangat bervariasi dan tergantung dari 2 faktor penentu, yaitu jenis
penyakit primer sebagai penyebab KID, dan luasnya perdarahan. Gejala perdarahan
dapat bervariasi dari perdarahan berupa petekie yang ringan sampai perdarahan
internal yang fatal, seperti perdarahan pulmonal, intrakranial, atau
gastrointestinal massif. Biasanya gejala perdarahan yang agak khas adalah
terdapatnya rembesan atau tetesan darah yang keluar dari tempat tusukan. Bila
proses KID berlanjut, mungkin ditemukan tanda nekrosis dan gangguan jaringan. (2)
Penatalaksanaan
Tindakan
yang terpenting adalah penanganan terhadap penyakit primernya dan bukan
terhadap masalah perdarahannya, karena KID dengan sendirinya akan teratasi bila
penyakit pencetusnya menyembuh. Oleh karena itu dalam pengelolaannya lebih
diutamakan tindakan seperti pemberian antibiotik yang serasi dan memadai,
koreksi keseimbangan asam-basa, pemantauan tanda vital, dan bila perlu
perawatan intensif. (2)
Dewasa
ini pemberian heparin lebih terindikasi, yaitu hanya terhadap kasus KID dengan
trombosis pada pembuluh darah utama atau menunjukkan gejala perdarahan hebat.
Prinsip pemberiannya adalah untuk mempertahankan waktu perdarahan antara 20-30
menit atau waktu tromboplastin parsial antara 11/2 – 2 kali normal. (2)
D. Defisiensi Kongenital faktor koagulasi
Kejadian
perdarahan pada neonatus akibat defisiensi kongenital faktor pembekuan jarang
terjadi, khususnya di Indonesia. Biasanya bayi dengan kelainan faktor koagulasi
ini dapat melalui masa neonatusnya tanpa masalah perdarahan, kecuali pada kasus
dengan defisiensi berat atau akibat suatu tindakan bedah (sirkumsisi).
Perdarahan neonatus dengan hemofilia dapat dicegah bukan karena adanya faktor
VIII ibu yang masuk melalui plasenta tetapi karena dilepaskannya tromboplastin
jaringan sebagai akibat tekanan alat penjepit pada luka sirkumsisi. Perdarahan
akibat defisiensi faktor pembekuan ini baru dicurigai setelah penyebab utama
perdarahan lainnya dapat disingkirkan. Diantara sejumlah kasus yang perdarahan
pada masa neonatus, defisiensi faktor VIII dan IX merupakan penyebab yang
tersering, sedangkan kejadian karena penyakit Von Willebrand, defisiensi faktor
V, VII, X, XI, XIII, dan anfibrinogenemia lebih jarang ditemukan. Selain akibat
sirkumsisi, jenis perdarahan yang tampak dapat berupa perdarahan pada tempat
suntikan, hematoma subdural, perdarahan subaraknoid, atau perdarahan umbilikus.(2)
Diagnosis
prenatal saat ini dimungkinkan terhadap defisiensi faktor VIII dan IX dengan
cara pemeriksaan darah janin dan cairan amnion yang masing-masing diperoleh
secara fetoskopi dan amnioskopi pada minggu ke 18-21 masa kehamilan. Dengan
cara imunologik dapat ditentukan kadar faktor VIII dalam darah janin dan kadar
faktor IX dalam cairan amnion. Diagnosis prenatal defisiensi faktor pembekuan
lainnya sedang dikembangkan.(2)
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Rustama SD, Neonatal hypothyroidism, idd-Indonesia.net: 22 mei 2004.
2. Hasan R, Alatas H, Penyakit perdarahan,
Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta; Infomedika, 1985, hal :
457-482.
3. Hidayah N, Menurunkan insiden perdarahan,
Kompas, 14 November 2003.
4.
Behrman &am
p; Vaughan, Perdarahan pada anak, dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Bagian 1, Edisi 12, Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1992: hal : 215-218.
p; Vaughan, Perdarahan pada anak, dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Bagian 1, Edisi 12, Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1992: hal : 215-218.
5. Markum AH, dkk, Masalah hematologik pada
janin dan neonatus, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya
baru, 1999, hal : 317-328.
6. Markum AH, dkk, Trauma intrakranial, dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya baru, 1999, hal :
274-279.
7. Markum AH, dkk, Defisiensi vitamin K, dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid II, Jakarta: Gaya baru, 1999, hal :
183-185.
8. Saanin S, Ilmu bedah saraf, Padang; FK
UNAND, 2004.hal : 45-48.
9. Wiknjosastro H, Perdarahan pada neonatus,
dalam Buku Ajar Ilmu Kebidanan dan Kandungan, bagian 1, Edisi 3,; Penerbit
Yayasan bina pustaka sarwonohardjo, 1995, Jakarta hal : 210-212
ConversionConversion EmoticonEmoticon