PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
dengan rahmat beserta hidayah-nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang membahas tentang “Kehidupan sosial beragama: hubungan antar sesama pemeluk
agama, hubungan antar pemeluk berbeda agama, hubungan antar pemeluk agama
dengan Negara”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas
dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah agama islam.
Dalam penulisan makalah ini, penulis merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan kami masih minim.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi
sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi kami sehingga
tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Amin.
Surabaya , 22
oktober 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Di dalam
kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas akan kehidupan sosial beragama.
Maka dari itu
kita menyusun makalah yang bertemakan kehidupan sosial beragama, agar supaya
khususnya kita mahasiswa dan umumnya para pembaca dapat mengerti apa hubungan
antar sesama pemeluk agama , antar pemeluk berbeda agama, antar pemeluk agama
dengan Negara.
1.2
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan
dari pembentukan makalah ini adalah :
1.
Untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah agama islam
2.
Untuk menambah wawasan khususnya
mahasiswa dan umumnya para pembaca.
3.
Menumbuhkan motivasi bagi para pembaca
untuk terus mencari informasi tentang agama islam.
1.3
METODE PENULISAN
Metode yang
biasa digunakan dalam menyusun makalah ini adalah pustaka dan browsing.
Metode pustaka
adalah melihat dan mencari buku-buku yang sesuai dengan pembahasan lalu
dijadikan acuan atau referensi.
Metode browsing
adalah mencari informasi tentang pembahasan.
1.4
RUMUSAN MASALAH
Masalah yang di
bahas di dalam makalah ini antara lain :
1.
Hubungan antar sesama pemeluk agama.
2.
Hubungan antar pemeluk berbeda agama.
3.
Hubungan antar pemeluk agama dengan Negara.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 HUBUNGAN ANTAR SESAMA PEMELUK AGAMA
Berbagai Perspektif Pluralisme
Agama
Berbicara tentang hubungan
antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama.
Pluralisme agama sendiri dimaknai secara
berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis
maupun etis.
Secara
sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah
berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan
sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan
sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya
pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling
sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap
kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
agama adalah masalah yang tidak
dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan
sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika
seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.
Quran
dan sunnah menjadi fondasi keberagamaan seorang Muslim, jelas tidak bisa kita
sanggah. Kita semua, sebagai anggota dari komunitas beriman yang disebut dengan
“ummah”, tunduk pada Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif. . Sumber
otoritatif itu bisa dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Orang-orang dengan
mind-set salafisme kurang menyadari bahwa teks suci mengandung banyak
kemungkinan penafsiran. Ataupun kalau mereka menyadari kemungkinan banyak
tafsir, mereka berusaha untuk meredam multisiplitas teks suci dengan cara
menyederhanakan keragaman tafsirnya agak sederhana dan seragam. Mentalitas
penyeragaman inilah yang mendasari cara berpikir kaum salafis di mana-mana
Islam
secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama
dan keberagamaan. Ia merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa “tak ada
paksaan dalam agama.” Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja
yang mau beriman atau kufur
terhadap-Nya.
Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui
eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya.
Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah
ajaran agama, disamping itu memang merupakan sesuatu yang penting bagi
masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja
dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari
kemusliman.[1] Ia merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan
keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap
mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.
orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi terhadap
Mariam dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang Islam
sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi
mempercayai kenabiannya sebagaimana Nabi
Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak
hanya memandang al-Qur’an tetapi
juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah).
Yang paling bisa menjaga keharmonisan
kerukunan agama adalah al-Islam
karenanya secara mutlak dan menjadi tuntutan kondisi dan nurani Islam harus
menjadi nilai-nilai yang diberpegangi umat manusia. Islam mempersilakan umat
lain menjalankan ibadahnya .adapun kalau mereka misalnya minta petunjuk maka
ditunjukkan pada jalan yang lurus..tidak ada pemaksaan tidak ada rayuaan materi
atau lainnya..yang ada adalah KEBENARAN YANG TERANG BENDERANG di depan mata..yang
diakui oleh mereka yang berjiwa ILMIAH. semacam DEDAT... yang tidak
akan diingkari kecuali oleh jiwa-jiwa yang semestinya disembuhkan.
2.1 HUBUNGAN ANTAR PEMELUK BERBEDA AGAMA
Jika kita kaji syariat dengan baik, maka
kita akan melihat betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana
menangani urusan kaum Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan
Negara Khilafah. Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan metode praktis
dakwah Islam kepada non-Muslim. Adakah cara yang lebih baik bagi non-Muslim
untuk melihat kebenaran Islam selain dengan hidup berdasarkan sistem Islam itu
sendiri, dan mengalami kedamaian dan keadilan hukum Allah Swt?
Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad) bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”. “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad) bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”. “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Kategori non-Muslim
Syariat Islam berlaku untuk semua ahlu dzimmah. Ahlu dzimmah mencakup seluruh mu’ahid (orang-orang yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah) dan musta’min (individu yang memasuki wilayah Negara Khilafah dengan ijin), selain dari para diplomat yang diperlakukan berdasarkan perjanjian bersama dengan negara lain.
Ada dua kategori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan kategori kedua adalah umat-umat agama lainnya. Ahli Kitab terdiri atas umat Yahudi dan Kristen. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan memakan binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat agama lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab, namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam, dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Bukti untuk hal ini ialah: Non-Muslim Berhak Menjalankan Kepercayaan Mereka
Allah Swt menyatakan:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)
Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Namun umat non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah Islam secara intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.Non-Muslim Mengikuti Aturan Agama Mereka dalam Hal Makanan dan Pakaian
Dalam hal makanan dan pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik.
Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”
Maka, selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik, Negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam.
Urusan Pernikahan dan Perceraian Antar Non-Muslim Dilakukan Menurut Aturan Agama Mereka
Umat non-Islam diijinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka.
Syariat membolehkan seorang lelaki Muslim untuk menikahi perempuan Ahli Kitab. Al-Qur’an menyatakan:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (TQS. al-Maidah [5]: 5 )
Dengan demikian, maka masalah pernikahan, perceraian, dan masalah-masalah keluarga lainnya, termasuk anak-anak, harus diurus berdasarkan syariat Islam. Non-Muslim Wajib Mengikuti Syariat Islam dalam Masalah Hubungan Sosial Kemasyarakatan
Syariat Islam berlaku untuk semua ahlu dzimmah. Ahlu dzimmah mencakup seluruh mu’ahid (orang-orang yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah) dan musta’min (individu yang memasuki wilayah Negara Khilafah dengan ijin), selain dari para diplomat yang diperlakukan berdasarkan perjanjian bersama dengan negara lain.
Ada dua kategori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan kategori kedua adalah umat-umat agama lainnya. Ahli Kitab terdiri atas umat Yahudi dan Kristen. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan memakan binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat agama lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab, namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam, dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Bukti untuk hal ini ialah: Non-Muslim Berhak Menjalankan Kepercayaan Mereka
Allah Swt menyatakan:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)
Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Namun umat non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah Islam secara intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.Non-Muslim Mengikuti Aturan Agama Mereka dalam Hal Makanan dan Pakaian
Dalam hal makanan dan pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik.
Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”
Maka, selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik, Negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam.
Urusan Pernikahan dan Perceraian Antar Non-Muslim Dilakukan Menurut Aturan Agama Mereka
Umat non-Islam diijinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka.
Syariat membolehkan seorang lelaki Muslim untuk menikahi perempuan Ahli Kitab. Al-Qur’an menyatakan:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (TQS. al-Maidah [5]: 5 )
Dengan demikian, maka masalah pernikahan, perceraian, dan masalah-masalah keluarga lainnya, termasuk anak-anak, harus diurus berdasarkan syariat Islam. Non-Muslim Wajib Mengikuti Syariat Islam dalam Masalah Hubungan Sosial Kemasyarakatan
Masalah lain dan aturan-aturan lain yang
digariskan syariat Islam, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem
pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh Negara Islam
pada semua orang secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.
Sistem Sanksi
Muslim dan non-Muslim wajib dikenakan hukuman karena kejahatan yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. Beberapa contoh di bawah ini jelas menunjukkan hal tersebut.
· Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, akan kupotong tangannya.”
· Umar bin Khaththab ra menghukum puteranya sendiri ketika ia menjabat sebagai Khalifah.
· Ibnu Umar meriwayatkan: “Dua orang Yahudi didakwa karena berzina dan dibawa ke hadapan Nabi saw, beliau kemudian memerintahkan agar mereka dirajam.”
Sistem Sanksi
Muslim dan non-Muslim wajib dikenakan hukuman karena kejahatan yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. Beberapa contoh di bawah ini jelas menunjukkan hal tersebut.
· Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, akan kupotong tangannya.”
· Umar bin Khaththab ra menghukum puteranya sendiri ketika ia menjabat sebagai Khalifah.
· Ibnu Umar meriwayatkan: “Dua orang Yahudi didakwa karena berzina dan dibawa ke hadapan Nabi saw, beliau kemudian memerintahkan agar mereka dirajam.”
· Anas meriwayatkan: “Seorang Yahudi
membunuh seorang gadis dengan batu, Rasulullah saw pun kemudian membunuhnya.”
· Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Bila seorang Muslim membunuh siapapun dari kalangan ahlu dzimmah, maka dia wajib dihukum dengan dibunuh pula, ini berlaku baik pada perempuan maupun lelaki.”
· Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Bila seorang Muslim membunuh siapapun dari kalangan ahlu dzimmah, maka dia wajib dihukum dengan dibunuh pula, ini berlaku baik pada perempuan maupun lelaki.”
Belakangan ini, kita melihat tiga peristiwa penting
terkait konflik berlatar agama yang muncul seiring dikeluarkannya 11 fatwa MUI.
Dua diantara fatwa itu sangat krusial, karena menyangkut masalah pelabelan dan
penilaian ”sesat dan menyesatkan” atas aliran Ahmadiyah dan pelarangan atas
faham-faham seperti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Efek domino dari
fatwa itu, pada akhirnya menyulut kerusuhan.
terjadinya konflik dari dua faktor
penting. Pertama, faktor dari luar agama. Faktor ini mempunyai relevansi dengan
masalah-masalah ekonomi, politik, sosial, ketidakadilan dan kemiskinan. Kedua,
faktor dari dalam dalam. Tak dapat disangkal bahwa agama di dalam dirinya
sendiri berpotensi memunculkan konflik yang sulit diredam. Karena itu, faktor
ini merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap terjadinya konflik antar
agama, sehingga perlu disikapi secara kritis-radikal akan arti pentingnya agama
sebagai pedoman hidup (way of life) bagi ummat manusia.
2.3
HUBUNGAN ANTAR PEMELUK AGAMA DENGAN NEGARA
Agama di negeri ini diposisikan pada
tempat yang sangat strategis. Sekalipun disebutkan bahwa Indonesia bukan
sebagai negara yang berdasarkan agama, tetapi pemerintah memberikan perhatian
yang sedemikian luas dan besar terhadap kehidupan beragama
Sejak lahir, pemerintah negeri ini
menunjuk satu departemen tersendiri yang bertugas melakukan pembinaan dan
pelayanan terhadap semua agama yang ada, yaitu Departemen Agama
. pada masa orde baru, Departemen Agama
dikenal sebagai instansi pemerintah yang paling cekak anggarannya.
Kantor-kantor instansi pemerintah, termasuk lembaga pendidikan yang berada di
bawah departemen ini dikenal tampak sederhana dan bahkan tampak kusam, karena
kekurangan anggaran. Tetapi akhir-akhir ini sudah menampakkan wajah yang cukup
cerah. Anggaran Departemen Agama, masuk kategori papan atas.
Tugas Departemen Agama, sebagaimana nama
yang disandangnya adalah melakukan pembinaan dan pelayanan kehidupan umat
beragama. Tugas ini cakupannya jika dirinci cukup luas, mulai dari merumuskan
kebijakan nasional di bidang keagamaan, melaksanaan pembinaan dan pelayanan,
termasuk pembinaan kerukunan umat beragama. Yang tampak menonjol, dalam membina
umat beragama selain melalui tempat-tempat ibadah, adalah melalui pendidikan agama.
Dalam melaksanakan kebijakannya,
Departemen Agama memiliki beberapa direktorat jendral sesuai dengan jenis tugas
dan agama yang hidup dan berkembang di Indonesia. Sementara ini, ada dirjen
pendidikan Islam, dirjen haji, dirjen pembinaan masyarakat Islam, dirjen
pembinaan agama kristen Kantholik, dirjen pembinaan agama kristen protestan,
dirjen pembinaan agama Hidndu, dirjen agama budha. Agama Kong Hu Cu, sementara
masih berada di bawah Sekretaris Jendral Departemen Agama.
Sebagaimana disinggung di muka,
masing-masing agama mengelola lembaga pendidikan yang tersebar di seluruh tanah
air, mulai dari pendidikan yang bersifat formal, maupun yang bersifat non
formal dan informal. Pendidikan yang bersifat formal misalnya, masing-masing
agama memiliki lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan
tinggi. Di antaranya ada yang berstatus negeri dan sebagian lainnya, bahkan
justru yang lebih banyak jumlahnya, berstatus swasta.
Semula lembaga pendidikan formal yang
berada di bawah pembinaan departemen agama hanya bersifat pendidikan kedinasan,
yaitu lembaga pendidikan yang dimasudkan untuk mencukupi kebutuhan tenaga yang
diperlukan oleh departemennya sendiri, sehingga bidang-bidang yang dikembangkan
disesuaikan dengan kebutuhan instansi itu. Akan tetapi akhir-akhir ini, lembaga
pendidikan yang berada di bawah departemen agama, ternyata berkembang lebih
luas lagi melampaui wilayahnya semula, hingga akhirnya orientasinya menjadi
sama dengan lembaga pendidikan yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional.
Dengan mengelola pendidikan hingga dalam jumlah yang besar ini, maka Departemen
Agama mendapatkan anggaran yang cukup besar.
betapa indahnya sesungguhnya negeri ini,
jika dilihat dari aspek agama. Agama diurus dan disediakan anggaran oleh
pemerintah. Pemerintah atau negara tidak saja memberikan perhatian, melainkan
juga ikut serta membiayai dan membina kehidupan umat beragama dari berbagai
agama yang ada. Oleh karena itu, hubungan negara dan agama di negeri ini, sulit
dilihat sebagai dua bagian yang berbeda. Agama dan negara tampak menyatu secara
padu. Nilai-nilai agama, seperti konsep tentang ketaqwaan, keimanan, kejujuran,
keadilan, kebersamaan, musyawarah dan seterusnya masuk pada relung-relung
kehidupan bernegara. Lebih dari itu, di wilayah yang mayoritas masyarakatnya
beragama Islam, kantor-kantor pemerintah termasuk lembaga pendidikan,
disediakan tempat ibadah. Setiap kantor pemerintah dilengkapi masjid, termasuk
juga sekolah-sekolah pemerintah dan juga perguruan tinggi atau universitas.
Lebih dari itu, pelaksanaan ritual agama
pun mendapatkan perhatian dan pelayanan dari pemerintah. Seperti misalnya
penyelenggaraan ibadah haji, puasa di bulan ramadhan, pemerintah ambil bagian
dalam penentuan awal dan akhir bulan ramadhan. Demikian pula pada peringatan
hari besar keagamaan, semua agama, dijadikan sebagai hari libur nasional. Lebih
dari itu, simbol keagamaan misalnya mulai dari yang paling sederhana, bahwa
hampir setiap pejabat pemerintah tatkala memulai pidato memberikan nuansa
agama, misalnya mengucapkan salam dan memuji Tuhan, dengan menggunakan cara
Islam bagi pejabat muslim, dan begitu pula bagi agama lainnya Ayat-ayat suci al
Qur’an. . Agama tidak dijadikan sebagai dasar mengatur negara, tetapi agama
diposisikan sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari. Namun nilai-nilai universal agama, seperti keadilan, kejujuran,
saling menghormati sesama, kasih sayang, kebersamaan, bermusyawarah, dan
lain-lain dijadikan sebagai sumber atau ruh dalam menyusun berbagai aturan, pedoman,
dan bahkan undang-undang negara.
jika proses hubungan agama dan negara di
negeri ini terus berkembang sebagaimana yang berjalan selama ini, maka
Indonesia tidak saja akan menjadi negara yang paling besar berpenduduk muslim,
tetapi lebih dari itu, juga sekaligus sebagai model ideal hubungan antara agama
dan negara bagi masyarakat yang berdemokrasi. Dalam suasana seperti itu, maka
penyebaran, misi, atau dakwah masing-masing agama, dalam suasana yang terbuka,
akan menawarkan atau mengedepankan kualitas kehidupan yang didasari oleh
nilai-nilai masing-masing agama, dan bukan selainnya itu. Orang mengenali
keunggulan dan keluhuran suatu agama, bukan saja berdasar pada tataran kekuatan
doktrin dari kitab suci masing-masing, melainkan juga dari kualitas kehidupan
secara menyeluruh yang berhasil ditampilkan oleh masing-masing pemeluk agama
yang berbeda-beda itu. Sehingga kemudian yang terjadi, adalah mereka akan
berlomba-lomba dalam menampilkan kualitas kehidupan dan bukan justru saling
mengingkari keberadaannya dan atau merendahkan. Wallahu a’lam.
fungsi negara sebagai organisasi sosial
karena tujuan utamanya adalah menciptakan ketertiban. Negara dan rumah tangga
sama namun berbeda pada skala. Karena itu negara diciptakan sebagai kebutuhan
sosiologis manusia untuk menciptakan ketertiban di antara mereka. Dalam batasan
ini, fungsi negara adalah fungsi organisasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada makalah ini kami simpulkan. Dalam proses
hubungan agama dan Negara di Negara ini terus berkembang sebagaimana yang
berjalan selama ini, maka Indonesia tidak saja akan menjadi Negara yang paling besar ber-penduduk muslim,
tetapi lebih dari itu juga sekaligus sebagai model ideal hubungan antar agama dan Negara bagi
masyarakat yang berdemokrasi.
3.2
Pesan dan Kesan
Pesan : maaf
bila ada kekurangan dan kesalahan karena kami masih dalam pembelajaran.
Kesan :
terimakasih kepada ibu, bapak dosen selama pembuatan makalah ini, dosen dapat menyempatkan waktu untuk bersosialisasi tentang makalah kami.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku agama
islam XII smk
ConversionConversion EmoticonEmoticon