MAKALAH
“NASIONALISME INDONESIA”
Disusun Guna Memenuhi Tugas Komputer Untuk Semester Tiga
Disusun oleh:
ARIF BANAR RIZZALLI
NIS 13489
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 SRAGEN
PENDIDIKAN SOSIOLOGI
2007
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobil alamin, segala puji dan syukur, kita
panjatkan atas karunia
Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya
kepada kita semua. Karena
berkat rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan tugas
pembuatan makalah yang
mengembil tema “Demokrasi Indonesia”.
Saya ucapkan terimakasih kepada:
Dosen Pembimbing mata kuliah Komputer, Bapak Grendi M.Si
kepada pihak-pihak lain yang telah membantu menyelesaikan
tugas ini secara langsung
atau tidak langsung.
Saya selaku penulis makalah menyadari masih banyak terdapat
kesalahan dalam hal
penulisan ataupun dalam hal ketatabahasaan. Oleh karena itu
saya selaku penyusun
makalah mengharapkan kritik dan saranya yang bersifat
membangun, dan demi perbaikan
tugas untuk yang akan datang.
Terima kasih
Penyusun
Eko Nugroho W
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………..
2
DAFTAR ISI………………………………………………………………. 3
PENDAHULUAN…………………………………………………………. 4 PEMBAHASAN…………………………………………………………… 6
KESIMPULAN DAN PENUTUP………………………………………… 21 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
22
BAB 1
PENDAHULUAN
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris
"nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk
sekelompok manusia.
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian
paham negara atau
gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat
warganegara, etnis, budaya,
keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan
dan kebanyakan teori
nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen
tersebut.
NASIONALISME merupakan suatu bentuk ideologi, demikian
pendapat James G. Kellas (1998: 4). Sebagai suatu ideologi, nasionalisme
membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta memberi seperangkat sikap
dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan
menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa.
Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban
atas kolonialisme.
Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah
melahirkan semangat solidaritas
sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi
bangsa merdeka. Semangat
tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya
dalam batas waktu tertentu,
tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.
pada masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh bangsa
Indonesia adalah
mentalitas warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan
konsisten serta mampu
mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang
dibutuhkan bangsa Indonesia
pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia sedang
mengalami massa-masa
keterpurukanya dalam dunia intetrnasional. Krisis
multidimensi yang di barengi dengan
krisis ekonomi yang berkepanjanganlah yang menyebabkan
kegoncangan dan
keterpurukan mental Indonesia.
Rumusan Masalah
Apakah yang disebut nasionalisme?
Apakah arti nasionalisme bagi Indonesia?
Bagaimana bentuk nasionalisme Indonesia pada masa sekarang
ini?
Apakah ada perbedaan bentuk nasionalisme pada awal
kemerdekaan dan pada saat ini?
Bagaimana hubungan Indonesia dengan Negara luar kaitanya
dengan nasionalisme?
Apa pengaruh konflik-konflik Indonesia dengan Malaysia.?
Tujuan pembahasan
Mengetahui apa yang dimaksud dengan nasionalisme dan
bagaimana arti nasionalisme
bagi Indonesia
Mengetahui bentuk-bentuk nasionalisme
Dapat membandingkan perbedaan bentuk nasionalisme dari suatu
periode ke periode
yang lain.
Mengetahui pengaruh nasionalisme jika di kaitkan dengan
konflik antar bangsa.
BAB 2
NASIONALISME
A. Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris
"nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk
sekelompok manusia.
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan
beberapa "kebenaran politik"
(political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu
"identitas budaya", debat
liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah
bersumber dari kehendak rakyat,
atau gabungan kedua teori itu.
Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola
pikirnya mulai merosot.
Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam
suatu wilayah tertentu dan tak
beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri
sangat berperan dan mendorong
mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan
menggantungkan diri.
Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene
lemah dan bermutu rendah.
Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman
pihak asing yang hendak
menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila
suasanya aman dari serangan
musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah
kekuatan ini.
Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan
politik dan
ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik
serta keagamaan, seperti yang
dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya
menumpukan penyelidikan mereka
kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional
sosialisme, pengasingan dan
sebagainya.
b.
Bentuk Nasionalisme
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian
paham negara atau
gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat
warganegara, etnis, budaya,
keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan
dan kebanyakan teori
nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen
tersebut.
Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)
adalah sejenis nasionalisme
dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan
aktif rakyatnya, "kehendak
rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini
mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau
dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang
terkenal adalah buku berjudulk Du
Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai
Kontrak Sosial").
Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara
memperoleh kebenaran
politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat.
Dibangun oleh Johann Gottfried
von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman
untuk "rakyat").
Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik,
nasionalisme identitas)
adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara
memperoleh kebenaran politik
secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa
atau ras; menurut semangat romantisme.
Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan
budaya etnis yang
menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka
untuk konsep nasionalisme
romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang
dinukilkan oleh Herder merupakan
koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana
negara memperoleh kebenaran
politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat
keturunan" seperti warna kulit, ras dan
sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang
menganggap negara adalah
berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di
mana golongan Manchu
serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara
Tiongkok. Kesediaan
dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa
membuktikan keutuhan budaya
Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka
nasionalis Tiongkok
sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRT karena
pemerintahan RRT
berpaham komunisme.
Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme
kewarganegaraan, selalu
digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan
nasionalistik adalah kuat sehingga
diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan
kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu
selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat
demokrasi. Penyelenggaraan
sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung,
seolah-olah membentuk
kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa
ialah Nazisme, serta
nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih
kecil, Franquisme sayap-
kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris
dan golongan pemusat negeri
Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang
secara ganas menentang
demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih
otonomi untuk golongan
Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara
sistematis, bila mana nasionalisme
kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik
kepada kesetiaan masyarakat,
dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan
penindasan kejamnya terhadap
nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan
pusat yang kuat di Sepanyol
dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan
Corsica.
Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara
memperoleh legitimasi
politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya
nasionalisme etnis adalah
dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di
Irlandia semangat
nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu
Katolik; nasionalisme di
India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP
bersumber dari agama Hindu.
Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama
hanya merupakan
simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut.
Misalnya pada abad ke-18,
nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut
agama Protestan. Gerakan
nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan
teologi semata-mata.
Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut
dengan Irlandia
sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia.
Justru itu, nasionalisme
kerap dikaitkan dengan kebebasan.
B. Nasionalisme Indonesia
NASIONALISME merupakan suatu bentuk ideologi, demikian
pendapat James G. Kellas (1998: 4). Sebagai suatu ideologi, nasionalisme
membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta memberi seperangkat sikap
dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan
menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa.
Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban
atas kolonialisme.
Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah
melahirkan semangat solidaritas
sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi
bangsa merdeka. Semangat
tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya
dalam batas waktu tertentu,
tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.
Kebijakan pendidikan nasional di awal abad XX telah
menciptakan inti dari elite baru
Indonesia yang terdiri dari para dokter, guru, dan pegawai
sipil pemerintah. Bersamaan
dengan itu, kebencian yang laten terhadap dominasi kolonial
timbul di atas ambang
kesadaran nasional. Berdirinya Boedi Oetomo (1908) menjadi
tanda kebangkitan
nasionalisme Indonesia yang kemudian diikuti
organisasi-organisasi nasional lainnya.
Jiwa nasionalisme kaum elite dari hari ke hari semakin
meluas dan menguat di hati
rakyat. Tekanan ekonomi yang teramat berat selama pendudukan
Jepang memperkuat
semangat nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Pada kurun waktu 1945-
1950, jiwa nasionalisme diperteguh oleh semangat
mempertahankan kemerdekaan, serta
persatuan dan kesatuan Indonesia yang dirongrong oleh
perlawanan kedaerahan dari
negara-negara boneka bentukan Belanda.
KINI nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran
peradaban baru bernama
globalisasi. Nasionalisme sebagai basic drive serta elan
vital dari sebuah bangsa bernama
Indonesia sedang diuji fleksibilitasnya, dalam arti
kemampuan untuk berubah sehingga
selalu akurat dalam menjawab tantangan zaman. Fleksibilitas
tidaklah mengurangi jiwa
nasionalisme, justru sebaliknya, fleksibilitas menunjukkan
begitu dalamnya nasionalisme
mengakar sehingga dalam waktu bersamaan dia tetap hidup dan
terus-menerus
bermetamorfosis.
Pusaran ekonomi global menendang nasionalisme jauh ke
pinggiran. Nasionalisme
menjadi tidak relevan lagi. Di masa lalu modal terkait erat
dengan rakyat. Dia memiliki
tanggung jawab sosial untuk menghidupi seluruh anggota
komunitas (bangsa). Namun
kini, privatisasi terus-menerus menyeret modal menjauh dari
dimensi sosial atau
komunitasnya. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya modal
dengan cepat berlari
(capital flight) ke (negara) mana pun yang disukainya.
Apakah negara hancur lebur karena krisis ekonomi atau rakyat
mati kelaparan, tidak
lagi dipandang sebagai tanggung jawab para pemilik modal.
Banyaknya perusahaan yang
melarikan modalnya ke negara lain pada saat krisis ekonomi
di pertengahan 1997 dan
tahun-tahun sesudahnya memberi gambaran konkret atas
persoalan tersebut. Kenyataan
demikian memunculkan persoalan, apakah nasionalisme masih
relevan dalam pusaran
ekonomi global saat ini, sebab modal finansial melepaskan
diri dari keterikatannya
dengan nation-state, sehingga bangsa sebagai komunitas
solidaritas menjadi utopia.
Globalisasi sebagai proses de-teritorialisasi tidak hanya
menimbulkan persoalan di
bidang ekonomi, tetapi juga kebudayaan. Kebudayaan kerap
dikaitkan dengan teritori
tertentu. Ruang membentuk identitas budaya. Ini berarti
nasionalisme Indonesia pun
dibangun oleh kebudayaan Indonesia yang berada dalam
batas-batas geografis tertentu.
Itu pemahaman kebudayaan di masa lalu.
Globalisasi sebagai proses de-teritorialisasi telah mengubah
semua itu. Kebudayaan
tidak lagi terkungkung dalam teritori tertentu. Kini tidak
sedikit anak-anak muda Kota
Kembang yang lebih terampil break dance daripada jaipongan;
atau lebih mahir bermain
band, daripada menabuh gamelan. Kita juga bisa menyaksikan
orang barat yang menjadi
dalang dan piawai memetik kecapi. Kita bisa menyaksikan
ibu-ibu yang setia berkebaya
serta bapak-bapak yang bersarung atau berpeci, pada waktu
bersamaan begitu menikmati
fast food bermerek global. Kebudayaan telah melepaskan diri
dari keterikatannya pada
nation-state. Kenyataan ini menghadapkan nasionalisme dengan
persoalan, manakah
kebudayaan yang akan menjadi media berurat-akarnya
nasionalisme?
Bersamaan dengan proses de-teritorialisasi dan mengglobalnya
kebudayaan terjadi
gerak sebaliknya berupa pencarian identitas lokal yang
semakin intensif.
Proses mengglobal dan melokal janganlah dipandang sebagai
penyakit atau kelainan
dalam budaya masyarakat tetapi mesti diterima sebagai
keutamaan hidup manusia;
semakin mengglobal semakin rindu akan identitas lokalnya.
Gerak paradoks tersebut
tampak jelas dalam bangkit dan menguatnya gerakan-gerakan
etnis serta agama. Nation-
state menghadapi ancaman dari berbagai gerakan partikular
sehingga memicu domestic
conflicts yang dapat membawa pada runtuhnya nation-state
seperti yang dialami oleh
bekas negara Uni Soviet. Pada titik ini nasionalisme pun
dipertanyakan eksistensi dan
relevansinya.
Globalisasi bidang politik mendatangkan persoalan serupa
atas nasionalisme.
Globalisasi telah mereduksi pentingnya lingkup politik dari
nation-state yang merupakan
basis bagi pembangunan sosial-politik. Peran nation-state menjadi
subordinat karena
diambilalih oleh lembaga-lembaga ekonomi transnasional. Jika
eksistensi nation-state
terpinggirkan, halnya sama dengan nasionalisme, nasionalisme
menjadi ideologi yang
kedaluarsa.
DARI perspektif ekonomi, budaya, dan politik global tampak
bahwa nasionalisme
menghadapi tantangan yang sangat besar di tengah pusaran
globalisasi saat ini. Apakah
ini berarti nation-state tidak relevan lagi, yang berarti
tidak relevan pula membicarakan
nasionalisme? Fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini
kewarganegaraan modern
dengan berbagai hak sosial, politik, dan sipilnya tidaklah
melampaui batas-batas nasional.
Meski kini berkembang berbagai komunitas transnasional, Uni
Eropa misalnya, namun
seseorang yang hendak menjadi anggota terlebih dahulu mesti
memperoleh
kewarganegaraan dari salah satu negara anggotanya. Ini
berarti di tengah arus globalisasi,
peran nation-state serta nasionalisme tetap relevan dan
signifikan.
Pertanyaan yang segera muncul, nasionalisme yang mana? Jika
ditempatkan dalam ketegangan lokal-global, nasionalisme merupakan pencarian
identitas lokal (nasional) di tengah pusaran globalisasi.
Nasionalisme sebagai identitas bukanlah "kata
benda" yang bentuk dan wujudnya
sudah jadi dan final. Nasionalisme merupakan "kata
kerja", artinya dia adalah suatu
projek yang mesti terus-menerus dikerjakan, dibangun, serta
diberi dasar dan makna baru
pada setiap kesempatan. Proses kerjanya dijalani lewat
public critical rational discourse
yang melibatkan seluruh bagian anak negeri sebagai yang sederajat
tanpa mengecualikan
siapapun.
Di tengah pusaran globalisasi, nasionalisme Indonesia bukan
lagi memanggul senjata
atau bambu runcing dengan semangat "merdeka atau
mati". Nasionalisme Indonesia
bukanlah patriotisme gaya Hitler atau Mussolini, juga melampaui
semboyan termashur
dari Perdana Menteri Britania Raya, Disraeli, "benar
atau salah, negeriku selalu benar".
Nasionalisme demikian oleh Mangunwijaya dimaknai sebagai
nasionalisme pasca-
Indonesia.
Arah nasionalisme pasca-Indonesia, menurut Mangunwijaya,
akan berkembang
dengan mengambil sumber dari semangat dasar nasionalisme
generasi 1928; suatu
nasionalisme yang berpedoman "right or wrong is right
or wrong" bukan "right or wrong
is my country". Hakikat nasionalisme Generasi 1928
merupakan perjuangan dan
pembelaan kawanan manusia yang terbelenggu penjajahan,
tertindas, miskin
kemerdekaan dan hak menentukan diri sendiri.
Nasionalisme pasca-Indonesia seperti juga nasionalisme 1928
diarahkan untuk memperjuangkan hidup manusia yang termarginalisasi, teralienasi
serta tak berdaya menghadapi penguasa ekonomi, politik, budaya yang lalim dan
sewenang-wenang.
Bedanya, nasionalisme generasi 1928 ditujukan ke arah lawan
asing dari luar,
sedangkan bagi nasionalisme pasca-Indonesia yang hidup dalam
pusaran globalisasi,
batas-batas geopolitis semakin kabur. Perjuangan
kemanusiaan, keadilan, dan
kesejahteraan dari nasionalisme pasca-Indonesia tidak hanya
diarahkan ke pihak-pihak
asing tetapi juga ke dalam negeri sendiri, bahkan diri
sendiri. Nasionalisme pasca-
Indonesia merupakan perjuangan untuk meniadakan segala
bentuk eksploitasi manusia
(juga lingkungan hidup beserta semua penghuninya) oleh siapa
pun, dari manapun dan
dalam bentuk apa pun.
Nasionalisme pasca-Indonesia tidak menghabiskan
"hidupnya" untuk memaksakan
memilih salah satu pro atau kontra globalisasi. Bagi
nasionalisme pasca-Indonesia,
globalisasi merupakan proses sejarah yang tak terelakan
(unevitable). Kita tidak mungkin
lari apalagi menolak serta menghentikan proses globalisasi.
Nasionalisme pasca-
Indonesia lebih concern dengan persoalan yang lebih
mendasar, yaitu bagaimana
"mengawal" globalisasi supaya semakin manusiawi.
Nasionalisme Indonesia Era Reformasi kaitanya dengan
Globalisasi.
pada masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh
bangsa Indonesia adalah
mentalitas warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan
konsisten serta mampu
mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang
dibutuhkan bangsa Indonesia
pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia sedang
mengalami massa-masa
keterpurukanya dalam dunia intetrnasional. Krisis
multidimensi yang di barengi dengan
krisis ekonomi yang berkepanjanganlah yang menyebabkan
kegoncangan dan
keterpurukan mental Indonesia.
Bangsa Indonesia yang pada masa dahulu terkenal dengan kebudayaan
yang begitu
eksklusif dan memukau serta penduduk yang ramah-tamah di
dukung juga oleh kondisi
geografis yang sangat strategis dan dikaruniai tanah yang
subur, sekarang justru berubah
180 drajat. Hal ini tidak lepas dari mentalitas warga
pendukung yang sangat lemah. Tak
ada lagi terlukiskan semangat-semangat nasionalisme dalam
diri Indonesia. Mereka
seakan lupa akan perjuangan para pahlawan-pahlawan bangsa
yang telah mengorbankan
tidak hanya harta bendanya tetapi mereka juga mengorbankan
nyawa dan keluarga
mereka. Sungguh besar jassa mereka, sungguh tinggi jiwa
nasionalisme mereka, dan
sungguh jauh jika dibandingkan dengan bangsa Indonesia pada
masa sekarang ini.
Tidak ada lagi jiwa nasionalis yang dapat ditunjukan kita,
kita seakan malah
menganggap remeh mereka para pejuang yang telah berjasa
kepada kita. Hal ini dapat
kita buktikan bahwa pemerintah tetrkesan kurang
memperhatikan nasib para veteran.
Kita seakan tenggelam, dalam gemerlapnya harta. Globalisasi
dan kapitalisme
mengubah mentalitas kita menjadi sangat jauh dengan mental
nasional kita. Banyak
diantara kita yang rela menjual tanah airnya, hanya karena
sedikit kemewahan dari negeri
orang. Mereka justru membangga-banggakan negeri orang lain
disbanding negerinya
sendiri. Sebagai contoh yang dapat menunjukan hal seperti
ini adalah penduduk
Indonesia pada saat ini justru lebih senang menggunakan
produk luar dari pada memakai
produk buatan sendiri. Memang produk luar secara kualitas
lebih menjalin, bangsa
Indonesia belum mampu bersaing untuk menciptakan suatu
tekhnologi yang canggih
untuk menciptakan produk yang berkualitas. Tapi sikap
masyarakat yang lebih mencintai
produk luar sangatlah tidak dibenarkan. Mereka tidak
memikirkan dampak negatifnya.
Dampak negatifnya antara lain adalah bangsa Indonesia jistru
akan lebih tertinggal
dengan Negara lain, sebab warga negaranya yang diharapkan
dapat mendukung
perkembangan tekhnologi di Indonesia malah justru
meninggalkanya dan lari kepada
Negara lain yang lebih maju. Dalam hal ini bangsa Indonesia
terkesan egois, dan secara
kasar warganya dapat dikatakan sebagai penghianat bangsa.
Kasus-kasus yang berkaitan dengan Nasionalisme Indonesia
Kasus Sipadan dan Ligitan
sipadan ligitan merupakan salah satu pulau Indonesia yang
masuk dalam zona rawan
intervensi. Wlaupun pulau ini bukanlah pulau yang luas,
sipadan ligitan, kerapkali
menimbulkan intervensi dan pengklaiman sepeihak terhadap
kepemilikian pulau tersebut.
Hal ini dikatenakan masih sangat lemahnya sistem hukum, dan
pertahanan dan keamanan
Negara.
Pada kekade 2000 lalu, sipadan ligitan kembali mengundang
polomik terhadap Negara lain. Kali ini adalah negeri jiran malaisia yang
mengklaim, atas kepemilikan dua pulau tersebut. Merekan mengeluarkan sebuah
pernyataan yang sangat menyakitkan bangsa Indonesia. Kepemilikan Indonesia atas
sipadan ligitan tidak diakui malahan merekan mengakui bahwa merekalah yang
berhak atas kepemilikan sipadan dan ligitan.
Hal ini mengundang reaksi keras dari pihak Indonesia maupun
pihak luar. Berbagai
bentuk protes dan upaya telah di lancarkan sebagai upaya
Indonesia mempertahankan hak
dan kedaulatanya. Namun upaya-upaya tersebut harus terhenti
ketika PBB menyatakan
kepemilikan sipadan dan ligitan sebagai bagian dari wilayah
Malaysia.
Kasus Pulau Ambalat
tak beda juga dengan ambalat, sebuah pulau yang masuk dalam
zona kritis intervensi.
Kali ini juga Indonesia dan Malaysia kini menghadapi
persoalan wilayah Ambalat akibat
pemberian konsesi untuk ekplorasi minyak oleh perusahaan
minyak Malaysia (Petronas)
pada 16 Februari 2005 kepada perusahaan Shell asal
Inggris/Belanda di Laut Sulawesi
yang berada di sebelah timur Pulau Kalimantan. Indonesia
menyebut wilayah yang
diklaim Malaysia itu blok Ambalat dan blok East Ambalat. Di
blok Ambalat, Indonesia
telah memberikan konsesi kepada ENI (Italia) pada tahun 1999
dan sekarang dalam tahap
eksplorasi. Sedangkan blok East Ambalat diberikan kepada
Unocal (AS) pada tahun
2004.
Untuk blok East Ambalat, kontrak baru ditandangani 13
Desember 2004. Namun kontrak
ini menjadi bermasalah ketika Malaysia mengklaim masalah
tersebut sebagai wilayahnya
dan menolak klaim Indonesia. Malaysia mengklaim Ambalat
wilayahnya dengan
pertimbangan berada dalam teritorial Malaysia sebagai
implikasi lepasnya Sipadan-
Ligitan yang tentu berdampak kepada luas batas perairannya.
Parahnya, kedua negara
belum menuntaskan garis batas teritorial laut.
Perdana menteri Abdullah Ahmad Badawi dengan tegas mengklaim
wilayah East
Ambalat adalah wilayahnya, sebaliknya dan patut diherankan
adalah pernyataan Menteri
Pertahanan Juwono Sudarsono yang tidak menganggap sikap
Malaysia tersebut sebagai
ancaman. Pernyataan tersebut tentu mempunyai banyak
interpretasi.
Sebagai salah satu bentuk sikap politik yang bersahabat dan
etis mungkin hal itu dapat
dibenarkan, namun dalam kondisi keterpurukan Indonesia
seperti sekarang, ketegasan
sangat diperlukan untuk mengatakan sikap Malaysia tersebut
dapat menjadi ancaman
bagi Indonesia. Belajar dari pengalaman Sipadan-Ligitan,
sikap Indonesia yang kurang
tegas dan tanggap menghasilkan lepasnya kedua pulau tersebut
dari pangkuan Indonesia.
Tentu Indonesia tidak rela Ambalat jatuh ke tangan Malaysia,
karena bukan tidak
mungkin akan menyusul penguasaan wilayah Indonesia oleh
negara tetangga terhadap
pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya yang diperkirakan mencapai
92 buah pulau
kecil perbatasan. Jika Ambalat lepas dari Indonesia, hal itu
semakin membuktikan
kedaulatan negara terancam dan harga diri serta martabat
bangsa rendah di mata dunia.
Kegagalan Pemerintah.
Kasus Ambalat muncul seiring dengan lepasnya Sipadan-Ligitan
lewat Mahkamah
Internasional tahun 2002. Kasus ini sebagai bukti kegagalan
pemerintah dalam
memberikan perhatian yang serius terhadap pulau-pulau kecil
perbatasan dan wilayah
perairan di dalamnya. Berdasarkan daftar koordinat geografis
titik-titik garis pangkal
kepulauan Indonesia telah diundangkan pada peraturan Nomor
38 tahun 2002 terdapat
183 titik dasar (TD) dan lebih dari 50 persen TD berada di
pulau-pulau kecil atau
berjumlah sekitar 92 pulau kecil. Dari 92 Pulau-Pulau Kecil
Terluar (PPKT) terdapat
sekitar 88 pulau yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga. Berdasarkan data
DKP, 21 pulau berbatasan dengan Malaysia, 25 dengan
Australia, 12 dengan Filipina, 11
dengan India, 7 dengan Palau, 5 dengan Timor Leste, 4 dengan
Singapura, 2 dengan
Vietnam dan 1 dengan Papua New Guinue. Sebanyak 50 persen
berpenduduk dengan luas
wilayah 0,02-200 km2, sisanya belum berpenduduk.
Pulau-pulau tersebut mempunyai nilai strategis bagi
eksistensi dan kedaulatan bangsa
Indonesia sekaligus juga merupakan sumber baru pertumbuhan
ekonomi bangsa.
Terdapat tiga fungsi penting PPKT tersebut. Pertama, sebagai
fungsi pertahanan dan
keamanan. PPKT memiliki peran penting keluar masuknya orang
dan barang. Praktik-
praktik penyelundupan senjata, barang-barang illegal,
obat-obatan terlarang, pemasukan
ConversionConversion EmoticonEmoticon