LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN
KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TRAUMA MEKANIK MATA
DI
RUANG MATA RSUD Dr. SOETOMO
SURABAYA
Trauma mekanik pada mata sering menyebabkan kebutaan unilateral pada
anak-anak dan orang dewasa muda. Pada kelompok inilah trauma pada mata sering
terjadi (50%) yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA).
Meskipun
mata telah mendapat perlindungan dari rongga orbita, rima orbita, alis, tulang
pipi dan hidung, lemak orbita, reflex mengedip, bulu mata, sekresi kelenjar
kelopak mata dan konjungtiva, juga dengan telah dibuatnya macam-macam alat
untuk melindungi mata, tetapi frekwensi kecelakaan masih tinggi. Terlebih -
lebih dengan bertambah banyaknya kawasan industri, kecelakaan akibat pekerjaan
bertambah banyak pula, juga dengan bertambah ramainya lalu lintas, kecelakaan
di jalan raya bertambah pula, belum terhitung kecelakaan akibat perkelahian,
yang juga mengenai mata. Pada anak-anak kecelakaan mata biasanya terjadi akibat
main panahan, ketepel, senapan angin atau akibat lemparan, tusukan dari gagang
mainan.
Sebaiknya
bila ada trauma mekanik mata segera dilakukan pemeriksaan dan pertolongan
karena kemungkinan fungsi penglihatan masih dapat dipertahankan. Adapun
pemeriksaan - pemeriksaan yang diperlukan :
1.
Anamnesa
Kapan, dimana,
ada saksi atau tidak, bagaimana visus sebelum trauma, penderita memakai
kacamata atau tidak, kalau memakai kacamata pecah atau tidak,apakah ada benda
asing masuk pada mata atau tidak.
2.
Status Lokalis
Dilakukan
pemeriksaan pada setiap jaringan mata secara teliti dan cermat serta keadaan
sekitar mata.
Trauma mekanik
pada mata dibedakan ada 2 macam yaitu :
1). Trauma
mekanik tumpul
2). Trauma
mekanik tajam.
I. Trauma Mekanik Tumpul
Gelombang tekanan akibat trauma menyebabkann tekanan yang sangat
tinggi dalam waktu singkat didalam bola mata. Tekanan dalan bola mata ini akan
menyebar antara cairan vitreus dan sclera yang tidak elastis. Akibatnya terjadi
peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana ada perbedaan elastisitas,
misal daerah limbus, sudut iridocorneal, ligamentum zinni dan corpus ciliaris.
Respon
jaringan akibat trauma menimbulkan : 1). Gangguan molekuler. Dengan adanya
perubahan patologi akan menyebabkan kromatolisis sel. 2). Reaksi Pembuluh
darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa vasoparalisa sehingga aliran darah
menjadi lambat, sel endotel rusak, cairan keluar dari pembuluh darah maka
terjadi edema. 3). Reaksi Jaringan. Reaksi Jaringan ini biasanya berupa robekan
pada cornea, sclera dan sebagainya.
A. Palpebra
1.
Perdarahan di palpebra = ecchymosis, black eye
Pada perdarahan hebat, palpebra menjadi bengkak dan berwarna
kebiru-biruan, karena jaringan ikat palpebra halus, perdarahan ini dapat
menjalar ke jaringan lain di muka, juga dapat menyeberang melalui pangkal
hidung ke mata yang lain menimbulkan hematom kacamata (bril hematom) atau
menjalar ke belakang menyebabkan eksofthalmos. Bila ecchymosisi tampak segera
sesudah trauma, menunjukkan bahwa traumanya hebat, oleh karenanya harus
dilakukan pemeriksaan seksama dari bagian mata yang lainnya. Juga perlu
pemeriksaan foto rontgen tengkorak.
Bila tak
terdapat kelainan mata lainnya dapat diberikan kompres dingin dan 24 jam kemudian
kompres hangat untuk mempercepat resorpsi, disamping obat koagulansia. Bila
perdarahan timbul 24 jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktura dari dasar
tengkorak. Dari waktu antara trauma terjadi sampai timbulnya ecchymosis dapat
diketahui kurang lebih letak fraktura tesebut. Kalau perdarahannya timbul 3 - 4
hari setelah trauma, maka frakturanya terletak di belakang sekali.
2.
Emfisema palpebra
Menunjukkan adanya fraktura dari dinding orbita, sehingga timbul
hubungan langsung antara ruang orbita denga ruangan hidung atau sinus- sinus
sekeliling orbita. Sering mengenai lamina papyricea os ethmoidalis, yang
merupakan dinding medial dari rongga orbita, karena dinding ini tipis.
Pengobatan :
berikan balutan yang kuat untuk mempercepat hilangnya udara dari palpebra dan
dinasehatkan jangan bersin atau membuang ingus karena dapat memperhebat
emfisemanya. Kemudian disusul dengan pengobatan dari frakturanya.
3.
Luka laserasi di palpebra
Bila
luka ini hebat dan disertai dengan edema yang hebat pula, jangan segera
dijahit, tetapi bersihkanlah lukanya dan tutup dengan pembalut basah yang
steril. Bila pembengkakannya telah berkurang, baru dijahit. Jangan membuang
banyak jaringan, bila tidak perlu. Bila luka hebat, sehingga perlu skingraft,
yang dapat diambil dari kulit retroaurikuler, brachial dan supraklavikuler.
4.
Ptosis
Kausa : - parese atau paralise m.
palpebra superior (N. III.)
- pseudoptosis, oleh karena edema
palpebra
Bila ptosisnya setelah 6 bulan pengobatan
denga kortikosteroid dan neurotropik tetap tak menunjukka perbaikan, mak
dilakukan operasi.
B. Konjungtiva
1.
Perdarahan subkonjungtiva
Tampak sebagai bercak merah muda atau tua, besar, kecil tanpa atau
dsertai peradangan mata.
Pengobatannya,
simptomatis dengan Sulfazinci, antibiotika bila taku terkena infeksi.
Perdarahannya sendiri dapat diabsorbsi dalam 1 – 2 minggu, yang dapat
dipercepat dengan pemberian kompres hangat selam 10 menit setiap kali. Kompres
hangat jangan diberikan pada hari pertama, karena dapat memperhebat perdarahannya,
pada waktu ini sebaiknya diberikan kompres dingin.
2. Edema
Bila
masif dan terletak sentral dapat mengganggu visus. Kondisi ini dapat diatasi
dengan jalan reposisi konjungtiva atau menusuk konjungtiva sehingga
terjadi jalan untuk mengurangi edema
tersebut. Dapat juga dibantu dengan cairan saline yang hipertonik untuk
mempercepat penyerapan.
3. Laserasi
Bila laserasi sedikit ( < 1 cm) dapat diberi antibiotika untuk
membatasi kerusakan. Daya regenerasi epitel konjungtiva yang tinggi sehingga akan
tumbuh dalam beberapa hari. Bila > 1 cm dijahit dan diberikan antibiotika.
C. Kornea
1. Erosi Kornea
Bila
pennderita mengeluh nyeri, photofobi, epifora, blefarospasme, perlu kita
lakukan pemeriksaan pengecatan fluorescein. Bila (+) berarti sebagian kornea
tampak hijau yang berarti ada suatu lesi atau erosi kornea. Pengobatan dengan
bebat mata dan diharapkan 1 - 2 hari terjadi penyembuhan. Bila erosi luas maka
perlu tambahan antibiotika.
2.
Edema Kornea
Dapat berupa edema yang datar atau edema yang melipat dan menekuk ke
dalam masuk ke membran bowman dan descemet. Pengobatan dengan bebat mata dan
antibiotika, kadang-kadang diperlukan lensa kontak untuk melindungi kornea pada
fase penyembuhan.
D.
Bilik Mata Depan
1. Hifema
Perdarahan ini berasal dari iris atau badan siliar. Merupakan
keadaan yang gawat. Sebainya dirawat, Karena takut timbul perdarahan sekunder
yang lebih hebat daripada perdaran primer, yang biasanya timbul hari kelima
setelah trauma. Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan darah terlalu
cepat diserap, sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu cukup untuk
regenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah di dalam
bilik mata depan, dapat menghambat aliran aquos ke dalam trabekula, sehingga
dapat menimnbulkan galukoma sekunder. Hifema dapat pula menyebabkan uveitis.
Darah dapat terurai dalam bentuk hemosiderin, yang dapat meresap masuk ke dalam
kornea, menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau
imbibisio kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan pada hifema adalah :
glaucoma sekunder, uveitis dan hemosiderosis atau imbibisio kornea. Hifema
dapat sedikit dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin
masih baik dan tekanan intraokuler normal. Perdarahan yang mengisi setengah bilik
mata depan, dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler,
sehingga mata terasa sakit oleh glaukomanya. Jika hifemanya mengisi seluruh
bilik mata depan rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi, karena
tekanan intraokulernya bertambah pula.
Pengobatan:
Harus masuk rumah sakit. Istirahat ditempat tidur dengan elevasi kepala 30 – 45
derajat. Kepala difiksasi dengan bantal pasir dikedua sisi, supaya tak
bergerak. Keadaan ini harus dipertahankan minimal 5 hari. Pada anak-anak mungkin
harus diikat tangan dan kakinya ditempat tidur. Kedua mata ditutup, atau dapat
pula mata yang sakit saja yang ditutup. Beri salep mata, koagulansia. Bila
terisi darah segar, berikan antifibrinolitik, supaya bekuan darah tak terlalu
cepat diserap, untuk memberi kesempatan pembuluh darah menyembuh, supaya tak
terjadi perdarahan sekunder. Pemberiannya tak boleh melewati 1 minggu, karena
dapat mengganggu aliran humor aquos, menimbulkan glaucoma dan imbibisio kornea.
Dapat diberikan 4 kali 250 mg transamic acid. Selama dirawat yang perlu
dipehatikan adlah hifema penuh atau tidak, tekanan intraokuler naik atau tidak,
fundus terlihat atau tidak.Hifema yang penuh dengan kenaika intra okuler, perlu
pemberian diamox, gliserin yang harus dinilai dalam 24 jam. Jika tekanan
intraokuler tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal, dilakukan
parasentese. Jika tekanan menjadi normal, diamox tetap diberikan dan dinilai
setiap hari. Bila tekanan ini tetap normal dan darah masih terdapat sampai hari
ke 5 – 9,dilakukan parasentese. Bila terdapat glaukoma yang tak dapat dikontol
dengan cara diatas, maka dilakukan iridenkleisis, dengan merobek iris, yang
kemudian diselipkan diantara insisi korneo skleral, sehingga pupil tampak
sebagai lubang kunci yang terbalik.
E.
Iris
1.
Iridoplegi
Merupakan kelumpuhan otot sfinter pupil sehingga pupil menjadi
midriasis. Iridoplegi ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan sfinter
dan pemberian roboransia.
2.
Iridodialisis
Merupakan
robekan pada akar iris, sehingga pupil agak kepinggir letaknya, pada
pemeriksaan biasa teerdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi juga pada
dasar iris tempat iridodialisa. Pada pemerisaan oftalmoskop terdapat warna
merah pada pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan reflek
fundus.Pengobatan dapat dicoba dengan midriatika, sehingga pupil menjadi lebar
dan menekan pada akarnya. Istirahat ditempat tidur. Mata ditutup. Bila
menimbulkan diplopia, dilakukan reposisi, dimana iris dikaitkan pada sclera.
F.
Pupil
1. Midriasis
Disebabkan
iriodoplegi, akibat parese serabut saraf yang mengurus otot sfingter pupil.
Iridoplegi ini dapat terjadi temporer 2 – 3 minggu, dapat juga permanen,
tergantung adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu ini mata
terasa silau. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan
sfingter dan pemberian roboransia.
G. Lensa
1. Dislokasi Lensa
Dislokasi lensa terjadi karena ruptura dari zonula zinni. Dapat
sebagian (subluksasi), dapat pula total (luksasi). Lepasnya dapat kedepan dapat
pula ke belakang. Bila tak menimbulkan penyulit glaucoma atau uveitis,
dibiarkan saja, dengan memberi koreksi
keadaan refraksinya. Baru dilakukan ekstraksi lensa bila kemudian timbul
penyulit glaucoma, uveitis dan katarak, setelah glaucoma dan uveitisnya
diredakan dahulu.
2.
Katarak Traumatika
Katarak ini timbul karena gangguan nutrisi. Ada macam-macam katarak
traumatika yaitu vosius ring, berbentuk
roset(bintang), dengan kapsula lensa yang keriput. Pengobatan tergantung saat
terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan
terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia dapat dipasang lensa intraokuler
primer atau sekunder. Pada katarak trauma bila tidak terjadi penyulit dapat
ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaucoma,
uveitis dan lai sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa.
H. Badan Kaca
1. Perdarahan Badan Kaca
Darah
berasal dari badan siliar, koroid dan retina. Karenanya bila terdapat
perdarahan didalam badan kaca, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi,
untuk mengetahui keadaan dibagian posterior mata.
Pengobatan
dapat diberikan koagulansia per oral atau parenteral disamping istirahat di
tempat tidur. Tindakan operatif vitrektomi, baru dilakukan bila setelah 6 bulan
dilakukan pengobatan, masih terdapat kekeruhan, untuk memperbaiki tajam penglihatan.
I.
Retina
1. Edema Retina
Edema
retina biasanya didaerah polus posterior dekat macula atau di perifer. Tampak
retina dilapisi susu. Bila terjadi di macula, visus sentral terganggu dengan
skotoma sentralis. Dengan istirahat, edema dapat diserap dan refleks fovea
tampak kembali. Untuk mempercepat penyerapan dapat disuntikkan kortison subkonjungtiva
0,5 cc 2 kali seminggu.
2.
Ruptura Retina
Robekan
pada retina menyebabkan ablasi retina = retinal detachment. Umumnya robekan
berupa huruf V didapatkan di daerah temporal atas. Melalui robekan ini, cairan
badan kaca masuk ke celah potensial di antara sel epitel pigmen dan lapisan
batang dan kerucut, sehingga visus dapat menurun, lapang pandang mengecil, yang
sering berakhir kebutaan, bila terdapat ablasi total.
Pengobatan
harus dilakukan segera, dimana prinsipnya dilakukan pengeluaran cairan
subretina, koagulasi ruptura dengan diatermi.
3.
Perdarahan Retina
Dapat timbul bila trauma tumpul menyebabkan pecahnya pembuluh darah.
Bentuk perdarahan tergantung lokalisasinya. Bila terdapat dilapisan serabut
saraf tampak sebagai bulu ayam, bila tampak lebih keluar tampak sebagai bercak
yang berbatas tegas, perdarahan di depan retina mempunyai permukaan yang datar
di bagian atas dan cembung di bagian bawah. Darahnya dapat pula masuk ke badan
kaca. Penderita mengeluh terdapat bayangan-bayangan hitam di lapangan penglihatannya, kalau banyak
masuk kedalam badan kaca dapat menutup jalannya cahaya, sehingga visus
terganggu.
Pengobatan
dengan istirahat di tempat tidur, istirahat mata, di beri koagulansia, bila
masuk ke badan kaca diobati sebagai perdarahan badan kaca.
J.
Sklera
1. Robekan Sklera
Kalau
robekannya kecil, sekitar robekan didiatermi dan robekannya dijahit. Pada
robekan yang besar lebih baik dilakukan enukleasi bulbi, untuk hindarkan
oftalmia simpatika. Robekan ini biasanya terletak di bagian atas.
K.
Nervus Optikus
1.
Avulsi Papil saraf Optik
Pada
trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola
mata. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan
sering berakhir dengan kebutaan.Penderita ini perlu dinilai kelainan fungsi
retina dan saraf optiknya.
2.
Optik Neuropati Traumatik
Trauma
tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan
dan edema sekitar saraf optik.
Penglihatan
akan berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa
adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah
gangguan penglihatan warna dan lapangan
pandang. Papil saraf optik dapat normal dalam beberapa minggu sebelum
menjadi pucat.
Pengobatan
adalah dengan merawat penderita pada waktu akut dengan memberi steroid. Bila
penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk
pembedahan.
K.
Enoftalmus
Disebabkan
robekan besar pada kapsula tenon yang menyelubungi bola mata di luar sclera
atau disebabkan fraktura dasar orbita. Oleh karena itu harus dibuat foto
rontgen dari tulang tengkorak. Seringkali enoftalmus tidak terlihat selama
masih terdapat edema. Gejalanya : penderita merasa sakit, mual, terdapat
diplopi pada pergerakan mata keatas dan ke bawah. Saraf infra orbita sering
rusak dan penderita mengeluh anesthesia pada kelopak mata atas dan ginggiva.
Pengobatan
: operasi, dimana dasar orbita dijembatani dengan graft tulang kartilago atau
badan aloplastik.
L.
Eksoftalmos
Biasanya
disebabkan perdarahan retrobulber berasal dari A. Oftalmika beserta
cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur perdarahan diserap kembali,
juga diber koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan souffles, berarti
ada aneurisma antara arteri karotis interna dan sinus kavernosus.
Pengobatan
: pengikatan pada a. karotis sisi yang sama.
II. Trauma mekanik Tajam
Pada
trauma mekanik tajam ada baiknya diberi anestesi lokal, supaya pemeriksaan
dapat dilakukan dengan teliti dan pada luka-luka yang hebat, yang dapat
menimbulkan prolaps dari isi bola mata. Serum antitetanus harus diberikan pada
setiap luka akibat benda tajam.
A.
Palpebra
Kalau pinggiran palpebra luka dan tak diperbaiki, dapat menimbulkan
koloboma palpebra akwisita. Bila besar dapat akibatkan kerusakan kornea oleh
karena mata tak dapat menutup dengan sempurna. Oleh karena itu tindakan harus
dilakukan secepatnya. Kalau tidak kotor dapat ditunggu sampai 24 jam. Pada
tindakan tersebut harus diperbaiki kontinuitas margo palpebra dan kedudukan
bulu mata. Jangan sampai menimbulkan trikiasis. Bila robekan mengenai margo
inferior bagian nasal, dapat memotong kanalikuli lakrimal inferior, sehingga
air mata tak dapat melalui jalan yang seharusnya dan mengakibatkan epifora.
Rekanalisasi dapat dikerjakan secepatnya, bila ditunggu 1 –2 hari sukar untuk
mencari ujung-ujunng kanalikuli tersebut.
B.
Konjungtiva
1.
Perdarahan
Penatalaksanaan
sama dengan rudapaksa mata mekanis tumpul.
2.
Robekan
Bila
kurang dari 1 cm tidak dijahit, diberikan anestesi lokal. Bila lebih dari 1 cm
dijahit denga benang cut gut atau sutera berjarak 0,5 cm antara tiap-tiap
jahitan. Diberikan antibiotika lokal selam 5 hari dan bebat mata untuk 1 - 2 hari.
C.
Kornea
1.
Erosi Kornea
Penatalaksanaan seperti rudapaksa tumpul.
2.
Luka Tembus Kornea
Dari anamnesa didapatkan teraba nyeri, epifora,
photofobi dan blefarospasme. Pada
pemeriksaan didapat tes fluorescein (+).
Pengobatan:
tanpa mengingat jarak waktu antara kecelakaan dan pemeriksaan, tiap luka terbuka
kornea yang masih menunjukkan tanda-tanda adanya kebocoran harus diusahakan
dijahit. Jaringa intraokuler yang keluar dari luka, missal: badan kaca, prolap
iris sebaiknya dipotong sebelum luka dijahit. Janganlah sekali-kali dimasukkan
dalam bolamata. Jahitan kornea dilakukan secara lamellar untuk menghindari terjadinya fistel melalui bekas
jahitan. Luka sesudah dijahit dapat ditutup lembaran konjungtiva yang terdekat.
Tindakan ini dapat dianggap dapat mempercepat epitelialisasi. Diberikan
antibiotika lokal dalam bentuk salep, tetes atau subkonjungtiva. Atropin tetes
0,5 – 1% tiap hari. Dosis dikurangi bila pupil sudah cukup lebar. Bila ada
tanda-tanda glaucoma sekunder dapat diberikan tablet. Analgetik, antiinflamasi,
koagulasi dapat diberika bila perlu.
3.
Ulkus Kornea
Sebagian
besar disebabkan oleh trauma yang mengalami infeksi sekunder. Dari anamnesa
teraba nyeri, epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan nampak
kornea yang edema dan keruh dan tes flurescein (+).
Pengobatan
dapat diberikan antibiotika lokal tetes, salep atau subkonjuntiva, scraping atau pembersihan jaringan nekrotik
secara hati-hati bagian dari ulkus yang nampak kotor, aplikasi panas, cryo
terapi.
D.
Sklera
1.
Luka Terbuka atau Tembus
Luka ini lekas tertutup oleh konjungtiva sehingga kadang sukar
diketahui. Luka tembus sclera harus dipertimbangkan apabila dibawah konjungtiva
nampak jaringan hitam (koroid).
Pengobatan:
sama dengan luka tembus pada kornea. Bila luka sangat besar dan diragukan bahwa
mata tersebut masih dapat berfungsi untuk melihat, maka sebaiknya dienukleasi
untuk menghindarkan timbulnya oftalmia simpatika pada mata yang sehat.
E.
Badan Siliar
1. Luka pada Badan Siliar
Luka
disini mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan terbesar dapat menimbulkan
endoftalmitis, panoftalmitis, yang dapat berakhir dengan ptisis bulbi pada mata
yang terkena trauma, sedang pada mata yang sehat dapat timbul oftalmia
simpatika. Oleh karena itu bila lukanya besar, disertai prolaps isi bola mata
sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya dilakukan enukleasi
bulbi supaya mata yang sehat masih tetap baik.
F.
Bilik Mata Depan
Penatalaksanaan
sama denga trauma tumpul.
G.
Iris
1. Iritis
Sering akibat dari trauma. Dari anamnese didapatkan keluhan nyeri,
epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan didapatkan pupil
miosis, reflek pupil menurun dan sinekia posterior.
Pengobatan
dapat diberikan Atropin tetes 0,5 – 1% 1 - 2 kali selama sinekia belum lepas
dan antibiotika. Diberikan diamox bila ada komplikasi glaukoma.
H.
Lensa
1.
Dislokasi Lensa
Penatalaksanaan
sama dengan trauma mekanik tumpul.
2.
Katarak
Penatalaksanaan
sama denga trauma mekanik tumpul.
I.
Segmen Posterior
Penatalaksanaan sama denga trauma mekanik tumpul.
J.
Luka dengan Benda Asing (Corpus Alienum)
Pemeriksaan yang teliti secara sistimatis sangat diperlukan untuk
dapat menentukan adanya, macamnya, lokalisasi dari benda tersebut.
1.
Anamnese :
Terutama pada penderita yang bekerja di
perusahaan, dimana benda logam memegang peranan. Harus ditanyakan apa
pekerjaannya dan benda asing apakah kiranya yang masuk ke dalam mata.
2.
Pemeriksaan :
Benda asing tersebut harus dicari secara
teliti maemakai penerangan yang cukup mulai dari palpebra, konjungtiva,
fornixis, kornea, bilik mata depan.Bila mungkin benda tersebut berada dalam
lensa, badan kaca diman perlu pemeriksaan tambahan berupa funduskopi, foto
rontgen, ultrasonografi, pemerisaan dengan magnet, dan coronal CT Scan. MRI
merupakan kontra indikasi untuk benda logam yang mengandung magnet.
Benda
asing yang dapat masuk ke dalam mata dibagi dalam beberapa kelompok:
1. Benda logam, seperti emas, perak,
platina, timah hitam, besi tembaga.
Terbagi menjadi benda logam magnit dan bukan magnit.
2.
Benda bukan logam, seperti batu, kaca, bahan tumbuh-tumbuhan, bahan
pakaian.
3. Benda inert, yaitu benda
yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak menimbulkan reaksi jaringan mata,
kalau terjadi reaksipun hanya ringan saja dan tidak mengganggu fungsi mata.
Contoh: emas, platina batu, kaca, dan porselin.
4. Benda reaktif : terdiri
dari benda-benda yang dapat menimbulkan reaksi jaringan mata sehingga
mengganggu fungsi mata. Contoh : timah hitam, seng, nikel, aluminium, tembaga,
bulu ulat.
Pengobatan
yaitu dengan mengeluarkan benda asing tersebut. Bila lokalisasi di palpebra dan
konjungtiva, kornea maka dengan mudah dapat dilepaskan setelah pemberian
anestesi lokal.Untuk mengeluarkan perlu kapas lidi atau jarum suntik tumpul
atau tajam.Arah pengambilan adalah dari tengah ke tepi.Bila benda bersifat
magnetik maka dapat dikeluarkan dengan magnet portable atau giant magnet.
Kemudian diberi antibiotika lokal, sikloplegik dan mata dibebat. Pecahan besi
yan terletak di iris, dapat dikeluarkan dengan dibuat insisi di limbus, melalui
luka ini ujaung dari magnit dimasukkan untuk menarik benda tersebut, bila tidak
berhasil dapat dilakukan iridektomi dari iris yang mengandung benda asing
tersebut. Pecahan besi yang terletak di dalam bilik mata depan dapat
dikeluarkan dengan magnit pula seperti pada iris. Bila letaknya di lensa juga
dapat ditarik denga magnit, sesudah dibuat sayatan di limbus kornea, jika tidak
berhasil dapat dilakukan pengeluaran lensa denga cara ekstraksi linier pada
orang muda dan ekstraksi ekstra kapsuler atau intrakapsuler pada orang yang
lebih tua. Bila lokalisasinya di dalam badan kaca dapat dilakukan pengeluaran
dengan magnit raksasa, setelah dibuat sayatan dari skera. Bila tidak berhasil
atau benda asing itu tidak magnetik dapat dikeluarkan dengan opersai
viterektomi. Bila benda asing itu tidak dapat diambil harus dilakukan enukleasi
bulbi untuk mencegah timbulnya oftalmia simpatika pada mata sebelahnya.
PENUTUP :
Trauma mekanik mata merupakan keadaan darurat mata, karena dapat
terjadi bermacam-macam kerusakan yang bila tidak segera mendapat pertolongan
dapat mengakibatkan penurunan fungsi mata atau berakhir dengan kebutaan.
Oleh
karena itu alangkah baiknya kelak sebagai dokter umum juga waspada akan akibat
rudapaksa ini dan segera menanggulanginya, mana yang dapat diobati sendiri dan
mana yang harus dirujuk.
DAFTAR PUSTAKA
Nana Wijana : Ilmu Penyakit Mata, pp 312 – 323
Vaughn D et all : General Ophthalmology, Lange Medical Publication,
14th ed, 1989, pp 356 – 363
Sidarta Ilyas : Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 266 – 278
ConversionConversion EmoticonEmoticon