Salam Sehat dan Harmonis

-----

AQIDAH FILSAFAT



A. Pendahuluan
Pandangan kaum Induktivisme dan Falsifikanisme tentang ilmu, yang hanya memusatkan perhatian pada relasi antara teori dan observasi, dan telah gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori ilmiah yang urgen. Baik itu pada penekanan kaum induktifis naif yang menarik teori secara induktif dari hasil observasi,  maupun kaum falsifikasi yang menarik dari hasil reduksinya.
Dengan teori general dan koheren, konsep akan dapat memperoleh makna yang tepat dan memungkinkan memenuhi kebutuhan untuk berkembang lebih efisien. Karena di dalamnya terdapat petunjuk dan keterangan mengenai baggaimana seharusnya teori (ilmu) dikembangkan secara luas.
Menurut Khun, ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolud dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-endend atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan.
Adapun Skema progress Sains menurut Khun dapat penulis sajikan sebagai berikut :
Praparadigma-prasscience –Paradigma-Norma Science—Anomali Kritis –Revolusi Paradigma Baru – Ekstra ordinary Science.
Konsep sentra Khun dalam bukunya “The Strukture of Science Revololution” adalah Paradigma yang merupakan elemen primer dalam progress Sains. Seorang ilmuan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun sekitar paradigma dasar. Paradigma itu memungkinkan seorang ilmuan untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya dan menuntut adanya revolusi paradigmatic terhadap ilmu tersebut.
II. Pembahasan
A. Pengertian Paradigma
Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan menentukan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Dalam “The structure of Science Revolution”, Kuhn menggunakan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur dalam konstelasi itu dan pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang masih tersisa.  Paradigma merupakan suatu keputusan yudikatif dalam hukum yang tidak tertulis.
Secara singkat pengertian pradigma adalah Keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
B. Pandangan Kuhn tentang perkembangan Ilmu (open ended).
yang diwarisi dari Empirisme dan Rasionalisme klasik.  Dalam teori Kuhn, faktor Sosiologis Historis serta Phsikologis mendapat perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya,  yang dalam perkembangan ilmu tersebut adalah secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik.
Kuhn memberikan image atau konsep sains alternatif dalam outline yang ia gambarkan dalam bebeapa stage, yaitu :
Pra paradigma – Pra ilmu –Paradigma-Normal Science – Anomali-Krisis – Revolusi- Paradigma Baru-Ekstra ordinary Science – Anomali- Krisis – Revolusi. Kuhn melihat adanya kesalahan-kesalahan fondamental tentang image atau konsep ilmu yang telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan membabi-buta mempertahankan dogma-dogma
1. Pra paradigma-Pra ilmu
Pada stage ini terdapat persetujuan yang kecil bahkan tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing,  karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena), maka aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir.  Sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan diantara mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu, misalnya tentang sifat cahaya. Teori Epicurus, teori Aristoteles, atau teori Plato, satu kelompok menganggap cahaya sebagai partikel-partikel yang keluar dari benda-benda yang berwujud; bagi yang lain cahaya adalah modifikasi dari medium yang menghalang di antara benda itu dan mata; yang lain lagi menerangkan cahaya sebagai interaksi antara medium dan yang dikeluarkan oleh mata; di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri.  Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri.
Walaupun aktifitas ilmiah masing-masing aliran tersebut dilakukan secara terpisah, tidak terorganisir sesuai dengan pandangan yang dianut halini tetap memberikan sumbangan yang penting kepada jumlah konsep, gejala, teknik yang dari padanya suatu paradigma tunggal akan diterima oleh semua aliran-aliran ilmuan tersebut, dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat menerima (mengatasi) ketergantungan observasi pada teori.
2. Paradigma normal science
Para stage ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Dan hal inilah merupakan ciri yang membedakan antara normal science dan pra science.  Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut memungkiri adanya definisi yang ketat, meskipun demkian, didalam paradigma tersebut tercakup :
Beberapa komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Dengan demikiann, hukum “gerak” Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum “persamaan” Maxwell merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik.
Beberapa cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berbagai tipe situasi.
Beberapa instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri.
Beberapa prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma.
Bebrapa keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science.
Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisir untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis (dalam paradigma Newtonian) meliputi perencanaan teknik matematik untuk menangani gerak suatu planet yang tergantung pada beberapa gaya tarik dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan hukum Newton pada benda cair. Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya.
Dalam stage ini terdapat tiga fokus yang normal bagi penelitian science faktual, yaitu :
a) Menentukan fakta yang penting.
b) Menyesuaikan fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan menyususn masalah-masalah yang harus dipecahkan; seringkali paradigma itu secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang mampu memecahkan masalah tersebut.
c)  Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja.
Barangkali ciri yang paling menonjol dari masalah riset yang normal dalam stage ini adalah betapa sedikitnya masalah-masalah itu ditujukan untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru yang besar, yang konseptual atau yang hebat tetapi; normal science sasarannya adalah memecahkan teka-teki dan masalah-masalah science. Teka-teki tersebut harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma.  Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagai kelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigma.
Dalam pemecahan teka-teki dan masalah science normal, jika dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali) yang tidak mendasar, maka keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis. Sebaliknya jika sejumlah anomali atau fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh paradigma muncul secara terus menerus dan secara mendasar menyerang paradigma, maka ini akan mendatangkan suatu krisis.
3.  Krisis Revolusi
Walaupun sasaran normal adalah memecahkan teka-teki science dan bukan mengahsilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, gejala-gejala baru dan tidak terduga berulangkali muncul dan tersingkap oleh ilmiah tersebut yang diikuti dengan munculnya teori-teori baru.
Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan kelainan-kelainan antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, dan anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi).
Anomali dipandang sebagai hal serius yang dapat menggoyahkan paradigma jika anomali tersebut :
a) Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya.
b) Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada stage ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Mereka membela penemuan baru dengan argumen-argumen filosofis dari posisi dubuis dipandang dari sudut paradigma. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja.  Sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula.
Setiap krisis selalu diawali dengan penngkaburan paradigma serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang lebih jauh atau telah diakui dengan tegas.
Karya Lavoisier menyajikan kasus seperti itu. Notanya yang disegel diserahkan kepada akademi Prancis kurang dari satu tahun setelah studi pertamanya yang seksama tentang perbandingan Barat dalam teori Flegiston dan sebelum publikasi-publikasi Priestley secara tuntas menyingkap krisis dalam kimia pneumatic. Demikian halnya dengan Thomas Young tentang teori gelombang dari cahaya, muncul pada tahap awal sekali ketika krisis dalam optika sedang berkembang.
Persaingan antara paradigma yang telah dianut dan paradigma rival yang muncul, menandai adanya kegawatan suatu krisis. Paradigma-paradigma yang bersaing akan memandang berbagai macam pertanyaan sebagai hal yang sah dan penuh arti dilihat dari masing-masing paradigma. Pertanyaan-pertanyaan mengenai beratnya phlogiston adalah penting bagi para ahli teori phlogiston, tetapi hampa bagi Lavoisier. Soal “aksi” pada suatu jarak yang tidak dapat diterangkan itu, diterima oleh kaum Newton, tetapi ditolak oleh kaum Cartesian sebagai hal yang metafisis bahkan gaib. Gerak tanpa sebab adalah mustahil bagi Aristoteles, tetapi dipandang sebagai aksiomatik bagi Newton.
Setiap paradigma yang bersaing akan memandang dunia ini terbuat dari berbagai macam hal yang berlainan dan masing-masing paradigma tersebut akan melibatkan standar yang berlainan dan bertentangan dalam memandang dunia. Paradigma Aristotelian melihat alam semesta ini terbagi menjadi dua dunia dunia yang berlainan, dunia super-lunar (yang abadi dan tidak berubah-ubah) dan dunia sub-lunar (yang bisa musnah dan berubah-ubah). Paradigma yang muncul berikutnya melihat alam semesta terbuat dari bahan-bahan material yang sama.  Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan.
Oleh karena itu, dalam diskusi dan adu argumen antara pendukung paradigmayang bersaing tersebut adalah untuk mencoba meyakinkan dan bukan memaksakan paradigma. Sebab tidak ada argumen logis yang murni yang dapat mendemontrasikan superioritas satu paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat memaksa seorang ilmuan yang rasional untuk melakukan perpindahan paradigma.
Peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuan ondividual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Kuhn dengan “Gestalt Switch” (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali). Juga disamakan dengan “religious conversion” (pertukaran agama).
adanya alasan logis yang memaksa seorang ilmuan yang melepaskan paradigmanya dan mengambil yang menjadi rivalnya karena berkenaan dengan adanya kenyataan bahwa :
a) Berbagai macam faktor terlibat dalam keputusan seorang ilmuan mengenai faedah suatu teori ilmiah.
b) Penyusun paradigma-paradigma yang bersaing menganut berbagai perangkat standar, prinsip metafisik dan lain sebagainya yang berlainan.
Keputusan seorang ilmuan individual akan tergantung pada prioritas yang ia berikan pada beberapa faktor, faktor tersebut antara lain :
- Kesederhanaan
- Kebutuhan sosial yang mendesak
- Kemampuan memecahkan problem khusus
- Kerapihan dan kecocokan dengan permasalahan yang dihadapi.
Oleh karena itu, para pendukung paradigma tidak akan saling menerima premis lawannya dan karenanya masing-masing tidak perlu dipaksa oleh argumen rivalnya. Menurut Kuhn, faktor-faktor yang benar-benar terbukti efektif yang menyebabkan para ilmuan mengubah paradigma adalah masalah yang harus diungkap oleh penyelidikan psikologi dan sosiologi.   Karena hal itulah Kuhn dianggap sebagai seorang Relativis.
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science. Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner, yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan.
Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek maler dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ektra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan.
Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya walaupun berhasil mengatasi permasalahan itu revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa.
Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.
C. Komentar Singkat tentang Konsep Science Kuhn
Konsep Kuhn tentang science progres yang terdapat dalam bukunya “The Structure Of Scientific Revolution yang berpusat pada paradigma, telah mendobrak adanya citra suatu pencapaian ilmiah yang absolut, atau suatu yang mempunyai kebenaran seakan-akan suigeneris dan objektif. Kuhn menyatakan bahwa, pengetahuan tidak terlepas dari ruang dan waktu.
Konsep dan pandangan Kuhn tentang science progres tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dengan revolusi besar menuju ke arah yang makin mendekati kesempurnaan dan lebih sesuai dengan kondisi sejarah dan zaman.
Dengan konsep paradigmanya yang fleksibel dan tidak ketat di satu sisi, mampu mendukung adanya tradisi-tradisi ilmiah dan melepaskan adanya ketergantungan observasi pada teori. Di sisi lain, sifat paradigma yang tidak sempurna dan tidak terbebas dari anomali-anomali, mampu mendorong terjadinya suatu revolusi science dan mencapai kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat.
Jika mengikuti model konsep Kuhn tentang perkembangan ilmu tersebut, maka adalah suatu kekeliruan serius jika seorang ilmuan hanya memegang satu paradigma klasik saja, sedang anomali-anomali menyerang paradigmanya secara fundamental, walaupun tidak ada argumen logis yang dapat memaksa ilmuan untuk melakukan konversi paradigma.
1. Paradigma lahir menurut zamannya
Setiap paradigma yang muncul adalah diperuntukkan mengatasi dan menjawab teka-teki atau permasalahan yang dihadapi pada zaman tertentu. Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentusaja. Sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru yang lebih sesuai adalah suatu keharusan.
Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan zaman terus dilakukan. Perpaduan antara paradigma fakta sosial, paradigma perilaku sosial, dan paradigma definisi sosial yang masing-masing mempunyai perbedaan dan berlawanan diformulasikan dalam suatu paradigma yang utuh yang dapat memecahkan permasalahan yang lebih kompleks seiring dengan perkembangan zaman.
Dari hal tersebut mencerminkan adanya suatu kemajuan dalam bidang tertentu jika terjadi revolusi-revolusi yang ditandai adanya perpindahan dari paradigma klasik ke paradigma baru.
2. Aplikasi Paradigma dalam Ilmu Agama
Mungkinkan revolusi yang ditandai konversi paradigma tersebut terjadi dalam ilmu-ilmu agama? Pertanyaan itu paling tidak mengingatkan kita pada sejarah penetapan hukum oleh salah satu imam mazhab empat yang terkenal dengan qaul qadim dan jadidnya. Adanya perubahan (revolusi) tersebut terjadi karena dihadapkan pada perbedaan varian kondisi ruang dan waktu.
Berpijak pada hal tersebut dan pola yang dikembangkan Kuhn maka sudah menjadi keniscayaan untuk menemukan paradigma baru dalam menjawab permasalahan dan tantangan zaman. Paradigma yang telah dibuat pijakan oleh para ulama terdahulu yang muncul sesuai dengan varian kondisi ruang dan waktunya serta kecenderungan profesionalnya perlu dipertanyakan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat terakhir ini.
Sebagai contoh, pemikir muslim Hasan Hanafi dengan konsep kiri Islamnya, telah mencoba menawarkan paradigma baru dalam ajaran pokok Islam, yakni Tauhid. Konsep atau ajaran Tauhid yang hanya dipandang dan dilekatkan pada ke-Esaan Tuhan perlu dirubah dan diperluas sebagai suatu konsep ketauhidanmakhlukNya sehingga akan terbentuk pola kehidupan umat yang seimbang antara ritual dan sosial, lahir dan batin, dunia dan akherat. Sehingga umat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di dunia dengan baik. Dan masih banyak lagi bidang-bidang yangperlu adanya pengembangan paradigma baru.
III. Penutup
Terlepas dari keberadaan Kuhn yang dianggap oleh pengkritiknya sebagai relativis dan teorinya dianggap bersifat subjektif. Paradigma Kuhn telah memberikan ontribusi dalam dinamika ilmu pengetahuan dan peradaban manusia serta mampu mendobrak citra pencapaian ilmu pengetahuan yang absolut dan tidak terikat ruang dan waktu. 

A. Pengertian Paradigma.

Jika mengikuti pendapat Kuhn, bahwa ilmu pengetahuan itu terikat oleh ruang dan waktu, maka sudah jelas bahwa suatu paradigma hanya cocok dan sesuai untuk permasalahan yang ada pada saat tertentu saja. Sehingga apabila dihadapkan pada permasalahan berbeda dan pada kondisi yang berlainan, maka perpindahan dari satu paradigma ke paradigma yang baru yang lebih sesuai adalah suatu keharusan.Sebagaimana dalam ilmu-ilmu sosial yang berparadigma ganda, usaha-usaha dalam menemukan paradigma yang lebih mampu menjawab permasalahan yang ada sesuai perkembangan zaman terus dilakukan.
Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Istilah paradigma ilmu pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul ” The Structur of Science Revolution ”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang kongkrit yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Paradigma merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Menurut Khun, ilmu dapat berkembang secara open-ended ( sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn, faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh.
Secara singkat pradigma dapat diartikan sebagai ” keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena)”.
B. Tahap – tahap Perkembangan Ilmu ( Progress Sains ).
Skema progress sains menurut Khun adalah sebagai berikut :
Pra paradigma - Pra Science - Paradigma Normal Science - Anomali - Krisis Revolusi - Paradigma Baru - Ekstra Ordinary Science- Revolusi.
Tahap – tahap perkembangan ilmu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Tahap Pra paradigma & Pra Science.
Pada stage ini aktivitas-aktivitas ilmiah pada stage ini dilakukan secara terpisah dan tidak terorganisir sebab tidak ada persetujuan tentang subjeck matter, problem-problem dan prosedur di antara para ilmuwan yang bersaing, karena tidak adanya suatu pandangan tersendiri yang diterima oleh semua ilmuan tentang suatu teori (fenomena). Dari sejumlah aliran yang bersaing, kebanyakan mereka mendukung satu atau lain varian dalam teori tertentu dan di samping itu ada kombinasi dan modifikasi lain yang masing-masing aliran mendukung teorinya sendiri-sendiri. Sehingga sejumlah teori boleh dikatakan ada sebanyak jumlah pelaksanaannya di lapangan dan setiap ahli teori itu merasa wajib memulai dengan yang baru dan membenarkan pendekatannya sendiri. Hal semacam ini berlangsung selama kurun waktu tertentu samapai suatu paradigma tunggal diterima oleh semua aliran yang dianut ilmuan tersebut dan ketika paradigma tunggal diterima, maka jalan menuju normal science mulai ditemukan.
Dengan kemampuan paradigma dalam membanding penyelidikan, menentukan teknik memecahkan masalah, dan prosedur-prosedur riset, maka ia dapat mengatasi ketergantungan observasi pada teori.

2.Tahap Paradigma Normal Science.
Para tahap ini, tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science.
Paradigma yang membimbing eksperimen atau riset ilmiah tersebut didalamnya tercakup :
· Komponen tipikal yang secara eksplisit akan mengemukakan hukum-hukum dan asumsi-asumsi teoritis. Contoh, hukum “gerak” Newton membentuk sebagian paradigma Newtonian. Dan hukum “persamaan” Maxwell merupakan sebagian paradigma yang telah membentuk teori elektromagnetik klasik.
· Cara yang baku dalam penggunaan hukum-hukum fundamental untuk berba gai tipe situasi.
· Instrumentasi dan teknik-tekniknya yang diperlukan untuk membuat agar hukum-hukum paradigma itu dapat bertahan dalam dunia nyata dan di dalam paradigma itu sendiri.
· Prinsip metafisis yang sangat umum yang membimbing pekerjaan di dalam suatu paradigma.
· Keterangan metodologis yang sangat umum yang memberikan cara pemecahan teka-teki science.
Normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisir untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis meliputi perencanaan dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penterapan statu hukum. Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya.
Dalam tahap normal science ini terdapat tiga fokus bagi penelitian science faktual, yaitu :
1. Menentukan fakta yang penting.
2. Menyesuaikan fakta dengan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan; ( seringkali paradigma itu secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang mampu memecahkan masalah tersebut ).
3. Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja.
Jika ilmuan gagal memecahkan teka-teki science tersebut maka kegagalan tersebut merupakan kegagalan ilmu itu sendiri bukan kegagalan paradigma. Teka-teki harus ditandai oleh kepastian akan adanya pemecahannya dari paradigma. Teka-teki yang tidak terpecahkan dipandang sebagai kelainan (anomali) bukan sebagai falsifikasi suatu paradigma.
Dalam pemecahan teka-teki dan masalah science normal, jika dijumpai problem, kelainan, kegagalan (anomali) yang tidak mendasar, maka keadaan ini tidak akan mendatangkan krisis. Sebaliknya jika sejumlah anomali atau fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh paradigma muncul secara terus menerus dan secara mendasar menyerang paradigma, maka ini akan mendatangkan suatu krisis.
3. Krisis Revolusi
Sasaran normal science adalah memecahkan teka-teki science dan bukan menghasilkan penemuan-penemuan baru yang konseptual, yang diikuti dengan munculnya teori-teori baru. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya akan muncul gejala-gejala baru yang belum terjawab oleh teori yang ada. Apabila hal-hal baru yang terungkap tersebut tidak dapat diterangkan oleh paradigma dan anomali antara teori dan fakta menimbulkan problem yang gawat, serta anomali-anomali tersebut secara fundamental menyerang paradigma maka dalam keadaan demikian, kepercayaan terhadap paradigma mulai goyah yang kemudian terjadilah keadaan krisis yang berujung pada perubahan paradigma (revolusi).
Anomali dipandang dapat menggoyahkan paradigma jika :
1. Menyerang hal-hal yang paling fundamental dari suatu paradigma dan secara gigih menentang usaha para ilmuan normal science untuk mengabaikannya.
2. Mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Setiap krisis selalu diawali dengan pengkaburan terhadap paradigma yang ada serta pengenduran kaidah-kaidah riset yang normal, sebagai akibatnya paradigma baru (paradigma rival) muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio. Krisis dapat diasumsikan sebagai pra kondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Pada tahap ini diantara para ilmuan normal science terjadi sengketa filosofis dan metafisis. Walaupun kemungkinan mereka kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan beberapa alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis begitu saja sampai diterimanya suatu paradigma baru yang berbeda dari paradigma semula.
Kuhn beragumentasi bahwa, para penyususn paradigma baru (paradigma rival) hidup di dalam dunia yang berlainan sebab tidak ada argumen logis yang dapat mendemontrasikan superioritas satu paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat memaksa seorang ilmuan yang rasional untuk melakukan perpindahan paradigma. Peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuan individual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Kuhn dengan“Gestalt Switch” (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali). Juga disamakan dengan “religious conversion” (pertukaran agama). Tidak adanya alasan logis yang memaksa seorang ilmuan yang melepaskan paradigmanya dan mengambil paradigma yang menjadi rivalnya karena berkenaan dengan adanya kenyataan bahwa :
a) Berbagai macam faktor terlibat dalam keputusan seorang ilmuan mengenai faedah suatu teori ilmiah.
b) Penyusun paradigma-paradigma yang bersaing menganut berbagai perangkat standar, prinsip metafisik dan lain sebagainya yang berlainan.
Oleh karena itu, para pendukung paradigma tidak akan saling menerima premis lawannya dan karenanya masing-masing tidak perlu dipaksa oleh argumen rivalnya. Menurut Kuhn, faktor-faktor yang benar-benar terbukti efektif yang menyebabkan para ilmuan mengubah paradigma adalah masalah yang harus diungkap oleh penyelidikan psikologi dan sosiologi. Karena hal itulah Kuhn dianggap sebagai seorang Relativis.
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama ke paradigma baru yang berlawanan inilah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science.
Oleh karena itu, menurut Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak secara komulatif dan evolusioner tetapi, secara revolusioner,yakni membuang paradigma lama dan mengambil paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kemampuannya memecahkan masalah untuk masa depan.
Melalui revolusi science inilah menurut Kuhn perkembangan ilmu akan terjadi. Dengan paradigma baru para pengikutnya mulai melihat subjek matter dari sudut pandang yang baru dan berbeda dengan yang semula, dan teknik metodologinya lebih unggul dibanding paradigma klasik dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan paradigma baru inilah tradisi ektra ordinari science dilakukan oleh para komunitas ilmuan yang mendukungnya dan sampai pada tahap tertentu dapat meyakinkan para pendukung paradigma klasik tentang keberadaan paradigma baru yang lebih mendekati kebenaran dan lebih unggul dalam mengatasi science di masa depan. Apabila para pendukung paradigma klasik tetap keras kepala terhadap paradigma yang dianutnya dengan berusaha melakukan upaya pemecahan-pemecahan science normal berdasarkan paradigmanya dan berhasil mengatasi permasalahan itu maka revolusi besar dan kemajuan science tidak terjadi. Mereka tetap berada dan terperangkap dalam stage normal science dan tetap sebagai ilmuan biasa.
Menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.

Didik Widiawan Sukmadi
SMA Negeri 2 Solo
Jawa Tengah


Ilmu Pengetahuan Dalam Paradigma Khun
1.      Pendahuluan
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia, karena pada waktu ini terjadi perubahan pola fikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Perubahan pola fikir yang kelihatan sangat sederhana tetapi sebenarnya memiliki implikasi tidak sederhana. Alam yang selama ini ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif menjadi aktif sehingga alam digunakan sebagai objek penelitian atau pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat (Bakhtiar, 2004: 21-22). Sejak zaman ini filsafat terus berkembang, mulai dari masa kejayaan, kemunduran, dan kebangkitannya kembali.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles. Aristoteles yang membagi filsafat pertama kali pada dua hal, yaitu hal yang teoritis dan hal yang praktis. Pembagian ini juga yang menjadi pedoman bagi klasifikasi ilmu dikemudian hari. Aristoteles dianggap bapak ilmu karena ia mampu meletakan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis. Namun, setelah Aristoteles menuangkan fikirannya ini, mutu filsafat semakin merosot dan puncak kemundurannya adalah pada ujung zaman Helenisme. Kemunduran filsafat sejalan dengan kemunduran politik pada zaman itu, terpecahnya kerajaan Macedonia setelah wafatnya Alexander The Great (Bakhtiar, 2004: 30-32).
Filsafat mengalami perkembangan kembali pada abad modern, yang diawali terlebih dahulu dengan adanya zaman Renissans, yaitu peralihan abad pertengahan ke abad modern. Zaman ini terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berfikir. Sejak zaman ini kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan pada kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya dapat dibuktikan berdasarkan metode, perkiraan dan pemikiran yang dapat diuji. Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada abad modern khususnya abad ke-17 adalah persoalan epistemology. Pertanyaan pokok dalam bidang ini adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dalam abad ke-17 muncullah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran tersebut adalah aliran rasionalisme dan empirisme (Munir, 1997: 8-10).
Kritisisme adalah aliran yang berusaha untuk menjembatani aliran rasionalisme dan empirisme. Tokoh aliran ini adalah filsuf Jerman yaitu Imanuel Kant. Namun, kehadiran aliran ini bukanlah batas akhir pertentangan pendapat aliran-aliran terdahulu. Justru setelah lahirnya aliran ini muncul lagi aliran-aliran lainnya. Aliran yang mendukung aliran kritisisme sekaligus rasionalisme yaitu aliran idealisme, maupun aliran yang mendukung aliran empirisme sekaligus kritisisme yaitu positivisme (Munir, 1997:15-18).
Pada tahun 1934 Karl Popper mengumumkan karyanya yang berisi sangkalan terhadap positivisme. Ia memaparkan beberapa kelemahan fatal dari filsafat positivisme yang dikhotbahkan oleh salah satu tokoh aliran positivisme yaitu Alfred Jules Ayer (Chalmers, 1983: xi). A. J. Ayer berpendapat bahwa filsafat berdasar pada prinsip verifikasi (Mintaredja, 2003:76). Namun, pada akhirnya diketahui falsifikasionisme Popperpun memiliki keterbatasan.teori-teori tidak dapat konklusif difalsifikasi, karena keterangan observasi yang menjadi dasar untuk falsifikasi itu sendiri mungkin salah dilihat dari perkembangan selanjutnya. Pengetahuan di zaman Copernicus tidak mengizinkan adanya kritik yang sah terhadap observasi yang menyatakan bahwa besarnya planet Mars dan Venus nampak konstan sehingga secara harfiah boleh dikatakan bahwa teori Copernicus itu dianggap telah difalsifikasi oleh keterangan observasi itu sendiri. Seratus tahun kemudian, falsifikasi itu dapat dibatalkan karena perkembangan baru dalam Optik (Chalmers, 1983: 67).
Falsifikasi konklusif gugur karena kekurangan dasar observasi yang terjamin dengan sempurna, padahal falsifikasi itu tergantung dengannya. Dengan hanya memandang hubungan antara teori dengan keterangan observasi, kaum falsifikasionis gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori ilmiah yang penting-penting. Penekanan kaum falsifikasionis yang melakukan dugaan dan falsifikasi, tidak mampu mengkarakterisasi dengan memadai asal mula dan pertumbuhan teori-teori yang kompleks secara realitis. Perumusan yang layak seyogyanya adalah memandang teori sebagai suatu struktur yang utuh (Chalmers, 1983: 67-81).
Pandangan tentang teori sebagai struktur yang kompleks adalah pandangan yang pernah dan kini masih mendapat banyak perhatian. Thomas Kuhn adalah filsuf yang memperkenalkannya dalam buku yang ia tulis, The Structure of Scientific revolution tahun 1962 (Kuhn dalam Chalmers, 1983: 93). Segi penting pendekatan yang digunakan Kuhn adalah pada teori Kuhn terdapat peranan penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis masyarakat ilmiah dan pendekatan Kuhn yang menggunakan pandangan filosofis yang tahan menghadapi kritik yang berdasarkan sejarah ilmu. Oleh karena inilah, penulis menganggap penting membahas tentang paradigma Kuhn.
2. Paradigma Kuhn
1. Pengertian Paradigma
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:828) paradigma bisa berarti daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tersebut; model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berfikir. Sedangkan menurut Suriasumantri (2007: 103) paradigma adalah konsep dasar yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu termasuk masyarakat ilmuwan. Paradigma ini merupakan bukan ilmu melainkan sarana berfikir ilmiah seperti logika, matematika, statistika dan bahasa. Suatu paradigma terdiri dari asumsi-asumsi teoritis yang umum dan hukum-hukum serta tehnik-tehnik untuk penerapannya yang diterima oleh anggota suatu masyarakat ilmiah (Chalmers, 1983: 94).


2.      Jadi, menurut penulis paradigma adalah sebuah kerangka berfikir yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang berisi asumsi, hukum ataupun tehnik yang digunakan dalam memandang sesuatu.
2. Thomas S. Kuhn
Kuhn pada awalnya memulai karir akademisnya sebagai ahli fisika dan kemudian mengalihkan perhatiannya kepada sejarah ilmu. Sejak karya utamanya, The Sructure of Scientific Revolution, Kuhn telah mengemukakan bahwa ia menggunakan istilah “paradigma” dalam pengertian kembar. Di dalam postcriptnya edisi 1970, ia membedakan pengertian umum istilah itu, yang kini ia sebut sebagai disciplinary matrix (pola ilmiah) dan pengertian sempitnya yang telah diganti dengan exemplar-contoh atau teladan. Selain, The Sructure of Scientific Revolution, karya modifikasi Kuhn mengenai idenya yang orisinal tentang paradigma lebih terperinci adalah Second Thoughts of Paradigms yang diterbitkan pada tahun 1973 di Urbana : University of Illinois Fress (Chalmers, 1983:95-105)
3. Pandangan Kuhn Tentang Ilmu
Gambaran Kuhn tentang cara ilmu berkembang dapat diringkaskan dalam suatu skema yang Open-ended, artinya sebuah akhir yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut. Skemanya adalah sebagai berikut :
Pra ilmu - ilmu biasa - krisis - revolusi - ilmu biasa baru - krisis baru
Aktivitas yang terpisah-pisah dan tidak terorganisasi yang mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun dan terarah pada saat suatu paradigma tunggal telah dianut suatu masyarakat ilmiah. Para pekerja pada suatu paradigma mempraktekkan apa yang disebut Kuhn sebagai ilmu biasa (natural sciene). Para ilmuwan biasa akan menjelaskan dan mengembangkan paradigma dalam usaha untuk mempertanggungjawabkan dan menjabarkan prilaku beberapa aspek yang relevan dengan dunia nyata ini, sebagaimana diungkapkan lewat hasil-hasil eksperimen. Dalam melakukan ini, mereka tidak akan terelakan dari mengalami kesulitan dan menjumpai falsifikasi-falsifikasi. Apabila telah bebas dari kesulitan tersebut, maka berkembanglah keadaan krisis. Krisis teratasi apabila lahir paradigma yang baru sepenuhnya dan menarik makin banyaknya ilmuwan sampai akhirnya paradigma orisinal yang telah menimbulkan masalah itu dilepaskan. Perubahan terus-menerus dan terputus-putus itu merupakan revolusi ilmiah. Paradigma yang baru, yang penuh dengan janji tidak terkurung dari kesulitan-kesulitan yang tidak dapat diatasi, sekarang lantas membimbing aktivitas ilmiah yang baru dan biasa sampai pada akhirnya ia pun jatuh pada kesukaran yang serius dan timbullah krisis baru yang diikuti oleh suatu revolusi baru.
Berikut ini adalah penjelasan secara terperinci tentang komponen skema Kuhn diatas:
1. Paradigma dan Ilmu Biasa

Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma menetapkan standard-standar pekerjaan yang sah di dalam lingkungan yang dikuasai ilmu itu. Menurut kuhn, eksistensi suatu paradigma yang mampu mendukung tradisi ilmu biasa merupakan cirri yang membedakan ilmu dengan non ilmu.

Contoh, salama abad 19 paradigma Newtonian dikuasai oleh suatu asumsi seperti “ seluruh dunia fisika hendaknya diterangkan sebagai suatu system mekanika yang beroperasi dibawah pengaruh berbagai macam gaya menurut perintah hokum-hukum gerak Newton”.
Akhirnya semua paradigma akan mengandung beberapa keterangan metodelogis yang sangat umum.

Ilmu biasa melibatkan usaha-usaha terperinci untuk menjabarkan suatu paradigma dengan tujuan memperbaiki imbangannya dengan alam. Suatu paradigma akan selalu secukupnya, tidak terlalu ketat dan mempunyai akhir yang selalu terbuka sehingga menimbulkan banyak macam pekerjaan untuk ditangani. Kuhn memandang ilmu biasa sebagai aktivitas pemecahan teka-teki yang dibimbing aturan-aturan suatu paradigma. Teka-teki itu bisa teoritis maupun eksperimental.

Kegagalan memecahkan teka-teki dianggap sebagai kegagalan ilmuwan itu sendiri bukan kegalemahan paradigma. Teka-teki yang gagal dipecahkan dianggap sebagai anomaly(kelainan) ketimbang sebagai falsifikasi suatu paradigma. Kuhn mengakui bahwa semua paradigma mengandung kelainan (anomaly).

Seorang ilmu biasa harus tidak kritis terhadap paradigma tempat ia bekerja agar ia dapat memusatkan upayanya pada pencabaran yang terperinci dan pada penyelesaian pekerjaan keahlian yang diperlukan untuk menyelidiki alam dalam kedalamannya

2. Krisis dan Revolusi

Ilmuwan biasa berkerja dengan yakin disuatu bidang yang jelas batasan-batasan nya menurut suatu petunjuk paradigma. Apabila ia menyalahkan paradigma karena gagal memecahkan masalah, ia akan terbuka untuk tuduhan yang sama seperti seorang tukang yang menyalahkan perkakasnya. Sekalipun demikian, kegagalan-kegagalan aka dijumpai dan pada akhirnya mencapai tingkat gawat yang merupakan krisis serius bagi paradigma itu. Dan ini dapat menyebabkan ditolaknya paradigma tersebut dan digantikannya dengan alternative yang berlawanan.

Adanya problema yang tidak terpecahkan saja tidak akan menyebabkan krisis. Kuhn mengakui bahwa paradigma pasti akan menjumpai kesulitan. Kesulitan tersebut, menjadi serius apabila ia menyerang hal-hal yang fundamental dari suatu paradigma dan jika kelainan itu secara gigih menentang usaha para anggota masyarakat ilmiah biasa untuk menyampingkannya. Kelainan juga menjadi serius apabila ada kaitannya dengan beberapa kebutuhan masyarakat yang mendesak.

Sekali suatu paradigma telah diperlemah oleh batas sehingga para pendukungnya kehilangan kepercayaan kepadanya, berarti waktunya sudah masak ke revolusi. Kegawatan suatu krisis menjadi mendalam disaat suatu paradigma lawan telah menampilkan dirinya.

Tidak ada alasan yang logis menurut Kuhn yang murni mendemonstrasikan superioritas suatu paradigma atas paradigma lainnya, oleh sebab itu seorang ilmuwan secara rasional dapat berpindah dari paradigma yang satu ke paradigma lawan. Paradigma-paradigma yang bersaing tidak dapat saling diukur dengan standard yang sama.

Suatu revolusi ilmiah adalah sama dengan membuang paradigma lama dan menerima paradigma yang baru. Revolusi akan berhasil bila pengalihan ini akan harus menyebar begitu rupa sehingga meliputi mayoritas masyarakat ilmiah bersangkutan dengan meninggalkan hanya sedikit orang-orang yang memisahkan diri.

3. Fungsi Ilmu Biasa dan Revolusi

Beberapa aspek dari tulisan Kuhn mungkin memberikan kesan bahwa pandangannya tentang watak ilmu adalah murni deskriptif, yaitu bahwa ilmu itu bertujuan untuk tidak lebih dari menguraikan teori-teori ilmiah atau paradigma-paradigma dan aktivitas para ilmuwan. Kuhn beranggapan bahwa pandangannya mengandung suatu teori tentang ilmu karena berisi tentang fungsi berbagai macam komponennya.

Menurut Kuhn, ilmu biasa danrevolusi melayani fungsi-fungsi tertentu yang perlu, sehingga ilmu itu harus melibatkan sifat-sifat beberapa cirri lain yang bisa melayani pelaksanaan fungsi-fungsi tadi.

Suatu paradigma mengandung kerangka khusus dari mana dunia dipandang dijabarkan dan ia pun mengandung seperangkat teknik eksperimen dan teoritis yang memungkinkan paradigma mengimbangi alam.

Bila suatu krisis berkembang , langkah revolusioner untuk menggantikan keseluruhan paradigma dengan yang lainnya menjadi esensial untuk kemajuan efektif suatu ilmu. Kemajuan melalui revolusi adalah alternatif Kuhn untuk kemajuan yang kumulatif sebagaimana menjadi ciri pandangan induktivis tentang ilmu namun menurut Kuhn, itu adalah keliru karena ia mengabaikan peranan yang dimainkan oleh paradigma dalam membimbing observasi eksperimen.

3. Penutup

Ilmu selalu berkembang dalam skema yang open-minded. Dengan skema:

Pra ilmu - ilmu biasa - krisis - revolusi - ilmu biasa baru - krisis baru

IV. Sumber-Sumber

Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Chalmers, A.F. 1983. Apa Itu yang dinamakan Ilmu? Hasta Mitra: Jakarta

Mintaredja, Abbas H. 2003. Teori-Teori Epistemologi Common Sense. Penerbit Paradigma: Yogyakarta.

Munir, Misnal. 1997. Pemikiran Filsafat Barat. Fakultas filsafat Universitas Gadjah Mada bersama DIKTI.

Suriasumantri, Jujun. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.

Tim Redaksi. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.

http://blog.unsri.ac.id/leny/filsafat/ilmu-pengetahuan-dalam-paradigma-khun/mrdetail/16895/

Previous
Next Post »

Translate