BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ganguan pernapasan suatu komplikasi yang
sering kita temui pada paksa anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah
ekstubasi seperti : karena pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan
napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring.
Komplikasi pernapasan paksa anestesi bisa
menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia. Gejala komplikasi kadang-kadang
datangnya tidak diduga kendatipun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan
baik. Kebrhasilan dalam mengatasi komplikasi tergantung dari deteksi gejala
dini dan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. (7, 13).
A.
Ekstubasi
Definisi
ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan intubasi.
B.
Tujuan Ekstubasi
1.
Untuk menjaga agar pipa
endotrakheal tidak menimbulkan trauma.
2.
Untuk mengurangi reaksi
jaringan laringeal dan menurunkan resiko setelah ekstubasi. (9)
C.
Kriteria Ekstubasi
Kriteria
ekstubasi yang berhasil bila :
1.
Vital capacity 10 – 15 ml/kg BB
2.
Tekanan inspirasi diatas 20 cm
H2O
3.
PaO2 diatas 80 mm Hg
4.
Kardiovaskuler dan metabolic
stabil
5.
Tidak ada efek sisa dari obat
pelemas otot
6.
reflek jalan napas sudah
kembali (batuk, gag) dan penderita sudah sadar penuh. (16)
D.
Pelaksanaan Ekstubasi
Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga
mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate.
Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun
diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum
ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk
dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan
oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan
ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa
endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter
pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring.
Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen
dengan sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan kembali.
Sebelum dan sesudah ektubasi untuk menghindari spsme laring., ekstubasi
dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau dimana reflek jalan sudah
positif.
Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk,
ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan sudah
spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi dengan memberikan lidokain 50
– 100 mg IV (intra vena) satu menit atau dua menit sebelum ektubasi.
Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran,
kemungkinan kebanyakan disebabkan oleh balon pada pipa endotrakheal besar, atau
sulit dikempiskan, pasien mngigit pipa endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan
apabila ada sianosis, hal ini disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak
adequate atau pernapasan susah dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada
pembedahan penuh ekstubasi napas. Pasien dengan lambung penuh ekstubasi
dilakukan apabila pasien sudah bangun atau dilakukan ekstubasi pada posisi
lateral.
Pada pembedahan maxillofacial daerah jalan napas bila perlu
dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy sebelum ekstubasi.
Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan tidak
adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah yakin baik, baru
ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus secarra mekanik sehingga
adequate.
E.
Pengisapan Trakhea
Pengisapan
orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila pada auskultasi terdengar
adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi sekret dan tidak dapat dibersihkan
dengan batuk. Pengisapan trachea sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan
atau secara rutin. Hal ini menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama
pengisapan trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini
merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan trachea
atau karina oleh kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa
bradikardi dan hipotensi.
Pengisapan
trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena aspirasi gas pada
paru-paruyang menyebabkan penutupan “small air way” kolapnya dan alveoli.
Hipoksemia selama pengisapan trachea dapat dikurangi dengan cara :
1.
Pemberian oksigen 100% sebelum
pengisapan.
2.
Diameter kateter pengisap tidak
lebih dari setengah diameter trachea.
3.
Lama pengisapan tidak lebih
dari 15 detik.
4.
Setelah melakukan pengisapan,
dilakukan pemompaan secara manual untuk mengembangkan alveoli kembali. (14)
F.
Penyulit Ekstubasi
Hal-hal yang dapat
terjadi setelah sektubasi :
1.
Spasme laring
2.
Aspirasi
3.
Edema laring akut karena trauma
selam ekstubasi
Penyulit lanut setelah
dilakukan ekstubasi :
1.
Sakit tenggorokan
2.
Stenosis trachea dan
trakheomolasia
3.
Radang membran laring dan
ulserasi
4.
Paralisis dan granuloma pita
suara
5.
Luka pada sarap lidah. (21)
G.
Penilaian Hipoksemia
Hipoksemia
paksa bedah yang terjadi pada pasien angat sulit terdiagnosa atau dinilai
secara klinik. Terutama sionosis sukar diketahui dan tidak mungkin menilai
kuantitasnya.
Takhicardi
sulit dipakai sebagai indicator dari hipoksia, irama pernapasan yang dalam
tidaak seluruhnya dapat membantu, pernapasan yang lambat dan dangkal dapat
mengakibatkan depresi pusat pernapasan oleh narkotik, dari frekuensi tidak bisa
sebagai jaminan untuk mengetahui hipoksemia pada masa pembedahan pengukuran
oksigen arteri dapat dipercaya untuk mengetahui keadaan dan nilai status
hipoksia. Dengan menggunakan monitor pulse oksimeter untuk mengetahui satrurasi
oksigen sangat diutamakan penggunaannya terutama pada fase awal paksa bedah.
Penilaian dari analisa gas darah juga diperlukan dan mungkin lebih tepat
pemerriksaannya pada fase lanjut, nilai dari analisa tersebut sebagai gambaran
klinik prediksi pemeriksaan dimana pulse oksimeter yang menetap. Standar
analisa gas darah selama anestesi jangan dijadikan patokan pada paksa
anestesi,d an pemeriksaan gas darah sebainya dilakukan di ruang pulih. Dengan
penggunaan pulse oksimeter sangat mudah utnuk mengetahui hipoksemia secara
dini. (2, 15, 22)
Pulse
oksimeter adalah alat yang digunakan untuk
mengukur kejenuhan HbO2 pada pembuluh darah tepi secara elektro-fotometrii.
Pengindera alat ini biasanya diletakkan pada jari atau daun telinga. Prinsip
dasar kerja alat ini adalah membandingkan penyerapan cahaya yang memiliki
panjang gelombang tertentu oleh HbO2 dengan Hb total (HbO2
+ Hb). Pada alat ini digunakan cahaya dengan dua panjang gelombang yang
berbeda, yaitu dengan panjang gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb
mempunyai nilai penyerapan yang sama (850 nm) dan cahaya dengan panjang
gelombang dimana molekul HbO2 dan Hb mempunyai nilai selisih
penyerapan terbesar (660 nm) dimana perbandingan nilai penyerapan oleh dua
molekul ini diketahui. Pada pulseoksimeter peneyrapan cahaya yang dipancarkan
ini disebabkan oleh dua unsure yaitu jaringan ketebalan (ketebalan dan
pigmentasi) yang merupakan komponen statis darah arterial yang berdenyut
merupakan komponen pisatil. Rangkaian elektronik pada alat ini dirancang utnuk
mampu membedakan antara cahaya yang diserap oleh komponen statis dengan cahaya
yang diserap oleh komponen pulsatil, pada kedua panjang gelombang diatas dan
hanya komponen pulsatil yang ditampilkan oleh alat ini. Perbandingan komponen
pulsatil pada kedua panjang gelombang cahaya diatas dibandignkan secara imperis
dengan pemriksaan SaO2 yang dilakukan secara invasif sehingga nilai
SaO2 pada pulse oksimeter tidak memerlukan kalibrasi. (8, 25)
Pulse
oksimeter mempunyai keungulan karena mudah digunakan, non invasive, respon
cepat mampu menilai keutuhan penyaluran oksigen mulai dari sumbernya sampai
jaringan dan tidak dipengaruhi oelh pigmentasi kulit selain dari pada itu ia
memiliki ketepatan yang cukup tinggi. Kekurangannya adalah pengukuran yang
tidak tepat apabila perfusi jaringan rendah, adanya cahaya luar yang ikut
terukur, adanya gerakan tubuh, adanya figmen dalam darah misalnya metelin biru
dan bilirubin, kadar met-Hb dan karbo Hb yang tingi : selain dari pada itu
karena bentuk kurva disosiasi oksigen maka perubahan PaO2 yagn besar
hanya sedikit merubah SaO2 selama PaO2 berada diatas 75
mmHg dan apabila PaO2 berada dibawah 75 mmHg perubahan PaO2
yang besar, secara kasar dapat dipegang sebagai patokan pada SaO2
90% - 75% maka PaO2 » SaO2
– 30. (4)
Penggunaan
pulse oksimeter bermanfaat saat melaksanakan anestesi apabila terjadi perubahan
saturasi selama pemulihan dan kejadian hipoksemia dapat ditegakkan secara dini,
pada paska bedah sampai beberapa hari setelah pembedahan. (1, 6, 23, 26)
Kriteria
hipoksemia : saturasi oksigen (SpO2) 86 –90% hipoksemia ringan, SpO2
81 – 85% hipoksemia sedang, SpO2 < 81 hipoksemia berat. (9)
H.
Hipoksemia Paska Bedah
Hipoksemia
paska bedah dapat di difinisikan penurunan kadar oksigen dalam darah setelah
pembedahan dimana SaO2 kurang dari 90%. Pada keadaan tersebut
terjadi hipoksi jaringan. Hal ini merupakan komplikasi yang serius pada paska
bedah setelah anestesi umum. Pada paska bedah hipoksemia dibagi dua fase:
Fase awal
terjadi dimana setelah obat anestesi dihentikan sampai dikirim keruang pulih
dan fase lanjut dimana terjadi satu minggu setelah pembedahan. (12)
Fase awal paska bedah terjadi hipoksemia
Masalah
pernapasan harus dilihat terlebih dahulu, guna mencegah komplikasi yang serius,
terutama pada keadan obesitas, pasien dengan usia lanjut, perokok, dan
pasien dengan penyakit kardiovaskuler.
Obesitas
Pasien dengan obesitas sering terjadi kesulitan selama pembedahan
dan paska bedah (Schwartz 1995) diperkirakan sulit mengatur jalan napas, begitu
juga dalam melakukan intubasi. Dihubngkan dengan penyakit kardiovaskuler,
hipoksemia kronis menyebabkan terjadinya retriksi diafragma dan perubahan FRC
(Fungsional Residual Capasiity) dan VC (Vital Capasity), (Berrera et al 1967)
dan hal tersebut bisa meningkat kejadiannya pada paska bedah (Marshell and
Melville 1972), Couture et al 1970), penutupan jalan napas dan sakit otot
(Alexander et al 1973). Pada paska bedah dengan hipoksemia lebih sering terjadi
pada pasien obesitas (Garibeldi et al 1981).
Perawatan pasien selama pemulihan sampai beberapa hari paska bedah
perlu dianjurkan secara terus menerus untuk memantau pasien, dengan
memeprhatikan jalan napas dan pola pernapasan itu sendiri.
Perubahan posisi berbaring ke posisi duduk tidak diperlukan utnuk
emngatur pergerakan dioafragma pada apsien dengan berat badan < 100 kg.
Tetapi hendaknya dianjurkan bernapas secara teratur bila ada hipoksemia ringan
pada fase awal paska bedah dan perawatan yang intensif. Penggunaan morfin dan
atropin yang terus menerus dapat menyebabkan depresi napas dan keekringan.
Umur
Meningkatnya usia cenderung mudah terjadi penutupan jalan napas dan
terjadi perubahan pada muskuloskeletal. PaO2 cenderung menurun
menjadi < 8,4 kPa pada usia 70 tahun. (Marshall and Millar 1965, Jones 1982)
hal ini juga berhubungan dengan adanya penyakit kardiovaskuler, oleh karena
edema paru dan pneumoni. Terjadinya apneco dan reaksi obat opiat sulit
diperkirakan (Arunasalam et al 1983).
Perokok
Terjadinya komplikasi paska bedah terhadap paru pada pasien perokok
cenderung meningkat (Morton 1984). Perubahan pada paru (jalan napas, penurunan
volume, FRC) (Borrow et al 1977, Buist et al 1981) hal ini terlihat pada psien
perokok. Pada pra bedah dianjurkan untuk berhenti merokok guna mengembalikan
fungsi paru secara perlahan. Bronchorea sering terjadi dua sampai tiga hari
setelah dihentikan merokok sehingga batuk yang produktif dapat diturunkan.
Penyakit
Kardiopulmonal
Kecenderungan penyebab terjadinya infeksi paru pada paska bedah
berhubungan dengan obtruksi kronis jalan napas (Geribeldi et al 1981).
Fisioterapi dan bronhodilator bersama dengan obat mukolotik yang digunakan pada
pra bedah dapat menghasilkan keadaan yang optimum. Banyaknya sekret pada pasien
bronchitis kronis berhubungan dengan menyempitnya jalan napas sehingga terjadi
atelektasis. Tetapi dengan epgnobatan yang terus menerus akan dapat dikurangi
terjadinya komplikasi. Penyakit kardiopulmunum akibat skunder dari penyakit
kronik seperti bronchitis, episema, obesitas dan emboli dapat mengakibatkan
terjadinya hipoksia (Fisman 1966). Penyempitan karenaparu akan meningkatkan
tahanan vaskuler paru sehingga menurunkan kemampuan terapi oksigen untuk
menghindari sianosis dan juga pada penggunaan ventilator. Vasodilator seperti
nitroprusside dan netrogliserin serta diuretic dapat digunakan apabila pasien
diperkirakan adanya gagal jantung.
Pada bedah efektif apabila terdapat infeksi jalan napas hendaknya
ditunda terlebih dahulu, sebab dapat meningkatkan resiko paska bedah. Radang
faring dan laring akut akan meningkatkan
sensitifitas sehingga cederung terjadi spasme laring. Gangguan filtrasi nasal
dan reflek jalan napas terhadap kotorran yang masuk akan terganggu selama
dilakukan pembersihan jalan napas, dan hal itu juga bisa dikarenakan gangguan
mokolitik juga bisa disebabkan dehidrasi, obat atropin dan pengaruh penggunaan
konsentrasi oksigen yang tinggi.
Infeksi pernapasan yang kronis pad apra bedah perlu dilakukan
pengobatan sehingga mencapai kondisi yang optimal, dengan penggunaan antibiotik
dapat menurunkan morbiditas. Kehati-hatian penilaian tentang penilaian pra
bedah sangat penting (Brendly et al 1982, Gothart and Branthwaite 1982). Secara
umum meliputi PaO2 dimana lebih penting dari epngingkatan nilai PaO2
terutama selama pembedahan torakotomi. Gangguan fungsi paru akibat suatu
penyakit, dapat merubah nilai yang dapat digunakan dalam pengetesan fungsi
paru.
Pada pasien yang mempunyai resiko, hendaknya pengukuran fungsi paru
harus selalu dilakukan seperti table 1 apabila dicurigai mempunyai kelainan
fungsi paru guna menghindari komplikasi paska bedah. (17)
Table 1.1 Laboratory abnormalities that correlate with hign risk
caused by pulmonary dysfunction.
Fuction
|
Value
|
Maximum voluntary ventilation (MVV)
Pa CO2
Forced expiratory volume (FEV1)
Forced expiratory flow (FVC)
Forced vital capacity (FVC)
ECG
Pa O2
Maximum expiratory flow rate (MEFR)
|
< 50% predicted or < 50 /1/min
.> 45 torr
< 0,5 L
25 – 75% <
0,66L
< 1 L
bnormal
< 55
< 100 L / min
|
Fase
lanjut paska bedah terjadi hipoksemia
Pada masa ini terjadinya hipoksemia suatu hal yang umum terjadi,
yang dapat disebabkan oelh berbagai factor : mekanisme ventilasi abnormal,
gangguan pertukaran gas dan gangguan pusat pernapasan.
Mekanisme
Ventilasi Abnormal
Pada paskka
bedah mekanisme ventilasi abnormal sering terjadi dan dapat menimbulkan
hipoksemia yang ditandai dengan penurunan VC dan FRC. FRC normal kembali pada
minggu pertama sampai minggu kedua dan untuk VC setelah minggu ke tiga paska
bedah. Pembedahan daerah abdormal dan dada, rasa sakit, cenderung menurunkan
pergerakan dada. Rasa sakit jikga tidak ditanggulangi akan menurunkan FRC, dan
hal tersebut bisa juga disebabkan oleh menyempitnya jalan napas serta pada
pasuien yang tidak bisa batuk dimana hal tersebut akan menyebabkan retensi
sekret dan atelektasisi. (24)
Gangguan
Mekanika Pertukaran Gas
Gangguan mekanika pertukaran gas pada fase lanjut paska bedah sulit
diketahui, sehingga hal ini akan menurunkan FRC.
Gangguan
Pusat Penapasan
Pemberian narkotik paska
bedah untuk mengjhilangkan rasa sakit sering menimbulkan komplikasi, depresi
napas, seprti morfin dapat menimbulkan depresi napas melebihi 7 jam, edangkan
fentanil tidak, tetapi pernah dilaporkan dapt terjadi depresi setelah pemberian
intrevena hal ini disebabkan meningkatnya kadar obat dalam plasma karena efek
dari “Biphassic”, sehingga pemberian kedua utnuk fentanil dapat
menimbulkan respon terhadap pernapasan seperti hiperkarbia secara menetap dan
lama. Pemberian barkotik intratekal dan epidural bisa terjadi depresi napas
karena migrasi obat melalui cairan serebrospinalis, hal itu juga bisa meibulkan
kolap kardiovaskuler dan koma. Utnuk mengembalikan efek ini dapat diberikan
nalokson. Sehingga akhir-akhir ini paska bedah fase lanjut perlu diperhatikan
kemungkinan terjadinya hipoksemia. (14, 17, 23)
Dengan adanya pulse oksimeter hal ini memungkinkan untuk memonitor
saturasi oksigen secara terus menerus selama 2 – 6 hari pada paska bedah juga
berukuran bidal volume, frekuensi napas dan analisa gas darah. Umumnya serangan
hipoksemia terjadi pada malam hari, dimana pasien sedang tidur yangberkisar ± 40 detik. Serangan apneo bisa disebabkan secara sentral atau karena
sumbatan jalan napas, dan hal ini lebih sering terjadi. Sebaiknya dilakukan
kontrol pernapsan jika hal itu terjadi dan umumnya sering tidak diketahui. (17)
Nalokson sering diberikan bila terjadi depresi napas oleh narkotik.
Tetapi bisa menimbulkan depresi napas jika obat nerkotik yang telah diebrikan
mempunyai efek yang sama dengan nalokson.
1.
Penatalaksanaan Hipoksemia
Paska Bedah
Terapi Oksigen
Setelah pengakhiran obat anestesi, oksigen
harus diberikan 100% selama 10 menit, jika oksigen yang diberikan kurang dari
100% cenderung bisa terjadi hipoksemia pada fase awal paska bedah dan pemberian
oksigen dilakukan secara terus menerus. Selama pengiriman pasien dari kamar
operasi ke ruang pulih dan juga berada selama diruang pulih harus dilakukan
monitoring saturasi utnuk mengetahui adanya hipksemia. Cara epnggunaaan pulse
oksimeter harus diketahui oelh perawat yang berada diruang pulih dan harus
berpengalaman. Jika diduga pasien mempunyai resiko, monitor dilakukan secara
terus menrrus dengan pulse oksimeter dan hal ini biasanya dijadikan standar perawatan.
(5)
Setelah pasien boleh keluar dari ruang
pulih, 24 jam pertama harus diberikan oksigen, tetapi jika pasien mempunyai
resiko hipoksemia, hendaknya diberikan oksigen selama 3 – 4 nhari serta
dilakukan monitor penggunaan oksigen, pemeriksaan analisa gas darah, atau
dilakukan monitor dengan pulse oksimeter. Jika terjadi hipoksemia yang menetap
dilakukan terapi oksigen. Pemberian terapi oksigen yang tebaik, adalah melalui
sungkup muka 4 liter/menit. (Such as MC or Hudson) pengiriman pasien, selama berada
di ruang pulih, bisa lewat kanula hidung 3 – 4 liter/menit, dengan konsentrasi
oksigen < 50% tetapi cara ini tidak stabil. Jika penggunaan oksigen lama,
konsentrasi sebaiknya < 50% dan hal ini masih dapat diadaptasi tanpa
menimbulkan efek yang erius, asalkan oksigen yang dihisap tetap steril. (26)
Pemberian oksigen > 30% tidak diperlukan,
sebab bisa memnimbulkan gangguan filtrasi udara pada hidung sehingga bisa
terjhadi atelektasis, dan terjadi penurunan hipoksik paru karena vasokontriksi
vena paru. Konsentrasi oksigen yang tinggi diperlukan apabila terjadi
hipksemia, tetapi perlu juga dipertimbangkan karena efek pemebrian oksigen
dengan konsentrasi tinggi dapat dterjadi pulmonary shunt.
Tetapi jika terjadi keadaan yang
membahayakan pada pasien, terapi oksigen harus diebrikan terus menerus sebagai
tambahan.
Perbaikan hypoventilasi
Paska bedah pernapasan ha4rus dijamin adequate dan
spontan, serta hipoksemia harus dihindarkan. Penyebab lain dari hipoksemia,
bisa secara sentral atau diebabkan oleh pelemas otot dan hal ini harus
ditanggulangi. Neostigmin tidak perlu diebrikan jika pernapasan sudah mulai
spontan.
Ventilasi mekanik harus diberikan jika efek pelemas otot
masih ada, tetapi jika terjadi potensiasi oleh penyebab lainnya, maka hal
tersebut harus diperbaiki sebelum memberikan obat.
Meningkatkan volume paru
Tujuan penatalaksanaan hipoksemia paska bedah adalah
untuk meingkatkan FRC dan mencegah atelektasis. Fisioterapi pernapasan paska
bedah untuk mengembangkan ekmampuan fungsi paru. Prosedur sederhana yang dapat
digunakan jika pasien sudah baik, dilakukan perubahan posisi berbaring ke
posisi duduk dengna tujuan mengembangkan volume paru dan PaO2. Jika
terjadi hipoksemia karena kontriksi bronchus hendaknya diebrikan obat teofilin
seacara IV. (4, 5)
Berbagaimacam cara yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan fungsi paru seperti : Intermittrnt Positive Pressure Breathing
(IPPB) dengan sungkup muka, penggunaan spirometry, fisioterapi pernapasan dan
Continue Positive Air Way Pressure (CPAP).
Spiratory umumnya digunakan utnuk mengukur kemampuan
inpirasi dan ekpirasi, dan akhir-akhir ini spirometry dan IPPB di Amerika
sering digunakan tanpa menimbulkan keadaan yang banyak membahayakan dalam
pelaksanaannya. Tujuan penggunaan spirometry dan IPPB adalah utnuk memperbaiki
keadan hipoksemia. Tetapi penggunaaan alat tersebut keadaan yang lebih buruk.
Penggunaan CPAP dsan sungkup muka dapat meningkatkan FRC, tetapi hal tersebut
pada pasien dengan kondisi lemah cenderung terjadi komplikasi dan teknik
penggunaannya harus dilakukan oleh oran gyang berpengalaman dan pelaksanaannya
pada pasien yang sudah bangun dan kooperatif, serta tidak dianjurkan pada
pasien fase awal paska bedah. (6)
Oksigen Delivery
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa rendahnya oksigen yang diberikan
akan menurunkan PaO2. Pada paska bedah penurunan CO2
karena hipovolemia, aritmia jantung, depresi jantung dan peningkatan tahanan
perifer, semua itu harus diperhatikan dan diperbaiki sesuai penyebabnya dan
juga penatalaksanaan pada pasien yang menggigil, penurunan kesadaran dan
penyebab lainnya jika terjadi peningkatan kebutuhan oksigen.
ConversionConversion EmoticonEmoticon