kegawatan penyakit saraf
Gawat Darurat Penyakit Syaraf
Status Epileptikus
ABSTRACT
Status epilepticus is a medical emergency.
Recent experimental studies have shown
that permanent brain damage can occur after
only 60 minutes of uncontrolled seizure
activity. Cardiac arrythmias are a common
cause of death. Other complications, include
rhabdomyolysis, acute tubular necrosis and
neurogenic pulmonary edema. The manage-
ment is divided into three phases :
stabilization of the patient, termination of the seizures
and diagnostic evaluation.
PENDAHULUAN
Banyaknya jenis status epileptikus sesuai
dengan bentuk
klinis epilepsi : status petitmal, status
psikomotor dan lain-lain.
Di sini khusus dibicarakan status
epileptikus dengan kejang
tonik-klonik umum.
Definisi : status epileptikus adalah
bangkitan epilepsi yang
berlangsung terus menerus selama lebih dari
tiga puluh menit
tanpa diselingi oleh masa sadar.
Biasanya bila status epileptikus tidak bisa
diatasi dalam satu
jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan
otak yang permanen.
Oleh karena itu gejala ini harus dapat
dikenali dan ditanggulangi
secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita
meninggal, walaupun
pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih
kurang 60 -- 80%
penderita yang bebas dari kejang setelah
lebih dari 1 jam akan
menderita cacad neurologis atau berlanjut
menjadi penderita
epilepsi.
GAMBARAN KLINIS
Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang
otot lokal sampai
separuh tubuh, gerakan adversif mata dan
kepala, sering me-
rupakan awal dari status epileptikus.
Keluarga penderita yang
melihat kejadian ini akan dapat
menceritakannya kembali
dengan jelas. Enampuluh sampai delapanpuluh
persen status
epileptikus dimulai dengan gejala-gejala
fokal. Kejang menjadi
bilateral dan umum akibat penyebaran lepas
muatan listrik yang
terus menerus dari fokus pada suatu
hemisfer ke hemisfer lain.
Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan
otot atau kejang klonik.
Proses ini berlangsung terus, sambung-menyambung
tanpa di-
selingi oleh fase sadar.
Dalam bentuk klinis seperti ini penderita
berada dalam ke-
adaan status epileptikus.
ETIOLOGI
Status epileptikus tonik-klonik, banyak
berasal dari insult
akut pada otak dengan suatu fokus serangan.
Penyebab status epileptikus yang banyak
diketahui adalah,
in fark otak mendadak, anoksia otak,
bermacam-macam gangguan
metabolisme, tumor otak, menghentikan
kebiasaan minuman
keras secara mendadak, atau berhenti makan
obat anti kejang.
Jarang status epileptikus disebabkan oleh
penyakit degenerasi
sel-sel otak, menghentikan penggunaan
penenang dengan men-
dadak, pasca anestesi dan cedera perinatal.
Penderita yang sebelumnya tidak mempunyai
riwayat
epilepsi, mungkin mempunyai riwayat trauma
kepala, radang
otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak.
Kelainan-kelainan
ini terutama yang terdapat pada lobus
frontalis, lebih sering
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No.
80, 1992
79
menimbulkan status epileptikus,
dibandingkan dcngan lokasi
lain pada otak.
Penderita yang mempunyai riwayat epilepsi,
dcngan sen-
dirinya mempunyai faktor pcncctus tertentu.
Umumnya karena
tidak teratur makan obat atau menghentikan
obat sekehendak
hatinya. Faktor pencetus lain yang harus
diperhatikan adalah
alkohol, keracunan kehamilan, uremia dan
lain-lain.
PATOFISIOLOGI
Suatu lepas muatan simpatis akan
menyebabkan naiknya
tekanan darah dan bertambahnya denyut
jantung. Autoregulasi
peredaran darah otak hilang, mengakibatkan
turunnya resistensi
serebrovaskuler. Aliran darah ke otak
sangat bertambah didorong
oleh tingginya tekanan darah dan tidak
adanya mekanisme
autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah
sistemik akan turun, bila
kejang berlangsung terus dan mengakibatkan
turunnya tekanan
perfusi, yang selanjutnya menyebabkan
iskemi otak. Hal ini dan
berbagai faktor lain akan menyebabkan
hipoksi sel-sel otak.
Kejang otot yang luas dan melibatkan otot
pernafasan,
selain mengganggu pernafasan secara mekanis
juga menye-
babkan inhibisi pada pusat pernafasan di
medulla oblongata. Di
samping itu kegiatan lepas muatan saraf
otonom menyebabkan
sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi,
mengakibatkan ganggu-
an difusi oksigen melalui dinding alveolus.
Perubahan fisiologis lain yang paling
penting ialah adanya
penggunaan enersi yang sangat banyak.
Neuron yang terus
menerus terpacu menyebabkan bertambahnya
metabolisme otak
secara berlebihan, sehingga persediaan
senyawa fosfat enersi
tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksi akan
memperburuk keada-
an, yang berakhir dengan kematian sel-sel
neuron. Selanjutnya
hal ini dapat mengakibatkan aritmi jantung,
hipoksi otak yang
berat dan kematian. Kejang otot dan
gangguan otoregulasi lain,
juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot,
edema paru dan
nekrosis tubuler mendadak.
Status epileptikus yang berlangsung lama
menimbulkan
kelainan yang sama dengan apa yang terjadi
pada hipoglikemia
berat atau hipoksi. Sel-sel neuron yang
mengalami iskemi selalu
terdapat di daerah sektor Sommer
hipokampus, lapisan 3, 4 dan
6 korteks serebri, kornu Ammon, amigdala,
talamus dan sel-sel
Purkinje.
PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN
Status epileptikus tipe grandmal ini
merupakan gawat da-
rurat neurologic. Hams diatasi secepat
mungkin untuk meng-
hindarkan kematian atau cedera saraf
permanen.
Biasanya dilakukan 3 tahap tindakan :
1.
Stabilisasi penderita.
2.
Menghentikan kejang.
3.
Menegakkan diagnosis.
Stabilisasi penderita
Tahap ini meliputi usaha-usaha
mempertahankan dan
memperbaiki fungsi vital yang mungkin
terganggu; member-
sihkan udara dan jalan pernafasan, serta
memberikan oksigen.
80
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No.
80, 1992
Dalam keadaan tcrtcntu, tcrutama bila
kejang sudah lama atau
ada hambatan saluran pemafasan, harus
dilakukan intubasi.
Tekanan darah dipertahankan, diberikan
garam fisiologis dan
bila perlu diberi vasopressor.
Darah diambil untuk pemeriksaan darah
lengkap, gula da-
rah, elektrolit, ureum, kreatinin dan bagi
penderita epilepsi di-
periksa kadar obat dalam scrum darahnya.
Harus diperiksa gas-
gas darah arteri, untuk melacak adanya
asidosis metabolik dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis
dikoreksi dengan bikar-
bonat intravena. Segera diberi 50 ml
glukosa 50% intravena,
diikuti pemberian tiamin 100 milligram
intramuskuler.
Menghentikan kejang
Usaha mengakhiri kejang dilakukan segera
sesudah tahap
stabilisasi selesai. Tindakan ini dimulai
dengan pemberian bolus
diazepam, 2 mg/menit, masing-masing 10 mg.
Pemberian bolus
diazepam dilanjutkan sampai jumlah 50 mg,
sementara itu per-
nafasan
dimonitor
terus. Biasanya kejang sudah dapat diatasi.
Bila pemberian diazepam yang waktu paruhnya
hanya se-
kitar 15 menit belum berhasil, diberikan
fenitoin yang bekerja
lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24
jam. Fenitoin
diberikan secara intravena, dilarutkan
dalam garam fisiologis,
dengan dosis 18 mg/kg berat badan, dengan kecepatan
kurang
dari 50 mg/menit. Efek samping aritmi
jantung sering timbul
pada pemberian fenitoin yang terlalu cepat
atau lebih dari 50 mg/
menit, bukan karena jumlah fenitoin yang
diberikan.
Diazepam dan fenitoin dapat menekan
pernafasan, terutama
bila pemberian terlalu cepat. Oleh karena
itu selama pemberian
obat ini harus dilakukan
monitoring
ECG dan pernafasan.
Bila kejang masih terus berlangsung sesudah
20 menit
pemberian fenitoin, intubasi harus
dilakukan. Selanjutnya diberi
fenobarbital sampai kejang berhenti atau
dosis seluruhnya men-
capai 20 mg/kg berat badan. Fenobarbital
juga diberikan per
infus dengan kecepatan maksimum 100
mg/menit. Selama
pemberian fenobarbital harus diperhatikan
kemungkinan
gangguan pernafasan dan turunnya tekanan
darah.
Apabila tahap pemberian fenobarbital belum
berhasil meng-
hentikan kejang, maka ahli saraf harus
memikirkan tindakan
resusitasi otak melalui anestesi dengan
pemberian pentobarbital
atau amobarbital. Takaran obat yang
diberikan disesuaikan
sampai tercapai aktivitas otak yang dikenal
dengan
outburst
suppression pattern
pada rekaman EEG. Dosis ini dipertahankan
selama tiga jam, agar otak mempunyai waktu
yang cukup untuk
membangkitkan homeostasis dan melawan
kejang berkelan-
jutan.
Di tempat-tempat yang tidak mempunyai
sarana pemberian
obat secara intravena atau tidak ada
fasilitas resusitasi, dapat
diberikan pertolongan pertama dengan
pemberian paraldehid
ke dalam otot atau rektum. Suntikan
paraldehid masing-masing
5 mg ke dalam kedua otot bokong setiap 3
jam, atau paraldehid
10% dalam larutan garam fisiologis,
sebanyak 5 ml melalui
rektum.
Menegakkan diagnosis
Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi
yang dicari, me- lainkan upaya untuk mencari apa yang menjadi latar belakang
timbulnya status epileptikus. Tahap ini
sedikit banyak tumpang
tindih dengan tahap stabilisasi penderita.
Selama dilakukan
usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki
fungsi vital,
alloanamnesis dilakukan untuk memperoleh
keterangan me-
ngenai riwayat penyakit sebelumnya. Adanya kemungkinan
riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat
penenang, trauma,
radang otak dan penyakit lain yang ada
kaitannya dengan status
epileptikus. Tahap ini sangat penting untuk
menentukan progno-
sis di samping keberhasilan tahap
sebelumnya.
KEPUSTAKAAN
1. Aminoff MJ, Simon RP. Status epilepticus
: causes, clinical features and
consequenes in 98 patients. Am J Med 1980;
69: 657.
2. Black TP. Therapy for status
epilepticus. Clin Neurophannacol 1983; 6: 255.
3. Delgado - Escueta AV, Westerlain C,
Treiman DM, Portner RS. Current
concepts in neurology : Management of
status epilepticus. N Engl J Med
1982; 306: 1337-40.
4. Johnson MH, Jones SN. Status
epilepticus, hypothermia and metabolic chaos
is aman with agenesis of the corpus
callosum. J Neurol Neurosurg Psychiat
1985; 48: 480-483.
5. Jasper HH, Ward AA, Pope A. Basic
Mechanism of Epilepsies. Boston: Little
Brown & Company 1969.
6. Noel P, Comil A, Chailly P, Flamen -
Durand J. Mesial temporal hae-
morrhage, consequence of status
epilepticus. J Neurosurg Psychiat 1977; 40:
932-935.
7. Shorvon SD. Neurological Emergencies.
Butterworths: Current Medical
Literature Ltd 1989.
Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No.
80, 1992
81
ConversionConversion EmoticonEmoticon