SAP TBC
A. Etiologi
.
Jenis kuman yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1 – 4 mm dan tebal antara 0,3 –
0,6 mm. Sebagian besar kuman berupa
lemak/lipid sehingga kuman ini tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap
fisik dan kimiawi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah
yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi
kandungan oksigennya yaitu daerah apikal paru, daerah ini menjadi prediksi pada
penyakit paru.
B. Komplikasi.
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis
terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem
pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal
nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus,
meningitis serosa, dan tuberkulosis milier.
C. Tanda dan gejala.
Pada stadium dini penyakit TBC
biasanya tidak tampak adanya tanda dan
gejala yang khas. Biasanya keluhan yang muncul adalah :
1.
Demam : sub fibril, fibril ( 40
– 410C ) hilang timbul.
2.
Batuk : terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus; batuk ini membuang / mengeluarkan produksi radang, dimulai dari
batuk kering sampai batuk purulent ( menghasilkan sputum ).
3.
Sesak nafas : terjadi bila
sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
4.
Nyeri dada : ini jarang ditemukan,
nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
5.
Malaise : ditemukan berupa
anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan keringat di waktu
di malam hari.
D. Pemeriksaan Diagnostik
dan Pengobatan TB Paru .
a.
Pemeriksaan Diagnostik.
1.
Kultur sputum
Positif jika ditemukan mikobakterium tuberkulosis dalam stadium aktif pada perjalanan penyakit.
2.
Ziehl-Neelsen (pewarnaan
terhadap sputum)
Positif jika ditemukan bakteri tahan asam.
3.
Skin test (PPD, Mantoux, Tine,
Vollmer patch)
Reaksi positif (area indurasi >
10 mm timbul 48 – 72 jam setelah injeksi antigen intra kutan) menunjukkan telah
terjadinya infeksi dan dikeluarkannya antibodi tetapi tidak menunjukkan
aktifnya penyakit.
4.
Elisa/Western Blot
Dapat menunjukkan adanya virus HIV.
5.
Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas,
timbunan kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang
menunjukkan perkembangan tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
6.
Pemeriksaan histologi/kultur
jaringan
Positif bila terdapat mikobakterium tuberkulosis.
7.
Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar
yang mengindikasikan terjadinya
nekrosis.
8.
Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, misalnya
hipernatremia yang disebabkan retensi air mungkin ditemukan pada penyakit
tuberkulosis kronis.
9.
Analisa gas darah (BGA)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan
jaringan paru.
10.Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital,
meningkatnya ruang rugi, meningkatnya rasio residu udara pada kapasitas total
paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi
parenkim/fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari
tuberkulosis kronis).
b.
Pengobatan.
Sejak ditemukannya obat-obat anti TB dan dimulainya dengan
monotherapi, kemudian mulai timbul masalah resistensi terhadap obat-obat
tersebut, maka pengobatan secara paduan beberapa obat ternyata dapat mencapai
tingkat kesembuhan yang tinggi dan memperkecil jumlah kekambuhan.
Paduan obat jangka pendek 6 – 9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan
dianjurkan juga oleh WHO adalah 2 RHZ/4RH dan variasi lain adalah 2 RHE/4RH, 2
RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3/ 2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB paru yang berat ( milier ) dan TB Ekstra Paru, therapi tahap
lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni 2RHZ/7RH. Departemen Kesehatan RI
selama ini menjalankan program pemberantasan TB Paru dengan panduan 1RHE/5R2H2.
Bila pasien alergi/hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan
obat jangka panjang 12 – 18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan
lain-lain.
Beberapa obat anti TB yang dipakai saat ini adalah :
1.
Obat anti TB tingkat satu
Rifampisin ( R ), Isoniazid ( I ), Pirazinamid ( P ), Etambutol ( E ),
Sterptomisin ( S ).
2.
Obat anti TB tingkat dua
Kanamisin ( K ), Para-Amino-Salicylic Acid ( P ),Tiasetazon ( T ),
Etionamide, Sikloserin, Kapreomisin, Viomisin, Amikasin, Ofloksasin,
Sifrofloksasin, Norfloksasin, Klofazimin dan lain-lainl. Obat anti TB tingkat
dua ini daya terapeutiknya tidak sekuat yang tingkat satu dan beberapa macam
yang teakhir yaitu golongan aminoglikosid dan quinolon masih dalam tahap
eksperimental.
Belakangan ini WHO menyadari bahwa pengobatan jangka pendek tersebut
baru berhasil bila obat-obat yang relatif mahal ( R & Z ) tersedia sampai
akhi masa pengobatan. Di beberapa negara berkembang, pengobatan jangka pendek
ini banyak yang gagal mencapai angka kesembuhan yang ( cure rate ) ditargetkan
yakni 85 % karena :
-
Program pemberantasan kurang
baik
-
Buruknya kepatuhan berobat
Hal ini menyebabkan :
-
Populasi TB semakin meluas
-
Timbulnya resistensi terhadap
bermacam obat
Adanya epidemi AIDS akan lebih mengobarkan kembali aktifnya TB.
Menyadari bahaya tersebut di atas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan
pernyataan baru dalam pengobatan TB Paru sebagai berikut :
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni
1.
Tahap intensif ( initial ),
dengan memberikan 4 – 5 macam obat anti TB per hari dengan tujuan :
-
Mendapatkan konversi sputum
dengan cepat ( efek bakterisidal )
-
Menghilangkan keluhan dan
mencegah efek penyakit lebih lanjut
-
Mencegah timbulnya resistensi
obat
2.
Tahap lanjutan ( continuation
phase ), denga hanya memberikan 2 macam obat per hari atau secara intermitten
dengan tujuan :
-
Menghilangkan bakteri yang
tersisa (efek sterilisasi )
-
Mencegah kekambuhan
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33
kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.
Pengobatan dibagi atas 4 katagori yakni :
1.
Katagori I
Ditujukan terhadap :
-
Kasus baru dengan sputum
negatif
-
Kasus baru dengan bentuk TB berat seperti
meningitis, TB diseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis
dengan gangguan neurologis, kelainan paru yang luas dengan BTA negatif, TB
usus, TB genito urinarius.
Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2RHZS ( E ). Bila
setelah dua bulan BTA menjadi negatif, diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila
setelah dua bulan masih positif, tahap intensif diperpanjang lagi selama 2 – 4
minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH
rendah pada tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat yakni RHZ.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4R3H3.
Pasien dengan TB berat ( meningitis, TB diseminata, spondilitis dengan kelainan
neurologis ), R dan H harus diberikan setiap hari selama 6 – 7 bulan. Paduan
obat alternatif adalah 6 HE ( T ).
2.
Kategori II
Ditujukan terhadap :
-
Kasus kambuh
-
Kasus gagal dengan sputum BTA
positif
Pengobatan tahap
intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE/1RHZE. Bila setelah tahap intensif BTA
menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan
tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang
lagi 1 bulan dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif
pengobatan dihentikan selama 2 – 3 hari, lalu diperiksa biakan dan resistensi
terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila pasien masih
mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih sensitif terhadap semua
obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan harus
diawasi dengan ketat di RS rujukan. Kemungkinan konversi sputum masih cukup
besar. Bila data menunjukkan resiten terhadap R dan H, maka kemungkinan
keberhasilan menjadi kecil.
Pengobatan tahap
lanjutan adalah dengan paduan 5 RHE atau
paduan 5 R3H3E3 yang perlu diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih
tetap positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu diobati
lagi.
3.
Kategori III
Ditujukan terhadap :
-
Kasus BTA negatif dengan
kelainan paru yang tidak luas.
-
Kasus TBC ekstra paru selain
yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3
Pengobatan tahap lanjutan dengan panduan 2RH atau 2 R3H3. Bila
kelainan paru lebih luas dari 10 cm2 atau pada TB ekstra paru yang belum remisi
sempurna, maka tahap lanjutan diperpanjang lagi dengan H saja selama empat
bulan lagi. Paduan obat alternatif adalah 6 HE ( T )
4.
Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus TB kronik.
Prioritas pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap
obat-obat anti TB (sedikitnya R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien
mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat anti TB tingkat
dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis.
Di negara yang maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental
sesuai dengan sensitivitasnya, sedangkan di negara yang kurang mampu cukup
dengan pemberian H seumur hidup dengan harapan dapat mengurangi infeksi dan
penularan.
Departemen Kesehatan RI dalam program baru
pemberantasan TB paru telah mulai dengan paduan obat : 2 RHZE/4 R3HE ( kategori
I ), 2 RHZSE/1 RHZE/5 R3H3E3 ( kategori II ), 2 RHZ/2 R3H3 ( kategori IV ).
7. Evaluasi Pengobatan.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis ( hilangnya
keluhan, nafsu makan meningkat, berat badan naik dan lain-lain ), berkurangnya
kelainan radiologis paru dan konversi sputum menjadi negatif.
Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan
ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada
akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan
ke-2 dan akhir pengobatan. Pmeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru
yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi pasien
yang mendapat pengobatan ulang ( retreatment ).
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan
dalam evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat pada
akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus
kambuh.
Untuk mengetahui efek samping obat ( yang terbanyak hepatitis ),
perlu pemeriksaan darah terhadap enzim hati, bilirubin, kreatinin/ureum, darah
perifer. Asam urat darah perlu diperiksa bagi yang memakai obat Z. bila
terdapat hepatitis karena obat ( kebanyakan karena R dan H ), maka obat yang
hepatotoksis diganti dengan yang non-hepatotoksis. Pemberian steroid dapat
dipertimbangkan. R atau H kemudian dapat diberikan kembali secara
desensitisasi. Tes mata untuk warna perlu bagi yang memakai E, sedangkan tes
audiometri perlu bagi yang memakai S.
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1 – 2 bulan
pengobatan tahap intensif tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat
prevalensi pasien yang resisten terhadap obat anti TB makin meningkat dan sudah
mencapai 9 %. Di negara yang sedang berkembang seperti di Afrika, diperkirakan
lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadapobat anti TB saat ini sudah
dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP ( Single Stranded Confirmation
Polymorphism ) dalam waktu satu hari. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 99% BTA
yang resisten terhadap R, 70% terhadap H, dan 60% terhadap S.
3.
Dampak masalah.
a.
Terhadap individu.
1.
Biologis.
Adanya kelemahan fisik secara
umum, batuk yang terus menerus, sesak napas, nyeri dada, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang panas yang
tinggi.
2. Psikologis.
Biasanya klien mudah tersinggung ,
marah, putus asa oleh karena batuk yang terus menerus sehingga keadaan
sehari-hari yang kurang menyenangkan.
3. Sosial.
Adanya perasaan rendah diri oleh
karena malu dengan keadaan penyakitnya sehingga klien selalu mengisolasi
dirinya.
4. Spiritual.
Adanya distress spiritual yaitu
menyalahkan tuhan karena penyakitnya yang tidak sembuh-sembuh juga menganggap
penyakitnya yang manakutkan
( Bailon Maglaya, 1989 ).
5.
Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.
b.
Terhadap keluarga.
1. Terjadinya penularan terhadap
anggota keluarga yang lain karena kurang
pengetahuan dari keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang
pengetahuan penatalaksanaan pengobatan dan upaya pencegahan penularan
penyakit.
2. Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala
keluarga yang berperan sebagai pemenuhan kebutuhan keluarga, maka akan
menghambat biaya hidup sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan.
3. Psikologis.
Peran keluarga akan berubah dan
diganti oleh keluarga yang lain.
4. Sosial.
Keluarga merasa malu dan
mengisolasi diri karena sebagian besar
masyarakat belum tahu pasti tentang penyakit TB Paru ( Lismidar,1990 )
c. Terhadap masyarakat.
Apabila penemuan kasus baru TB Paru
tidak secara dini serta pengobatan Penderita TB Paru positif tidak teratur atau
droup out pengobatan maka resiko penularan pada masyarakat luas akan terjadi
oleh karena cara penularan penyakit TB Paru
ConversionConversion EmoticonEmoticon