SEKSUALITAS
|
A. Pendahuluan
Sex merupakan hal yang dianggap tabu untuk
diperbincangkan. Akan tetapi secara bertahap seiring dengan berjalannya waktu
pengetahuan tentang sex dan pembicaraan mengenai masalah seksualitas dianggap
sebagai hal yang penting dan perlu bagi perkembangan manusia. Akhirnya pada
pertengahan tahun 1960-an, tenaga perawatan kesehatan telah mengenali
keterkaitan kesehatan seksual dengan komponen kesejahteraan.
Pemahaman mengenai seksualitas akan membantu perawat
dalam mengenali nilai dan bias seksual serta memperluas pemahaman tentang batas
normal perilaku seksual sehingga mampu memberikan perawatan secara lebih
efektif.
B. Konsep Seksualitas
Seksualitas merupakan hal yang sulit untuk didefinisikan
karena menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk
perilaku yang beraneka ragam. Sedangkan kesehatan seksual telah didefinisikan
oleh WHO (1975) sebagai “pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual,
dengan cara yang positif, memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi,
dan cinta”.
Apakah sex dan seksualitas
merupakan sesuatu yang sama ?
Ternyata kebanyakan orang
memahami sexualitas sebatas istilas sex, padahal antara sex
dengan sexualitas merupakan hal
yang berbeda. Menurut Zawid (1994), kata sex sering digunakan dalam dua hal,
yaitu: (a) aktivitas sexsual genital, dan (b) sebagai label jender (jenis
kelamin).
Sedangkan seksualitas memiliki
arti yang lebih luas karena meliputi bagaimana seseorang merasa tentang
bagaimana seseoarang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka
mengkomunuksikan perasaan tersebut terhadap orang lain melalui tindakan yang
dilakukannya seperti, sentuhan, ciuman, pelukan, senggama, atau melalui
perilaku yang lebih halus seperti
isyarat gerak tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata.
Lebih lanjut Menurut Raharjo
yang dikutip oleh Nurhadmo (1999) menjelaskan bahwa seksualitas merupakan suatu
konsep, kontruksi sosial terhadap nilai, orientasi, dan aperilaku yang
berkaitan dengan seks.
1. Dimensi seksualitas
Banyaknya
variasi seksualitas dan perilaku seksual membutuhkan perspektif yang holistik
(menyeluruh). Bagaimanapun
seksualitas dan kesehatan seksual memiliki banyak dimensi antara lain: dimensi
sosiokultural, agama & etika, psikologis, dan biologis.
a.
Dimensi Sosiokultural
Merupakan
dimensi yang melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana seseorang
menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari lingkungan sosial, serta bagaimana
sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia.
Dengan kata
laian seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural yang menentukan
apakah perilaku tersebut diterima atau tidak berdasarkan kultur yang ada.
Sehingga keragaman kultural secara global menyebabkan variabilitas yang sangat
luas dalam norma seksual dan menghadirkan spektrum tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya:
perilaku yang diperbolehkan selama pacaran, hal-hal yang dianggap merangsang,
tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan dalam perilaku seksual, atau
menentukan orang yang boleh dan tidak boleh untuk dinikahi.
Contoh lain
tradisi seksual kultural adalah sirkumsisi. Meskipun di AS masih merupakan
masalah kontroversial, akan tetapi hampir 80% neonatus laki-laki disana disirkumsisi dengan alasan higienis atau
simbol keagamaan dan identitas etnik tertentu. Demikian pula pada wanita, dalam
budaya beberapa negara sirkumsisi pada wanita merupakan tanda fisik kedewasaan
seorang wanita, simbol kontrol sosial terhadap kesenangan seksual dan
reproduksi mereka.
Survei
definitif dan komprehensif mengenai keyakinan dan praktek seksual di Amerika
yang dilakukan oleh para peneliti Universitas Chicago menunjukan bahwa seorang individu dipengaruhi oleh
jaringan sosial mereka dan cenderung untuk melakukan apa yang digariskan oleh
lingkungan sosial mereka (Michael et al,
1994). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian kualitatif mengenai
perilaku seksual anak jalanan di stasiun kereta api Lempuyangan Jogjakarta.
Lingkungan sosial yang bersifat permisif membuat mereka dengan usia yang sangat
muda telah akrab dengan berbagai aktivitas seksual, mulai dari meilhat sampai
dengan melakukan hubungan intim. (Purnawan, 2004).
Singkatnya,
setiap masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk nilai dan
sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat perkembangan dan ekspresi
seksual anggotanya. Misalnya bagi bangsa timur, khususnya Indonesia, melakukan
hubungan intim (senggama) di luar nikah merupakan sebuah aib walaupun sekarang
mulai memudar, akan tetapi bagi masyarakat Barat hal tersebut merupakan hal
yang wajar dan biasa terjadi.
b.
Dimensi Agama dan Etik
Seksualitas
berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik Jika keputusan seksual yang
ia buat melawati batas kode etik individu maka akan menimbulkan konflik
internal, seperti perasaan bersalah, berdosa dan lain-lain. Spektrum sikap
mengenai seksualitas memiliki rentang mulai dari pandangan tradisional
(hubungan seks hanya boleh dalam perkawinan)
sampai dengan sikap yang memperbolehkan sesuai dengan keyakinan individu
tentang perbuatannya.
Akan tetapi
meskipun agama memegang peranaan penting, akan tetapi keputusan seksual pada
akhirnya diserahkan pada individu, sehingga sering timbul pelanggaran etik atau
agama. Seperti yang dikemukakan Denney & Quadagno (1992) bahwa seseorang
dapat menyatakan pada publik bahwa ia meyakini sistem sosial tertentu tetapi
berperilaku cukup berbeda secara pribadi. Misalnya: Seseorang meyakini kalau
hubungan sex diluar nikah itu tidak diperbolehkan menurut agama atau etika,
tapi karena kurang bisa mengendalikan diri, ia tetap melakukan juga.
Michael et
al (1994) membagi sikap dan keyakinan individu tentang seksualitas menjadi 3
kategori:
1)
Tradisional :à keyakinan keagamaan selalu dijadikan
pedoman bagi perilaku seksual mereka. Dengan demikian homoseksual, aborsi, dan
hubungan seks pranikah dan diluar nikah selalu dianggap sebagai sesuatu yang
salah.
2)
Relasional : à berkeyakinan bahwa sex harus menjadi
bagian dari hubungan saling mencintai, tetapi tidak harus dalam ikatan
pernikahan.
3)
Rekreasional : à menyatakan bahwa kebutuhan seks tidak ada
kaitannya dengan cinta.
c.
Dimensi biologis
Merupakan
dimensi yang berkaitan dengan anatomi dan fungsional organ reproduksi termasuk
didalamnya bagaimana menjag kesehatan dan memfungsikan secara optimal.
d.
Dimensi psikologis
Seksualitas
mengandung perilaku yang dipelajari sejak dini dalam kehidupannya melalui
pengamatan terhadap perilaku orang tuanya. Untuk itulah orang tua memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap seksualitas anak-anaknya. Seringkali bagimana seseorang memandang diri
mereka sebagai mahluk seksual berhubungan dengan apa yang telah orang tua
tunjukan tentang tubuh dan tindakan mereka.
Menurut
Deney & Quadagno hasil penelitian menunjukan kecenderungan orang tua memperlakukan
anak perempuan dan laki-laki secara berbeda, mendekorasi kamar secara berbeda,
dan demikian pula respon terhadap tindakan mereka.
Orang tua
juga akan memberikan penghargaan terhadap anak lak-laki yang melakukan
eksplorasi dan mandiri, sedangjan anak perempuan sering didorong untuk menjadi
penolong dan meminta bantuan. Lebih lanjut orang tua cenderung mempertegas
permaian sesuai dengan jenis kelamin pada anak-anak prasekolah mereka.
Kesimpulannya orang tua memperlakukan anaknya sesuai dengan jender.
2.
Identitas seksual
a. Identitas biologis
Perbedaan
biologis antara pria dan wanita ditentukan pada masa konsepsi. Janin perempuan
menerima kromosom X (satu dari setiap orang tuanya), sedangkan janin laki laki
menerima satu kromosom X dari ibunya dan satu kromosom Y dari ayahnya.
Walaupun
awalnya genitalia janin belum bisa dibedakan, tetapi pada saat hormon seks
mulai mempengaruhi janin, genitalia membentuk karakteristik pria atau wanita.
Pada saat pubertas wanita mengalami putaran siklus menstruasi dan karakteristik
seks skunder. Sedangkan pada anak laki-laki mengalami pembentukan sperma dan
karakteristik seks skunder pria.
b. Identitas Jender
Jender
adalah suatu ciri yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial maupun kultural (Faqih, 1996). Sedangkan
Identitas Jender merupakan rasa menjadi feminin atau maskulin.
Dimana
segera setelah bayi lahir orang tua dan
komunitasnya akan memberikan label sebagai perempuan atau laki-laki. Kemudian
orang dewasa akan memperlakukan secara berbeda antara bayi laki-laki dengan
perempuan. Pola interaksi yang berbeda inilah yang kemudian mempengaruhi bayi
mengembangkan rasa identitas jendernya.
Pada
usia tiga tahun, anak-anak sudah menyadari bahwa mereka akan menjadi anak
perempuan atau anak-laki-laki. Pengenalan ini merupakan bagian dari
perkembangan konsep diri.
c. Peran Jender
Peran
jender merupakan cara dimana seseorang bertindak sebagai wanita atau pria.
Ternyata faktor lingkungan (orang tua, teman sebaya, media massa dll) bukan
satu-stunnya faktor yang membentuk perbedaan perilaku seksual individu,
beberapa peneliti berkeyakinan hormon seks
yang mempengaruhi perkembangan otak janin, ikut membentuk terbentuknya
peran jender tersebut. Sehngga perilaku seksual merupakan hasil kombinasi fakor
lingkungan dan biologis.
Selanjutnya
faktor kultural juga merupakan elemen penting dalam menentukan peran seks atau
jender. Ada kultur yang secara ketat menggambarkan peranaan sebagai feminin
atau maskulin (misal: pencari nafkah dan
koordinator finansial rumah tangga sebagai peran maskulin; sedangkan pemberi
perawatan anak dan memasak adalah peran feminin). Kelompok kultur lain mungkin
lebih fleksibel dalam mendefinisikan peran jender mendorong wanita maupun pria
untuk menggali berbagai peran atau perilaku tanpa memberikan label tertentu
yang berkaitan dengan seks.
3. Orientasi Seksual
Orientasi
seksual merupakan preferensi yang jelas, persisten, dan erotik seseorang untuk
jenis kelaminnya atau orang lain. Dengan kata lain orientasi seksual adalah
keteratarikan emosional, romatik, seksual, atau rasa sayang yang bertahan lama
terhadap orang lain
Orientasi
seksual memiliki rentang dari Homoseksual murni sampai dengan Heteroseksual
murni termasuk didalamnya Biseksual. Sebagian besar orang termasuk
heteroseksual yang memiliki ketertarikan hanya dengan lawan jenis. Sedangkan
sebagian kecil termasuk homoseksual atau biseksual.
Homoseksual merupakan orang yang mengalami
ketertarikan emosional, romantik, seksual, atau rasa sayang pada sejenis,
sedangkan biseksual merasa nyaman melakukan hubungan seksual dengan kedua
jenis kelamin. Kaum homoseksual disebut gay (bila laki-laki) atau lesbian
(perempuan).
Rentang ini
memberikan model konseptual tentang orientasi seksual dalam masyarakat dan
komplesitas perilaku manusia. Sehingga ada kemungkinan individu mempunyai
perasaan erotik yang ditujukan pada seseorang dengan jenis kelamin yang sama
tanpa melakukan aksi terhadap perasaan itu.
Gaya hidup
gay atau lesbian sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka memutuskan untuk
merahasiakan atau terbuka tentang orientasi seksualnya. Hal ini berkaitan dengan proses
penghargaan diri, penerimaan diri, dan keterbukaan diri. Melihat kenyataan diatas maka bukan sesuatu
yang benar jika kemudian pria gay selalu berkelakuan agak feminin atau memiliki
keinginan menjadi seorang wanita, atau sebaliknya wanita lesbian tidak mesti maskulin atau memiliki keinginan untuk jadi
pria. Sebagian besar dari mereka merasa puas dengan jender dan peran sosial
mereka, dan hanya memiliki keinginan untuk bersama dengan anggota jenis kelamin
mereka sendiri
Variasi dalam expresi seksual
Transeksual adalah orang yang identitas
seksual atau jender nya berlawanan dengan sex biologisnya. Seorang pria mungkin
berfikir tentang dirinya sebagai seorang wanita dalam tubuh pria, atau seorang
wanita mungkin menggambarkan dirinya sebagai pria yang terperangkap dalam tubuh
wanita. Perasaan ’terperangkap’ ini disebut juga dengan ’disforia jender’.
Transvetit biasanya adalah pria
heteroseksual secara periodik berpakaian seperti wanita untuk pemuasan
pikologis dan seksual. Sikap ini bersifat sangat pribadi bahkan bagi orang yang
terdekat sekalipun.
C. Sistem Nilai Seksual
Sistem
nilai seksual merupakan keyakinan pribadi dan keinginan yang berkaitan dengan
seksualitas. Sistem seksual ini dibentuk sepanjang perjalanan hidupnya.
Pengalaman ini dapat membuat klien mudah untuk berhadapan dengan masalah
seksual dalam lingkungan perawatan atau dapat pula menghambat klien dalam
mengekspresikannya.
Dengan
demikian perhatian utama perawat terhadap klien adalah apakah perilaku, sikap,
perasaan, sikap seksual spesifik itu normal.
Klien
yang dirawat juga harus diberi privasi ketika dikunjungi oleh pasangan
seksualnya. Privasi ini memungkinkan waktu pembicaraan intim, menyentuh, atau
berciuman.
Ketika
orientasi atau nilai seksual perawat berbeda dengan klien maka sesuatu yang
aneh atau salah menurut perawat mungkin tampak normal dan dapat diterima oleh
klien, maka disinilah timbul bias seksual.
Beberapa
hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi bias seksual agar tidak mengganggu
proses perawatan antara lain:
a) promosi tentang eduaksi seks dan
pemeriksaan nilai dan keyakinan seksual dengan jujur.
b) Pemberian informasi mengenai efek
penyakit pada seksualitas secara jujur dan akurat.
D. Perilaku Seksual
Menurut
Wahyudi (2000) perilaku seksual merupakan perilaku yang muncul karena adanya
dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui
berbagai perilaku.
Perilaku
seksual yang sehat dan dianggap normal adalah cara heteroseksual, vaginal, dan
dilakukan suka sama suka. Sedangkan yang tidak normal (menyimpang) antara lain
Sodomi, homoseksual.
Selama
ini perilaku seksual sering disederhanakan sebagai hubungan seksual berupa
penetrasi dan ejakulasi. Padahal menurut Wahyudi (2000), perilaku seksual
secara rinci dapat berupa:
·
Berfantasi : merupakan perilaku membayangkan
dan mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk menimbulkan
perasaan erotisme.
·
Pegangan Tangan : Aktivitas ini tidak terlalu
menimbulkan rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan untuk
mencoba aktivitas yang lain.
·
Cium Kering : Berupa sentuhan pipi dengan pipi
atau pipi dengan bibir.
·
Cium Basah : Berupa sentuhan bibir ke bibir
·
Meraba : Merupakan kegiatan bagian-bagian sensitif
rangsang seksual, seperti leher, breast, paha,
alat kelamin dan lain-lain.
·
Berpelukan : Aktivitas ini menimbulkan perasaan tenang, aman,
nyaman disertai rangsangan seksual
(terutama bila mengenai daerah aerogen/sensitif)
·
Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) : perilaku merangsang organ kelamin
untuk mendapatkan kepuasan seksual.
·
Oral Seks : merupakan aktivitas seksual dengan cara memaukan
alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.
·
Petting : merupakan seluruh aktivitas non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin).
·
Intercourse (senggama) : merupakan aktivitas seksual dengan
memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.
E. Perkembangan Seksual
Crain
(2002) menyatakan bahwa Freud dalam
teori psychosexualnya membagi
perkembangan seksual seseorang dalam beberapa tahap, yaitu:
a. Oral stage (0-1
tahun)
Rangsangan seksual
pada masa ini terletak pada mulutnya. Kegiatan menghisap puting payudara ibunya
atau menghisap jempolnya merupakan kesenangan bagi seorang bayi.
b. Anal stage (1-3
tahun)
Pusat rangsangan pada
masa ini terletak pada anusnya. Dimana anak merasakan kesenangan ketika
melakukan buang air besar karena telah mampu mengontrol otot sphincter-nya. Mereka kadang-kadang
mencoba memasukan kembali atau menahan fesesnya dengan cara menambah tekanan
pada rektum. Mereka juga sering tertarik dengan feses yang telah dikeluarkan
dengan menjadikannya sebagai alat mainan.
c.
Phallic or Oediphal stage (3-6 tahun)
·
Anak laki-laki
Dimulai dengan adanya ketertarikan
terhadap penisnya. Hal ini disebabkan penis merupakan organ yang mudah
dirangsang, mudah berubah, dan kaya akan rangsangan. Mereka ingin membandingkan
penisnya dengan laki-laki lain atau dengan binatang, sehingga ia senang
memperlihatkan penisnya.
Dia mungkin juga mencium ibunya
secara agresiv, ingin tidur malam bersama ibunya atau membayangkan ia
menikahinya. Akan tetapi ia belum membayangkan untuk melakukan senggama
sehingga merasa bingung apa yang akan dilakukan bersama ibunya.
·
Anak perempuan
Pada fase ini ia merasa kecewa dan
marah besar dengan ibunya karena tidak memmpunyuai penis. Ia menganggap ibunya
melahirkan kedunia dengan keadaan kurang lengkap Ia juga memiliki kedekatan
yang lebih terhadap ayahnya. Hal ini mungkin disebabkan ayahnya mulai mengagumi
kecantikannya, memanggilnya ‘little princess’ serta senang
bermain-main dengannya.
d.
Latency stage (6-11 tahun)
Pada fase ini, sebagian besar fantasi seksual
tersembunyi di alam bawah sadar mereka.
e.
Puberty (Genital Stage)
Pada anak laki-laki dimulai umur 13
tahun sedangkan anak perempuan dimulai pada usia 11 tahun. Pada saat ini anak
ingin melepaskan dirinya dari orang tua.
Bagi anak laki-laki masa ini adalah
saat melepaskan pertalian dengan ibunya untuk mendapatkan wanita lain sebagai
penggantinya. Dia juga harus mengakhiri rivalitas dengan ayahnya dan
membebaskan diri dari dominasi ayahnya.
Bagi anak perempuan mempunyai tugas
yang sama, ia harus berpisah dari orang tuanya dan menentukan jalan hidupnya
sendiri.
f.
Adolescence
Pada saat
ini seseorang mulai merasakan cinta dan kasih saying satu sama lain. Adolescence mempunyai perhatian yang
lebih mengenai siapa mereka, bagaimana mereka di mata orang lain, dan akan
menjadi apakah mereka. Mereka mulai merasakan ketertarikan secara seksual
antara satu dengan yang lain, sampai dengan jatuh cinta.
Sedangkan
dalam buku Fundamental of Nursing (Potter & Perry. 2005), dijelaskan
perkembangan seksual meliputi:
1. Masa Bayi (0-1 Tahun)
v Bayi perempuan dan laki-laki memiliki kapasitas untuk kesenangan dan respon
seksual, dimana bayi laki-laki berespon terhadap stimulasi dengan ereksi
sedangkan perempuan dengan lubrikasi vagina.
v Bayi laki-laki mengalami ereksi nokturnal
spontan tanpa stimulasi
v Perilaku dan respon itu TIDAK berhubungan
dengan kontak PSIKOLOGI EROTIK seperti pada masa pubertas.
v Orang tua seharusnya memahami dan menerima
perilaku eksplorasi bayi sebagai langkah perkembangan identitas diri yang
positif dengan cara:
” Memberikan stimulasi taktil
lainnya melalui menyusui, memeluk, dan menyentuh atau membuainya.”
2. Masa Usia Bermain dan
Prasekolah (1- 5/6 Tahun)
v Pada masa ini anak mulai menguatkan rasa
identitas jender dan membedakan perilaku sesua dengan jender yang didefinisikan secara sosial.
v Proses pembelajaran terjadi melalui:
o
Interaksi
anak dengan orang dewasa
o
Boneka
yang diberikan
o
Pakaian
yang dikenakan
o
Permainan
yang dilakukan
o
Respon
yang dihargai
v Anak mulai meniru tindakan orang tua yang
berjenis kelamin sama, mempertahankan dan memodifikasi perilaku yang didasarkan
umpan balik orang tua.
v Ekspolorasi seksual meliputi
o
Mengelus
diri sendiri
o
Manipulasi
genital
o
Memeluk
boneka,hewan peliharaan, atau orang sekitarnya
o
Percobaan
sensual lainnya.
v Anak sudah bisa diajarkan perbedaan
perilaku yang bersifat pribadi atau publik.
v Pertanyaan darimana bayi berasal yang
diamati harus dijelaskan dengan terbuka,
jujur dan sederhana.
- Masa Usia Sekolah ( 6 – 10 tahun)
v Pada masa ini edukasi dan penekanan
tentang seksualitas bisa datang dari orang tua atau gurunya disekolah, tapi
yang paling signifikan berasal dari teman sebayanya.
v Anak juga akan terus mengajukan pertanyaan
tentang seks dan menunjukan kemandirian mereka dengan menguji perilaku yang
sesuai, misalnya menggunakan kata-kata kotor atau menceritakan guyonan yang
berkonotasi seksual sambil mengamati reaksi orang dewasa
v Anak-anak mulai mempunyai keinginan dan
kebutuhan privasi.
v Pada usia 10 tahun, banyak anak gadis dan
sebagian sudah mulai mengalami perubahan pubertas, terjadi perubahan pada tubuh
mereka. Dengan demikian mereka membutuhkan informasi yang akurat dari rumah
maupun sekolah mengenai perubahan tubuh yang dialami. Karena jika tidak mungkin anak akan ketakutan dengan menstruasi
atau emisi nokturnal yang dianggapnya sebagai suau penyakit yang menakutkan.
v Pada usia sekolah dini, anak harus
diberikan informasi untuk berhati-hati terhadap potensi adanya penganiayaan
seksual. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah pelecehan seksual
terhadap anaka antara lain:
·
Ajarkan
kepada anak mengenai perbedaan antara sentuhan yang baik dengan sentuhan yang
buruk dari orang dewasa.
·
Beritahu
anak mengenai bagian tubuh tertentu yang tak boleh disentuh oleh orang dewasa
kecuali saat mandi atau pemeriksaan fisik oleh dokter.
·
Ajarkan
kepada anak untuk mengatakan ’tidak’ jika merasa tidak nyaman dengan perlakuan
orang dewasa dan menceritakan kejadian itu kepada orang dewasa yang meraka
percaya.
·
Ajarkan
bahwa orang dewasa tidak selalu ’benar’, dan semua orang mempunyai kontrol
terhadap tubuh mereka, sehingga ia dapat memutuskan siapa yang boleh atau tidak
boleh untuk memeluknya.
v Jika terjadi pelecehan seksual pada anak, beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
§ Ciptakan kondisi sehingga anak merasa
leluasa dalam menceritakan tentang bagian tubuhnya dan menggambarkan kejadian
dengan akurat.
§ Yakinkan anak bahwa orang dewasa yang
melakukannya adalah salah, sedangkan anaknya sendiri adalah benar.
§ Orang tua harus bisa mengkontrol ekspresi
emosional didepan anak.
- Pubertas dan Masa Remaja
a. Perubahan fsik
1) Perempuan
·
Ditandai
dengan perkembangan payudara, bisa dimulai paling muda umur 8 tahun sampai
akhir usia 10 tahun.
·
Meningkatnya
kadar estrogen mempengaruhi genitalia, antara lain: uterus membesar; vagina
memanjang; mulai tumbuhnya rambut pubis dan aksila; dan lubrikasi vagina baik
spontan maupun akibat rangsangan.
·
Menarke
sangat bervariasi, dapat terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16
tahun. Siklus menstruasi pada awalnya tidak teratur dan avulasi mungkin tidak
terjadi saat menstruasi pertama.
2) Laki-laki
·
Meningkatnya
kadar testosteron ditandai dengan peningkatan ukuran penis, testis, prostat,
dan vesikula seminalis; tumbuhnya rambut pubis, wajah
·
Walaupun
mengalami orgasme, tetapi mereka tidak akan mengalami ejakulasi, sebelum organ
seksnya matur yaitu sekitar usia 12 – 14 tahun.
·
Ejakulasi
terjadi pertama kali mungkin saat tidur (emisi nokturnal), dan sering
diinterpretasikan sebagai mimpi basah dan bagi sebagian anak hal tersebut
merupakan sesuatu yang sangat memalukan.
·
Oleh
karena itu anak laki-laki harus mengetahui bahwa meski ejakulasi pertama tidak
menghasilkan sperma, akan tetapi mereka akan segera menjadi subur.
b. Perubahan psikologis/emosi
·
Periode
ini ditandai oleh mulainya tanggungjawab dan asimilasi pengharapan masyarakat
·
Remaja
dihadapkan pada pengambilam sebuah keputusan seksual, dengan demikian mereka
membutuhkan informasi yang akurat tentang perubahan tubuh, hubungan dan
aktivitas seksual, dan penyakit yang ditularkan melalui aktivitas seksual.
·
Yang
perlu diperhatikan terkadang pengetahuan yang diadapatkan tidak diintegrasikan
dengan gaya hidupnya, hal ini menyebabkan mereka percaya kalau penyakit kelamin
maupun kehmilan tidak akan terjadi padanya à sehingga ia cenderung melakukan aktivitas seks
tanpa kehati-hatian.
·
Masa
ini juga merupakan usia dalam mengidentifikasi orientasi seksual, banyak dari
mereka yang mengalami setidaknya satu pengalaman homoseksual. Remaja mungkin
takut jika pengalaman itu merupakan gambaran seksualitas total mereka, walaupun
sebenarnya anggapan ini tidak benar karena banyak individu terus berorientasi
heteroseksual secara ketat setelah pengalaman demikian.
·
Remaja
yang kemudian mengenali preferensi mereka sebagai homoseksual yang jelas akan
merasa dan kebingungan sehingga
membutuhkan banyak dukungan dari berbagai sumber (Bimbingan Konselor, penasihet
spiritual, keluarga, maupun profesional kesehatan mental).
Hubungan dengan perawatan kesehatan:
Pada masa ini remaja mungkin pertama kali
mencari perawatan kesehatan tanpa didampingi orangtua. Agar intervensi pada kelompok usia ini bisa
efektif harus diperhatikan beberapa hal antara lain:
-
Ciptakan
lingkungan yang menunjukan kasih sayang, saling percaya, serta kesediaan untuk
mendengar
-
Klarifikasi
dan hormati masalah yang bersifat rahasia
-
Perawat
kesehatan reproduktif hendaknya memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai
perkembangan remaja.
- Masa Dewasa
·
Pada
masa ini telah mencapai maturasi akan tetapi terus mengeksplorasi untuk
menemukan maturasi emosional dalam hubungan.
·
Sambil
mengembangkan hubungan yang intim, semua orang dewasa yang secara seksual aktif
harus belajar teknik stimulasi dan respon seksual yang memuaskan bagi
pasangannya. Mengapa ? karena pengenalan
secara mutual tentang keinginan dan preferensi serta negosiasi praktek seksual
mencetuskan ekspresi seksual yang positif.
·
Teknik
stimulasi hendaknya memperhatikan agama, nilai dan sikap keluarga tentang
seksualitas karena kalau tidak menimbulkan efek emosional residual seperti rasa
bersalah, cemas, atau perasaan berdosa.
·
Pada
akhir masa dewasa diperlukan pembaruan kembali keintiman diantara pasangan.,
namun demikian jika salah satu atau keduanya mengalami ancaman gambaran diri karena
tubuh yang menua, dan mungkin mencoba menemukan ’kemudaan’nya dengan melakukan
hubungan seksual dengan pasangan yang jauh lebih muda.
·
Untuk
mecegah hal tersebut, jika diinginkan pasangan dapat dibantu untuk menemukan
hal atau kegairahan baru dalam hubungan mereka, baik dengan posisi, teknik
seksual, maupun fantasi.
- Masa Lanjut Usia
·
Seksualitas
pada masa ini beralih dari penekanan prokreasi menjadi lebih kerah pertemanan
, kedekatan fisik, komunikasi intim, dan hubungan fisik mencari kesenangan.
Walaupun demikian mereka juga bisa tetap aktif.melakukan aktivitas seks jika
memang menginginkan.
·
Perubahan
fisik yang dialami menyebabkan perubahan perilaku seksual, sehingga perlu
dijelaskan perubahan yang terjadi bersama dengan proses penuaan.
·
Demikian
pula lansi dengan kekuatiran masalah kesehatan yang mengganggu aktivitas
seksual, dianjurkan untuk menyesuaikan tindakan seksual dengan kondisinya
tersebut.
F. Respon Seksual
Menurut
Masters dan Johnson (1966) siklus respon seksual terdiri dari fase excitement, plateu, orgasmus, dan, resolusi. Pada dasarnya fase-fase
tersebut diakibatkan oleh vasokonstriksi dan miotania, yang merupakan respons
fisiologis dasar dari rangsangan seksual.
Perbandingan
siklus respon pada wanita dan pria dapat dilihat pada tabel berikut ini
WANITA
|
PRIA
|
I. EXICETEMENT : peningkatan bertahap dalam rangsangan
seksual
|
|
· Lubrikasi vaginal:
dinding vaginal berkeringat
· Ekspansi 2/3 bagian
dalam lorong vagina.
· Peningkatan
sensitivitas dan pembesaran klitoris serta labia
· Ereksi puting dan peningkatan
ukuran payudara
|
· Ereksi penis
· Penebalan dan elevasi
skrotum
· Elevasi dan perbesaran
moderat testis
· Ereksi puting dan tumescence (pembengkakan)
|
II.
PLATEU : penguatan respons fase Exitement
|
|
· Retraksi klitoris di
bawah topi klitoral
· Pembentukan platform orgasmus: pembengkakan 1/3
luar vagina dan labisa minora
· Elevasi serviks dan
uterus: efek ‘tenting’
· Perubahan warna kulit
yang tampak hidup pada labia minora: “Kulit Seks”
· Pembesaran areola dan
payudara
· Peningkatan tegangan
otot dan pernafasan
· Peningkatan frekuensi
denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan
|
· Peningkatan ukuran
glans (ujung) penis
· Peningkatan intensitas
warna glans
· Elevasi dan peningkatan
50% ukuran testis.
· Emisi mukoid kelenjar
cowper, kemungkinan oleh sperma
· Peningkatan tegangan
otot dan pernafasan
· Peningkatan frekuensi
denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan
|
III.
ORGASME: penyaluran kumpulan darah dan tegangan otot
|
|
· Kontraksi involunter platform orgasmik, uterus, rektal dan
spingter uretral, dan kelompok otot lain
· Hiperventilasi dan
peningkatan frekuensi jantung
· Memuncaknya frekuensi
jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan
|
· Penutupan sfingter
urinarius internal
· Sensasi ejakulasi yang
tidak tertahankan
· Kontraksi duktus
deferens vesikel seminalis prostat dan duktud ejakulatorius
· Relaksasi sfingter
kandung kemih eksternal
· Memuncaknya frekuensi
jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan
· Ejakulasi
|
IV. RESOLUSI: fisiologis dan
psikologis kembali kedalam keadaan tidak terangsang.
|
|
· Relaksasi bertahap
dinding vagina
· Perubahan warna yang
cepat pada labia minora
· Berkeringat
· Secara bertahap
frekuensi jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan kembali normal
· Wanita mampu kembali
mengalami orgasme karena tidak mengalami periode refraktori seperti yang
terjadi pada pria.
|
· Kehilangan ereksi penis
· Periode refraktori
ketika dilanjutkan stimulasi menjadi tidak enak
· Reaksi berkeringat
· Penurunan testis
· Secara bertahap
frekuensi jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernafasan kembali normal
|
G. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Seksualitas dan Perilaku Seksual
1.
Faktor
Fisik
Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan fisik,
karena bagamanapun aktivitas seks bisa menimbulkan nyeri dan ketidaknyamanan.
Kondisi fisik dapat berupa penyakit ringan/berat, keletihan, medikasi maupun
citra tubuh. Citra tubuh yang buruk, terutama disertai penolakan atau
pembedahan yang mengubah bentuk tubuh menyebabkan seseorang kehilangan gairah.
2.
Faktor
Hubungan
Masalah dalam berhubungan (kemesraan, kedekatan) dapat mempengaruhi
hubungan seseorang untuk melakukan aktivitas seksual.
Hal ini sebenarnya tergantung dari bagimana kemampuan mereka dalam
berkompromi dan bernegosiasi mengenai perilaku seksual yang dapat diterima dan
menyenangkan
3.
Faktor
Gaya Hidup
Gaya hidup disini meliputi penyalahgunaan alkohol dalam aktivitas seks,
ketersediaan waktu untuk mencurahkan perasaan dalam berhubungan, dan penentuan
waktu yang tepat untuk aktivitas seks.
Penggunaan alkohol dapat menyebabkan rasa sejahtera atau gairah palsu dalam
tahap awal seks dengan efek negatif yang jauh lebih besar dibanding perasaan
eforia palsu tersebut.
Sebagian klien mungkin tidak mengetahui bagaiman mengatur waktu antara
bekerja dengan aktivitas seksual, sehingga pasangan yang sudah merasa lelah
bekerja merasa kalau aktivitas seks merupakan beban baginya.
4.
Faktor
Harga Diri
Jika harga-diri seksual tidak dipelihara dengan mengembangkan perasaan yang
kuat tentang seksual-diri dan dengan mempelajari ketrampilan seksual, aktivitas
seksual mungkin menyebabkan perasaan negatif atau tekanan perasaan seksual.
Harga diri seksual dapat terganggu oleh beberapa hal antara lain:
perkosaan, inses, penganiayaan fisik/emosi, ketidakadekuatan pendidikan seks,
pengaharapan pribadi atau kultural yang tidak realistik.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual, menurut Purnawan (2004) yang dikutip dari berbagai sumber antara lain:
a.
Faktor Internal
1)
Tingkat
perkembangan seksual (fisik/psikologis)
Perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan perilaku seksual yang
berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6 tahun berbeda dengan anak 13
tahun.
2)
Pengetahuan
mengenai kesehatan reproduksi
Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional tentang
kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko perilaku serta alternatif cara
yang dapat digunakan untuk menyalurkan dorongan seksualnya
3)
Motivasi
Perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau
termotivasi untuk memperoleh tujuan tertentu. Hersey & Blanchard cit Rusmiati (2001) perilaku seksual
seseorang memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan, mendapatkan perasaan
aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang (pada gigolo/WTS)
b.
Faktor
Eksternal
1)
Keluarga
Menurut Wahyudi (2000) kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua
dengan remaja dapat memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang
2)
Pergaulan
Menurut Hurlock perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh lingkungan
pergaulannya, terutama pada masa pubertas/remaja dimana pengaruh teman sebaya lebih
besar dibandingkan orangtuanya atau anggota keluarga lain.
3)
Media
massa
Penelitian yang dilakukan Mc Carthi et
al (1975), menunjukan bahwa frekuensi menonton film kekerasan yang disertai
adegan-adegan merangsang berkolerasi positif dengan indikator agresi seperti
konflik dengan orang tua, berkelahi , dan perilaku lain sebagi manifestasi dari
dorongan seksual yang dirasakannya.
Referensi
- Crain, W. 1992Theorist of Development Concept and Applications. 3th ed. New York: Engle Wood Cliffs
- Potter & Perry. 2005 .Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktek. Alih Bahasa, Yasmin Asih. Ed. 4. Jakrta: EGC
- Purnawan, I. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Anak Jalanan di Stasiun Kereta Api Lempuyangan Jogjakarta. Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran UGM.
- Minangsari,2005, Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual!, down load from: kompas online, 9 Februari 2007.
- Wahyudi,K.2000.Kesehatan Reproduksi Remaja. Lab Ilmu Kedokteran Jiwa FK UGM Jogjakarta.
ConversionConversion EmoticonEmoticon