MAKALAH AL-ISLAM
Tentang
EUTHANASIA
MENURUT
AGAMA
ISLAM
Disusun
Oleh :
YOVITTA AYU A.W
2010.06661.095
PRODI D III KEBIDANAN SEMESTER III-B
FAKULTAS ILMU
KESEHATAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURABAYA
2011
KATA PENGANTAR
Assalammuallaikum wr.wb.
Puji Syukur saya panjatkan Kehadirat
Tuhan ALLAH SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah tentang “” Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Al- Islam II Fakultas
Ilmu Kesehatan program studi D III
Kebidanan di Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Ssya
selaku penulis mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mengarahkan saya terutama
kepada Bapak
Drs. Mustaqim Fadlil selaku dosen pengajar mata kuliah Al-Islam II, sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu.
Semoga Allah SWT selalu melimpahkan
rahmat serta hidayahNya kepada semua pihak yang membantu terselesainya makalah
ini.
Saya
sangat menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, dimohon saran dan kritik yang membangun.Akhir kata semoga makalah
yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Surabaya,
Oktober 2011
Penulis
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap makhluk hidup,
termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses
pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta
diakhiri dengan kematian.Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian
merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu
pengetahuan belum berhasil menguaknya.
Untuk dapat menentukan
kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar
berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari
Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat
waktu kematian.
Hak pasien untuk mati,
yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh
para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika
terjadi kasus-kasus menarik.
Para ahli agama, moral, medis, & hukum
belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna
menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter,
apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri
penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi
konsekuensi hukum. Sudah tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik
dalam batinnya.
Sebagai dampak
dari kemajuan kemajuan ilmu & teknologi kedokteran (iptekdok), kecuali
manfaat, ternyata berdampak terhadap nilai-nilai etik/moral, agama, hukum,
sosial, budaya, & aspek lainnya.Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas
antara hidup & mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti
pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis
misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.
Pada dewasa ini, para
dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang
kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis Dari semua
masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang
menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali
dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak
dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan
penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulangkali memohon
dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat
disebut euthanasia.
Beberapa ahli hukum
berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti
misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar
kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain,
apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak
lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hukum sesuai
KUHP pasal 351 tentang penganiayaan
Tindakan menghentikan
perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan
untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, &
bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Dengan kata lain,
dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri
penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan
pendapat Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter
untuk mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri
atau ingin lepas dari penderitaan karena penyakitnya.
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
Penulisan
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Ayat
Al-qur’an
1.
Allah berfirman dalam QS al-Mâidah, 5:
32,
”Siapa pun
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
2.
Q.S An Nisaa : 93
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
3.
Q.S Az Zukhruf : 32
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
4.
Q.S Yunus : 31
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
5.
Q.S Al Anfaal : 3-4
(yaitu) orang-orang
yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami
berikan kepada mereka.Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.
mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan
serta rezki (nikmat) yang mulia
B.
Hadist
1.
Hadist Riwayat al-Bukhari dan
Muslim
Rasulullah
saw. bersabda:
Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, harta sekadar duri yang menusuknya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, harta sekadar duri yang menusuknya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
2.
Hadist
Riwayat at-Tirmidzi
Rasulullah
saw. Kemudian bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian,
karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula
obatnya. (HR at-Tirmidzi).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
3.
Hadist
Riwayat Bukhari
Diantaranya
hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra., bahwa seorang perempuan yang berkulit
hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata, "Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku -saat kambuh-.
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi saw. lalu berkata, “Jika kamu
mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa
kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.“. Perempuan itu berkata, “Baiklah aku
akan bersabar.” Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya auratku sering tersingkap
[saat ayanku kambuh]. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak
tersingkap.“Nabi saw. kemudian berdoa untuknya. (HR Bukhari).
Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak
berobat. Jika hadis ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang
memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi (qarînah), bahwa
perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya,
hukum berobat adalah sunnah (mandûb), bukan wajib, termasuk dalam hal ini
memasang alat-alat bantu bagi pasien.
C.
Pendapat
Ulama
Dalam
euthanasia pasif terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang
melarang karena disamakan dengan euthanasia aktif dan ada yang membolehkan Di
antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasia pasif, yaitu tindakan
mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di
kalangan sebagain ulama. Yaitu bahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit
tidak sepenuhnya wajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegang oleh
imam-imam mazhab.
Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetap mewajibkannya. Misalnya apa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).
Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetap mewajibkannya. Misalnya apa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).
Ulama menyatakan bahwa hukum berobat menjadi sunnah, wajib, mubah
atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya, jika tidak ada
harapan sembuh sesuai sunnatullah dan hukum kausalitas, sesuai diagnosis dokter
ahli yang dapat dipercaya, maka tidak seorangpun dapat mengatakan sunnah
apalagi wajib.
Abdul Qadim Zallum mengatakan, bahwa jika para
dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka para
dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu
pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian otak tersebut berarti secara pasti
tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Penggunaan dan
penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti
menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien (setelah
matinya atau rusaknya organ otak) hukumnya boleh (jâ’iz) bagi dokter. Jadi,
ketika dokter mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat
dikatakan melakukan pembunuhan terhadap pasien .
Pada kasus seorang pasien yang diberi berbagai macam pengobatan
dengan cara meminum obat, suntikan, dan sebagainya ataupun menggunakan
alat-alat pernafasan buatan dan yang lainnya sesuai dengan teori kedokteran
modern dalam waktu yang relatif lama tetapi penyakitnya tetap saja tidak
berubah, maka melanjutkan pengobatan tersebut menjadi tidak wajib dan tidak
pula mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (tidak mengobatinya) adalah wajib
atau sunnah. Membiarkan pasien hidup dengan bantuan alat hanya akan
menghabiskan dana, selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut
bagi orang lain yang lebih memerlukannya dan memperoleh manfaat dari alat
tersebut.
Menurut syara’, seseorang dianggap meninggal sehingga diberlakukan
hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan kematian, apabila telah nyata salah
satu dari dua indikasi. Pertama, apabila denyut jantung dan pernafasannya sudah
berhenti secara total, dan para dokter telah menetapkan bahwa hal itu tidak
akan pulih kembali. Kedua, apabila seluruh aktifitas otaknya sudah berhenti
sama sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih, otaknya
sudah tidak berfungsi (Zuhroni et. al. 2003).
Dalam kondisi tersebut diatas, ulama menetapkan diperbolehkan
melepas instrumen yang dipasang pada seseorang meskipn sebagian organnya,
seperti jantung masih berdenyut karena kerja instrumen tersebut. Argumen kebolehan
melepas alat-alat pengaktif organ dan pernafasan dari pasien, karena tidak
berguna lagi. Bahkan sebagian ulama mewajibkannya untuk menghentikan penggunaan
alat-alat tersebut, karena menggunakan alat-alat itu berarti bertentangan
dengan syariah Islam. Alasannya adalah tindakan tersebut menunda pengurusan
jenazah dan penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian warisan, masa
‘iddah bagi istri dan hukum lain yang terkait dengan kematian. Disamping itu
juga berarti menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak
berguna, sedangkan hal ini dilarang dalam Islam.
Penggunaan alat tersebut juga memberikan mudharat kepada orang lain
dengan menghalangi penggunaan alat tersebut kepada yang lebih membutukannya.
Dalam ketentuan hukum Islam, memberi mudharat kepada diri sendiri dan kepada
orang lain dilarang, sesuai dengan hadis Nabi s.a.w., yaitu hadis riwayat Ibn
Majah, Ahmad, dan Malik yang artinya “Dari `Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah
s.a.w. mewajibkan agar tidak memberikan mudharat kepada diri sendiri dan kepada
orang lain.” (Zuhroni et. al. 2003).
Ulama yang membolehkan ~termasuk Syaikh Yusuf Qordhowi~ euthanasia
pasif berdalil dengan hukum asal berobat, karena ketika sakit yang tidak
mungkin disembuhkan ~menurut dokter~ tidak mengapa meninggalkan pengobatan
karena memang pengobatan hanya mubah atau sunnah, sedikit sekali para ulama
yang mewajibkannya
BAB III
TINJAUAN KASUS
A.
Pengertian
Euthanasia
pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit
keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang
lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, dan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain
yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan
pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh.
Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi. i (Utomo, 2003:176).
Euthanasia pasif
adalah suatu tindakan membiarkan pasien/penderita
yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun
ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak
terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak
atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak
(stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.
Eutanasia pasif dapat
juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah
dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti
morfin yang disadari justru
akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan
secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Euthanasia pasif
adalah tindakan menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja yang dilakukan
secara perlahan-lahan. Dalam dunia kedokteran, tindakan ini dapat diambil
dengan persetujuan korban, tentu saja setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Yang umum misalnya karena sakit yang berkepanjangan dan tak bisa lagi ditangani oleh tim dokter atau tidak disanggupinya lagi biaya pengobatan baik oleh korban maupun keluarganya.
Yang umum misalnya karena sakit yang berkepanjangan dan tak bisa lagi ditangani oleh tim dokter atau tidak disanggupinya lagi biaya pengobatan baik oleh korban maupun keluarganya.
Tindakan euthanasia
pasif ini biasa dilakukan melalui suntikan atau menyisipkan cairan tertentu
kedalam infuse, atau bisa juga dengan melepaskan tabung oksigen dan alat bantu
pernafasan lainnya, sehingga perlahan – lahan pasien akan meninggal dunia.
B.
Contoh
Euthanasia Pasif
1.
Penderita kanker yang sudah
kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada
otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan penderita.
Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat
kematiaannya. (Utomo, 2003,177)
2.
Seseorang yang kondisinya
sangat kritis dan akut karena menderita kelumpuhan tulang belakang yang biasa
menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kontrol pada kandung
kencing dan usus besar. Penderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh
dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Atau penderita
kelumpuhan otak yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan
badannya dengan studium beragam yang biasanya penderita penyakit ini akan
lumpuh fisiknya dan otaknya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama
hidupnya. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan tanpa diberi
pengobatan yang mungkin akan dapat membawa kematiannya.
Dalam contoh
tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu bentuk eutanasia pasif.
Menurut gambaran umum, para penderita penyakit seperti itu terutama anak-anak
tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian
secara pasif itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak atau kedua orang
tuanya.
C.
Hukum
Eutanasia Pasif
1.
Menurut etika kedokteran
Dari sudut pandang etika
kedokteran, euthanasia sebenarnya bertentangan dengan etika kedokteran. Etika
yang berasal dari kata ethos (Yunani) mengandung arti kebiasaan, adat, akhlak,
watak, perasaan, sikap, cara berpikir atau ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan (Bertens, 2005). Masalah etika ini tertuang dalam sumpah Hippocrates,
ditekankan pentingnya meringankan penderitaan, memperpanjang hidup, dan
melindungi kehidupan. Sumpah Hippocrates yang terkenal tersebut antara lain
berbunyi, “…saya tidak akan memberikan racun kepada siapa pun yang
menghendakinya, juga tidak akan menasihati orang untuk mempergunakannya.”
Declaration of Geneva 1948 dan Declaration of Sydney 1968 menyebutkan bahwa, “Saya
akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan…. Saya akan
menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.” Peraturan
Pemerintah 1969 tentang lafal sumpah dokter Indonesia bunyinya juga serupa
dengan Declaration of Geneva dan Declaration of Sydney. Pada Kode
Etik Kedokteran Indonesia Bab II tentang kewajiban dokter terhadap pasien,
tidak memperbolehkan mengakhiri penderitaan dan hidup orang sakit, yang menurut
pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi (euthanasia) (Veronica,
2005).
Di dalam Kode Etik
Kedokteran yang di tetapkan Menteri Kesehatan Nomor 434/Men. Kes/ SK/X/1983
pada pasal 10 : “ Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya
melindungi hidup makhluk insani”. Kemudian penjelasan dari pasal ini dengan
tegas disebutkan bahwa naluri yang terkuat pada setiap makhluk yang bernyawa,
termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas
seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup
makhluk insani. Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan
hidupnya, dan ini termasuk salah satu tugas seorang dokter,
2.
Menurut Hukum di Indonesia (
KUHP)
Dari sudut pandang hukum menurut Achadiat (2002), Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah mencantumkan secara eksplisit
istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila dikaji lebih mendalam
ternyata beberapa pasal mencakup pengertian itu.
Secara formal hukum yang berlaku di negara Indonesia memang tidak
mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga paramedis
dan dokter), sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat
dari pasal 338 , yang telah jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif,
dengan atau tanpa permintaan pasien ataupun keluarganya.
Menariknya, UU No. 23/1992 tentang kesehatan (yang dikenal sebagai
UU Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi soal euthanasia ini dalam
pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa pasal KUHP tadi masih belum
memberikan batasan yang tegas dalam hal euthanasia (Achadiat, 2002).
Aturan hukum mengenai masalah euthanasia ini sangat berbeda-beda di
seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma
budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara,
tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap
melanggar hokum ( Wibudi, 2008).
Di Indonesia, persoalan euthanasia masih belum mendapatkan tempat
yang diakui secara yuridis (Farid, 2008). Secara yuridis formal dalam hukum
pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu
euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary
euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP
(Titto,2006).
Pasal 344 KUHP secara
tegas menyatakan :
“Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun”.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa pembunuhan atas
permintaan korban / pasien sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya.
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap
dianggap sebagai perbuatan yang dilarang karena dianggap sebagai tindak pidana.
Selain
ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk
menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP (Tittto,2006).
Pasal 356(3) KUHP yang
menyatakan:
“Penganiayaan
yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan
untuk dimakan atau diminum”.
Pasal ini
menegaskan bahwa dalam hukum positif di Indonesia melarang tindakan euthanasia
aktif .
Selajutnya,
ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya
Pasal 304 dan Pasal 306 (2) ditegaskan bahwa tindakan euthanasia pasif juga
dilarang oleh hukum positif di Indonesia (Tittto,2006).
Dalam ketentuan Pasal 304
KUHP dinyatakan:
“Barang siapa
dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah”.
Dalam ketentuan Pasal 306
(2) KUHP dinyatakan:
“Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun”.
BAB IV
PEMBAHASAN
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa.
ConversionConversion EmoticonEmoticon