MAKALAH AL-ISLAM
Tentang
EUTHANASI
DENGAN FAKTOR PASIEN
MENURUT AGAMA ISLAM
Disusun Oleh :
EVA.AURIYANTI
2010.06661.062
PRODI
D III KEBIDANAN SEMESTER
III-B
FAKULTAS ILMU
KESEHATAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURABAYA
2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A.
Latar Belakang .................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C.
Tujuan ............................................................................................... 2
1.
Tujuan Umum ............................................................................ 2
2.
Tujuan Khusus ........................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI................................................................................ 3
A.
Ayat-ayat al-Qur’an........................................................................... 3
B.
Hadist................................................................................................ 5
C.
Pendapat-pendapat ulama ................................................................. 7
BAB III TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian............................................................................................
B.
Pandangan Tentang Euthanasia ...................................................
C.
Euthanasia Menurut Etika Kedokteran
........................................
D.
Beberapa aspek euthanasia.........................................................
E. Hukum
Euthanasia.....................................................................
BAB IV PEMBAHASAN .........................................................................................
BAB IV PENUTUP....................................................................................................
A.
Kesimpulan.......................................................................................
B.
Saran.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dengan
pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatka terjadinya
perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam peradaban manusia, hal ini
bertujuan untuk kemanfaatan kehidupan dan kepentingan umat manusia dengan
segala konsekuensi terhadap kesehatan.
Salah
satu kemajuan ilmu didalam peradaban manusia yaitu kemajuan ilmu kedokteran.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan, pengurangan, penderitaan pasien,
bahkan perhitungan saat kematian seorang pasien yang mengalami penyakit
tertentu dapat dilakukan secara cepat, tetapi kemajuan di bidang ilmu
kedokteran tidak mustahil akan mengundang permasalahan
Salah satu yang masalah
penting yang terpengaruh kemajuan teknologi adalah praktek euthanasia.
Euthanasia yang secara sederhana membantu seseorang untuk mati agar terbebas
dari penderitaan yang sangat, dan juga praktek euthanasia menggunaakan
peralatan kedokteran terhadap pasien yang pelik dan rumit,
misalnya apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang boleh
mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? apabila segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia atau bahkan dapat ditutduhkan suatu kebohongan,
karena disamping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret
dalam pengurasan dana yang banyak atau bahkan lebih berbahaya jika dibiarkan
karena penyakit yang diderita adalah penyakit yang menular penyakit AIDS
misalnya.yang menderita penyakit yang
tidak dapat di sembuhkan, tindakan eutahasia ini dilakukan atas permintaan
pasien itu senditiatau keluarganya.
Kontroversi menyangkut
euthanasia tidak saja santer didiskusikan dikalangan dunia medis, tapi telah merambah
kemana-mana. Di Amerika, Dr. Jack Kevorkian yang keluar masuk pengadilan akibat
tekadnya untuk tidak saja membenarkan euthanasia, tapi bahkan melakukannya
secara terbuka, menambah semaraknya kontroversi yang diliput secara luas oleh
media massa.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tidak memperbolehkan
Euthanasia, demikian juga dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Di dalam Al-Quran Surat Al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati
ialah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan
manusia terhadap Tuhan, Penciptanya.
Adapun bunyi dari Surat Al-Mulk ayat 2
adalah :
Artinya : “Yang mejadikan mati dan hidup. Supaya Dia
menguji kamu. Siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa
Lagi Maha Pengampun”.
B. Rumusan
Masalah
a. Apakah
yang dimaksud dengan Euthanasia ?
b. Bagaimanakah
hukum yang sebenarnya dari Euthanasia tersebut ?
c. Bagaimana
hubungannya Euthanasia dilihat dari faktor pasien ?
C. Tujuan
penulisan
ÿ Tujuan
umum
Mengajak dan
mangarahkan mahasiswa untuk lebih mengetahui tentang euthanasia dari sudut
pandang Islam dan hukumyang erat kaitannya dengan kesehatan sesuai profesi
kita.
ÿ Tujuan
khusus
Melihat profesi kita
dalam kesehatan, diharapkan nantinya tidak terjadi kesalahan dan kesalahpahaman.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A. Ayat
Al-qur’an
1. Euthanasia
aktif
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien
sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
a.
Surat An-Nisa ayat 29 – 30 :
Artinya : "Dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kamu.
Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar dan aniaya, maka Kami kelak
akan memasukkan mereka ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah".
b.
QS.al-Maidah,
5:32
. . .مَن
قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ
النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا.
. .
Artinya ”Siapa pun yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya
c.
Surat al-An’am ayat 151 :
Artinya "Katakanlah
"marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu, yaitu : janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, dan
janganlah kamu membunuh anak - anak kamu karena, takut kemiskinan. Kami akan
memberi rizki kepadamu dan kepada mereka dan janganlah kamu mendekati perbuatan
- permuatan yang keji. Baik yang nampak diantaranya, maupun yang tersembunyi,
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu
kepadamu supaya kamu memahaminya".
d. An-Nisaa’
: 92
وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ
يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً
مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (۹۲) وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا
مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (۹٣)
Artinya “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh
seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) ),
dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh), kecuali ahli waris membebaskan
denda tersebut. Jika yang terbunuh itu adalah kaum yang memusuhimu tetapi dia
seorang mukmin, maka si pembunuh harus membebaskan seorang hamba yang beriman.
Dan jika yang terbunuh adalah kaum kafir yang mempunyai perjanjian damai
denganmu, maka si pembunuh hendaknya membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarga terbunuh serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Jika pembunuh
tidak mampu, dia harus berpuasa dua bulan terus menerus, sebagai wujud taubat
kepada Allah. Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana (92). Dan siapa yang membunuh
seorang mukmin dengan disengaja, balasannya adalah neraka jahanam, dia kekal
disana, kutukan dan laknat Allah terkena pada dirinya, disiapkan baginya siksa
yang sangat dahsyat (93).”
B. Hadist
1. Euthanasia Aktif
Tidak
dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada
aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan
mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan
atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia Pasif
1. Hadist Riwayat Ahmad
dari Anas RA
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit,
Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah
(al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
2. Al-Ashlu
fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya
adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat
wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan
tidak berobat.
3.
Hadist Riwayat at-Tirmidzi
Rasulullah saw. Kemudian
bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, karena
sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula obatnya.
(HR at-Tirmidzi).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
4.
Hadist Riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas
ra
Diantaranya hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abbas ra., bahwa seorang perempuan yang berkulit hitam pernah
datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata, "Sesungguhnya aku terkena
penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku -saat kambuh-. Berdoalah
kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi saw. lalu berkata, “Jika kamu mau, kamu
bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu.“. Perempuan itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar.”
Lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku
kambuh]. Karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.“Nabi
saw. kemudian berdoa untuknya. (HR Bukhari).
C.
Pendapat Ulama
1.
Euthanasia Aktif
Diyat
untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki,
1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang
perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar =
4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham =
2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
2.
Euthanasia Pasif
Adapun
hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
BAB
III
TINJAUAN
KASUS
A. Pengertian
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran,
euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya
(Hasan, 1995:145).
Euthanasia
adalah tindakan untuk mempercepat kematian seseorang yang sedang dalam keadaan
kesakitan atau sedang menderita penyakit yang sangat hebat dan sulit
disembuhkan bahkan menjelang kematian. Tindakan ini dilakukan atas dasar
permintaan dari pasien atau dari keluarga ataupun dokter
Euthanasia
yaitu sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup
orang lain (pasien) untuk kepentingan pasien itu sendiri. Berdasarkan pada cara
terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena
proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara
tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan
pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia
berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam
bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati
cepat tanpa derita’(dikutip dari 5). Sejak abad 19 terminologi euthanasia
dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang
sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Kode Etik
Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:
1. Berpindahnya
ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan
nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup
akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri
penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.
Jenis-Jenis Euthanasia Dari Cara Dilaksanakannya :
1. Dilihat dari cara dilaksanakannyaeuthanasia dapat
dibedakan atas
a. Euthanasia pasif
di mana
tenaga medis tidak lagi memberikan atau
melanjutkan bantuan medik.Adapun euthanasia
pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita
sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang
lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang
sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
b.
Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat
kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau
sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak
mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan
dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang
penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo,
2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Euthanasia aktif baik secara langsung atau tidak langsung, dimana doter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Euthanasia aktif baik secara langsung atau tidak langsung, dimana doter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien.
2. Euthanasia ditinjau dari pemberian izin
a.
Euthanasia tidak sukarela
b. Euthanasia sukarela
c. Euthanasia diluar kemauan pasien
B.
Pandangan Tentang Euthanasia
1. Yang menyetujui Euthanasia
Bahwa
euthanasia dilakukan dengan persetujuan untuk tujuan menghentikan penderitaan
pasien.
2. Yang tidak menyetujui Euthanasia
Euthanasia
merupakan pembunuh yang terselubung
C.
Euthanasia Menurut Etika Kedokteran Dan Hukum Di
Indonesia
1. Seorang Dokter harus menjaga dan melindungi hidup
seseorang insan, ini berarti dokter tidak boleh :
a.
Menggugurkan kandungan
b.
Mengakhiri hidup seseorang meskipun ia tidak akan sembuh lagi.
2. Berdasarkan hukum di Indonesia euthanasia perbuatan
yang melanggar hukum jika di lihat dari undang-undang pasal 338, 340 dan 359.
D.
Beberapa aspek euthanasia.
1. Aspek Hukum.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya
melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif
dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana
mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP
Pidana.
2. Aspek Hak
Asasi.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup,
damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang
untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi
manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit
adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3. Aspek
Ilmu Pengetahuan.
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan
keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan
penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan
untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala
upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak
membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan
dana.
4. Aspek
Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan
sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli
agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu
memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan
putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim
dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak
ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan
dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang
umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah
lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau
memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati.
Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya
medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal
seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya
baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan
dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa
hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil
untuk menopangnya.
E. Hukum
Euthanasia
1.
Menurut etika kedokteran
Dari sudut
pandang etika kedokteran, euthanasia sebenarnya bertentangan dengan etika kedokteran.
Etika yang berasal dari kata ethos (Yunani) mengandung arti kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir atau ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan (Bertens, 2005). Masalah etika ini tertuang dalam sumpah Hippocrates,
ditekankan pentingnya meringankan penderitaan, memperpanjang hidup, dan
melindungi kehidupan. Sumpah Hippocrates yang terkenal tersebut antara lain
berbunyi, “…saya tidak akan memberikan racun kepada siapa pun yang
menghendakinya, juga tidak akan menasihati orang untuk mempergunakannya.”
Declaration
of Geneva 1948 dan Declaration of Sydney 1968 menyebutkan bahwa,
“Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan…. Saya akan
menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.” Peraturan Pemerintah
1969 tentang lafal sumpah dokter Indonesia bunyinya juga serupa dengan Declaration
of Geneva dan Declaration of Sydney. Pada Kode Etik Kedokteran
Indonesia Bab II tentang kewajiban dokter terhadap pasien, tidak memperbolehkan
mengakhiri penderitaan dan hidup orang sakit, yang menurut pengetahuan dan
pengalaman tidak akan sembuh lagi (euthanasia) (Veronica, 2005).
Di dalam Kode
Etik Kedokteran yang di tetapkan Menteri Kesehatan Nomor 434/Men. Kes/
SK/X/1983 pada pasal 10 : “ Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajibannya melindungi hidup makhluk insani”. Kemudian penjelasan dari pasal
ini dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang terkuat pada setiap makhluk yang
bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan
tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup
makhluk insani. Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan
hidupnya, dan ini termasuk salah satu tugas seorang dokter,
2.
Menurut Hukum di Indonesia ( KUHP)
Dari sudut pandang hukum menurut Achadiat (2002), Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah mencantumkan secara eksplisit istilah
euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila dikaji lebih mendalam ternyata
beberapa pasal mencakup pengertian itu.
Secara formal hukum yang berlaku di negara Indonesia memang tidak
mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga paramedis
dan dokter), sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Tersirat
dari pasal 338 , yang telah jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif,
dengan atau tanpa permintaan pasien ataupun keluarganya.
Menariknya, UU No. 23/1992 tentang kesehatan (yang dikenal sebagai UU
Kesehatan) ternyata belum mengakomodasi soal euthanasia ini dalam
pasal-pasalnya, sedangkan di lain pihak beberapa pasal KUHP tadi masih belum
memberikan batasan yang tegas dalam hal euthanasia (Achadiat, 2002).
Aturan hukum mengenai masalah euthanasia ini sangat berbeda-beda di
seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma
budaya dan tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara,
tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya dianggap
melanggar hokum ( Wibudi, 2008).
Di Indonesia, persoalan euthanasia masih belum
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis (Farid, 2008). Secara yuridis
formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk
euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu
sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal
344 KUHP (Titto,2006).
Pasal 344 KUHP secara tegas
menyatakan :
“Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun”.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa pembunuhan atas
permintaan korban / pasien sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya.
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap
dianggap sebagai perbuatan yang dilarang karena dianggap sebagai tindak pidana.
Selain
ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk
menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP (Tittto,2006).
Pasal 356(3) KUHP yang menyatakan:
“Penganiayaan
yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan
untuk dimakan atau diminum”.
Pasal ini
menegaskan bahwa dalam hukum positif di Indonesia melarang tindakan euthanasia
aktif .
Selajutnya,
ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya
Pasal 304 dan Pasal 306 (2) ditegaskan bahwa tindakan euthanasia pasif juga
dilarang oleh hukum positif di Indonesia (Tittto,2006).
Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP
dinyatakan:
“Barang siapa
dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah”.
Dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP
dinyatakan:
“Jika
mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun”.
BAB IV
PEMBAHASAN
Banyak permasalahan yang
berhubungan dengan praktek euthanasia, baik aspek etik, moral, hukum dan aspek
agama, dalam arti mempercepat dan memperpendek hidup pasien, baik atas
pengetahuan si pasien atau tanpa sepengetahuannya.
Secara normatif, memudahkan proses
kematian secara aktif (euthanasia aktif) tidak dibenarkan oleh syara'. Sebab,
berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis. Dengan
demikian, dokter telah melakukan tindakan pembunuhan baik dengan penghentian
pengobatan, pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik ataupun
dengan menggunakan senjata tajam. Semua tindakan tersebut dikategorikan dalam
pembunuhan yang diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Perbuatan sejenis itu
tetap dikategorikan dalam pembunuhan meskipun faktor yang mendorongnya adalah
rasa kasihan kepada si sakit dan bermaksud meringankan penyakitnya atau rasa
sakitnya.
Ayat
Al-Qur'an dan Hadist di atas dengan menunjukkan bahwa bunuh diri dilarang keras
dalam Islam dengan alasan apapun. Misalnya seorang
penderita AIDS atau kanker tahap akhir yang sudah tidak ada harapan sembuh
secara medis dan telah kehabisan harta untuk biaya pengobatannya. Islam tetap
tidak memperbolehkan si penderita menghabisi nyawanya, baik dengan tangannya
sendiri (bunuh diri atau dengan meminum racun atau mengantung diri dsb), maupun
dengan bantuan orang lain sekalipun dokter, dengan cara memberi suntikan atau
obat yang dapat mempercepat kematiannya (euthanasia positif, atau menghentikan
segala pertolongan terhadapa si penderita termasuk pengobatannya (euthanasia
negatif). Sebab penderita yang menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri /
dengan bantuan orang lain itu berarti mendahului / melanggar kehendak dan
wewenang Tuhan.
Dalam Islam hidup dan mati ada di
tangan Tuhan dan merupakan karunia dan wewenang Tuhan sehingga Islam melarang orang
melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri
(bunuh diri) dengan alasan apapun.
Dilihat dari segi hukum pidana
bahwa seorang dokter dapat dikenakan tentang pasal - pasal yang
berkaitan dengan pembunuhan berencana yaitu terhadap KUHP pasal 340 :
"Barang siapa dengan sengaja dan rencana lebih dulu merampas
nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord) dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20
tahun".
Karena dalam kasus ini seorang
dokter bukanlah tangan atau kepanjangan tangan Tuhan yang mempu mematikan atau
menghidupkar, seseorang manusia (pasien).
Bahwa dari segi hukum kesehatan
pula juga tentang kasus di atas juga jelas tidak boleh atau dilarang karena :
ÿ Etika profesi, ketika seorang dokter telah melakukan proses untuk
mempercepat umur seseorang itu lahir dari keprofesionalitasan.
ÿ Jika menurut UU No. 28 Tahun 1993 tentang Hukum Kesehatan dan
dijelaskan pada Bab 10 Hukum Kesehatan tentang Pidana itu jelas Dokter yang
melakukan proses untuk mempercepat hidup seseorang atau pasien akan dikenakan
tindak pidana pula karena jelas - jelas melakukan pembunuhan berencana meskipun
itu diminta oleh pihak pasien dan dalam hal ini dokter atau tenaga medis harus
konsisten terhadap sumpah profesi dan etika profesi.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Euthanasia
adalah tindakan untuk mempercepat kematian seseorang yang sedang dalam keadaan
kesakitan atau sedang menderita penyakit yang sangat hebat dan sulit
disembuhkan bahkan menjelang kematian. Tindakan ini dilakukan atas dasar
permintaan dari pasien atau dari keluarga ataupun dokter
Dari
uraian yang telah kami kemukakan di atas, maka dapat kami simpulkan sebagai
berikut :
1. Dilihat dari sudut pandang
Islam Euthanasia tidak diperbolehkan karena bertentangan / melanggar kehendak
dan wewenang Tuhan, seperti dalam Firman Allah Surat An-Nisa 29 - 30 dan Surat
AI-An'am ayat 151.
2. Dilihat dari sudut pandang
hukum, Euthanasia tidak diperbolehkan karena menurut pidana bahwa seorang
dokter dapat dikenakan tentang pasal pasal yang berhubungan dengan pembunuhan
berencana yaitu terhadap KUHP pasal 340.
Euthanasia dengan faktor pasien ini masih tidak dapat dibenarkan
secara moral. Yang dapat dilakukan adalah menghentikan semua alat artificial yang justru sering menghambat kematian alamiah.Menghentikan bantuan alamiah bagi si sakita dalah juga tindakan yang
immoral. Alasan-alasan melakukan euthanasia tidak dapat dibenarkan,baik alasan penderitaan maupun
alasan ekonomi, sebab manusia adalah makhluk mulia yang harusmampu menahan penderitaan dan lebih penting dari pada materi.
B.
SARAN
Kami
sebagai penulis mengharapkan kepada pembaca terutama generasi muda sebagai
penerus terutama pada bidang kesehatan agar tidak melakukan euthanasia
sekalipun itu atas dasar permintaan pasien atau penderita.
Akhirnya dengan mengucapkan syukur
Alhamdulillah makalah ini dapat kami selesaikan walaupun masih belum sempurna,
harapan penulis semoga makalah ini dapat menjadi masukan dan dapat dikembangkan
lagi kepada saudara sebagai penilai makalah ini. Akhir kata penulis ucapkan
terima kasih dari semua pihak yang mendukung adanya pembuatan makalah ini. Dan
semoga bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah
Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta:EGC
Williams, John R. 2006. Medical Ethics Manual.
Sagiran. 2006 (Alih Bahasa), Yogyakarta: Pusat Studi kedokteran Islam Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Zuhroni et al. 2003. Islam untuk Disiplin Ilmu
Kesehatan dan Kedokteran 2 (Fiqh Kontemporer), Jakarta: Departemen Agama
RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Veronica,
2005. Penyalahgunaan Eutanasia Pasif. http://www.pikiran
rakyat.com/cetak/2005/0205/27/hikmah/ utama02.htm.
http://www.euthanasia.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia
http://netsains.com/2007/11/euthanasia-dan-kematian-bermartabat-suatu-tinjauan-bioetika/
http://www.euthanasia.com/
http://walausetitik.blogspot.com/2007/09/euthanasia-menurut-hukum-islam.ht
http://walausetitik.blogspot.com/2007/09/euthanasia-menurut-hukum-islam.ht
ConversionConversion EmoticonEmoticon