|
|
DAMPAK
KRISIS EKONOMI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK KELUARGA PETANI DI KECAMATAN BARUGA
KOTAMADYA KENDARI
Masyarakat tani yang berdiam di Kecamatan Baruga, pada umumnya bekerja sebagai petani tradisional juga sekaligus sebagai buruh bangunan bahkan sebagai perambah hutan. Ketiga kegiatan itu dilakukan secara bergantian berdasarkan kondisi kehidupan dan atau musim tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi karena kegagalan panen jambu mete yang merupakan tanaman andalan satu-satunya pada musim panen tahun 1998 yang bertepatan dengan krisis ekonomi yang menyebabkan kegiatan pembangunan fisik nyaris terhenti, demikian pula peluang untuk merambah hutan sudah tertutup akibat ketatnya penjagaan hutan lindung yang menjadi wilayah operasinya sehingga mereka umumnya pasrah dengan nasib, dan diantara mereka menempuh jalan pintas dengan menjual lahan pertaniannya yang masih kosong atau yang berisi tanaman jambu mete untuk sekedar menyambung hidup. Akibat kenyataan tersebut, menyebabkan kehidupan mereka semakin terhimpit, tetapi suatu hal yang ironi sekali karena umumnya mereka masih memiliki lahan tidur di sekitar pemukiman mereka, tetapi tidak dapat memanfaatkan secara maksimal, karena mereka tidak biasa menanam tanaman lain dan didukung ketidakberdayaan ekonomi mereka untuk modal pengolahan, termasuk pengetahuan, pengadaan bibit, pupuk, dan obat-obatan. Meskipun demikian, tanaman jangka panjang seperti coklat sangat cocok di daerah ini termasuk tanaman palawija seperti jagung, kacang ijo, dan kedele berdasarkan uji coba yang dilakukan oleh sebagian diantara mereka di sekitar rumahnya yang dilakukan secara kecil-kecilan. Masalah yang dihadapi masyarakat setempat adalah lapangan kerja tidak ada, sehingga dana untuk menunjang kebutuhan hidupnya pun tidak tersedia, sementara tawaran alam tidak tersedia kecuali memerlukan pengolahan yang lebih intensif dan memerlukan biaya dan keterampilan, demikian pula motivasi dari luar yang dapat mengantar mereka ke luar dari masalah tersebut. Anak-anak mereka terancam putus sekolah yang berada pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Masalah pendidikan cukup serius karena dalam suasana pemerintah berupaya menyukseskan program wajib belajar pendidikan dasar, justru muncul tantangan besar bagi masyarakat di daerah ini diantaranya populasi mereka yang berusia pendidikan dasar dan menengah masih relatif tinggi meskipun belum teridentifikasi secara pasti jumlahnya, apakah ada upaya yang dilakukan orang tua, sekiranya ada, maka upaya apa yang mereka lakukan untuk mencari pemecahan masalah, seberapa besar jumlah anak yang telah dan terancam putus sekolah akibat krisis ekonomi ini, bagaimana tanggapan orang tua terhadap munculnya gejala putus sekolah, bagaimana tanggapan anak terhadap situasi ekonomi yang menimpa keluarganya sehingga dapat berpengaruh terhadap pendidikannya. Gejala tersebut merupakan masalah yang perlu diungkap sehingga dapat mengajak banyak pihak untuk mencari solusi terhadap masalah yang menimpa mereka, baik yang terkait langsung dengan pendidikan maupun yang terkait dengan ekonomi masyarakat setempat, yang dapat berpengaruh terhadap kelangsungan pendidikan masyarakat setempat. Masalah utama dalam kajian ini adalah bagaimana dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan anak keluarga petani di Kecamatan Baruga, Kotamadya Kendari? Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah untuk mengetahui dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan anak petani di Kecamatan Baruga, Kotamadya Kendari. Selanjutnya tujuan ini dijabarkan atas beberapa tujuan khusus yaitu untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1.
gambaran
tingkat pendidikan anak petani di Kecamatan Baruga,
2.
cara
orang tua mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan anaknya,
3.
besarnya
anak keluarga petani/buruh bangunan yang putus sekolah akibat krisis ekonomi,
4.
tanggapan
orang tua terhadap gejala putus sekolah bagi anak-anaknya, dan
5.
tanggapan
anak terhadap dampak krisis ekonomi pada pendidikan mereka.
Kajian ini diharapkan mempunyai manfaat, baik dari segi teoritis
maupun dari segi praktis. Manfaat teoritis ada dua (1) dapat menambah
khasanah pengetahuan tentang dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan
masyarakat, (2) bagi pengkaji pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia
dapat menjadi bahan banding dalam rangka penelitian dan pengembangan lebih
lanjut. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan menjadi dasar atau
masukan kepada pemerintah daerah/Kotamadya Kendari dalam rangka pembinaan
orang tua melalui penyuluhan pertanian dan penyuluhan tentang upaya
menyukseskan gerakan wajib belajar pendidikan dasar.
Metodologi
Kajian ini dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif jika
dilihat dari segi pendekatan yang digunakan. Selanjutnya, karena penelitian
ini tidak bertujuan untuk menghubungkan dua variabel atau lebih dan tidak memberikan
perlakuan khusus kepada subjek sehingga disebut penelitian deskriptif.
Populasi penelitian ini adalah seluruh Kepala Keluarga Petani
yang berdomisili di Kecamatan Baruga, Kotamadya Kendari. Penentuan sampel
dilakukan secara purposive sampling. Pada tahap pertama ditentukan
bahwa diantara 7 Kelurahan yang ada dipilih satu Kelurahan. Penentuan satu
kelurahan sebagai sampel karena hanya satu kelurahan yang memiliki penduduk
yang banyak bermatapencaharian sebagai petani sekaligus dipandang keadaan
pendidikannya yang paling rendah dibanding dengan kelurahan lainnya. Sampel
responden, kemudian ditetapkan sebanyak 37 orang kepala keluarga petani yang
ditentukan secara purposif dengan pertimbangan mereka yang memiliki anak usia
sekolah dan sedang mengikuti pendidikan dan 38 anak petani yang masih usia
sekolah dasar sampai perguruan tinggi baik masih sekolah maupun yang sudah
tidak sekolah lagi.
Sedangkan untuk kepentingan pengamatan dan wawancara, subjek
informan ditentukan secara purposif dengan melihat perkembangan data dan
fenomena yang ada di lapangan, sehingga tidak hanya terbatas pada sampel
responden, tetapi informan juga dapat diambil dari sampel yang ada dengan
mempertimbangkan peran subjek seperti lurah, pengurus LKMD, pengurus PKK,
kepala sekolah, guru, dan tokoh/mantan pendidik.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
(1) angket yang akan diisi langsung oleh responden, (2) wawancara tidak
terstruktur terhadap lurah, pengurus LKMD, pengurus PKK, kepala sekolah,
guru, dan tokoh/mantan pendidik. Teknik ini dimaksudkan untuk melacak
informasi yang tidak dapat diperoleh melalui teknik angket, dan (3)
pengamatan non-partisipatif terhadap lingkungan sosial mereka, teknik ini
dilakukan dengan maksud untuk mentriangulasi data yang diperoleh melalui
angket dan wawancara.
Teknik analisis data dibagi kedalam dua kategori, yaitu untuk
data angket dianalisis secara kuantitatif diawali dengan mengkode data dan
melakukan tabulasi untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan
persentase. Sedangkan untuk data hasil wawancara dan pengamatan akan
dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan teknik analisis yang
ditawarkan oleh Spradley (1980) yaitu analisis domain dan teksonomi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Secara umum responden orang tua yang berjumlah 37 orang dibagi
atas 4 kategori umur dengan persentase masing-masing 2,70% berumur
diantara20-30 tahun, 35,14% berusia 31-40 tahun, 29,73% berumur antara 41-50
tahun, dan 32,43% berumur di atas 50 tahun. Data ini menunjukkan dominannya
usia produktif yang berarti mengharapkan perlunya penanganan pendidikan
anaknya, karena mereka umumnya masih berpeluang memiliki anak yang banyak,
sehingga perlu bimbingan yang lebih intensif ke arah pengembangan potensi
anak sebagai manusia yang berkualitas.
Tingkat pendidikan orang tua, masing-masing: tidak tamat SD/tidak
pernah sekolah 29,73%, tamatan SD 32,43%, tamatan SLTP 18,92%, tamatan SLTA
16,22%, D1/D2 2,70%, sedangkan yang berpendidikan Sarjana Muda/D3 dan Sarjana
tidak ditemukan. Tingkat pendidikan orang tua juga relatif rendah yaitu
persentase tertinggi hanya tamatan Sekolah Dasar (32,43%), kemudian disusul
yang tidak pernah sekolah/tidak tamat SD sebanyak 29,73%.
Jumlah anak yang menjadi tanggungan orang tua adalah
masing-masing yang memiliki anak antara 1-3 orang sebanyak 48,65%, memiliki
anak antara 4-5 orang sebanyak 29,73%, dan yang memiliki anak lebih dari 5
orang sebanyak 21,62%. Data ini merupakan suatu gejala positif terhadap aspek
kependudukan, karena 48,65% orang tua memiliki anak hanya antara 1-3 orang.
Ini sekaligus sebagai suatu gejala akan kesadaran masyarakat terhadap program
Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS).
Responden anak yang jumlahnya 38 orang, dikelompokkan atas umur
sebagai berikut: 6-12 tahun (39,47%), 13-15 tahun (23,68%), 16-18 tahun
(26,32%), dan 19-25 tahun (10,53%).
Pemilihan responden anak dilakukan secara purposif dengan
pertimbangan bahwa anak berada pada usia sekolah, sehingga tidak semua anak
responden (orang tua) dijadikan sebagai sampel, meskipun semua responden
orang tua dipilih salah seorang anaknya untuk dijadikan sebagai responden.
Jika dilihat tingkat pendidikan orang tua, lebih dominan mereka
yang berpendidikan sekolah dasar , sehingga semakin nampak perlunya perhatian
serius dari pihak pemerhati pendidikan baik pemerintah maupun para individu
dan LSM, karena dengan kondisi pendidikan orang tua seperti itu, timbul
kekhawatiran akan kemampuan dan kemauan untuk membina anak ke arah pendidikan
yang lebih baik, ini berarti memerlukan bantuan penanganan pendidikan anak
dari pihak luar dalam rangka pengembangan potensi anak di bidang pendidikan.
Tingkat pendidikan anak pertama yang menempatkan tamatan SLTA
sebagai persentase tertinggi (21,62%), kemudian ada yang sedang kuliah dan
tamatan diploma, dan tidak ada anak pertama yang belum sekolah. Ini menunjukkan
besarnya perhatian orang tua terhadap anak pertama, meskipun diakui bahwa
masih ada anak yang putus sekolah di SD (2,70%), di SLTP (2,70%), dan SLTA
(8,11%), tetapi persentase ini relatif kecil dibanding dengan yang masih
sekolah dan yang telah menyelesaikan pada satu jenjang pendidikan.
Pada anak kedua sedikit berbeda dengan anak pertama, karena pada
anak kedua ini telah ditemukan 10,81% anak yang belum sekolah, 10,81% yang
putus sekolah di SD, 16,22% putus sekolah di SLTP, 8,11% putus sekolah di
SLTA, dan tidak ditemukan anak kedua ini yang berada pada jenjang pendidikan
tinggi. Ini menunjukkan bahwa perhatian orang tua sudah mulai menurun pada
anak kedua, dan seterusnya sampai kepada anak kelima, penyebabnya antara lain
adalah masalah ekonomi orang tua yang kurang mampu membiayai pendidikan
anaknya, sehingga dengan rela mengorbankan pendidikan anak keduanya, demikian
pula faktor tradisi yang memandang sekolah tidak banyak manfaatnya bagi
kehidupan mereka dengan melihat anaknya yang pertama terbukti setelah
menyelesaikan suatu jenjang pendidikan belum nampak adanya perubahan nyata
dalam kehidupan ekonomi mereka.
Sejalan dengan itu temuan penelitian Anwar (1999) bahwa tanggapan
orang tua terhadap pendidikan anak semakin baik, terbukti pada umumnya anak putus
sekolah bukan karena faktor tradisi, melainkan karena faktor ekonomi dan
kenakalan anak itu sendiri. Demikian pula teori human capital yang
memandang pendidikan sebagai investasi jangka panjang yang memerlukan biaya
yang mahal (Becker, 1993), dan pandangan yang menyatakan pendidikan sebagai
proses pembebasan (Freire, 1985). Bagi para orang tua yang umumnya
berpendidikan rendah itu, kurang memahami tentang pendidikan sehingga tidak
dapat melihat secara objektif manfaat pendidikan anaknya, akhirnya mereka
dapat mengabaikan pendidikan anaknya, apalagi dalam kondisi perekonomian yang
tidak menentu akibat krisis ekonomi.
Secara keseluruhan jumlah responden menyatakan memiliki anak
kelima hanya 12 orang atau 32,43%, dengan tingkat pendidikan masing-masing:
belum sekolah 25%, putus sekolah dasar (SD) 8,33%, masih sekolah SD 33,33%,
tamat SD tidak ada, putus SLTP 8,33%, sedang sekolah di SLTP 8,33%, tamatan
SLTP tidak ada, putus SLTA tidak ada, sedang sekolah di SLTA tidak ada,
tamatan SLTA 16,67%, putus kuliah, sedang kuliah, tamatan diploma, dan
sarjana tidak ditemukan.
Orang tua telah berusaha untuk mengatasi dampak krisis ekonomi
terhadap pendidikan anaknya dengan mencari pekerjaan di luar pertanian dan
buruh bangunan yaitu melalui berdagang kecil-kecilan, mencari kayu di hutan
untuk dijual (kayu bakar dan bahan bangunan), dan mendesak anak untuk sekolah
sambil bekerja misalnya anak diajak bekerja dengan ikut serta mencari kayu di
hutan atau menjual kue sebelum dan sesudah sekolah, meskipun masih ada
sebagian kecil orang tua (2,70%) mendesak anak untuk berhenti sekolah karena
ketidakmampuan membiayai pendidikannya.
Bagi mereka, meskipun tidak mampu membiayai pendidikan anaknya,
tidak ada orang tua yang menyatakan bersedia menitipkan anak kepada keluarga
atau orang lain yang mampu untuk bekerja sebagai pembantu. Bagi mereka anak
merupakan harta yang paling berharga, dan mereka selalu ingin dekat dengan
anaknya dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, sehingga menitipkan anak
kepada orang lain untuk bekerja bukanlah merupakan suatu tradisi, sehingga
tidak dapat dilakukan.
Sebanyak 83,78% orang tua tidak pernah mendesak anaknya untuk
berhenti sekolah meskipun mereka mengalami tekanan ekonomi sebagai akibat
krisis ekonomi, tetapi ada 16,22% orang tua yang menyatakan pernah mendesak
anaknya untuk berhenti sekolah. Bagi mereka yang mendesak anaknya untuk
berhenti sekolah mengemukakan alasan (1) biaya terlalu mahal/ketidakmampuan
ekonomi, (2) agar anak membantu orang tua bekerja. Mereka mengaku tidak mampu
membiayai sekolah anaknya karena pekerjaan mereka tidak menentu, sementara
harga barang semakin mahal akibat krisis ekonomi.
Ketika dikonfirmasi tentang adanya keluhan anak yang menyampaikan
keinginannya untuk berhenti sekolah, 81,08% orang tua menyatakan tidak pernah
menerima keluhan anak, dan hanya 18,92% menyatakan pernah. Bagi mereka yang
menyatakan pernah dengan alasan (1) biaya terlalu berat, (2) ingin membantu
orang tua bekerja, dan (3) karena kenakalan remaja. Meskipun dinyatakan
adanya keinginan anak putus sekolah karena kenakalan remaja, tetapi kenyataan
dari data yang diperoleh tidak ditemukan adanya akan putus sekolah karena
penyebabnya kenakalan anak yang bersangkutan, melainkan umumnya mereka yang
putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi orang tua.
Besarnya anak putus sekolah sebanyak 26,32% masing-masing 13,16%
di SD, 7,89% di SLTP, dan 5,26% di SLTA. Sedangkan menurut versi orang tua
menyatakan bahwa sebanyak 16,22% anak pertama putus sekolah, 35,14% anak
kedua, 19,23% anak ketiga, 15% anak keempat, dan 16,67% anak kelima. Ada tiga
kategori alasan yang dikemukakan orang tua sehingga anak tidak malanjutkan
pendidikannya: (1) tidak mampu ekonomi orang tua 43,24%, (2) kehendak anak
sendiri 21,62%, dan (3) karena kawin 2,70%. Diantara responden, hanya 67,57%
yang menjawab pertanyaan ini karena mereka inilah yang memiliki anak putus
sekolah/tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Tingginya angka putus sekolah ini sedikit berbeda dengan hasil
penelitian Supriadi (2000) yang menyatakan tidak adanya hubungan antara
krisis ekonomi dengan angka putus sekolah di SD dan SLTA. Meskipun diakui
bahwa dalam penelitian ini tidak dilakukan pengukuran sejauhmana angka putus
sekolah itu sebagai akibat dari krisis ekonomi, tetapi yang pasti bahwa
mereka meninggalkan bangku sekolah umumnya karena ketidakmampuan ekonomi
orang tuanya.
Data tersebut menunjukkan besarnya anak petani yang tidak dapat
melanjutkan pendidikannya khususnya karena dampak ekonomi orang tua yang
lemah. Terbukti bahwa 78,38% responden menyatakan biaya pendidikan semakin
berat, dan 21,62% menyatakan tidak. Selanjutnya diantara mereka yang
menyatakan biaya terlalu berat (70,27%), setuju jika anaknya sekolah sambil
bekerja mencari nafkah, dengan alasan (1) dapat membantu ekonomi orang tua,
(2) melatih anak mencari uang sendiri, dan (3) melatih anak untuk mandiri.
Pada kenyataannya menurut Dimara (1985) makin rendah pendapatan
makin banyak anak putus sekolah, meskipun diakui bahwa anak yang telah putus
sekolah masih melakukan aktivitas pendidikan pada jalur pendidikan luar
sekolah. Akan tetapi umumnya anak yang telah putus sekolah di Kelurahan
Baruga tidak lagi melakukan aktivitas pendidikan, melainkan mereka bekerja
sepenuhnya mencari nafkah, hanya saja pekerjaan anak di daerah ini tidak
harus sejalan dengan pekerjaan orang tuanya, meskipun tingkatan pendapatannya
sama atau bahkan lebih rendah, seperti orang tuanya petani, tetapi anaknya
menjadi tukang ojek atau pedagang asongan.
Menurut orang tua, jika sekiranya anak harus bekerja, maka
pekerjaan yang selayaknya dikerjakan adalah (1) bertani, (2) pedagang
asongan/menjual kue, (3) mengambil kayu di hutan, (4) sopir/ojek, dan (5)
buruh bangunan. Di antara responden tersebut 27,03% menyatakan memiliki anak
yang sekolah sambil bekerja. Bagi mereka yang menyatakan tidak setuju anaknya
sekolah sambil bekerja mengemukakan alasan: (1) mengganggu sekolahnya (2)
sulit mencari pekerjaan yang sesuai kemampuan anak, dan (3) merasa kasihan
kepada anak.
Para orang tua berusaha menasehati untuk tetap sekolah, tetapi
tidak ada yang mengemukakan terlebih dahulu berkonsultasi dengan gurunya,
demikian pula mereka tidak ada yang menjual tanah dan barang berharga lainnya
untuk membiayai pendidikan anaknya. Umumnya orang tua kurang komunikasi
dengan pihak sekolah (guru), ini merupakan salah satu penyebab kurangnya
perhatian pihak luar terhadap kondisi pendidikan anak-anak mereka, termasuk
pemberian beasiswa. Demikian pula kurangnya kontrol aparat pemerintah dari
tingkat kelurahan dan kecamatan, para aparat pemerintah setempat kurang komunikatif
dengan masyarakatnya.
Tingginya angka putus sekolah di daerah tertinggal seperti ini
membawa beban bagi guru di daerah itu (Stones, 1981), karena kemauan menahan
anak untuk tetap sekolah, tidak dapat diikuti dengan membantu biaya
pendidikan mereka yang umumnya tidak mampu secara ekonomi, karena umumnya
masyarakatnya tidak berdaya dan daerahnya rawan (Chambers, 1987).
Orang tua menyatakan bahwa anaknya berhenti sekolah/tidak
melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena krisis ekonomi sebanyak
43,24%. Akibat krisis ekonomi ini, 70,27% orang tua menyatakan anaknya sering
mengeluh karena biaya pendidikan terlalu tinggi. Pada umumnya orang tua tetap
merespon keluhan anaknya antara lain dengan menasehatinya untuk tabah dan
tetap bersekolah, serta menyarankan anak untuk mencari pekerjaan sambilan.
Sejalan dengan itu menurut Mubyarto (1984) pada desa pantai yang
miskin beberapa anak dari keluarga nelayan meninggalkan bangku sekolah dasar
karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya. Mereka pada umumnya bekerja
sambil sekolah, kemudian pada akhirnya meninggalkan sekolah untuk bekerja
sepenuhnya membantu orang tua.
Tanggapan anak tentang keadaan keuangan (SPP, transportasi, buku,
jajan, pakaian) akibat krisis ekonomi 52,63% menyatakan mengalami kekurangan,
maka cara mengatasinya adalah (1) mencari pekerjaan sambil sekolah, (2)
menyampaikan keinginan untuk berhenti sekolah kepada orang tua, (3) membantu
orang tua bekerja, dan (4) mendesak orang tua untuk berhutang.
Akibat krisis ekonomi, maka ada sebagian kecil anak pernah
menyatakan keinginannya untuk berhenti sekolah, bahkan ada yang pernah
didesak oleh orang tuanya untuk berhenti sekolah, ada pula yang pernah
didesak oleh orang tua untuk sekolah sambil bekerja. Pernyataan tersebut
didukung oleh keinginan anak yang menyatakan pendapat senada untuk sekolah
sambil bekerja, dan pada akhirnya terdapat 36,84% anak petani sekarang ini
menyatakan sekolah sambil bekerja, dengan jenis pekerjaan berturut-turut: (1)
pedagang asongan/menjual kue, (2) mengambil kayu di hutan, (3) bertani, (4)
sopir/ojek, dan (5) buruh bangunan. Semua responden anak mengaku tidak pernah
mendapatkan beasiswa dan bantuan lainnya, kecuali hanya satu orang yang
mengaku menerima beasiswa karena prestasi belajarnya.
Tingginya presentase anak sekolah sambil bekerja ini cukup
memprihatinkan, apalagi jenis pekerjaan mereka cukup berat untuk ukuran anak,
seperti mengambil kayu di hutan, mengojek, dan buruh bangunan, pekerjaan
seperti ini memerlukan tenaga dan waktu yang banyak, sehingga dapat mengganggu
konsentrasi belajarnya di rumah.
Adanya kecenderungan anak sekolah sambil bekerja, maka lebih
tepat diberikan pendidikan mata pencaharian (Ardhana, 1993), dan pendidikan
kreativitas dan kewiraswastaan (Kartodiredjo, 1988). Melalui pendidikan itu,
diharapkan dapat membantu anak meningkatkan keterampilan yang pada akhirnya
dapat meningkatkan pendapatan mereka, sehingga dapat membantu kelanjutan
biaya pendidikannya.
Kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap kehidupan
masyarakat tani di Kelurahan Baruga ini, karena kurangnya informasi baik dari
masyarakat tani sendiri maupun dari pemerintah setempat, sehingga mereka
tidak mengira jika ada kelompok masyarakat yang tidak mampu di kotamadya,
termasuk dalam pembiayaan pendidikan anaknya. Akhirnya, perhatian masyarakat
luput dari kehidupan masyarakat tani di daerah ini.
Kesimpulan dan Saran
a.
Sebaran
tingkat pendidikan anak petani yang menjadi responden dalam penelitian ini
dengan frekuensi terbesar berturut-turut: sedang sekolah di SD, SLTP,
menyusul sedang sekolah di SLTA. Kenyataan ini menunjukkan adanya kesadaran
dari pihak orang tua akan pentingnya pendidikan bagi anaknya. Akan tetapi di
balik kecenderungan positif itu, masih terdapat kekhawatiran karena ternyata
masih tinggi angka putus sekolah, baik di SD (13,16%), di SLTP (7,89%),
maupun di SLTA (5,26%). Ada kecenderungan orang tua lebih mengutamakan
pendidikan anak pertamanya dibanding dengan anak kedua dan seterusnya,
meskipun diakui bahwa masih ada anak pertama yang putus sekolah di SD
(2,70%), di SLTP (2,70%), dan SLTA (8,11%), tetapi persentase ini relatif
kecil dibanding dengan yang masih sekolah dan yang telah menyelesaikan satu
jenjang pendidikan.
b.
Orang
tua telah berusaha untuk mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan
anaknya dengan mencari pekerjaan di luar pertanian dan buruh bangunan melalui
berdagang kecil-kecilan, mencari kayu di hutan untuk dijual, dan mendesak
anak untuk sekolah sambil bekerja. Meskipun mereka tidak mampu membiayai
pendidikan anaknya, tetapi tidak ada orang tua yang bersedia menitipkan
anaknya kepada keluarga atau orang lain yang mampu untuk bekerja sebagai
pembantu. Mereka umumnya tidak pernah mendesak anaknya untuk berhenti sekolah
meskipun mereka mengalami tekanan ekonomi sebagai akibat krisis ekonomi.
c.
Besarnya
jumlah anak putus sekolah adalah sebanyak 26,32% masing-masing 13,16% di SD,
7,89% di SLTP, dan 5,26% di SLTA. Sedangkan menurut versi orang tua menyatakan
bahwa sebanyak 16,22% anak pertama putus sekolah, 35,14% anak kedua, 19,23%
anak ketiga, 15% anak keempat, 16,67% anak kelima. Ada tiga kategori alasan
yang dikemukakan orang tua sehingga anak tidak melanjutkan pendidikannya: (a)
tidak mampu ekonomi orang tua, (b) kehendak anak sendiri, (c) karena kawin.
Besarnya anak petani yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya khususnya
karena dampak ekonomi orang tua yang lemah. Oleh karena itu umumnya mereka
setuju jika anaknya sekolah sambil bekerja mencari nafkah, dengan alasan (a)
dapat membantu ekonomi orang tua, (b) melatih anak mencari uang sendiri, (c)
melatih anak untuk mandiri.
d.
Tanggapan
orang tua terhadap adanya anak yang mau berhenti sekolah adalah: dengan
menasehati untuk tetap sekolah, merupakan keinginan anak, tanpa terlebih
dahulu berkonsultasi dengan gurunya, dan tidak ada yang menjual tanah dan
barang berharga lainnya untuk membiayai pendidikan anaknya. Para orang tua
menyatakan bahwa anaknya berhenti sekolah/tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan
lebih tinggi disebabkan karena krisis ekonomi. Akibat krisis ini maka orang
tua menyatakan anaknya sering mengeluh karena biaya pendidikan terlalu
tinggi. Para orang tua merespon keluhan anaknya dengan menasehatinya untuk
tetap tabah bersekolah, dan menyarankan anak untuk mencari pekerjaan
sambilan.
e.
Tanggapan
anak tentang keadaan keuangan (SPP, transportasi, buku, jajan, pakaian)
akibat krisis ekonomi 52,63% menyatakan mengalami kekurangan, maka cara
mengatasinya adalah dengan: (a) menyatakan mencari pekerjaan sambil sekolah,
(b) menyampaikan keinginan untuk berhenti sekolah kepada orang tua, (c)
membantu orang tua bekerja, (d) mendesak orang tua untuk berhutang. Akibat
krisis ekonomi, maka sebagian kecil anak menyatakan pernah menyampaikan keinginannya
untuk berhenti sekolah, bahkan sebagian dari mereka mengaku pernah didesak
oleh orang tuanya untuk berhenti sekolah, dan ada pula yang didesak oleh
orang tua untuk bekerja sambil sekolah. Dan didukung oleh keinginan anak yang
menyatakan pendapat senada untuk sekolah sambil bekerja, bahkan 36,84%
menyatakan mereka sekolah sambil bekerja. Umumnya anak yang sedang sekolah
sambil bekerja pada sektor (a) pertanian, (b) pedagang asongan/menjual kue,
(c) mengambil kayu di hutan, (d) sopir/ojek, (e) buruh bangunan. Karena tidak
adanya bantuan beasiswa dan bantuan lainnya, kecuali hanya ada satu orang
yang mengaku memperoleh beasiswa karena prestasinya di sekolah, tetapi tidak
ada beasiswa lain termasuk jaring pengaman sosial.
Dari temuan pada penelitian yang dilakukan, penulis mengajukan
beberapa saran:
a.
Karena
penelitian hanya terbatas pada satu kelurahan, sehingga temuannya tidak dapat
digeneralisasi secara lebih luas, untuk itu jika ingin dilakukan penelitian
lebih lanjut disarankan untuk melakukan kajian lebih mendalam dengan sampel
yang lebih besar, sehingga temuannya lebih akurat dan jangkauan
generalisasinya lebih luas.
b.
Tingginya
persentase anak sekolah sambil bekerja ini cukup memprihatinkan apalagi jenis
pekerjaan mereka cukup berat untuk ukuran anak. Oleh karena itu perlu adanya
bantuan beasiswa dari pemerintah daerah kepada anak yang kurang mampu tanpa
mempertimbangkan aspek prestasi belajar siswa di sekolah, khususnya dalam
upaya pemgembangan SDM sebagai pendukung pengembangan otonomi daerah.
c.
Perlu
ditinjau kembali muatan kurikulum lokal yang disajikan di sekolah selama ini,
yang hanya diorientasikan pada pengajaran bahasa daerah, yaitu dengan
memasukkan unsur lokal lainnya di dalam setiap mata pelajaran yang
berorientasi kepada pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) sehingga
siswa tidak merasa asing dengan apa yang dipelajarinya, termasuk keterampilan
yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa, seperti pertanian dan
pertukangan.
Referensi
Alimaturahim. (1991). Problematika pengembangan masyarakat
Bajo di Sulawesi Tenggara. Makalah disajikan pada seminar kontribusi
masyarakat pantai dalam menunjang pembangunan daerah Sulawesi Tenggara.
Kendari, 16 Pebruari 1999.
Ardhana, I Wayan. (1993). Peranan LPTK dalam pengentasan
kemiskinan. Makalah disajikan pada seminar nasional kemiskinan di
Indonesia, peran LPTK dalam pengentasannya, Malang, 16-17 Nopember 1993.
Anwar. (1999). Aspirasi pendidikan masyarakat nelayan pada
desa-desa tertinggal di Kecamatan Soropla, Kabupaten Kendari. Kendari: Lembaga
Penelitian Unhalu.
Badrun. (1994). Menanggulangi kemiskinan melalui pengembangan
kelembagaan pertanian di Nusa Tenggara Barat. Dalam Sapuan. Prosiding
Seminar Pembangunan pertanian dalam menanggulangi kemiskinan. Jakarta:
PERHEPI.
Becker, G. S. (1993). Human capital: A theoretical and
empirical analysis with special reference to educational. Chicago: The
Chicago University Press.
Dahlan, M. Dj. (1996). Upaya meningkatkan kemampuan guru dalam
melakukan evaluasi hasil belajar siswa. Dalam Jurnal Penelitian Pendidikan
Dasar. Edisi Khusus No. 2 Tahun 1.
Dimara, D. (1985). Pengaruh pendapatan rumah tangga terhadap
pendidikan. Dalam Mulyanto Sumardi, dkk. Kemiskinan dan kebutuhan pokok. Jakarta:
YIIS.
Fagerlind, I. & Saha, L.J. (1983). Education and National
Development: A Comparative Perspective. New York: Fergamon Press.
Freire, P. (1985). Pendidikan sebagai strategi pembebasan. Jakarta:
LP3ES.
Hidayah, N., dkk. (1994). Gejala prilaku agresif anak,
kaitannya dengan pola sikap orang tua. Dalam Abstrak Hasil Penelitian
IKIP Malang. Edisi 13.
Mubyarto, dkk. (1984). Nelayan dan kemiskinan: Studi
antropologi di dua desa pantai. Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika.
Nasirun, M. (1996). Pola pelaksanaan proses belajar mengajar guru
SD di daerah tertinggal dan terpencil Propinsi Bengkulu. Dalam Jurnal
Penelitian Pendidikan Dasar. Edisi Khusus No. 1 Tahun 1.
Soenaryo, S. F. (1992). Belajar untuk hidup: Studi multi-situs
sistem pembelajaran asli masyarakat Baran. Malang: Tesis S2. PPS
IKIP Malang.
Soekartawi. (1997). Strategi mengentas kemiskinan di Indonesia
melalui IDT. Dalam Jurnal Studi Indonesia. 7 (2).
Spradley, J.P. (1980). Participant observation. New York:
Holt, Reinhart and Winston.
Stones, E and Morris, S. (1981). Teaching practise. London:
Methuen.
Sunardi. (1995). Sekilas tentang kenakalan remaja. Dalam Jurnal
Rehabilitas dan Remediasi, 4 (12).
Supardi, D. (2000). Jaringan pengaman sosial pendidikan. Bandung:
Alfabeta
|
-----
Uncategories
DAMPAK KRISIS EKONOMI TERHADAP PENDIDIKAN ANAK KELUARGA PETANI DI KECAMATAN BARUGA KOTAMADYA KENDARI
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ConversionConversion EmoticonEmoticon