Salam Sehat dan Harmonis

-----

Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami Masa Pensiun


Judul : Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami Masa
Pensiun

ABSTRAK

Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba, sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak. Memasuki masa pensiun memang tidak mudah. Terlebih lagi jika sebelumnya seseorang memiliki kedudukan atau jabatan, maka saat pensiun tiba, jabatan itu akan lenyap, oleh karena individu akan kehilangan identitas dan label. Hal ini akansangat rentan bagi individu untuk mengalami goncangan ketika pensiun yang biasa dikenal sebagai post power syndrome.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek mengalami gejala-gejala post power syndrome berupa gejala fisik pada kedua subjek mengalami perubahan padapenglihatan, pendengaran serta sensorik motorik yang menurun setelah pensiun. Gejala emosi, pada kedua subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun hal tersebut dapat dilihat padasubjek 1, subjek merasa stres dan sedih karena sudah pensiun sehingga tidak dapat berbuatapa-apa lagi, selain itu subjek juga mengalami penurunan harga diri. Pada subjek 2, perubahan emosi yang terjadi subjek merasa ruang geraknya terbatas, karena ketika pensiun subjek merasa bingung hanya berdiam diri di rumah. Selain itu terdapat pula perbedaanmengenai gejala perilaku dalam mengisi waktu senggang pada kedua subjek, melakukan halyang berbeda. Pada subjek 2, subjek terlihat lebih aktif dalam mengisi waktu senggangnya apabila dibandingkan subjek 1 yang mengisi waktu senggangnya tidak diisi dengan kegitan yang dapat menyibukkan dirinya.
Faktor-faktor penyebab post power syndrome pada kedua subjek, yaitu kehilangan jabatan yang berkaitan dengan kehilangan harga diri membuat subjek mengalami post power syndrome. Selain itu, pada faktor kehilangan hubungan eksklusif kedua subjek mengalami haltersebut hal ini dapat dilihat setelah pensiun kpada subjek satu pada saat subjek bekerja subjek merasa bangga saat tergabung dengan kelompok kerjanya akan tetapi setelah pensiun, subjek tidak pernah lagi berhubungan dengan kelompok sprofesinya. Sedangkan pada subjek 2, subjek cenderung merasa kehilangan lingkungan intelektualitasnya, selain itu subjek merasa tidak dapat lagi mengembangkan potensi yang ada pada dirinya setelah pensiun. Faktor ketiga, kehilangan kewibawaan dan perasaan berarti pada kedua subjek mengatakan pada usianya tidak mampu melakukan suatu pekerjaan, subjek ingin tetap dapat bekerja seperti waktu sebelum pensiun akan tetapi kondisi subjek sudah tidak mendukung. Kehilangan kontak sosial pada rekan kerja pada subjek 2, kehilangan kontak sosial bukan merupakan faktor penyebab post power syndrome, karena pada subjek 2 hubungan komunikasi subjek masih berjalan melalui telepon maupun SMS. Faktor yang terahkir kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan perubahan pola hidup yang dihadapai sesudah pensiun.
Kata Kunci : post power syndrome, pegawai negeri sipil, masa pensiun
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Bekerja merupakan suatu aktivitas yang dilakukan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan bekerja individu dapat memperoleh kepuasan tersendiri, karena disamping mendatangkan uang dan fasilitas, juga dapat memberikan nilai dan kebanggaan tersendiri. Individu dapat berprestasi ataupun melakukan kebebasan menuangkan kreativitas. Dengan bekerja individu dapat menunjukkan produktivitas untuk membuktikan dirinya (Hutapea, 2005).
Ketika individu mencapai suatu keberhasilan dalam pekerjaannya, individu akan berusaha mengaktualisasikan secaraoptimal, keterampilan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga memiliki posisi atau jabatan yang baik dalam tempatnya bekerja. Akan tetapi manakala suatu waktu, individu juga harus siap melepas jabatan tersebut. Apabila mengalami perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, umumnya diawali ketika masa pensiun.
Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba, sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak (Rini, 2001). Memasuki masa pensiun memang tidak mudah. Terlebih lagi jika sebelumnya seseorang memiliki kedudukan atau jabatan, maka saat pensiun tiba, jabatan itu akan lnyap, oleh karena individu akan kehilangan identitas dan label (Dinsi, 2006). Menurut penelitian Dinsi (2006) pihak yang paling takut menghadapi masa pensiun adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Para Pegawai Negeri Sipil yang telah habis masa purna tugasnya atau pensiun, mengalami mental shock (faktor kejiwaan). Menjelang akhir masa kerjanya, mereka tampak kurang beraktivitas dan sering sakit-sakitan. Mental shock ini terjadi, karena adanya ketakutan tentang apa yang harus dihadapi kelak, ketika masa pensiun tiba. Terasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya, karena pekerjaan dan jabatan yang selama ini dipegang, harus ditinggalkan. Kehilangan pekerjaan dan jabatan inilah yang membuat mereka stres, cemas dan depresi.
Individu yang memasuki masa pensiun sering dianggap sebagai individu yang tuna karya (tidak dibutuhkan lagi tenaga dan pikirannya). Anggapan semacam ini membuat individu tidak bisa lagi menikmati masa pensiunnya dengan hidup santai dan ikhlas. Ketakutan menghadapimasa pensiun, membuat banyak orang mengalami problem serius baik dari sisi kejiwaan maupun fisik, terlebih individu yang memiliki ambisi yang besar serta sangat menginginkan posisi yang tinggi dalam pekerjaannya. Hal ini akan sangat rentan bagi individu untuk mengalami goncangan ketika pensiun yang biasa kita kenal sebagai post power syndrome (Dinsi, 2006).
Post power syndrome yaitu gejala kejiwaan yang kurang stabil dan muncul tatkala seseorang turun dari jabatan yang dimiliki sebelumnya, ditandai dengan wajah yang tampak jauh lebih tua, pemurung, sakit-sakitan, lemah mudah tersinggung, merasa tidak berharga, melakukan pola-pola kekerasan yang menunjukkan kemarahan baik dirumah maupun tempat lain (Rini, 2001).
Post Power Syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lansia dan pensiun dari pekerjaannya, hanya saja banyak orang yang berhasil melalui fase inidengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Namun pada kasus-kasus tertentu, individu tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang harus mendesak. Bila dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, risiko terjadinya Post Power Syndrome yang berat semakin besar. Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta serta lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga sangat membantu dan kematangan emosi sangat berpengaruh pada terlewatinya Post Power Syndrome (Wardhani, 2006).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini akan melihat Post Power Syndrome pada pegawai negeri sipil yang mengalami masa pensiun.
2. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan yang ingin dikaji atau dibahas dalam penelitian ini adalah
1.       Bagaimana gejala-gejala Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang mengalami masa pensiun, Mengapa seseorang mengalami Post Power Syndrome ketika pensiun.
3. Tujuan Penelitian
1.  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gejala-gejala Post Power Syndrome, serta mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami Post Power Syndrome.
4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti pada perkembangan ilmu psikologi. Terutama pada psikologi perkembangan khususnya mengenai keadaan psikologis para pensiunan yangmengalami post power syndrome agar masa pensiunnya tidak diisi dengan sesuatu hal yang tidak menyenangkan.
2. Manfaat praktis, Diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa hasil kajian mengenai Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang mengalami masa pensiun. Serta dapat memberikan masukan bagi para pensiunan untuk dapat mempersiapkan diri menghadapi masa pensiunnya, karena semakin cepat mempersiapkan maka hasilnya akan semakin baik.


B. Tinjauan Pustaka
1. Post power syndrome
a. Pengertian Post power syndrome
Post Power Syndrome adalah gejala kejiwaan yang kurang stabil yang muncul tatkala seseorang turun dari jabatan yang dipegang sebelumnya serta kekhawatiran memasuki masa tua dan persepsi yang menganggap diri semakin tua, merasa tidak dihargai, dan tidak power full lagi. Post power syndrome juga dapat terjadi.
 b. Gejala-gejala post power syndrome
Dinsi (2006), membagi gejala-gejala post power syndrome ke dalam tiga tipe, yaitu:
a. Gejala Fisik.
Yaitu menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan pada waktu dia menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, menjadi pemurung, sakit-sakitan, dan tubuhnya menjadi lemah, tidak bergairah.
b. Gejala Emosi.
Yaitu cepat tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, dan lain sebagainya.
c. Gejala Perilaku.
Yaitu umumnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.

c. Faktor-faktor Penyebab Seseorang
Mengalami Post Power Syndrome Menurut Turner & Helms (1983), terdapat beberapa faktor penyebab berkembangnya Post Power Syndrome pada diri seseorang yaitu :
a. Kehilangan jabatan yaitu
kehilangan harga diri karena hilangnya jabatan individu merasa kehilangan perasaan memiliki dan atau dimiliki, artinya dengan jabatan pula individu merasa menjadi bagian penting dari institusi. Dengan jabatan pula individu merasa lebih yakin atas dirinya, karena mendapat pengakuan atas kemampuannya. Selain itu, individu tersebut merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait dengan jabatan yang diemban.
Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa individu yang masih bekerja memiliki derajat self-esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yangsudah tidak bekerja lagi. Individu yang pensiun akan mengalami penurunan harga diri yang meliputi kehilangan perasaan diterima, diakui dan dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan rekan sekerja. Selain itu juga muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu lagi melakukan segala sesuatu seperti pekerjaanya yang membuat tampak tidak berguna dan dibutuhkan lagi.
Untuk itu dibutuhkan cara yang tepat agar individu tidak selalu merasakan kehilangan harga diri, misalnya dengan menyibukkan diri melalui aktifitas-aktifitas seperti terlibat dalam kegiatan sosial sebagai volunter (Papalia, 2002), atau memperdalam ibadah dan pegetahuannya dalam hal keagamaan untuk menjadi pemuka agama yang dihormati di daerahnya.
b. Kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif, misalnya kelompok Perwira Tinggi, kelompok Komandan, kelompok Manager, dan lain-lain yangsemula memberikan kebanggan tersendiri. individu kadangkala mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial yang berarti bagi dirinya atau dibanggakannya.
Dalam hal ini kelompok sosial bisa kelompok bisnis atau kelompok seprofesinya. Dengan terjadinya pensiun, maka individu kehilangan identitasnya tersebut sehingga individu harus mengkonstruksi dan mengevaluasi identitas dirinya menjadi identitas diri yang baru yang lebih rendah arti dan kebanggaan.
c. Kehilangan kewibawaan atau
kehilangan perasaan berarti dalam satu kelompok tertentu. Jabatan memberikan perasaan berarti yang menunjangpeningkatan kepercayaan diri seseorang. Misalnya saja, kehilangan kewibawaan di depan anak buah atau lingkungan sekitar karena sudah tidak menjabat lagi. Pekerjaan yang dilakukan individu sebelum pensiun mungkin merupakan pekerjaan yang dapat menimbulkan kepuasan dan keberartian diri bagi individu. Dengan datangnya pensiun, berarti segala atribut yang dimilikinya harus ditanggalkan termasuk pekerjaan yang menimbulkan kepuasan tersebut, maka individu perlu menyiapkan kegiatan pengganti agar kehilangan tersebut tidak menjadi masalah.
d. Kehilangan kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan, dengan jabatan yang jelas, maka seseoran memiliki kerangka pelaksanaan tugas yang jelas, yang berpengaruh terhadap kontak sosial pula. Pensiun tentunya menyebabkan individu kehilangan sebagian besar kelompok sosialnya. Pada individu sebagian besar waktunya habis di lingkungan pekerjaan maka kelompok sosial yang paling besar dimilikinya adalah teman-teman sejawatnya, bawahan, atasan, maupun klien-kliennya. Untuk mengatasi kehilangan kontak sosial yang berorintasi pada pekerjaannya ini, maka individu harus mencari aktivitas-aktivitas dan orang-orang di lingkungannya yang baru sebagai sumber dukungan sosial baginya.
e. Kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan jabatan yang pernah dipegang. Bagi sejumlah individu, tidak bekerja lagi berarti hilangnya sumber keuangan. Hal ini mengakibatkan berubahnya cara atau pola hidup individu dan keluarganya, yang sebelumnya hidup dengan berlebihan atau berkecukupan, kini harus bisa lebih hemat.
d. Pensiun

Pensiun adalah peran baru dalam hidup
seseorang yang berhenti dari pekerjaan
formal dan tidak bekerja lagi serta
mengalami perubahan ekonomi berupa
pendapatan yang jauh berkurang dari
sebelumnya. Dibutuhkan aspek kesiapan
mental dalam menghadapi perubahan sosial
serta membutuhkan penerimaan diri yang
baik, sehingga tidak menimbulkan depresi,
frustasi dan stres pada diri individu (Turner
& Helms, 1983).

e. Masalah yang Terjadi Pada Masa
Pensiun

Menurut Hutapea (2005) saat
memasuki masa pensiun seseorang akan
mengalami berbagai masalah, diantaranya
mengenai kepuasan kerja dan pekerjaan,
usia, kesehatan, dan status sosial sebelum
pensiun. Berikut ini penjelasan mengenai
masalah tersebut :

a. Kepuasan Kerja dan Pekerjaan
Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri
karena disamping mendatangkan uang dan
fasilitas, dapat juga memberikan nilai dan
kebanggan pada diri sendiri (karena
berprestasi atau pun kebebasan
menuangkan kreativitas). Pekerjaan juga
dapat memberikan pendapatan, prestise,
wewenang, dan otonomi yang diharapkan
para pekerja.

Menurut Erikson (dalam Hurlock, 1980)
pada usia kerja terjadi pada usia madya
(55-65) seseorang memasuki masa
berprestasi dimana selama usia ini, orang
akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya
mereka berhenti dan tidak mengerjakan
sesuatu apapun lagi. Apalagi orang berusia
madya mempunyai kemauan yang kuat
untuk berhasil, mereka akan mencapai
puncaknya pada usia ini dan memungut
hasil dari masa-masa persiapan dan kerja
keras yang dilakukan sebelumnya.


b. Usia


Banyak orang yang takut menghadapi masa
tua karena asumsinya jika sudah tua, fisik
pun akan makin melemah, makin banyak
penyakit, cepat lupa, penampilan tidak
menarik dan makin banyak hambatan lain
yang membuat hidup makin terbatas.
Pensiun sering diidentikkan dengan tanda
seseorang memasuki masa tua. Banyak
orang mempersepsi secara negatif dengan
menganggap bahwa pensiun itu merupakan
pertanda dirinya sudah tidak berguna lagi
dan tidak dibutuhkan karena usia tua dan
produktivitas menurun sehingga tidak
menguntungkan lagi bagi perusahaan atau
organisasi tempat mereka bekerja.
c. Kesehatan


Beberapa orang peneliti menemukan
bahwa kesehatan mental dan fisik
merupakan prakondisi yang mendukung
keberhasilan seseorang beradaptasi
terhadap perubahan hidup yang disebabkan
oleh pensiun. Hal itu masih ditambah
dengan persepsi orang tersebut terhadap
penyakit atau kondisi fisiknya. Jika ia
menganggap bahwa kondisi fisik atau
penyakitnya sebagai hambatan besar dan
bersikap pesimistik terhadap hidup,
sehingga ia akan mengalami masa pensiun
dengan penuh kesukaran.


Menurut hasil penelitian, pensiun tidak
menyebabkan orang menjadi cepat tua dan
sakit-sakitan, karena justru berpotensi
meningkatkan kesehatan karena mereka
semakin bisa mengatur waktu untuk
berolah tubuh. Persepsi seseorang tentang
bagaimana ia akan nenyesuaikan diri
dengan masa pensiunnya. Hal ini erat
kaitannya dengan rencana persiapan yang



dibuat jauh sebelum pensiun (termasuk
pola atau gaya hidup yang dilakukan) akan
memberi kepuasan dan rasa percaya diri
pada individu yang bersangkutan.

d. Status Sosial Sebelum Pensiun


Status sosial berpengaruh terhadap
kemampuan seseorang menghadapi masa
pensiunnya. Jika semasa kerja ia
mempunyai status sosial tertentu sebagai
hasil dari prestasi kerja keras (sehingga
mendapatkan penghargaan dari masyarakat
dan organisasi), ia pun cenderung lebih
memiliki kemapuan adaptasi yang lebih
baik (karena konsep diri yang positif dan
social network yang baik). Namun, jika
status sosial itu didapat bukan murni dari
hasil jerih payah prestasinya(misalnya lebih
karena politis dan uang atau harta ) orang
itu justru cenderung mengalami kesulitan
saat menghadapi pensiun karena begitu
pensiun, kebanggaan dirinya lenyap sejalan
dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang
menempel pada dirinya selama ia bekerja.



C. Metode Penelitian

1. Pendekatan Kualitatif

Sesuai dengan latar belakang masalah
penelitian, maka peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif untuk mengetahui
bagaimana post power syndrome pada
pegawai negeri sipil yang mengalami masa
pensiun.

Patton (dalam Poerwandari, 1998)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif dan
kuantitatif merupakan dua pandangan yang
berbeda yang harus dipilih bukan karena
salah satunya baik, melainkan karena
pendekatan yang dipilih memang sesuai
dengan masalah penelitian dan paling baik
untuk menjawab masalah tersebut.
Perbedaan metode kualitatif dengan
kuantitatif terletak pada keluasan cakupan
(breath) dan kedalaman (depth). Penelitian
kuantitatif menuntut digunakannya
pendekatan yang terstandarisasi, sehingga
pengalaman-pengalaman manusia dibatasi
pada kategori tertentu, sedangkan
penelitian kualitatif memungkinkan peneliti
mempelajari isu-isu tertentu secara
mendalam dan mendetail karena
pengumpulan data tidak dibatasi pada
kategori-kategori tertentu saja.

2. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek yang
diteliti berjumlah dua orang, dengan
karakteristik subjek sebagai berikut
:Pegawai negeri sipil yang telah
mengalami wajib pensiun yang berusia
56 dan 60 tahun.Minimal telah
menjalani pensiun selama enam bulan,
karena menurut Valentino, (2006)
merupakan hal yang wajar apabila
seseorang mengalami Post Power
Syndrome minimal enam bulan lamanya
setelah pensiun.

3. Tahap-tahap Penelitian

a. Tahap Persiapan, Pedoman
wawancara yang dikembangkan dalam
penelitian ini berdasarkan teori-teori
yang telah dikemukakan sebelumnya
mengenai post power syndrome pada
pegawai negeri sipil yang mengalami
masa pensiun, sehingga pertanyaan
yang diajukan relevan dengan masalah
penelitian. Kemudian pedoman
wawancara dikonsultasikan dengan
dosen pembimbing sebagai expert
judgement (penilaian ahli) untuk
mendapatkan masukan apakah
pertanyaan yang diajukan sudah dapat
menggali informasi yang ingin
diperoleh dari penelitian dan feedback
(umpan balik).

b. Tahap pelaksanaan, Sebelum dilakukan
pengumpulan data, peneliti menghubungi
dan membuat janji dengan subjek terlebih
dahulu untuk melakukan wawancara.
Setelah bertemu dengan subjek, peneliti
memperkenalkan diri dan menerangkan
tujuan dari penelitian, serta meminta izin
kepada subjek untuk menggunakan alat
perekam saat mengajukan pertanyaan dan



segala sesuatu yang berhubungan dengan
hal yang akan diteliti. Saat pelaksanaan,
peneliti melakukan observasi, mencatat dan
merekam semua jawaban yang diberikan
oleh subjek. Selain itu peneliti juga
melakukan wawancara dengan significant
other untuk mengecek agar data yang
diperoleh berasal dari berbagai sumber.
Setelah peneliti melakukan wawancara dan
observasi, peneliti menganalisis data yang
ada kemudian menulis laporannya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti akan
menggunakan tipe wawancara mendalam
(in-depth interview). Wawancara mendalam
ini lebih seperti percakapan sehari-hari
dibandingkan dengan wawancara
terstruktur. Tehnik ini dapat berubah
tergantung pada tingkatan wawancara yang
telah terstruktur. Teknik ini dapat berubah
tergantung pada tingkatan wawancara yang
telah terstruktur sebelumnya.

 Penelitian ini menggunakan Observasi
non-partisipan. Observasi non-partisipan
adalah peneliti berada diluar subjek yang
diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-
kegiatan yang mereka lakukan. Dengan
demikian peneliti akan lebih leluasa
mengamati kemunculan tingkah laku yang
terjadi (Sukandarrumidi, 2004).

5. Alat Bantu Pengumpul Data

Dalam penelitian, informasi atau data
yang dibutuhkan bisa dalam bentuk verbal
dan non verbal. Oleh sebab itu dalam
melakukan observasi dan wawancara
peneliti memerlukan beberapa alat bantu
mempermudah proses jalannya suatu
penelitian. Beberapa sarana atau instrumen
yang digunakan adalah menggunakan
media perekam suara, catatan atau tulisan
tangan, pedoman wawancara, dan pedoman
observasi.

6. Keakuratan Penelitian

 Untuk mencapai keakuratan dalam
suatu penelitian dengan metode kualitatif,
ada beberapa teknik yang digunakan dan
salah satu teknik tersebut adalah triangulasi.
Triangulasi adalah suatu teknik
pemeriksaan keakuratan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu.
Triangulasi dapat dibedakan menjadi
emapat macam yaitu triangulasi data,
pengamat, teori, dan metodologis.

7. Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh akan di analisa dengan
menggunakan teknik analisa data kualitatif.
Adapun tahapan tersebut adalah
mengorganisasikan data, mengelompokkan
data, analisis kasus, dan menguji asumsi.



D. Hasil Dan Analisis.

1. Hasil Observasi dan Wawancara

a. Gambaran Umum Subjek

 Subjek satu adalah seorang pensiunan
perhubungan laut. Saat ini subjek berusia
59 tahun, subjek mempunyai tubuh yang
kurus, berkulit cokelat, rambut yang sudah
beruban, mata yang kecil, serta terlihat
kulit subjek yang mulai mengeriput dan
kendor. Subjek mempunyai hidung yang
mancung, bibir yang tebal serta susunan
gigi yang kurang rapih. Pada observasi
pertama subjek memakai kaos berwarna
kuning yang warnanya pudar dan celana
training berwarna hitam, serta subjek juga
memakai kacamata yang berframe hitam.
Sedangkan pada observasi kedua, subjek
memakai kemeja tangan panjang berwarna
dasar putih dilengkapi garis-garis tipis
berwarna biru, subjek juga mengenakan
celana bahan berwarna abu- abu. Ketika
observasi ketiga dilakukan subjek
memakai kaos oblong berwarna putih dan
celana bahan berwarna hitam.

Pada saat peneliti datang pertama kali ke
rumah subjek untuk observasi, subjek
masih terlihat enggan untuk berbicara.
Peneliti memulai pembicaraan dengan
menanyakan subjek dulu pensiunan
darimana, dari awal situlah subjek mulai
berbicara mengenai masalahnya setelah
pensiun, walaupun sesekali subjek
berpangku tangan sambil memandang lurus



ke depan apabila peneliti menanyakan
tentang masa pensiun, terkadang sesekali
memutar bola matanya.

Subjek dua mempunyai tubuh aga gemuk,
berkulit putih, rambut yang beruban. Mata
yang terlihat aga sipit karena kelopak mata
subjek yang mulai menurun dan kendur.
Serta kulit subjek yang mulai mengeriput.
Selain itu subjek memiliki hidung yang
mancung, bibir yang tipis dan susunan gigi
yang rapih.

Pada saat wawancara subjek menjawab
dengan baik setiap pertanyaan yang peneliti
ajukan. Subjek terlihat santai menjawab
pertanyaan. Hal ini dilihat saat subjek
menjawab pertanyaan peneliti, subjek
selalu mengarahkan pandangannya ke arah
peneliti. Walaupun terkadang sesekali
subjek menyandarkan tubuhnya serta
menyilangkan kaki, ketika peneliti
menanyakan masalah serta perubahan yang
terjadi setelah pensiun.



b. Pembahasan

1) Bagaimana gejala-gejala Post
Power Syndrome pada Pegawai Negeri
Sipil yang mengalami masa pensiun ?

Gejala fisik post power syndrome pada
kasus kedua subjek, diantara kedua subjek
mengalami perubahan pada kekuatan
fisiknya akibat pensiun, dengan perubahan
itu subjek 1 merasakan semangatnya untuk
beraktifitas berkurang. Pada subjek 2,
semangatnya untuk beraktifitas itu tetap
ada, tetapi kekuatan fisik subjek tidak
mendukung sehingga banyak aktifitas yang
tidak mampu subjek lakukan. Selain
kekuatan fisik yang menurun pada subjek 1
juga mengalami penurunan pada
penglihatan, pendengaran, serta sensosik
motoriknya. Pada subjek 2, penglihatan
dan pendengarannya juga menurun apabila
dibandingkan saat sebelum pensiun.
Penglihatan subjek yang dirasakan
berkurang setelah pensiun, sehingga subjek
tidak berani untuk keluar rumah apabila
tidak didampingi oleh seorang teman,
selain itu subjek juga merasakan penyakit
yang muncul setelah pensiun, seperti
reumatik selain itu subjek juga memiliki
riwayat penyakit yaitu asma, penyakit
subjek ini lebih dirasakan setelah pensiun.
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Dinsi,
(2006) seseorang yang mengalami post
power syndrome, gejala fisiknya akan
semakin lemah, menjadi jauh lebih cepat
tua tampaknya dibandingkan pada waktu
dia menjabat. Rambutnya menjadi putih
semua, berkeriput, menjadi pemurung,
sakit-sakitan, dan tubuhnya menjadi lemah,
tidak bergairah. Makin banyak penyakit,
cepat lupa dan makin banyak hambatan
lain yang membuat hidup semakin terbatas.
Sehingga dampak yang lebih jauh adalah
akan mudah terserang penyakit. Hal seperti
ini juga akan membawa dampak yaitu tidak
mau menghadapi kenyataan bahwa dirinya
harus pensiun akan membawa masalah
serius seperti halnya post-power syndrome
dan depresi, Hutapea (2005).

Gejala emosi.Pada kasus antara subjek 1
dan subjek 2 adanya kesamaan mengenai
gejala emosi. Pada kedua subjek
mengalami perubahan emosi setelah
pensiun. Pada subjek 1, subjek merasa
lebih emosi karena subjek berada di rumah
setiap hari, sehingga mengetahui semua
permasalahan yang ada di rumah dalam hal
ini mengenai permasalahan anak-anak
karena subjek menjaga anak-anak di rumah
karena istri subjek bekerja. Seperti yang
dikatakan Hadgestad (dalam Santrock
1995), pria cenderung menolak untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga karena
sebelumnya tugas mereka adalah sebagai
penari nafkah, yang sebagian besar
waktunya habis di luar rumah, sehingga
tidak ada kesempatan baginya untuk
mengerjakan pekerjaan rumah dan
mengasuh anak-anak. Hal ini tentu
menyebabkan mereka merasa jenuh di
masa pensiunnya.

Selain itu, subjek juga terkadang
mengalami beda pendapat dengan istri
subjek, subjek juga mengatakan pernah



tersinggung dengan kata-kata istri subjek.
Dinsi, (2006 ) mengatakan pria yang baru
pensiun cenderung lebih banyak
mengalami konflik perkawinan
dibandingkan dengan kondisi sebelum
pensiun. Pria yang baru pensiun namun
istrinya masih bekerja, cenderung
mengalami konflik perkawinan lebih tinggi
dibandingkan dengan pria yang sama-sama
baru pensiun, namun istrinya tidak bekerja.
Dalam hal ini pada kasus subjek 1, istri
subjek masih bekerja. Sedangkan pada
subjek 2, subjek dengan suaminya sudah
sama-sama pensiun. Subjek 1, merasa stres
dan sedih karena subjek tidak dapat berbuat
apa-apa lagi dan tidak dapat mencari
pekerjaan. Selain itu pada subjek 1, subjek
juga mengalami penurunan harga diri
karena subjek sudah pensiun. Subjek
merasa orang-orang di lingkungan sekitar
subjek kurang menghormati subjek setelah
pensiun ini. Karena apabila ada tetangga
subjek yang melewati rumahnya, tetangga
subjek tidak menegur. Masa pensiun,
sering membuat orang merasa cemas, stres
dan depresi. Mereka merasa dirinya tidak
berguna lagi, apalagi bila orang-orang yang
ditemuinya tidak lagi bersikap hormat dan
sopan kepadanya, Dinsi (2006). Hal ini
juga dikuatkan oleh Hema (2003) antara
pria dan wanita, laki-laki lebih rentan
terhadap Post Power Syndrome karena
pada wanita umumnya lebih menghargai
relasi daripada prestise, prestise dan
kekuasaan itu lebih dihargai oleh laki-laki.
Pernyataan Powel (1983) bahwa sejauh
mana kesiapan individu dalam membuat
perencanaan sebelumnya akan
membantunya mengurangi stres akibat
ketidaksiapan dirinya menghadapi pensiun.
Pada kasus subjek 1, subjek tidak
melakukan persiapan sebelum pensiun,
subjek hanya membuka usaha warung
setelah pensiun itupun atas dasar ide istri
subjek, karena melihat subjek pada saat itu
tidak memiliki aktifitas. Pada subjek 2,
subjek merasakan hidupnya saat itu hanya
melihat dinding rumah saja. Ruang gerak
subjek menjadi terbatas, karena ketika
pensiun subjek merasa bingung hanya
berdiam diri di rumah. Samhuri (2005)
menambahkan orang yang pensiun akan
merasa kecewa dengan kehidupan barunya.
Orang yang pensiun kemungkinan akan
menjadi pendiam, menyendiri dan miskin
aktifitas. Sehingga ia akan merasa dirinya
ditolak, dan tidak dihargai.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa kedua subjek
mengalami gejala post power syndrome
yaitu gejala emosi, pada kedua subjek
mengalami perubahan emosi setelah
pensiun hal tersebut dapat dilihat dari pada
subjek 1, subjek merasa stres dan sedih
karena sudah pensiun sehingga tidak dapat
berbuat apa-apa lagi, selain itu subjek juga
mengalami penurunan harga diri. Pada
subjek 2, perubahan emosi yang terjadi
subjek merasa ruang geraknya terbatas,
karena ketika pensiun subjek merasa
bingung hanya berdiam diri di rumah.

Gejala perilaku.Pada kasus subjek 1 dan
subjek 2 mengenai gejala perilaku. Subjek 1
dan subjek 2 mengalami perubahan perilaku
setelah pensiun. Subjek 1 setelah pensiun
lebih banyak berada di rumah dengan
menonton TV dan waktu senggangnya diisi
dengan tidur siang. Aktifitas baru yang
dikerjakan setelah pensiun pada subjek 1,
yaitu membuka usaha warung, tetapi usaha
warung tersebut tidak dikelola dengan baik
karena subjek mengatakan usahanya
tersebut dibuat atas ide istri subjek untuk
mengisi waktu subjek setelah pensiun.
Pada kasus subjek 1, kemungkinan subjek
memiliki tipe kepribadian mandiri yang
cenderung mengalami post power
syndrome. Hal ini dikarenakan pada masa
pensiun tidak diisi dengan kegiatan yang
dapat memberi kesibukan pada dirinya
hutapea (2005). Hal ini dapat dilihat dengan
kegiatan subjek yaitu subjek mengatakan
warungnya hanya sambilan saja, kegiatan
warung ini dibawa santai, warungnya
tersebut dibuka dengan sekehendak hati
subjek.



 Pada kasus subjek 2, waktu senggangnya
diisi dengan membaca. Selain itu subjek
juga tidak berminat untuk keluar karena
subjek merasa bingung apabila hendak
keluar rumah karena subjek sudah tidak
bekerja lagi. Karena saat bekerja dahulu
subjek mempunyai tujuan yang jelas yaitu
bekerja. Akan tetapi setelah pensiun subjek
berada di rumah mengerjakan pekerjaan
rumah tangga. Hurlock (1980) berpendapat
bahwa pensiun adalah suatu periode di
mana seseorang harus berhenti dari
pekerjaannya pada usia tertentu yang telah
ditetapkan oleh perusahaan tempatnya
bekerja. Secara personal, datangnya masa
pensiun bisa diasosiasikan sebagai
hilangnya aktivitas utama yang telah lama
ditekuni yaitu pekerjaan. Dalam hal ini
subjek 2 merasakan hal tersebut. Selain itu
Santrock (1995), mengatakan masa pensiun
pada wanita diisi dengan kegiatan yang
lebih berorintasi pada kegiatan sosial yang
melibatkan banyak orang. Selain itu
memiliki kegiatan pengganti yang cukup
menyibukkan, yaitu mengerjakan pekerjaan
rumah tangga atau terlibat ikut mengasuh
cucu-cucunya. Hal ini juga dilakukan
subjek 2 dengan mengerjakan pekerjaan
rumah tangga setelah pensiun ini, akan
tetapi mengasuh cucu tidak dilakukan
subjek, karena anak subjek belum ada yang
berkeluarga. Pada subjek 2, setelah pensiun
subjek juga mengikuti pengajian dan
kegiatan PKK. Sedangkan pada subjek 1,
subjek juga mengikuti kegiatan pengajian
setelah pensiun.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam mengisi
waktu senggang pada kedua subjek,
melakukan hal yang berbeda. Pada subjek
2, subjek terlihat lebih aktif dalam mengisi
waktu senggangnya apabila dibandingkan
subjek 1 yang mengisi waktu senggangnya
tidak diisi dengan kegitan yang dapat
menyibukkan dirinya. Untuk itu dibutuhkan
cara yang tepat agar individu tidak selalu
merasakan kehilangan harga diri, misalnya
dengan menyibukkan diri melalui aktifitas-
aktifitas seperti terlibat dalam kegiatan
sosial sebagai volunter (Papalia, 2002),
atau memperdalam ibadah dan
pegetahuannya dalam hal keagamaan untuk
menjadi pemuka agama yang dihormati di
daerahnya. Berdiam diri atau membiarkan
diri menganggur dan melamun hanya
membangkitkan emosi dan pikiran negatif
saja. Menghilangkan kesepian dengan
melibatkan diri pada orang-orang terdekat
cara yang dapat dilakukan untuk mengisi
waktu luang (Hutapea, 2005).

Berdasarkan gejala-gejala post power syndrome yang dialami oleh kedua subjek maka dapat ditarik kesimpulan bahwa post power syndrome yang dialami oleh subjek 1 lebih tinggi dibandingkan dengan subjek 2. Hal ini dapat dilihat berdasarkan gejala-gejala yang dialami subjek 1 yaitu dalam gejala emosi dan perilaku. Subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun, dengan perubahan emosi ini membuat subjek terkadangmengalami konflik dengan istri, subjekmerasa kurang dihormati karena subjek telah pensiun sedangkan istri subjek masih bekerja. Subjek juga merasa lebih emosi karena berada di rumah setiap hari, subjek merasa anak-anak sering membuat kesalahan. Pada subjek 2, hubungan subjek dengan suami cenderung baik-baik saja, karena subjek dan suaminya sudah sama-sama pensiun.
 Mengenai gejala perilaku pada subjek
1, masa pensiun subjek lebih banyak diisi dengan menghabiskan waktunya untuk menonton TV dan tidur siang seharian.
 2, subjek mengisi hari-harinya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Masa pensiun subjek 1 tidak diisi dengan kegiatan yang dapat menyibukkan dirinya dengan demikian subjek cenderung lebih mengalami gejala perilaku post power syndrome.
 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan seseorang mengalami Post Power
Syndrome ?
a. Kehilangan jabatan
Pada kasus subjek 1 dan subjek 2, pada kedua subjek merasakan kehilangan kegiatan atau rutinitas pekerjaannya yang tidak dilakukannya lagi karena sudah pensiun. Selain itu, subjek merasa tidak mampu lagi untuk bekerja, karena sudah pensiun. Subjek 1 merasa tidak dapat memberikan manfaat, subjek juga merasakan perubahan sikap dari lingkungan maupun keluarga. Sebagai contoh apabila ada tetangga subjek yang lewat tidak menegur subjek sedangkan dalam keluarga anak-anak dan istri terkadang protes karena subjek sudah pensiun. Individu yang pensiun akan mengalami penurunan harga diri yang meliputi kehilangan perasaan diterima, diakui dan dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan rekan sekerja. Selain itu juga muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu lagi melakukan segala sesuatu seperti pekerjaanya yang membuat tampak tidak berguna dan dibutuhkan lagi (Turner & Helms, 1983).
 Untuk itu dibutuhkan cara yang tepat agar individu tidak selalu merasakan kehilangan harga diri, misalnya dengan menyibukkan diri melalui aktifitas-aktifitas seperti terlibat dalam kegiatan sosial sebagai volunter (Papalia, 2002), atau memperdalam ibadah dan pengetahuannya dalam hal keagamaan untuk menjadi pemuka agama yang dihormati di daerahnya.
 Pada subjek 2, subjek merasa ingin tetap dapat berkreasi dan bekerja, tetapi dengan melihat situasi dan kondisi saat itu, sudah waktunya subjek untuk pensiun. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hurlock (1980) bahwa pensiun adalah suatu periode di mana seseorang harusberhenti dari pekerjaannya pada usia tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan tempatnya bekerja, tanpa mempertimbangkan apakah dirinya senang atau tidak, sehingga mendesak pekerja usia lanjut berhenti bekerja untuk memberikan kesempatan bagi pekerja yang lebih muda. Secara personal, datangnya masa pensiun bisa diasosiasikan sebagai hilangnya aktivitas utama yang telah lama ditekuni yaitu pekerjaan. Super (1985) juga mengatakan bahwa pensiun sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bekerja lagi secara formal dan menuntut individu untuk menyesuaikan diri terhadap berkurangnya karier dalam hal ini subjek ingin tetap dapat berkreasi dan bekerja, tetapi dengan melihat situasi dan kondisi saat itu subjek harus pensiun selain itu subjek juga harus mendefinisikan arti dirinya.
Pada subjek 2,
subjek merasa terganggu apabila ada seseorang yang membicarakan masalah negara, karena subjek mengetahui betul hal yang terjadi sebenarnya bukan seperti yang orang-orang bicarakan. Sehingga subjek terkadang ingin memberikan pendapatnya, akan tetapi subjek menyadari bahwa dirinya telah pensiun. Kehilangan jabatan yaitu kehilangan harga diri karena hilangnya jabatan individu merasa kehilangan perasaan memiliki dan atau dimiliki, artinya dengan jabatan pula individu merasa menjadi bagian penting dari institusi. Dengan jabatan pula individu merasa lebih yakin atas dirinya, karena mendapat pengakuan atas kemampuannya. Selain itu, individu tersebut merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait dengan jabatan yang diemban, hal ini dirasakan oleh subjek terkait dengan saat subjek masih bekerja dahulu (Turner & Helms, 1983).
b. Kehilangan hubungan dengan
kelompok eksklusif.
Pada kasus subjek 1 saat subjek bekerja
subjek merasa bangga saat tergabung
dengan kelompok kerjaannya. Tetapi
setelah pensiun, subjek tidak pernah lagi
berhubungan dengan kelompok sprofesinya
dahulu. Pada subjek 2, setelah pensiun
subjek merasa kehilangan lingkungan
intelektualitasnya, selain itu subjek juga
merasa tidak dapat lagi mengembangkan
potensi yang ada pada dirinya. Individu
kadangkala mengidentifikasikan dirinya
atau dibanggakan. Dalam hal ini kelompok



sosial bisa kelompok bisnis atau kelompok
seprofesinya. Kelompok ini bisa dijadikan
individu sebagai identitas dirinya. Dengan
terjadinya pensiun, maka individu
kehilangan identitasnya tersebut sehingga
individu harus mengkonstruksi dan
mengevaluasi identitas dirinya menjadi
identitas diri yang baru yang lebih rendah
arti dan kebanggaan (Turner & Helms,
1983). Super (1985) juga menambahkan
bahwa setelah pensiun seseorang akan
menutut individu menyesuaikan diri
terhadap berkurangnya karier dan
mendefinisikan arti dirinya terkait dengan
jabatan yang pernah di pegang sebelumnya.
Samhuri (2005) juga mengatakan orang
yang pensiun akan merasa kecewa dengan
kehidupan barunya yaitu kehilangan status,
dan merasa kehilangan diri yang penting,
perasaan dibutuhkan lagi, hal ini akan
segera menimbulkan depresi.

c. Kehilangan kewibawaan dan perasaan
berarti.

Subjek 1 dan subjek 2 mengatakan setelah
pensiun subjek merasakan kehilangan
pekerjaan yang dahulu di kerjakannya.
Selain itu, pada subjek 2, subjek
mengatakan pada usianya tidak mampu
melakukan sesuatu pekerjaan. Subjek ingin
tetap dapat bekerja seperti waktu sebelum
pensiun akan tetapi keadan fisik subjek
sudah tidak mendukung. Subjek 1 dan
subjek 2 juga mengatakan setelah pensiun
ini, subjek jarang berkunjung ke kantor
atau bahkan tidak pernah. Pada subjek 1,
subjek merasa menjadi orang asing apabila
subjek datang ke tempatnya bekerja,
sedangkan pada kasus subjek 2
mengatakan rekan seangkatannya sudah
tidak bekerja lagi di kantor tersebut,
sehingga subjek tidak pernah datang ke
kantor. Samhuri (2005) mengatakan masa
pensiun merupakan masa bulan madu
kedua, akan tetapi masa pensiun juga akan
mengalami kehilangan teman sejawat,
merasa diri tidak dihargai dan ditolak
apabila seseorang menghadapi masa
pensiun dengan sikap masa bodoh dengan
menganggap biasa saja dan mereka tidak
mempersiapkan dengan hati-hati. Maka hal
tersebut akan dirasakan oleh sebagian
pensiunan. Selain itu, jabatan memberikan
perasan berarti yang menunjang
peningkatan kepercayaan diri seseorang.
Misalnya saja, kehilangan kewibawaan di
depan anak buah atau lingkungan sekitar
karena sudah tidak menjabat lagi.
Pekerjaan yang dilakukan individu
sebelum pensiun mungkin merupakan
pekerjaan yang dapat menimbulkan
kepuasan dan keberartian diri bagi
individu. Dengan datangnya pensiun,
berarti segala atribut yang dimilikinya
harus ditanggalkan termasuk pekerjaan
yang menimbulkan kepuasan tersebut,
maka individu perlu menyiapkan kegiatan
pengganti agar kehilangan tersebut tidak
menjadi masalah (Turner & Helms, 1983).

d. Kehilangan kontak sosial pada rekan
kerja.

Faktor keempat, pada kasus 1 dan kasus 2
adanya perbedaan. Pada kasus subjek 1
mengenai faktor penyebab post power
syndrome yaitu kehilangan kontak sosial
pada rekan kerja, subjek mengatakan tidak
pernah berhubungan dengan teman-
temannya. Komunikasi subjek dengan
teman-teman di kantor juga sudah tidak
berjalan lagi. Jabatan yang jelas maka
seseorang akan memiliki kerangka
pelaksanaan tugas yang jelas, yang
berpengaruh terhadap kontak sosial pula.
Pensiun tentunya menyebabkan individu
kehilangan sebagian besar kelompok
sosialnya. Pada individu sebagian besar
waktunya habis di lingkungan pekerjaan
maka kelompok sosial yang paling besar
dimilikinya adalah teman-teman
sejawatnya, bawahan, atasan, maupun
klien-kliennya. Untuk mengatasi
kehilangan kontak sosial yang berorintasi
pada pekerjaannya ini, maka individu harus
mencari aktivitas-aktivitas dan orang-orang
di lingkungannya yang baru sebagai
sumber dukungan sosial baginya (Turner &
Helms, 1983). Selain itu Dinsi, (2006) juga



mengungkapkan mereka yang habis-
habisan dalam bekerja, sehingga
mengabaikan sosialisasi dengan sesamanya.
Akibatnya, pada saat pensiun, mereka
merasa kehilangan harga diri dan kesepian,
karena tidak memiliki teman-teman.

Sedangkan pada subjek 2 kehilangan
kontak sosial bukan merupakan faktor
penyebab post power syndrome, karena
pada subjek 2 hubungan komunikasi subjek
masih berjalan melalui telepon maupun
SMS.

e. Kehilangan sebagian sumber
penghasilan.

Pada kasus subjek 1 mengenai faktor-
faktor penyebab, post power syndrome
yaitu kehilangan sebagian sumber
penghasilan. Setelah pensiun, subjek 1
merasakan berkurangnya penghasilan selain
itu terjadi perubahan pola hidup keluarga.
Dengan perubahan pola hidup tersebut
subjek mendapat protes dari istri dan anak
subjek. Pada kasus subjek 2, setelah
pensiun subjek merasakan pemasukan
gajinya berkurang subjek hanya menerima
tigaperempat dari gajinya saja. Perubahan
juga terjadi pada pola hidup keluarga
subjek menjadi lebih hemat. Tetapi,
dengan perubahan tersebut keluarga subjek
menerimanya terutama anak-anak subjek
tidak banyak menuntut. Karena subjek
selalu menanamkan apabila menginginkan
sesuatu harus berusaha terlebih dahulu.
Kehilangan sebagian sumber penghasilan
yang terkait dengan jabatan yang pernah
dipegang. Bagi sejumlah individu, tidak
bekerja lagi berarti hilangnya sumber
keuangan. Hal ini mengakibatkan
berubahnya cara atau pola hidup individu
dan keluarganya, yang sebelumnya hidup
dengan berlebihan atau berkecukupan, kini
harus bisa lebih hemat. Individu juga harus
mempersiapkan aktivitas atau usaha-usaha
tertentu yang dapat mengkompensasikan
kekurangan yang dialami (Turner & Helms,
1983).

Pada subjek satu setelah pensiun yang
menjadi sumber perekonomian keluarga
yaitu subjek dan istrinya, selain itu melalui
tambahan penghasilan warung dan dana
pensiun. Setelah pensiun yang menjadi
sumber perekonomian keluarga subjek dan
suaminya, juga melalui bantuan anak-anak
subjek yang sudah bekerja, serta subjek
memiliki tabungan pensiun. Dalam
melakukan persiapan pensiun itu dapat
dilakukan dengan merencanakan dana
pensiun yang dimiliki, sebagai kebutuhan
mendasar yang menunjang kelangsungan
hidup dimasa pensiun dan untuk
mengantisipasi masalah besar yang akan
terjadi dikemudian hari dalam hal ini
berkurangnya pendapatan rutin (Hutapea,
2005). Individu juga harus mempersiapkan
aktivitas atau usaha-usaha tertentu yang
dapat mengkompensasikan kekurangan
yang dialami (Turner & Helms, 1983).

Berdasarkan penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab post power syndrome, maka dapat ditarik kesimpulan subjek 1 cenderung lebih merasakannya karena subjek masih memiliki 2 orang putri yang masih sekolah dan menjadi tanggung jawab subjek. Pada subjek 2, kedua anak subjek sudah bekerja. Dalam hal perekonomian, pada subjek 1 posisi subjek sebagai kepala keluarga, maka setelah pensiun post power syndrome cenderung lebih dirasakan, sedangkan pada subjek 2 subjek sebagai istri yang berfungsi membantu perekonomian di belakang kepala keluarga. Individu yang merupakan penopang hidup keluarga risiko terjadinya post power syndrome yang berat semakin besar (Wardhani, 2006). Faktor internal kemungkinan juga dapat menyebabkan post power syndrome. Pada subjek 1, subjek cederung memiliki pribadi yang tertutup, apabila subjek mengalami masalah subjek cenderung menampung masalahnya sendiri dari pada membicarakannya ke orang lain. Istri subjek pun cenderung kurang mengerti masalah yang subjek rasakan setelah pensiun.
Beberapa kasus post power
syndrome terjadi lebih parah bagi individu yang memiliki pribadi-pribadi yang introvert (tertutup) terjadi psikosomatis dimana sakit yang disebabkan beban emosi tidak dapat tersalurkan (Hema, 2003). Pada subjek 2, subjek menjalin komunikasi yang bik dengan suami subjek, terkadang subjek pun bertukar pikiran dengan kakak subjek yang tinggal di depan rumah karena mereka sama-sama pensiunan PNS.
E. Penutup
1. Kesimpulan
 Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa kedua
subjek memiliki gejala-gejala post power syndrome yaitu :
a. Gejala fisik.
Pada kedua subjek mengalami gejala-gejala post power syndrome berupa gejala fisik, yaitu kedua subjek mengalami penurunan kekuatan fisik setelah pensiun, selain itu kedua subjek juga mengalami perubahan pada, pendengaran serta sensorik motorik yang menurun setelah pensiun.
b. Gejala emosi. Kedua subjek mengalami
gejala post power syndrome berupa gejala emosi, pada kedua subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun. Pada subjek satu perubahan emosi yang terjadi yaitu, setelah pensiun subjek merasa sedih dan stress karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi serta tidak dapat mencari pekerjaan. Selain itu, subjek juga merasa lebih emosi karena subjek setiap hari berada di rumah, sehingga mengetahui semua permasalahan yang ada, istri subjek juga mengatakan subjek cenderung mudah tersinggung. Pada subjek kedua perubahan emosi yang terjadi yaitu subjek merasakan setelah pensiun, subjek saat itu hanya melihat dinding rumah saja, ruang gerak subjek menjadi terbatas, karena ketika pensiun subjek merasa bingung hanya berdiam diri di rumah.

c. Gejala perilaku. Pada kedua subjek
mengalami perubahan perilaku setelah pensiun yaitu pada subjek 1 setelah pensiun
subjek lebih banyak berada di rumah dengan menonton TV dan waktu
senggangnya diisi dengan tidur siang. Selain itu aktivitas baru yang dikerjakan
setelah pensiun pada subjek satu yaitu membuka usaha warung dan mengikuti
pengajian. Pada subjek dua perubahan perilaku setelah pensiun yaitu subjek
merasa bingung apabila hendak keluar rumah karena tidak memiliki tujuan,
sedangkan saat subjek bekerja dahulu subjek keluar rumah dengan tujuan untuk
bekerja. Setelah pensiun subjek lebih banyak berada di rumah untuk mengerjakan
pekerjaan rumah tangga, dan waktu senggangnya diisi dengan membaca buku
serta akivitas baru setelah pensiun yaitu subjek mengikuti kegiatan PKK dan pengajian.

Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
post power syndrome pada subjek, dapat
ditarik kesimpulan bahwa :

a. Kehilangan jabatan. Pada kedua subjek
mengalami kehilangan jabatan setelah
pensiun, kedua subjek merasakan
kehilangan kegiatannya atau rutinitasnya
pekerjaannya yang tidak dilakukan lagi
karena sudah pensiun. Pada subjek satu,
subjek merasa tidak mampu lagi untuk
bekerja, serta subjek merasa tidak dapat
memberikan manfaat serta tidak produktif.
Pada subjek dua, subjek ingin tetap dapat
berkreasi dan bekerja, tetapi dengan
melihat situasi saat itu, maka sudah
waktunya subjek pensiun.

b. Kehilangan hubungan dengan kelompok
eksklusif. Kedua subjek mengalami
kehilangan hubungan dengan kelompok
eksklusif setelah pensiun yaitu pada subjek
satu, saat subjek bekerja subjek merasa
bangga saat tergabung dengan kelompok
kerjanyanya. Tetapi setelah pensiun, subjek
tidak pernah lagi berhubungan dengan
kelompok sprofesinya dahulu. Pada subjek
kedua, subjek merasa kehilangan
lingkungan intelektualitasnya, karena saat
subjek berbicara bukan dengan lingkungan



kerjanya subjek merasa tidak sejalan
pemikirannya.

c. Kehilangan kewibawaan dan perasaan
berarti. Kedua subjek mengalami
kehilangan kewibawaan dan perasaan
berarti hal ini dapat dilihat bahwa pada
kedua subjek tidak pernah lagi berkunjung
ke kantor, pada subjek satu subjek merasa
menjadi orang asing apabila datang ke
kantornya, sedangkan pada subjek dua, hal
yang menyebabkan subjek tidak pernah
berkunjung ke kantor bahwa, rekan
seangkatan subjek sudah tidak ada yang
bekerja lagi di kantor tersebut.

d. Kehilangan kontak sosial pada rekan
kerja. Pada subjek satu mengalami
kehilangan kontak sosial pada rekan kerja,
yaitu subjek tidak pernah lagi berhubungan
dengan teman-temannya, selain itu
komunikasi subjek dengan teman-temannya
juga sudah tidak berjalan. Sedangkan pada
subjek dua, kehilangan kontak sosial pada
rekan kerja bukan merupakan faktor
penyebab post power syndrome, karena
pada subjek dua hubungan komunikasi
subjek masih berjalan melalui telepon
maupun SMS.

e. Kehilangan sebagian sumber penghasilan.
Pada kedua subjek mengalami kehilangan
sebagian sumber penghasilan sesudah
pensiun, Kedua subjek merasakan
berkurangnya penghasilan setelah pensiun
selain itu terjadi perubahan pola hidup
keluarga. Pada subjek satu, perubahan pola
hidup tersebut mendapat protes dari istri
dan anak subjek. Sedangkan pada subjek
dua, perubahan pola hidup tersebut dapat
diterima oleh keluarga subjek, selain itu
subjek juga memiliki tabungan pensiun.

2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, maka saran-saran yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut :

1. Bagi Subjek 1

 Diharapkan dapat selalu berpikir positif
terhadap masa pensiun yang dihadapi.
Subjek juga disarankan menekuni usaha
warung yang dimiliki serta mengelolanya
dengan baik agar subjek mendapat
kesibukan. Selain itu, subjek juga dapat
mengikuti kegiatan-kegiatan sosial yang
ada di lingkungan sekitar rumah, misalnya
kegiatan RT atau RW, dan pengajian,
sehingga masa pensiun bukanlah
merupakan masa yang menakutkan. Masa
pensiun merupakan pola kehidupan yang
baru yang akan diisi dengan kegiatan yang
bermanfaat dan menyenangkan.

2. Bagi Subjek 2

Diharapkan subjek tetap menekuni kegiatan
sosial yang dilakukannya yaitu kegiatan
PKK dan pengajian di lingkungan RT, di
luar kegiatan subjek sebagai ibu rumah
tangga.

3. Bagi Instansi-instansi Maupun
Perusahaan Tempat Individu Bekerja

Disarankan untuk mengadakan program-
program atau pelatihan-pelatihan untuk
menghadapi masa persiapan pensiun bagi
pekerja agar dapat membantu pekerja
mempersiapkan diri menghadapi masa
pensiun terkait dengan aktivitas
dikemudian hari sebelum masa pensiun itu
tiba, agar menjadi lebih baik.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Disarankan untuk mengadakan penelitian
dengan metode kuantitatif dengan melihat
faktor-faktor lain yang kemungkinan lebih
mempengaruhi, seperti : jenis kelamin,
mengenai masa persiapan pensiun yang
dilakukan, kemudian subjek penelitian
dengan kriteria subjek yang mengalami
PHK.

DAFTAR PUSTAKA



Anjaswari, A. (2003) Dampak perceraian
pada pembentukan nilai pernikahan
remaja akhir putri : Suatu penelitian
kualitatif terhadap remaja akhir
putri dari keluarga bercerai dengan
keluarga utuh. Skripsi (tidak
diterbitkan). Jakarta : Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.



Dinsi, V,. Setiati, E., & Yuliasari, E.
(2006). Ketika pensiun tiba. Jakarta
: Wijayata Media Utama.

Flick. U. (1998). An introduction to
qualitative research. London :
SAGE Publications Inc.

Heman. E, (2003). Ciri-ciri post power
syndrome. http:// www.Gereja
Toraja.com

Hurlock, E B. (1980). Psikologi
perkembangan, suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan, edisi
kelima. Alih Bahasa : Istiwidayanti
& Soedjarwo. Jakarta : Erlangga.

Hutapea, R. (2005). Sehat dan ceria di usia
senja, melangkah dengan anggun.
Jakarta : Rieneka Cipta.

Iwang. (2007). Masa pensiun. http://
www.wordpress.com

Marwan. (2007). Pegawai Negeri Sipil.
http://www.Palembang.go.id

Marshall, C., and Rosman, G.B. (1990).
Designing qualitative research.
California : SAGE Publications Inc.

Minichello, V. (1996). In-depth interview
2nd edition. Melbourne : Logman.

Moleong, L. J. (2002). Metode penelitian
kualitatif. Bandung : Remaja. Rosda
Karya.

Nilam, W. (2007). Post power syndrome.
http://www.Rommysmg.wordpress.
com.

Papalia, D.E., Strens, H.L., Feldman, R.D.,
& Camp, C.J. (2002). Adult
development and aging, second
edition. New York : Mc. Graw Hill.

Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan
kualitatif dalam penelitian
psikologi. Jakarta : Lembaga
Pengembangan Sarana dan
Pendidikan Psikologi (LPSP3).
Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.

Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan
kualitatif untuk penelitian manusia.
Depok : Lembaga Pengembangan
Sarana dan Pendidikan Psikologi
(LPSP3). Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.

Powel, D.H. (1983). Understanding human
adjustmen. Massachusetts : Powel
Assosiates Inc.

Republik Indonesia. (2007). Himpunan
peraturan perundang-undangan,
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sekertariat Negara : Jakarta.

Rini, J.F. (2001). Pensiun dan
pengaruhnya. http//www.e-
psikologi.com/lansia.

Samhuri. (2005). Bugar dan sehat
memasuki masa-masa pensiun, one
day afteryour retired. Yogyakarta :
Enigma Publishing.

Santrock, J.W. (1995). Life-span
developmental : Perkembangan
masa hidup, edisi kelima. Jakarta :
Erlangga.

Sawitri, S. (2002). Apakah post power
syndrome ?. http:// home
kompas.co.id/litbang/kliping.

Sukandarrumidi . (2004). Metodologi
penelitian petunjuk praktis untuk
peneliti pemula. Yogyakarta : Gajah
Mada Yogyakarta Press.


Super, D.E. & Crites, J.O. (1985).
Appraising vocational fitness : By
means of psychological test. New
York : englewoods Cliffs.

 Tomb, D.A. (2000). Buku saku psikiatri,
edisi keenam. Alih bahasa :
Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta
: Erlangga.

Tuner, J.S & Helms, D.B. (1983). Life-span
developmental, second edition. New
York : Holt-Saunders International
Editions.

Wardhani, D. (2006). Post power
syndrome. http// www.Wedang
Jahe.com.













Previous
Next Post »

Translate