MAKALAH
SUMBER
AJARAN ISLAM
AL-QUR’AN,
HADIST DAN IJTIHAD
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita
semua. Berkat karunia-Nya lah kita dapat meneruskan pendidikan yang lebih
tinggi seperti sekarang ini. Alhamdulillah kita dari kelompok dua dapat menyelesaikan tugas kelompok
makalah yang berjudul Sumber Ajaran Islam.. Semoga
makalah yang kita buat dari kelompok satu ini dapat bermanfaat untuk kita
semua. Amiiin. Apabila dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Apabila ada saran an kritik,
kami akan menerimanya sbagai perbaikan. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb
TEAM
PENYUSUN
DAFTAR
ISI
Kata pengantar…………………………………………………………i
Daftar isi……………………………………………………………….ii
1.
BAB I
1.1
Pendahuluan
1.1.1
Latar
belakang..........................................................
1.1.2Tujuan dan manfaat...................................................
1.1.3Rumusan masalah......................................................
2.
BAB 2
2.1
Pembahasan......................................................................
3.
BAB 3
3.1
Penutup
3.1.1
Kesimpulan...............................................................
Daftar
pustaka........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran
Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam.
Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum
Islam sampai akhir zaman.Di samping itu Al-Qur,an adalah panutan untuk semua
muslimin dan muslimah.dan Al-Qur,an mengandung bnyak sekali penyelesaian dalam
masalah di kehidupan kita
Disamping itu
terdapat Hadist/as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang
masih bersifat umum.Hadits merupakan yang ke2 setelah Al-Qur,an untuk
menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran islam.
Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas.
Sebagai salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.
Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.
B. Tujuan
a.Tujuan umum :Sebagai media pembelajaran mahasiswa
b.Tujuan
khusus
·
Agar mahasiswa mengerti
sumber-sumber ajaran islam
·
Agar mahasiswa mengerti
tentang simber ajaran islam melalui Al-Qur,an
·
Agar mahasiswa mengerti
tentang simber ajaran islam melalui Hadits
·
Agar mahasiswa mengerti
tentang simber ajaran islam melalui ijtihad
·
Agar mahasiswa lebih taat
beragama setelah mengetaui tentang sumber-sumber ajaran islam
C.Manfaat
1.Sarana membaca
2.Pelengkap perpustakaan
3.Media pembelajaran
D.Rumusan
Masalah
1.Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui Al-Qur’an?
2. Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui
Hadits?
3. . Bagaimanakah sumber-sumber ajaran islam melalui
Ijtihad?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur'an
sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh
umat manusia hingga akhir zaman (Saba' QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam
juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.
Al-Quran
merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya
yang pernah diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi Al Quran dari
waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling
bertentangan. Surat yang pertama kali turun adalah surat al-alaq
ayat 1-5.
Al-qur’an dalam segi bahasa (etimologi) terjadi perbedaan, yaitu
al-qur’an yang dibaca.
Fungsi Al-Qur’an
Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi.
Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan yakni hukum alam dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk menampakkan kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.
Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang apa-apa yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai bayyinát, Al-Qur'an harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat trial and error.
Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang haq dan yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr.
Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan tetapi walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas. Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab kalau menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa keburu mati.
Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).
- Hadis
Perkataan hadis berasal dari bahasa
Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, jalan, pembicaraan, dan cerita. Menurut
istilah ahli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita
yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW, berupa ucapan, perbuatan, dan takkir (persetujuan
Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW. (Syamsuri, 2006: 60)
As-Sunah atau dalam istilah lain
Hadis Nabi, secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan ,dll-nya. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi
kita untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk
menggali hukum syari’.
Alasan mengapa Hadits di jadikan
sumber hukum islam menurut : Hidayatullah.Com–As-Sunah sebagai sumber hukum
Islam kedua setelah Al-Quran, tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih
Islam, terutama pada masa para imam mujtahid dengan berdirinya
mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa kejayaan kajian ilmu hukum Islam di
dalam dunia sejarah. Hal semacam ini tidak pernah terjadi pada umat agama lain,
baik di zaman dahulu atau sekarang. Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab
fiqih, maka akan mengetahui betapa besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan
hukum-hukum fiqih.
As-Sunah atau dalam istilah lain
Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan. Adapun arti
kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita untuk beramal sesuai dengan
As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk menggali hukum syari’.
Hadis Nabi, walaupun dapat menjadi
hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran, namun kedua
kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi bahwa keduanya adalah hujah
dan sumber hukum di dalam syari’at Islam.
Macam-macam
Hadist(Sunnah)
Sunnah dibagi menjadi empat macam,
yaitu:
· Sunnah
qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
· Sunnah
fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
· Sunnah
taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan
ataupun perbuatan orang lain
· Sunnah
hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak
sampai dikerjakan
Berdasarkan
pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits
maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi
dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga
dengan dhaif.
1.
Hadits Yang Diterima (Maqbul)
Hadits
yang diterima dibagi menjadi 2 (dua):
1.
1. Hadits Shahih
1.
1. 1. Definisi:
Menurut
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah
adalah:
Hadits
yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.
Dalam
kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits
shahih itu adalah:
Hadits
yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari
menyalahi ayat Quran.
1.
1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih:
Untuk
bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi
kriteria berikut ini:
- Rawinya bersifat adil, artinya
seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat,
menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat
menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang
bertentangan dengan dasar syara’
- Sempurna ingatan (dhabith),
artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan
kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang
diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
- Sanadnya tiada putus
(bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan
kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari
yang memberi hadits.
- Hadits itu tidak ber’illat
(penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
- Tidak janggal, artinya tidak
ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin
daripadanya.
1.
2. Hadits Hasan
1.2.1.
Definisi
Secara
bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para
ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan
tentang definisi hadits Hasan:
Hadits
yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang
muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai
kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.
At-Tirmizy
dalam Al-Ilal menyebutkan tentang
pengertian hadits hasan:
Hadits
yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan
seperti itu dalam banyak jalan.
Al-Khattabi
menyebutkan tentang pengertian
hadits hasan:
Hadits
yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya.
Yang
dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan
hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam
kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah.
Jumhur
ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta
kejanggalan matannya.
Maka
bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada
terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya
dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan)
yang sepadan maknanya.
1.2.2.
Klasifikasi Hadits Hasan
Hasan
Lidzatih
Yaitu
hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang
bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya
dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di
antara contoh hadits ini adalah:
لولا
أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Seandainya
aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi
setiap waktu shalat
Hadits
Hasan lighairih
Yaitu
hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata
keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang
menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang
semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Di
antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita
menerima mahar berupa sepasang sandal:
أرضيت
من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز "Apakah kamu rela menyerahkan
diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu
menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya.
Hadits
ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin
Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif
lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka
posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
Kedudukan
Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para
rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid.
Hadits
Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum
(Hadits Makbul).
Hadits
Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila
sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat
keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih.
Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan
perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan
ada beberapa sanad lain.
*
* *
2.
Hadits Mardud (Tertolak)
Setelah
kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang
kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak.
Hadits
yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits
palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang
memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah
hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak
untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.
2.1
Definisi:
Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.
Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.
Hadits
Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama
hadits untuk dijadikan dasar hukum.
2.2.
Penyebab Tertolak
Ada
beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu:
2.2.1
Adanya Kekurangan pada Perawinya
Baik
tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:
- Dusta (hadits maudlu)
- Tertuduh dusta (hadits matruk)
- Fasik, yaitu banyak salah
lengah dalam menghafal
- Banyak waham (prasangka)
disebut hadits mu’allal
- Menyalahi riwayat orang
kepercayaan
- Tidak diketahui identitasnya
(hadits Mubham)
- Penganut Bid’ah (hadits mardud)
- Tidak baik hafalannya (hadits
syadz dan mukhtalith)
2.2.2.
Karena Sanadnya Tidak Bersambung
- Kalau yang digugurkan sanad
pertama disebut hadits mu’allaq
- Kalau yang digugurkan sanad
terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
- Kalau yang digugurkan itu dua
orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
- Jika tidak berturut-turut
disebut hadits munqathi’
2.
2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain
karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena
kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah
hadits Mauquf dan Maqthu’
Oleh
karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan
sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya
2.3.
Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif
Segenap
ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan
hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli,
hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.
Tetapi
mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk menerangkan
keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a'mal, yaitu
untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib
(menakutkan pelanggarnya).
Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha'if tidak bisa
digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut
Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun
dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara
derajat periwayatannya lemah.
Ketegasan
sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang
yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim
memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih
karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan
muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.
Senjata
utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW:
Siapa
yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu
bukan haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan
Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa
para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang
dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu
belum sampai kepada derajat maudhu' (palsu).
Namun
pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang
menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai
hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal
yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak
boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan
hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha'if untuk
menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar.
Sedangkan
setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.
Lagi
pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam
beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:
- Derajat kelemahan hadits itu
tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau
tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya
tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah
kelemahannya.
- Perbuatan amal itu masih
termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak
punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang
lemah.
- Ketika seseorang mengamalkan
sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini
bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari
menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah
menyatakan hal itu.
Demikian
sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah
hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak.
Kedudukan Hadits
Hadits sebagai sumber hukum syariah, peran utama hadits dalam revitalisasi
syariah adalah menjadi sumber hukum syariah yang kedua setelah al-Qur’an. Dalam
konteks ini perlu ditegaskan dua hal:
Pertama, kehujjahan hadits sebagai sumber hukum syariah. Yang dimaksud dengan
kehujjahan al-hadits (hujjiyah al-hadits), adalah keadaan hadits yang
wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama
dengan al-Qur’an, dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya.
Menurut wahbah Az-Zuhaili, dalam kitabnya ushul al-Fiqh al-Islami, orang
yang pertama kali berpegang dalil-dalil ini, diluar ijma’. adalah Imam
Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-umm. Dalil-dalil
tersebut ada yang menunjukkan bahwa hadits adalah wahyu sebagaimana al-Qur’an,
dan ada yang menunjukkan wajibnya mengikuti hadits atau As-Sunnah.
Kedua, kedudukan (al-manzilah)
dan fungsi hadits terhadap al-Qur’an. Pada prinsipnya, fungsi hadits adalah
sebagai penjelasan (al-bayyan) dari al-Qur’an. Itulah yang dimaksud
dengan ungkapan As-Sunnah qadhiyah ‘ala Al-Kitab, yang terkenal di
kalangan ulama seperti disebut Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat
juz IV/4. ungkapan itu berarti As-Sunnah/hadits itu menjadi pemutus atau
penentu makna al-Qur’an. Sebab suatu ayat al-Qur’an dapat mengandung dua
kemungkinan makna atau lebih, maka hadits-lah yang kemudian menentukan satu
makna di antara sekian makna yang ada. Fungsi hadits sebagai penjelasan
al-Qur’an didasarkan pada firman Allah swt (artinya):
‘Dan Kami turunkan kepadamu
[Muhammad] al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44).
Tiada syari’ah tanpa hadits sebagai sumber hukum syari’ah ini sangat strategis
bagi upaya revitalisasi syari’ah. Karena sebagian besar hukum-hukum syariah
bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits banyak menjadi dalil bagi berbagai
hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan
penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, struktur
pemerintahan, pengangkatan para gubernur (wali) dan hakim (qadhi),
dan sebagainya. Dan juga berpegang pada hadits atau sunnah rasul saw. terhadap
hal-hal yang tidak dijelaskan al-Qur’an sebagai landasan syari’ah.
Karena kedudukannya sebagai dasar Islam yang kedua sesudah kitab suci
al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan kalau Hadits Nabi mendapat perhatian yang
paling besar dikalangan kaum muslimin. Sungguh pun ada larangan Nabi supaya
jangan menuliskan selain dari al-Qur’an, sebagian nanti akan kita terangkan,
untuk menjaga jangan sampai dicampur adukkan dengan kitab suci al-Qur’an itu,
tetapi ada saatnya beliau memberi izin kepada beberapa sahabat yang cukup
berhati-hati untuk mencatatkan hadits-hadits itu.
Dalam kasus al-Qur’an, kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara turunnya
wahyu dan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan otentisitas
al-Qur’an, lantaran Nabi sudah
menunjuk para pencatatnya sejak turunnya wahyu pertama yang ditugasi untuk
menghimpun dan menuliskannya. Tetapi praktek ini tidak diikuti dalam kasus
hadits, yang mendapat perlakuan berbeda.
Pentingnya hadits dan perananya dalam berbagai masalah politik dan sosial telah
menyebabkan berbagai kelompok memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya.
Kepekaan ini mengakibatkan tertundanya usaha penulisan hadits, meskipun ada
perintah Nabi untuk melakukan penulisan dan penyebarluasan hadits. Sayangnya,
penundaan ini menciptakan kerumitan bagi generasi berikutnya dalam melakukan
penilaian hadist.
Sudah banyak komentar
mengenai Hadits, baik dari kalangan umat Islam maupun non Islam, baik yang
membela maupun yang menyerang dan ingin menghancurkannya. Semua itu ternyata
semakin menambah semaraknya kajian dan minat terhadap bidang hadits ini.
Yang jelas, terlepas dari semua itu, para ulama’ dari berbagai golongan dan
aliran, hampir tidak ada perbedaan dalam memandang Hadits-hadits Nabi sebagai
dasar dalam Syari’at Islam. Mereka menjadikan Hadits sebagai pedoman dalam
melaksanakan aktivitas di dunia ini, baik yang berkenaan dengan aspek
ibadah maupun mu’amalah dan akhlak. Karena Hadits yang berupa
perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi saw.itu secara rinci telah
menggariskan suatu manhaj bagi kehidupan umat Islam, baik secara
individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
Imam asy-Syafi’i di dalam kitabnya ar-Risalah mengemukakan pendapatnya,
yang juga dinukil kembali oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-madkhal,
“Sesungguhnya Allah swt. telah menerapkan kedudukan Rasulullah saw.didalam
agama dan menentukan juga kitab sucinya. Allah swt.menjelaskan pula kedudukan
Rasulullah saw. itu terhadap agaman islam, sehingga diketahui kewajiban
menaatinya dan haram bermaksiat kepadanya. Demikian juga allah swt. telah
menjelaskan dengan karunia-Nya, dengan mengiringi iman kepada Rasul-Nya dengan
iman kepada-Nya”. Firman Allah swt (Artinya),
“Maka berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu mengatakan, ‘Tuhan itu tiga’,
berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah
Tuhan Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak”. (Q.S. an-Nisa’: 171).
Hadits adalah salah satu wahyu tuhan yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya.
Hadits itu merupakan salah satu sendi atau pokok dari Syari’at Islam. Banyak
ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadits ini merupakan salah satu
pokok dari Syari’at Islam. Oleh karenanya hadits itu wajib diikuti sebagiamana
mengikuti al-Qur’an. Demikian pula Allah telah memerintahkan kita untuk mentaati
Rasul sebagaiman mentaati Allah sendiri, baik terhadap perintah-perintahnya
maupun larangannya (Artinya).
“Katakanlah olehmu Muhammad:
Kalau kamu sekalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan
mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosamu”.
Dari ayat-ayat tersebut diatas, jelas bahwa Hadits-hadits Nabi itu kedudukannya
dalam Syariat Islam sama dengan al-Qur’an, artinya wajib diikuti dan diamalkan
sebagaimana al-Qur’an. Dan merupakan hukum kedua setelah al-Qur’an,
sebagai penjelas al-Qur’an yang menjadi hukum utamanya.
Sebagai sumber hukum Islam, hadits memegang peranan penting sebagai penjelas
atas apa yang ada didalam al-Qur’an. Umat Islam tidak akan pernah dapat
menjalankan ketentuan hukum dan cara ibadah tanpa melihat keterangan atau
praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits-nya. Hadits
sebagaimana kita ketahui sebagai penjelasan al-Qur’an, karena hukum dan
kewajiban yang terdapat dalam al-Qur’an hanya bersifat umum dan global, tidak rinci.
Rasul dalam menyampaikan risalah
Allah kepada umatnya telah diberikan Allah sifat-sifat yang luhur dan ilmu yang
tinggi, sehingga seluruh tingkah laku dan ucapannya sesuai dengan kehendak
Allah, tidak dengan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah swt (Artinya).
“Dan tiadalah yang
diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (an-Najm: 3-4)
Kehujjahannya berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, didalam surat an-Nahl dijelaskan
bahwa Rasulullah saw. diberi otoritas oleh Allah subhanahuwata’ala sebagai
mubayyin ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an (Artinya).
“Dan kami turunkan kepadamu
al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan”.
(an-Nahl: 44)
Kehujjahan sunnah berdasarkan Hadits Nabi, orang-orang Islam yang kuat imannya
tidak akan meragukan terhadap kehujjahan sunnah, dan orang yang menerima
al-Qur’an sebagai hujjah, secara otomatis menerima sunnah sebagi hujjah dalam
hukum-hukum Islam. Karena al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisahkan. Barang
siapa yang memisahkan al-Qur’an dengan hadits berarti dia memisahkan Allah dan
Rasul-Nya. Karena Allah swt. dalam al-Qur’an telah mewajibkan semua orang untuk
beriman kepada Rasul-Nya, mengikuti perilakunya, menaati semua perintahnya dan
meniggalkan semua larangannya.
Hadits perintah Rasulullah untuk menyampaikan hadits-haditsnya kepada orang
lain.
“Ya Allah saksikanlah, maka
hendaknya orang yang hadir menyapaikan kepada orang yang tidak hadir, karena
banyak orang yang tidak mendengar langsung lebih pandai dari orang yang
mendengar langsung”. (H.R. Muslim)
Ijtihad
Pengertian ijtihad secara bahasa
atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya, bersungguh-sungguh menggunakan
tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara istilah, ijtihad ialah,
menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu perkara yang dalam al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya. Akan tetapi, pengertian
tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat
kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah tidak ditetapkan hukumnya.
Menurut pengertian kebahasaan kata
Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang
artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih,
ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk
menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung du dalam al Qur’an dan
Hadis dengan syarat-syarat tertentu. (Syamsuri, 2006: 62)
Ijtihad menempati kedudukan sebagai
sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan dari mana saja kamu
(keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja
kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada
hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka.
Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar
Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah, apabila hendak mengerjakan sholat
ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat saat itu melalui ijtihad dengan
mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.
Macam-macam ijtidah
yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
· Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat,
setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat
ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa,
tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah
fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
diikuti seluruh umat.
· Qiyas, yaitu
berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain
Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu
perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang
sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan
‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap
meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti
hati orang tua.
· Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari
suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan
fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula
menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya,
menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum
ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan)
bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan
barangnya dikirim kemudian.
· Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti
kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu
dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist
tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat
Islam demi kemaslahatan umat.
· Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan
menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman
keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan
seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga
mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
· Istishab, yaitu melanjutkan berlakunya
hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang
mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah
ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau
yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena
shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
· Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan
terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah
dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang
yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi
bersama antara penjual dan pembeli.
Kedudukan
dan fungsi Ijtihad
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.
KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.
Daftar Pustaka
4. T.M Ash-Shiddiq,hasbi.1970. Koleksi
hadits-hadits hokum.bandung.P.T AL MA’ARIF
ConversionConversion EmoticonEmoticon